Chapter 6 - My Story
Raquel’s POV
Kutatap bangunan yang ada di depanku. Sebuah rumah tua yang terlihat tidak terurus selama bertahun-tahun. Sebuah bangunan yang dulunya harus kusebut rumah, tempat aku mendapat perlindungan. Hanya dengan melihatnya saja membuatku mual, seluruh kenangan yang ada membuat sekujur tubuhku gemetar. Suara tangis seseorang terngiang-ngiang di kepalaku.
***
“Ibu … di mana ibuku? Aku mau ibuku!” isakku.
“Raquel, sayang … tolong mengertilah. Ibumu sudah pergi. Dia sekarang sudah di tempat yang baik.”
“Mengapa dia tidak mengajakku? Ibu berjanji kepadaku akan selalu bersama! Ayah juga berkata seperti itu, ke mana mereka sekarang?!”
Aku menatap dua orang yang berdiri di hadapanku. Yang satu berjongkok agar tingginya sama denganku sebelum menggenggam pundakku. Sedangkan yang lainnya berdiri di belakang wanita yang berjongkok. Seperti memaksakan sebuah senyum. Tidak ada satu pun dari mereka yang menjawab pertanyaanku. Justru mereka hanya sibuk berbisik-bisik satu sama lainnya. Membicarakanku seakan-akan aku tidak ada di sana.
“Berapa umurnya?” tanya perempuan yang berdiri.
“Baru empat tahun. Dia akan umur lima di pertengahan tahun.”
“Masih sangat muda. Akan mudah mencarikannya rumah.”
Mereka menganggukkan kepala. “Raquel, mulai sekarang, kau akan tinggal bersama kami. Kau tidak perlu khawatir, nantinya kami akan banyak bermain bersamamu! Dan orangtuamu juga akan datang!”
“Mereka akan datang?”
Aku sangat yakin kalau saat itu mataku berbinar-binar seperti dijanjikan sebuah boneka beruang yang besar. Kedua orang itu mengangguk ke arahku dan mereka mengulurkan tangan mereka. Awalnya aku merasa ragu, tapi mengingat mereka akan membawaku kepada kedua orangtuaku, tentu aku mengesampingkan perasaan itu dan menggandeng tangan mereka.
Bersama-sama kami memasuki sebuah rumah yang cukup besar. Entah berapa jumlah orang yang bisa ditampung di sana. Ketika aku masuk, aku dapat melihat anak-anak lain yang seumuran denganku atau bahkan lebih tua. Mereka menatapku seperti singa yang kelaparan sehingga aku mundur untuk menjauhi mereka semua. Tempat ini menyeramkan!
“Anak-anak, perkenalkan teman baru kalian, Raquel Daniel Owen! Dia anak umur empat tahun, sebentar lagi akan lima tahun. Mohon bimbingan kalian!”
Beberapa anak yang jauh lebih tua terlihat bertepuk tangan. “Apa yang terjadi padanya? Dia masih sangat muda!” Perempuan yang menggandengku menatapku dengan tatapan yang tidak bisa kujelaskan.
“Orangtuanya mengalami kecelakaan, bersama dengannya. Tapi aku tidak yakin dia ingat kejadiannya. Lagi pula, dia terlihat baik-baik saja.”
“Apa dia akan segera mendapat orangtua baru?”
“Yang itu kami juga belum tau pasti.”
“Bagaimana dengan—”
“Sudah, sudah. Kita biarkan Raquel istirahat dulu, oke?”
Anak-anak lain mengangguk sebagai jawaban, beberapa dari mereka menjawab iya dengan suara yang kecil, seperti tidak setuju pertanyaan mereka ditolak. Kedua wanita itu menuntunku masuk lebih dalam lagi, memasuki lorong dengan pintu di kanan-kiriku. Beberapa pintu telah aku lewati hingga kami ke lantai dua. Salah satu dari perempuan itu jalan terlebih dahulu dan membuka pintu yang berhadapan dengan tangga.
