Chapter 17 - I'm (Not) Okay

Olivia’s POV

Hal apa yang paling aku benci selain harus berada di rumah sepanjang liburan berlangsung? Jawabannya mudah. Hari pertama sekolah. Aku sama sekali tidak bersemangat mengingat kalau aku harus masuk. Daniel bahkan harus mengancamku terlebih dahulu, karena aku sudah tidak boleh ikut ekstrakulikuler, dia tidak mau melatihku secara pribadi lagi.

Sehari sebelum sekolah kuhabiskan dengan melatih tinjuku. Bahkan buku-buku jariku mulai berdarah, tapi aku sama sekali tidak masalah dengan itu. Samuel juga tidak memarahai atau memperingatiku. Layaknya orang yang tidak peduli. Well, dia memang tidak peduli, tapi seperti ingin berkata kalau aku sudah mengerti tentang basic dan lain-lain. Tidak seharusnya aku memaksakan diriku jika sudah mencapai limit.

“Besok masuk?” Pertanyaan Samuel hanya kujawab dengan anggukkan. Setelah kejadian itu, aku dan Samuel tidak banyak bicara, lebih parah dari sebelumnya. “Udah diberesin semua?”

“Udah diurus.” Samuel terdiam dan memainkan jarinya.

“Lu masih deket sama si Rachelle-Rachelle itu?”

Pertanyaannya itu seperti menusukku. “Nggak. Gua ngantuk, jangan ganggu.”

Satu-satunya cara untuk mengalihkan pembicaraan ini dengan kabur dari hadapannya. Lagipula waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh, di mana banyak yang sudah tidur, tapi tidak denganku. Mengingat besok aku akan masuk membuatku mual, mengganggu tidurku. Semua tatapan anak-anak itu, dan juga ucapan serta gosip yang mereka lontarkan dari mulut ke mulut. Itu semua menggangguku. Tidak, aku tidak siap dengan semua itu.

Apa aku bisa selamat? Semua yang dikatakan mereka adalah sebuah kebenaran. Tidak, aku sama sekali tidak kuat. Aku memang sampah, aku membunuh ibuku sendiri. semua orang membenciku, aku tidak pantas dicintai siapa pun, semua orang berhak merasa jijik dan membenci diriku. Semua perlakukan mereka itu, aku pantas untuk mendapatkannya, terlebih perlakuan dari Samuel.

Usahaku untuk tidur itu hanya sia-sia. Yang kulakukan hanya berbaring di atas kasur selama berjam-jam menatap kekosongan yang ada di hadapanku. Tubuhku kubungkus dengan selimut dan meski mataku sudah menutup rapat, semua yang kulihat hanya kejadian saat itu. Semuanya menghantuiku seperti ingin berkata kalau aku harus mengingatnya, membayar semua tindakanku.

***

“Hua, gua males banget! Belom siap ujian!”

“Gua juga! Moga aja sih gua bisa lulus dengan nilai baik.” Celotehan anak-anak terdengar di lorong begitu aku masuk ke dalam gedung sekolah.

“Eh, eh, liat tuh, si Olivia.”

“Kenapa ya dia nggak langsung keluar aja? Kalo gua jadi dia, pasti gua bakal berenti dari lama.”

Hentikan! Tolong hentikan! Hanya satu hari saja, tidak bisakah mereka membiarkanku sehari saja? Kenapa aku? Kenapa tidak yang lain? Apa salahku kepada mereka yang membuat mereka begitu benci kepadaku? Kenapa mereka memperlakukanku berbeda? Memangnya apa yang salah dariku? Kenapa? Kenapa, kenapa harus aku? Kumohon, hari ini saja, hentikan semua omong kosong itu.

“Tatapannya sok galak gitu.”

“Makin hari dia makin caper gak, sih? Liat tuh luka-lukanya.”

“Jangan-jangan dia abis bunuh orang lagi?”

“Ih! Serem banget! Jangan gitu lah!”

