5
Silan curiga, naga biru kecil itu melaporkan kejadian di toko Karaso. Silan juga tidak ingin merengek minta dikasihani. Dia masih di dapur, meletakkan es batu di pelipis hingga es tersebut mulai mencair.
...
Sejak matahari terbenam, Silan sudah mengikuti Dali menelusuri pesisir pelabuhan. Itu tempat yang sama dilewati Silan tadi pagi. Tetapi, ada yang berubah.
Aroma garam laut bercampur wangi tajam dari kayu manis, cengkeh, dan jahe melayang di udara. Bangunan-bangunan bata lenyap menjadi tenda-tenda pedagang dalam semalam.
Para pelaut yang baru tiba, bertukar cerita tentang rahasia lautan dengan kantong penuh batu permata dan minuman beralkohol. Silan menepi, ketika dua pelaut mabuk berjalan terhuyung-huyung di dekat mereka.
Di depan sebuah tenda bermotif bintang emas, duduk seorang wanita paruh baya dibalik meja penuh dengan peta bintang dan kristal laut. Dali mengajak Silan ke sana dan Silan mengenal wanita itu sebagai pemilik kedai makan tadi pagi. Lebih mengejutkannya lagi, mata wanita itu terbelalak pada Dali.
"Tuan Bos." Naga merah kecil terbang di atas tenda, menciptakan bayangan melingkar di wajah wanita tersebut.
"Anak buahku." Dali memperkenalkan Silan yang berdiri di belakangnya. "Ini Karaso. Sirih Laut. Anggota serikat dagang Persaudaraan Koin Gelap."
Mulut Silan terbuka lebar. Dia hendak menerjang Karaso. Namun, dengan cepat Dali merentangkan tangan menghalangi.
"Tidak sekarang. Karaso akan menjelaskan pekerjaan Said padamu. Temui aku di toko bila urusan kalian beres."
Silan menatap Karaso tidak percaya. Dalam sekali kedipan mata. Perawakan wanita tua berganti menjadi wanita muda bergaun merah dengan belahan terbuka di dada. Bibirnya yang berpoles lipstik merah tersenyum sinis pada Silan.
"Bagaimana perasaanmu?" tanya Karaso dengan senyum mengejek. "Duduklah sebentar. Aku bisa meramal masa depanmu dengan bintang-bintang malam ini."
"Beritahu tugas Said." Silan tidak peduli dengan tawaran Karaso.
"Santai dulu, bagaimana? Malam masih panjang. Ayolah, Silan. Bintang-bintang selalu punya petunjuk."
"Aku tidak butuh itu."
"Kau butuh." Karaso menarik sebuah buku putih dari bawah meja. Membuka sembarang halaman dengan senyum manis penuh ejekan pada Silan. "Silan Ongirwalu menyukai buku. Dia menghabiskan waktu menulis dan membaca buku-buku Sudra. Hal terakhir yang ia baca adalah tentang pria naga yang menjaga seorang gadis manusia dan—"
Silan merangsek maju merebut buku itu. Namun, Karaso dengan cepat menghilangkan buku tersebut ke dalam udara.
"Bermimpi pacaran dengan pria naga, eh?" Karaso menggoda. "Aku kenal beberapa pria naga liar. Mau kukenalkan satu, Silan?"
"Sirih Laut, tutup mulutmu."
Emosi wajah Karaso berubah dalam sekian detik. Mata cokelatnya menatap Silan tidak suka.
"Sirih Laut," ulang Silan dengan tegas. "Tunjukkan pekerjaanku sekarang atau aku akan melapor pada Dali."
"Nama itu—"
"Sirih Laut." Silan menegaskan. "Jika buku itu menjelaskan tentang kehidupanku. Sebaiknya kau pergi ke chapter tentang pengetahuanku. Aku punya pemahaman tentang rahasia nama yang terikat dengan lautan. Kau tahu dengan jelas arti nama dari mereka yang terhubung dengan laut."
Karaso menghela napas, memilih berhenti menggoda Silan. Tetapi dia tidak menyerah akan satu hal. "Duduklah, aku perlu petunjuk bintang tentang orang-orang yang berhubungan dengan Persaudaraan Koin Gelap. Kau bagian dari Dali, artinya bagian kami sekarang."
Silan ragu, melihat kepribadiannya yang bisa berubah. Karaso jelas tidak bisa dipercaya. Ditariknya kursi kayu di depan meja Karoso.
"Apa kata bintang-bintang tentangku?"