Perempuan yang menggandengku membawaku ke pintu yang sudah terbuka lebar. Dengan langkah kecil, aku mengikutinya ke dalam untuk menemui beberapa kasur berada di dalam dengan sebuah dekorasi yang menakjubkan. Melihat bintang-bintang di dinding, aku segera melepas genggaman tangan perempuan itu dan berlari mendekati bintang-bintang itu. Menyentuhnya membawa kesenangan kepadaku.
“Stars!” seruku diselingi tawa kecil. “Stars in the sky!”
“Ah, iya, bintang ini khusus dari langit untuk anak-anak sepertimu. Di malam hari, bintang itu akan menyala, menemani malam gelap, menghalau para monsters.”
“Monsters!” seruku sambil bergidik. Apa monsters itu sedang memperhatikanku? “Di bawah kasur!”
“Tidak, tidak. Tidak ada monsters di bawah kasur. Para bintang sudah mengusirnya.” Ucapan perempuan itu membuatku menatap ke arah bintang itu lagi dan tersenyum lebar.
“Thank you, Mr. Star!”
Perempuan yang sedari tadi hanya diam dan menonton kami meletakkan sebuah tas yang dia bawa di sebuah kasur. Dia pun mendekatiku dan menggendongku tanpa memberi peringatan sehingga aku menjerit dan memberontak. Aku baru diam ketika dia membaringkanku di sebuah kasur yang terasa nyaman dan menyelimutiku. Tatapan yang dia berikan seperti seorang ibu menatap anaknya.
Hanya melihatnya seperti itu membuatku merasa tenang, selain bersama para bintang, tau bahwa orang ini—siapa pun dia—bersamaku membuatku juga merasa lebih tenang. Dia mengingatkanku akan ibu, membawa kehangatan seperti ibu juga. Tindakannya juga seperti ibu, menyelimutiku, mengusap kepalaku, dan mencium keningku sebelum tidur. Dia adalah ibu.
“Tidur yang nyenyak, Raquel sayang.” Dia mengecup keningku dan menyanyikan sebuah lagu yang membuat mataku tertutup.
***
“Raquel, kami akan mempertemukanmu pada orangtuamu, bagaimana? Apa kau merasa senang?”
“Ibu! Aku mau ibu!” kedua perempuan itu, yang ternyata adalah kakak adik, membawaku ke sebuah ruangan yang lain.
“Mereka sudah di sini!”
Pintu terbuka lebar dan menunjukkan dua orang, laki-laki dan perempuan, berada di sofa yang menatap ke arah pintu. Ketika pintu terbuka, dengan mudahnya aku dapat melihat siapa orang-orang itu, dan mereka bukanlah orangtuaku! Melihat mereka seperti melihat film horor, menyeramkan! Sontak aku berusaha kabur, tapi kedua kakak adik itu lebih cepat dari gerakanku.
Mereka menggendongku dan membawaku masuk ke dalam ruangan. Bahkan mereka membuatku dipangku dan posisi mereka memelukku dalam pangkuan agar aku tidak ke mana-mana. Sepanjang pembicaraan, aku hanya diam dan menatap lantai sebelum melihat rubik di meja. Aku berusaha menggapainya dan wanita yang mengaku ibuku menyadarinya sebelum mengambilkannya untukku.
Dengan malu-malu, aku mengambil rubik itu. “Terima kasih,” bisikku.
“Sama-sama.” Wanita itu memperhatikanku main rubik yang tak lama sudah selesai. Ini membuat semua orang di ruangan terkejut.
“Apa yang baru saja?”
“Dia menyelesaikan rubiknya dalam hitungan menit?” Laki-laki itu mengambil rubik dari tanganku sebelum mengacaukannya lagi. Dia mengeluarkan ponsel dan melakukan sesuatu sebelum memberikanku kembali rubiknya.
“Rubik sangat seru!” seruku sebelum mencocokkan warnanya. Semua orang terperangah melihat rubik yang sudah selesai.
“Apa mungkin … dia seorang genius?”
Selama orang-orang itu membicarakan sesuatu secara privasi, mereka memberiku sebuah buku yang berisikan angka-angka. Kakak beradik itu memberiku contoh bagiamana angka itu digunakan sebelum aku mengerjakannya sendiri dengan lancar. Lagi-lagi, semuanya terkejut melihatku menyelesaikan persoalan yang mereka berikan.