Sebuah helaan napas keluar begitu saja lewat bibirku. “Udah puas? Puas ngomongin gua?! Puas ngatain gua?!”
Tanganku terasa bergerak sendiri sehingga menonjok loker yang ada di samping anak-anak itu. Kutahan rasa perih yang muncul agar mereka tidak mencari-cari kesalahanku lagi. Yang kulakukan ini berhasil membuat mereka merasa takut sehingga satu per satu mereka pergi dengan berbisik-bisik satu sama lain. Anak lain yang juga menonton mengalihkan pandangan ketika kutatap.

Kulanjutkan perjalananku menuju lokerku yang tidak jauh dari tempat tadi aku mengamuk. Begitu aku membuka lokerku, kutatap tangan kananku yang sekarang sudah lecet dan juga penuh darah. Tidak seperti Samuel yang takut melihat darah, melihat darahku sendiri justru terasa menenangkan bagiku. Seperti semua akan baik-baik saja dengan ini.

Darah yang keluar dariku selalu menandakan kalau aku masih hidup. Haruskah aku merasa bersyukur? Atau haruskah aku merasa ini adalah sebuah kutukan? Setiap luka yang aku dapatkan tidak pernah aku rawat, bukan karena aku berharap ada yang menyadarinya, tapi menurutku akan sia-sia. Rasa sakit yang kurasakan itu selalu membuatku tenang. Pun, tanpa merawatnya luka itu akan sembuh dengan sendirinya.

Semua pelajaran hari itu aku sama sekali tidak bisa fokus. Mungkin karena rasa kelelahanku yang membuat diri ini tidak bisa mengikuti pelajaran. Kepalaku terasa berat dan mataku juga sama. Bisikkan anak-anak masih dapat terdengar, membuatku merasa mual tanpa sebab. Tidak! Aku baik-baik saja! Tidak ada masalah yang terjadi kepadaku, semuanya akan baik-baik saja.

“Carter!” Panggilan guru membuatku tersentak kaget. Seluruh anak kelas langsung menatapku dengan tatapan menghakimi. “Tolong perhatikan pelajaran dengan baik!”

“Maafkan saya.” Kutundukkan kepala karena tidak tahan dengan semua tatapan yang diberikan oleh anak kelas.

“Jika kau terlihat bermalas-malasan lagi, saya tidak akan segan melaporkanmu!”

“Saya mengerti.”

Guruku menggerutu selama beberapa saat sebelum dia kembali fokus mengajar. Ketika istirahat datang, aku sama sekali tidak ada niat untuk keluar kelas. Keluar kelas memungkinkan diriku bertemu Rachelle. Dia dengan gilanya bahkan mencari tau rumahku. Untung aku menyadarinya dan dia sudah terlalu sibuk dengan urusannya itu. Memang aku merasa sedikit penasaran, tapi aku tidak mau cari gara-gara dengan Samuel.

Kepalaku diletakkan di atas meja dengan beralaskan lenganku. Di bawahnya sudah terdapat beberapa buku yang tebal. Sepanjang liburan, ayah hanya memaksaku untuk mengerjakan soal-soal. Sekarang, melihat semua pertanyaan, rumus dan lainnya berhasil membuatku merasa pening. Ketenanganku diganggu oleh orang yang berani menepuk-nepuk pundakku pelan. Kutatap tajam orang yang berani melakukannya.

“Ma-maapin gua! Ta-tapi ada yang ca-cariin lu,” gagap anak yang menghindari tatapanku. Seseorang mencariku? Rachelle? Raquel? Rena?

“Siapa?”

“D-dia kakel. Nggak bilang siapa, tapi katanya kalian deket.”

“Hah? Deket?” celetukku tidak sengaja. Anak itu mengangguk masih menatap ke bawah. “Thanks.”