Kristal laut milik Karaso
menyerupai struktur karang, bercabang-cabang halus seperti jaring rumit, dengan warna transparan bercampur biru kehijauan, seolah menyerap keindahan dasar laut.
Karaso menulis nama lengkap Silan menggunakan pena emas di atas peta bintang yang menyerap tinta tersebut. Kemudian dia melirik kristal karang yang mengeluarkan warna-warni pelangi. Bagi Silan, itu terlihat seperti bola lampu yang bercahaya. Kemudian, cahaya keluar dari kristal tersebut membentuk garis lurus yang melesat cepat seperti komet menuju langit.
"Gelombang laut," ucap Karaso dengan tersenyum tipis. "Bintang-bintang memberitahu bahwa nasibmu seperti gelombang laut. Entah itu buruk atau baik tergantung kondisi yang kau jalani."
Silan hanya memutar bola mata malas tanpa tanggapan. Membiarkan Karaso dengan keyakinannya sendiri.
"Aku rasa ramalan sudah selesai," ujar Silan dengan berdiri dari kursi. Dia tidak ingin lama-lama menghabiskan waktu dengan Karaso atau ramalannya. Silan tidak mempercayai ramalan, karena masa depan bisa berubah-ubah.
Karaso hanya berdecak kesal. Dalam sekali lambaian tangan, posko kecilnya sirna. Dia menepuk-nepuk gaun merahnya dan memberi gestur tubuh untuk Silan mengikutinya dari belakang.
"Pekerjaan Said hanya satu, aku tahu kalian keturunan bangsawan. Tapi, selama kau terikat Dali. Kau hanya pelayan. Kau menggantikan Said menjaga toko buku, memastikan penjualan buku pada agen berjalan baik, merapikan rak toko, membuat jurnal penelitian—"
"Apa?" sela Silan terkejut. Darah kebangsawanannya adalah harga mati yang tidak bisa dihilangkan begitu saja.
"Jangan menyela. Dali sering berpergian dan dia ingin seseorang melakukan pengamatan untuk dirinya. Jadi, biasakan dirimu menulis banyak catatan. Ketiga, jaga sikap dengan Giza bila dia muncul. Dia kolega Dali. Keempat, buku-buku terlarang biasanya dipasok lewat Persekutuan Koin Gelap, kau harus mengingat tiap klien dan seberapa besar keuntungan penjualan buku pada mereka. Dali tidak memikirkan soal uang, tapi dia butuh pengetahuan sebagai senjata. Kelima, jangan ikut campur urusan pribadinya. Keenam, urus makan dan dirimu sendiri. Ketujuh ...,"
Karaso berhenti di ujung jalan. Tempat itu buntu. Hanya ada tangga batu yang menjorok ke arah pasir pantai. Di sana, lebih banyak orang yang menjajakan barang sambil berkeliling. Penjual kembang api memamerkan petasan bentuk lumba-lumba yang berenang dengan warna biru di udara dan anak-anak kecil yang tertawa riang. Berusaha melompat untuk menangkap citra tersebut.
"Ketujuh?" ulang Silan.
"Kau sebaiknya mencari peredam." Karaso menunjuk pelipisnya dengan telunjuk. "Roh buku akan membuatmu gila."
Silan ingin bertanya lagi. Tetapi, Karaso sudah berjalan turun melewati undakan tangga batu, kemudian mengambil sisi berbeda dari keramaian warga lokal ke arah pantai yang sepi.
Silan menatap bayangan pohon kelapa yang daunnya sesekali bergerak oleh embusan angin laut, mereka tumbuh agak rapat satu sama lain. Karaso mengarah ke sana, menunduk sambil menendang sesuatu di atas pasir.
"Kau bisa menendang sesuatu," sindir Silan
"Ya, kau harus berhati-hati," balas Karaso dengan senyum penuh tipu muslihat. "Karena sekarang kau harus melakukan ini. Tendang kerang aneh di sekitar sini. Itu portal untuk segera ke toko buku milik Dali. Aku akan mengontakmu, jika ada pesanan dari PKK."
"PKK?" ulang Silang dengan alis bertaut.
"Dih, Persekutuan Koin Gelap. Cepatlah mencari. Toko buku itu hanya bisa diakses oleh pasang surut tertentu dan bulan purnama." Karaso menunjuk langit. "Pasang surut itu dikendalikan oleh kerang anehnya Dali. Tendang benda itu dan boom. Kau sampai. Bai."
