2
Perasaan Silan masih dongkol begitu kembali ke kamarnya yang berada di lantai kedua rumah utama. Rumah panggung itu terbuat dari kayu dengan atap daun sagu dan langit-langitnya dari gabah-gabah. Sekeliling dinding kamar Silan dihiasi kerang-kerang laut yang tergantung dengan warna berkilau.
Di ranjang berselimut biru, Said malah berbaring dengan tangan terlipat di belakang kepala. Silan tidak paham, mengapa Said pulang hanya untuk membuat ayah mereka marah.
"Sudah kubilang, aku membawa hadiah," ujar Said seolah tahu apa yang hendak Silan ungkapkan.
"Kenapa kau mengatakannya di depan Ayah? Kau bisa membicarakan itu saat di kereta."
Silan melangkah mendekati jendela yang terbuka. Angin laut berembus dingin. Dari atas bukit, Silan bisa melihat cahaya bulan separuh yang menyinari lautan. Titik-titik cahaya di tengah lautan adalah kapal para nelayan.
"Bukan kejutan namanya." Said masih berbaring. Dia memainkan kipas lipat milik Silan dengan gerakan bosan.
"Apa itu tujuanmu pulang?"
"Tidak. Toko buku hanya alasan."
"Jadi kau berbohong? Kau suka memancing Ayah marah."
"Saudariku, aku butuh bantuan. Kawan lamaku menjebak Kakakmu."
"Aku tidak punya uang untukmu."
"Oh, itu bukan masalahnya. Ini tentang buku dan toko buku."
Alis kanan Silan terangkat. Ditatapnya Said waswas. Said bisa saja sedang menipu dan mempermainkannya dan Silan selalu terjebak. Dia juga heran, mengapa jatuh pada lubang yang selalu digali Said.
"Jadi gini," ujar Said beranjak bangun dari kasur. Dia memanggil Silan dengan menepuk tepi tempat tidur di sampingnya. Namun, Silan menolak.
"Keras kepala."
"Terima kasih," balas Silan tidak peduli. "Kau boleh keluar dari kamar."
Said memberi tatapan terluka. Di luar dugaan, Said beranjak meninggalkan kamar Silan sampai berhenti di depan pintu.
"Roh-roh buku berbisik sesuatu. Kau menyembunyikan mereka di dalam peti yang kau sembunyikan di bawah kasur."
Mulut Silan terbuka, tetapi tidak ada suara yang keluar dan Said tetap melanjutkan kalimatnya.
"Tidak aman menaruhnya di bawah sana, Saudari. Buku-buku itu tidak menghirup udara. Mereka butuh kebebasan berada di rak."
Said menoleh dan mendapati adiknya menahan amarah entah untuk yang mana.
"Terlalu panas untuk buku-buku yang membuat kau—"
Silan melempar bantal ke arah Said. Tetapi lemparan itu sudah berhenti sebelum mengenai wajah Said.
"Hati-hati, Saudariku. Ini aset paling mahal yang kumiliki."
"Berhenti mengintip kamarku!" Marah Silan karena Said tahu, dia menyimpan buku romansa dewasa di dalam peti tersebut.
"Aku tidak mengintip. Aku mendengar roh buku berbicara di kepalaku. Jika kau tidak percaya, kau bisa mengambil kemampuan ini."
"Aku mau tidur."
"Saudariku, kau tahu aku membenci dongeng dan dongeng-dongeng di kamarmu sangat berisik. Anugrah ini membuatku ingin memberimu toko buku. Toko buku dengan sihir naga."
Pintu kamar Silan terayun terbuka. Said sudah melangkah keluar kamar saat Silan menahan lengannya.
"Sihir naga?"
"Aku mau pergi. Aku tidak bisa lama-lama di rumah. Petualangan memanggilku kembali."
Said mencoba melepaskan cengkraman Silan. Tetapi, Silan tetap mencoba menahan.
"Kau memberiku hadiah toko buku dan sihir naga?"
"Kukira kau tidak percaya. Ayah akan marah besar, jika aku tinggal dan meracunimu dongeng naga."
"Apa kau bertemu naga?" Silan mendesak. Said tidak pernah menceritakan petualangannya. Padahal, Silan sangat penasaran mendengar kisah tersebut.
"Lepaskan aku."
"Kau tidak boleh pergi." Silan memohon. "Kumaafkan kau karena membongkar kamarku."
"Aku tidak melakukan itu." Said sedikit kesal. "Roh buku yang mengatakannya."
"Said, garis darah kita bukan penyihir. Leluhur kita Debata." Silan mengingatkan dan Said mengerutkan bibirnya tidak suka.