“Dia adalah sebuah keberuntungan untuk kita!”
“Benar! Dan kami akan mengadopsinya!”
“Apa kalian sudah menyediakan dokumennya?”
“Tentu sudah. Dia akan pulang ke rumah.”
Tidak pernah terbayang olehku kalau kata-kata tersebut justru membawa petaka kepadaku. Karena mereka tau aku adalah seorang genius, mereka memaksaku belajar setiap harinya. Tidak pernah sekali pun aku bermain dengan anak-anak di luar rumah. Mereka semua menterawakanku bahkan mengataiku. Mereka bilang bahwa aku aneh dan tidak seharusnya ada di sini, di dunia ini.
Di umurku delapan tahun, kedua orangtuaku membawaku ke sekolah yang berisikan anak-anak yang jauh lebih tinggi dariku. SMP, itulah namanya. Aku tau jenjang apa saja yang harus aku lewati, dan seharusnya sekarang aku masih berada di bangku SD. Anak-anak di kelas menghinaku dan berkata kalau aku tidak sepantasnya berada di sini. Kalau begitu, di mana aku seharusnya berada? Di mana aku bisa diterima?
“Raquel, saatnya makan malam!” Terdengar suara ibuku memanggilku, tapi aku hanya diam tidak bergeming. “Raquel? Cepat turun, Nak! Selagi supnya masih hangat!” Persetan dengan sup panas! Yang mereka pedulikan hanya nilaiku.
“Raquel?” Kali ini suara ayah menggema di seluruh ruangan. Aku duduk diam di meja dengan pensil di tangan dan buku latihan di hadapanku. “Ada apa, Sayang?”
“Siapa aku? Sebenarnya siapa aku?! Mengapa kalian mengadopsiku? Apa yang kalian inginkan dariku?!” Kulempar pensil yang kugenggam ke arah ayahku, dilanjuti dengan buku latihanku yang setengah rusak. Aku berdiri dengan kasar, membuat kursi yang kududuki jatuh dengan suara nyaring. “Siapa yang kau sayangi? Aku atau nilai yang aku dapatkan? Siapa?!”
“Raquel, apa yang terjadi padamu?”
Ruangan di mana aku seharusnya beristirahat dipenuhi rak-rak dengan buku tebal. Satu per satu aku ambil buku itu dan kulempar ke arah ayahku. Suara yang gaduh pasti penyebab ibu naik, karena tak lama dia datang dan menatapku, sebuah tatapan yang tidak pernah aku lihat dari ibu. Tatapan benci, jijik, amarah, dan dengki. Wajahnya memerah sebelum dia meledak.
“Raquel Daniel Owen! Apa yang kau pikirkan, hah? Kau meragukan rasa sayang kami hanya karena kau harus belajar? Dasar anak tidak tau diri!” Ibuku menamparku dengan keras, pastinya meninggalkan bekas.
“Sayang, jangan. Raquel pasti hanya stress. Tenanglah, oke?”
“Kita ke dokter, sekarang!”
“Apa?!” seru ayahku.
Ibuku tidak berkata apa-apa lagi sebelum mengambil jaketku dan memasangkannya untukku. Dia kemudian menarik tanganku dengan kasar sebelum berhenti di depan pintu rumah untuk memanggil ayah yang berlari-lari turun. Dengan itu, kami semua pergi ke rumah sakit dan ibuku memaksa untuk menemukanku pada psikiater atau semacamnya. Anak berumur delapan tahun ke psikiater!
Beberapa jam telah berlalu, dan rasanya mataku ingin menutup saja. Di saat bersamaan, aku teringat akan tugasku yang belum selesai. Ayah menyadari kepalaku yang terantuk-antuk dan segera memangkuku. Tak lama, aku sudah bermuara di dunia mimpi, di mana seluruh kebahagiaan masih ada. Mimpi, tempat aku melarikan diri dari kenyataan bahwa aku hidup di nereka.