Silan masih ingin bertanya, tetapi Karaso tampaknya tidak ingin menghabiskan waktu lebih lama bersamanya. Mata cokelat Silan menyisir pasir. Dia menendang pelepah daun kelapa kering demi mencari kerang aneh. Yang Silan sendiri tidak tahu, seberapa aneh yang dimaksud Karaso.
Sejam berlalu, kaki Silan mulai kebas. Pasir sudah sampai sebetisnya karena terus menendang-nendang. Sejenak, Silan berpikir Karaso mungkin mengerjainya. Tetapi, Dali mempercayakan Karaso padanya.
Kesal, lelah dan lapar. Silan hanya bisa duduk merenggangkan kaki di atas pasir. Mata cokelatnya lurus ke arah ombak laut yang bergulung-gulung. Sisi pantai yang ia tempati sepi. Tidak ada kemeriahan atau kehangatan seperti di sisi sebrang.
Merasa cukup baik, dengan gerakan malas. Silan menarik gelombang laut untuk mencapai bawah pohon kelapa dan mengangkat benda-benda yang terkubur pasir. Ada banyak kerang yang terangkat. Tetapi kerang laut itu tampak sangat indah di bawah cahaya bulan. Kesal, Silan mengambil satu dan melemparkannya pada kelapa kering secara sembarang dan bunyi bergema dalam melodi panjang tertangkap di pendengaran Silan.
Dia buru-buru berdiri, mengambil kerang dan melempar ke kelapa tua berwarna cokelat yang sedari tadi dilihatnya namun ia abaikan. Kelapa itu lagi-lagi mengeluarkan suara bergema seperti terompet kerang. Spontan, Silan berjalan mendekati dan menendang kelapa itu dengan segenap kekuatan.
Matanya buta sesaat oleh cahaya menyilaukan sebelum dia tersandung dan jatuh dengan bokong mendarat lebih dulu di pasir. Silan mengerang kesakitan, di depannya lanskap berubah.
Silan terduduk di depan mulut goa yang sekitar dindingnya bercahaya oleh warna biru yang menempel di langit dan dinding goa. Dia berdiri dengan satu tangan masih mengelus pantat. Kemudian berjalan memasuki mulut goa tersebut.
Cahaya yang menerangi tempat tersebut dihasilkan oleh bintang laut yang menempel dalam jumlah besar di sekeliling goa. Hidung Silan menangkap aroma kertas dan aroma air asin serta keributan kecil di ujung goa.
Silan melangkah sedikit demi sedikit. Dia berpikir, jika toko buku itu ada di gua, kemungkinan besar itu adalah ruangan yang besar dan lapang, dengan arsitektur alami gua yang membentuk gua menjadi toko.
Dugaan itu seolah membenarkan hipotesa Silan. Dinding gua dilapisi rak buku yang ditumpuk ke langit-langit. Punggung bukunya didominasi warna biru dan putih. Di sudut lain, warna punggungnya lebih beragam. Serta suara lautan suara yang berbisik-bisik di dalam kepalanya.
Sejenak, Silan melupakan kekesalannya mencari kerang aneh yang sebenarnya adalah buah kelapa tua. Dia menyeringai, terpana, nyaris meneteskan liur menatap judul-judul pada punggung buku.
Anak Ombak, Lautan Kabut, Ratu Karang, Naga Laut, Karang Mistik, Perburuan Relik Lautan, Kiat Mendekati Gadis Duyung, Roh Laut dan Silan bisa kenyang memakan semua pengetahuan tersebut.
Kesadarannya terenggut oleh ocehan mistis yang mulai menggangu konsentrasinya.
"Sentuh aku, Wahai Pengembara yang haus pengetahuan."
Silan melihat sekeliling rak. Buku mana yang sedang berbicara padanya.
"Di antara halaman-halamanku tersimpan rahasia yang telah diketahui. Dengarkan desah lembutku, dan biarkan kisah para leluhur sihir mengalir dalam pikiranmu."
Silan menggeleng tidak percaya, berkat sihir itu bekerja. Sesaat, Silan merasa cemas, sedetik berlalu dia antusias menebak-nebak roh buku berdasarkan punggung mereka.
"Hanya bagi mereka yang berani, aku akan mengungkap misteri yang tersembunyi dalam waktu yang mendalam."
Sedetik hening, lalu suara riuh seperti di pasar menggangu telinga Silan. Dia harus menutup kedua telinga dengan tangannya untuk menyaring suara-suara tersebut.