"Lepaskan, saudariku. Inilah yang aku benci dari tradisi keluarga kita. Terkurung oleh garis darah. Kau seharusnya pergi ke Sekolah Adat. Menikmati kehidupan bersama teman-teman sebayamu dan berpetualangan bersama. Bukan menyelinap diam-diam untuk mengintip petualangan."
Kalimat Said menohok. Silan perlahan melepaskan tangannya dari lengan Said. Tatapannya terluka, satu-satu petualangan yang bisa membawa Silan keluar rumah tanpa dimarahi adalah dengan membaca buku fiksi. Tetapi, buku-buku bukan sesuatu yang disukai Alo Ongirwalu.
"Saudariku," ujar Said lebih lembut. Mata Silan berkaca-kaca. "Aku tidak bisa pulang lagi setelah ini. Ini kunjungan terakhirku di rumah. Ada seseorang yang sudah menjadi rumahku di luar."
"Siapa gadis tidak beruntung itu?" cibir Silan dan Said tertawa mendengarnya.
"Kau tahu, aku punya banyak hubungan dengan mereka." Said kembali menggoda Silan. Setengah memperdaya. "Tapi, aku serius tentang roh buku."
"Apa ini masalah dan temanmu?" tebak Silan.
"Ya, aku kena sesuatu hingga mendapatkan berkah roh buku. Kau sangat mengenalku, Saudariku. Aku tidak terlalu menyukai dongeng. Jika kau bersedia menerima toko bukuku, kau akan mendapatkan berkat roh buku."
"Kedengarannya seperti kutukan."
"Tidak, bukan kutukan." Said bersandar di balik daun pintu dengan tangan terlipat di dada. "Ini berkah yang kudapatkan karena memiliki toko buku. Masalahnya, aku tidak punya kenalan yang mencintai buku seperti saudara perempuanku. Aku tidak bisa menjalankan bisnis ini. Aku tidak bisa menjualnya. Kecuali seseorang mau menerima tawaran dengan kemauannya sendiri."
Silan menatap Said penuh selidik. Jelas, dia masih belum sepenuhnya mempercayai hal tersebut.
"Itu toko buku dengan sihir naga, Saudariku. Toko buku yang mampu membuatmu membangun kerajaan buku dan perpustakaanmu. Toko buku itu memiliki kenop ajaib yang dapat menghubungkannya dengan tempat mana pun. Jadi, kau praktis bisa menyelinap."
"Ayah tidak akan suka."
"Dia memang tidak suka. Jadi, kau mau atau tidak? Kau mau terkurung di tempat ini seumur hidup? Kau akan lebih terkurung, saat menjadi istri seorang pria yang tidak kau cintai akibat perjodohan."
"Apa itu alasannya kau kabur? Kau tidak ingin dijodohkan dan menjadi penerus keluarga."
Sudut bibir Said tertarik tipis. Dia tidak membantah atau membenarkan tuduhan tersebut. Tatapannya tersenyum pada Silan.
"Hampir tengah malam. Kuda Sembrani ku menunggu. Tentukan pilihanmu Silan. Terjebak di sini? Atau menjemput petualangan."
Silan tahu ini tawaran yang berarti. Sebagian hatinya menginginkan berpetualang bersama Said. Dia iri dan cemburu pada Said sebab dia bebas melakukan apa pun yang dia sukai. Menjelajah tempat-tempat baru yang tidak sebatas tertulis di halaman buku.
Namun, Silan tidak ingin lari dari tanggung jawabnya sebagai marga agung. Jika dia pergi, adik bungsunya justru yang akan memikul beban mereka berdua.
"Kal memiliki pilihannya," ujar Said seolah menebak isi pikiran Silan. "Dia menjadi anak penurut sampai sekarang karena dia belum mengatakan tujuan hidupnya. Ibu Kal mendukung penuh arah hidup Kal. Berbeda dengan kita, Saudariku. Ibu adalah gadis pilihan Moyang. Aku tidak ingin menjebak hidupku untuk menghabiskan waktu dengan gadis yang tidak kusukai. Jadi, bagaimana?"
"Kita anak durhaka, Said." Silan memberitahu. "Ibu akan sedih."
"Aku tahu. Sayangnya, pilihan di keluarga kita akan selalu saling menyakiti."
Silan menghela napas berat. Said memang menyebalkan, tapi di satu sisi dia bisa bertindak dari berandalan keluarga menjadi saudara yang berguna. Silan sedari dulu menginginkan kebebasan. Sekarang, Said menawarkan itu hari ini. Dan dia tahu hatinya menginginkannya.
"Aku mau, Said. Tapi, aku ingin restu ayah dan ibu."
"Tidak ku rekomendasikan." Wajah Said menjadi datar. "Kau tahu jawaban ayah. Jika kau membuatnya marah, dia akan membawa seorang pria datang meminangmu lebih cepat."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top