Malam itu, semua terasa seperti sebuah kilat, berlalu dengan cepat. Di mobil, ayah dan ibu terdengar bertengkar dan dalam sekejap, ketika aku kembali membuka mataku, matahari mulai menyinari kamarku yang sudah kembali rapih. Terdengar ketukan pintu dan tak lama, ibuku masuk dengan sebuah senyuman. Tangannya membawa nampan yang terlihat penuh dengan makanan.
“Ah, aku sudah bangun? Sarapan terlebih dahulu lalu mandi, oke? Ibu sudah siapkan segalanya untukmu.” Ucapan ibu seperti bermaksud kalau aku tidak bisa membantah.
Setelah selesai makan dan mandi, aku turun dan melihat ayah di meja makan. “Raquel? Bagaimana perasaanmu? Tidurmu nyenyak?”
“Iya,” jawabku singkat. Ayah tidak berkata apa-apa lagi dan mengajakku ke mobil untuk berangkat.
“Nanti ibumu yang akan menjemput, oke?” Aku tidak menjawab ayahku hingga sampai di sekolah. “Sampai jumpa di rumah!”
Hal pertama yang menyapaku di sekolah bukanlah guru yang baru datang atau anak lain yang aku kenal cukup dekat. Tapi mereka, anak yang selalu menggangguku. Dia menganggap dirinya hebat dan selalu menyuruhku melakukan segala hal konyol hingga mengerjakan tugasnya. Hari ini pasti salah satunya.
“Nerd! Kerjain PR gua! Istirahat dua harus udah selesai!”
“Tapi kan ….”
“Nggak usah tapi-tapian!” serunya kesal seraya berjongkok di hadapanku. “Lu kan pinter, pake dong tuh otak buat mikir gimana lu bisa selesain tugasnya!” Anak itu mendorong-dorong kepalaku sepanjang berbicara.
“Tapi kau juga punya otak untuk berpikir!” ceplosku yang mendpat tamparan sebagai hadiah.
“Gak usah banyak mulut, anak rendahan! Tinggal kerjain tugas gua ribetnya setengah mampus!”
Anak itu segera meninggalkanku tanpa meminta maaf sekali pun. Pipiku terasa nyeri sehingga aku berlari ke kamar mandi untuk melihat sedikit darah keluar, pasti karena cincin yang dia gunakan. Kubasuh lukaku dan kutahan rasa sakitku. Ini masih tidak ada apa-apanya, aku mencoba untuk meyakinkan diriku sendiri. Bel masuk pun berbunyi sehingga aku mempercepat gerakanku.
Baru aku meletakkan tasku, guruku sudah datang sehingga tidak sempat aku mengerjakan atau melihat tugas yang diberikan oleh anak itu. Sepanjang pelajaran, aku melanjutkan tugasku yang ketinggalan semalam. Semua berlanjut hingga istirahat datang. Seperti biasa, aku tetap di kelas, mengeluarkan kotak makanku dan buku anak itu, mengerjakannya dengan cepat.
“Bocah!” panggil seseorang dari belakang. “Ngapain lu?”
Salah satu dari mereka menarik buku yang sedang aku kerjakan. “Ah, mau pamer lagi dia! Bocah ingusan, lu tuh harusnya masih SD, ngapain sih sok-sokan masuk SMP segala?”
“NIlaiku lebih baik darimu!” sergahku. “Harusnya kau yang masih di SD!”
Anak-anak yang menatapku sekarang mendorongku. Bahkan dari mereka ada yang merenggangkan jari jemari dan tubuh mereka. Anak laki-laki yang ada di kerumunan tiba-tiba saja menggenggam kerahku dan mengangkatku tinggi-tinggi. Aku mencoba untuk memberontak, tapi jelas mereka lebih kuat dariku. Air mata mulai membendung dan mengalir dengan bebas membasahi pipiku.
“Lihat, lihat! Dia menangis! Cengeng! Anak cengeng!” tawa mereka menggema bahkan membuat orang-orang di sekitarnya menghadap ke arah kami.