Lalu tatapannya terhenti di sudut ruangan goa. Dali sedang duduk dengan beberapa buku tebal kuno di dekat meja bulat berkaki tiga. Sebelum Silan melangkah dan mengeluarkan suara.
Perlindungan sihir di toko tersebut telah mengingatkan Dali akan kehadirannya. Pria itu menatap Silan. Menyambutnya dengan wajah yang tidak Silan pahami.
"Tidak buruk."
"Apanya? Berkat roh buku?" ujar Silan setengah berteriak. "Telingaku mau sakit."
"Itu kontrak kerjanya," balas Dali santai. "Kau akan terus mendengar semua tulisan. Bekerjalah, ada banyak buku yang harus dikirim."
Dali tidak punya emosi atau wajahnya memang seperti itu. Silan menebak bukan keduanya, bahkan patung bisa memberikan ekspresi yang lebih baik. Suara-suara masih berdengung di sekelilingnya, terlalu berisik dan semua mendominasi untuk mencari perhatian.
Baca aku, baca aku, baca aku
Ayo sini, manis. Aku punya mitologi laut untukmu.
Silan tidak tahan. Pertama, dia harus pergi mencari sesuatu di meja konter. Menelisik setiap benda. Gunting, penggaris, buku, plakban, lem, kertas, penjepit, tisu, paku payung dan kapas.
Silan menyambar benda tersebut dan mencomot dua gumpalan untuk menyumbat telinga. Itu kapas wajah dan Silan yakin, mustahil benda itu milik Dali. Pendengarannya, terendam walau dia masih mendengar kasak-kusuk seperti kaset rusak.
Silan menatap Dali yang masih sibuk membaca. Pria itu tampak larut dan serius. Sedikit saja, Silan berharap Dali mau menyampaikan sepatah kata untuk dirinya. Silan berinisiatif merapikan meja konter tersebut. Kemudian menemukan buku penjualan bersampul biru.
Buku itu memiliki penanda buku yang melukiskan laut dengan nuansa gelap. Halaman yang terbuka dimulai sejak tanggal kemarin memuat tujuh pesanan buku, lalu di tambah pesanan buku hari ini sebanyak lima buah. Di bagian bawah catatan. Ada tulisan tangan yang sangat dikenali Silan.
Saudariku. Jika kau membaca ini, artinya kau sudah bekerja bersama Dali. Bungkus buku-buku itu dan antarlah secara manual pada tiap pelanggan.
Mereka tidak membayar Dali dengan uang, mereka harus membayarnya dengan pengetahuan. Ada jurnal-jurnal cantik di bawah meja. Bawa yang kau sukai dan tulis informasi yang menjadi pembayaran buku Dali.
Berhati-hati dengan penunggang naga. Dali membenci itu, temukan informasi tentang laut purba dalam setiap transaksi.
Salin segera mengangkat wajah menatap Dali. Kini, pria bertubuh besar itu tidak ada di sana. Buku-buku bacaannya tertata rapi. Silan melirik sekitar gua, berpikir Dali sibuk mencari buku lain atau merapikan rak. Lalu Silan menggeleng, itu tugasnya.
Dia kembali membaca catatan Said.
Semua buku ada di rak. Ambil sebuah buku dan buku baru akan menggadakan dirinya. Jadi, kau tidak perlu repot bekerja dengan debu dan gudang.
Keisengan Said membawa Silan pada keberuntungan dan kemalangan. Silan mencoba berpikir positif tentang dunia yang membawanya lebih dekat dengan buku walau ada harga yang harus dibayar mahal.
Silan mulai mengambil troli di sudut belakang meja konter yang cukup besar. Menaruh beberapa buku di dalam keranjang dan mencoret daftar pesanan. Pesan Said benar, setiap Silan mengambil buku, jumlah buku tersebut kembali normal.
Silan telah mengumpulkan semua buku dan sekarang merasa pundaknya mulai sakit. Toko buku itu toko buku sihir, tetapi Silan harus bekerja tanpa sihir.
"Terkutuklah tempat ini." Silan mengumpat lirih sembari mengambil satu judul baru dari rak.
"Aku mendengar itu, Silan Ongirwalu."
Silan tercekat. Suara Dali terdengar sangat dekat. Tetapi keberadaan fisiknya tidak terdeteksi. Pria itu melanjutkan, "Aku mengawasimu. Bekerjalah dengan baik. Sebelum pembeli pertamamu tiba."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top