“Bocah, dengarkan kami! Kau tidak akan pernah bisa melawanku!” Anak yang menggenggamku itu menabrakkan tubuhku ke papan. Aku sudah mencoba menahannya, tapi aku tetap mengerang kesakitan. “Dasar anak lemah! Pulang saja kepada ibumu!”
“Oh, tunggu! Ibumu sudah tiada!” Semua anak yang di kelas tertawa dengan keras, bahkan anak yang lain, dia sudah kembali menggenggamku terbahak-bahak hingga melepaskan genggamannya.
Melihat kesempatan ini, aku berlari kabur keluar dari ruang kelas. Menabrak setiap anak yang berada di hadapanku karena air mataku yang terus membanjiri wajah. Samar-samar aku mendengar hinaan yang mereka ucapkan. Kata-kata tersebut terus mengulang di pikiranku. Hentikan! Tolong hentikan! Seseorang tolong hentikan semua pemikiran ini!
Semenjak hari itu, semua berubah. Bahkan ayah dan ibu mulai bersikap dingin kepadaku. Ditambah dengan pukulan yang mereka berikan ketika aku mendapat nilai yang jelek. Hidupku sudah hancur. Tidak ada lagi kebahagiaan yang kurasakan. Aku sendiri, tidak akan ada yang bisa menyelamatkanku. Aku telah tenggelam dalam lautan yang tiada akhir.
“Kita bisa mengembalikannya ke sana!”
“Setelah lima tahun? Yang benar saja! Apa alasan kita mengembalikannya?”
“Bilang saja kalau dia ….” Hal itulah yang terakhir aku dengar sebelum aku kembali ke kamar dan menguncinya. Tanpa diperintahkan, aku mengambil barang-barangku dan memasukkannya ke dalam tas. Aku tau apa yang akan mereka lakukan.
“Raquel, apa kita bisa berbicara?” Ayah mengetuk pintu kamarku.
“Kapan aku akan kembali ke panti? Aku sudah mengambil barang-barangku yang penting. Aku meninggalkan beberapa.”
“Lancang sekali!”
Ayah langsung menamparku sehingga aku menatap lantai. Aku sama sekali tidak ada niatan untuk kembali menatapnya. Lagi-lagi air mata sudah menggenang. Mengapa aku lemah sekali? Mengapa aku tidak bisa menjadi kuat seperti anak lain? Kenapa aku harus menjadi anak cengeng? Tidak ada yang suka dengan anak yang cengeng. Tidak ada yang suka dengan anak lemah sepertiku.
“Besok pagi kau akan pulang.”
***
“Nona Owen?” Sebuah tangan menyentuh pundakku sehingga aku terlonjak.
“Astaga!”
“M-maaf. Hari semakin gelap, kita harus segera pulang.”
Kuanggukkan kepalaku dan kuusap air mata yang tidak aku ketahui sudah turun. Semua kenangan itu buyar setelah aku memfokuskan diriku. Untuk terakhir kalinya, aku menatap rumah di hadapanku, rumah panti aku tinggal selama beberapa bulan, rumah yang hanya berjarak beberapa blok dari rumah terkutuk itu. Rumah yang mengubah kehidupanku.
Menarik napas panjang, aku segera berjalan menuju mobil yang pintunya sudah dibukakan untukku. Tidak sanggup lagi aku berada terlalu lama di rumah itu. Semakin lama hanya semakin pahit. Mengingatkanku akan sebuah kenangan terlarang. Kukeluarkan kalung yang kumasukkan, ditutupi oleh seragam, sebuah hati yang hanya ada setengah.
“Terima kasih atas segala yang telah kau ajarkan padaku. Tapi aku tetap membenci keberadaanmu. Selamat tinggal,” bisikku ketika mobil melaju meninggalkan kawasan sepi di sore hari.
🌻✨🌻
(20/01/2021)
Kalo masih ada yang bingung, ini ceritanya flashback ke masa lalunya si Raquel, di mana dia kehilangan orangtuanya dalam kecelakaan dan dia masuk panti asuhan untuk nyari orangtua baru buat dia.
Semoga suka chapter ini! Jangan lupa tinggalkan vomments kalian sebagai bentuk dukungan ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top