Kusadari dia berjengit ketika aku bangkit berdiri, membuat suara kursi menggema di kelas yang hampir kosong. Beberapa anak sudah terlihat memperhatikan kami, tapi kuabaikan semua pandangan mereka dan pergi keluar dari kelas, melupakan rasa pusing yang menghantam kepalaku. Rasa mual yang awalnya sudah tenang kembali lagi, memperburuk keadaan yang ada.

Perjalananku menuju kantin, tempat di mana katanya orang tersebut menungguku, terasa lebih panjang dan jauh hari ini. Cara jalanku yang gontai menarik perhatian banyak anak, tapi tidak ada dari mereka yang mendekatiku untuk bertanya apa aku baik-baik saja atau tidak. Mengapa satu orang saja terasa sulit untuk ini? Padahal, aku saja tidak pernah berbuat jahat kepada mereka.

Langkahku terhenti ketika aku melihat siapa yang sebenarnya mencariku. Pada saat seperti ini, aku sungguh berharap kalau Rachelle, atau bahkan Rena akan lebih baik lagi. Stephanie berdiri di antara kerumunan yang ada, membuat perhatian beberapa anak terpaku padanya. Tubuhku yang semula terasa berat semakin sulit digerakkan, tapi aku tidak punya pilihan lain.

“Oh, Liv,” sapa Stephanie dengan senyum khasnya yang bagiku terlihat menyeramkan. “Dateng juga toh, gua kira nggak bakal dateng.”

“Kenapa?” Stephanie terkekeh mendengar balasanku.

“Gak papa sih, kan biasanya lu pengecut.” Stephanie menatap sekitarnya dan tersenyum kepada beberapa anak. “Mau tau kenapa gua ajak lu ngomong lagi?”

Ucapannya itu membuatku tersentak. Tentu aku tau apa yang dia maksud, alasan kedatangannya dan mengapa dia bisa berada di sini. Satu-satunya alasan dia datang ke sini pasti karena itu. Hal yang lupa kulakukan selama liburan berlangsung. Aku merasakan darahku beku karena takut. Tubuhku tidak dapat bergerak dan rasa mual yang kurasakan semakin parah.

Lagi-lagi Stephanie terkekeh. “Bagainana? baru ingat sekarang? Ah … as expected from you, a failure.”

“Gua juga udah usaha!”

“Usaha dari mana? Yang gua liat vuma lu cari gara-gara bareng Carla, Kiara sama Gina. nggak puas juga sama bayaran gua?”

Tubuhku gemetar ketika mendengarnya berucap seperti itu. Gemetar yang kurasakan bukan tanpa alasan, tapi terasa asing bagiku. Merasa takut akan Stephanie sudah biasa, tapi kalau sampai aku gemetar … apa yang sebenarnya terjadi kepadaku? Di depannya aku tidak boleh terlihat lemah. Jika dia menyadari kondisi ini, dia tidak akan membiarkanku tenang.

“Dua bulan, itu waktumu. Kau pasti sudah merencanakan sesuatu, lakukan setengahnya dan hancurkan semuanya.”

“Gak,” jawabku dengan kepala tertunduk. “Gua gak bakal dengerin kata-kata lu. Emangnya lu siapa yang bisa ngatur gua?”

Kutatap Stephanie dnegan tajam sebelum aku berjalan pergi. Setelah beberapa langkah, jalanku menjadi sempoyongan, bahkan kepalaku terasa berat. Kedua tanganku gemetar cukup hebat. Diikuti pula oleh tubuhku yang merasa menggigil. Seseorang menabrakku dari belakang dan dengan begitu saja aku langsung terjatuh.

Biasanya aku akan menatap tajam orang-orang yang menjadi pelaku, namun kali ini tidak. Justru kutundukkan kepala dan kukepalkan kedua tanganku. Bekas luka karena hari itu masih tercetak rapih, tidak ada tanda-tanda akan menghilang dalam waktu dekat. Anak-anak yang mendorongkku itu berbisik-bisik sebelum pergi tanpa mengucapkan apa-apa lagi, bahkan tidak meminta maaf.

“Dasar gadis bodoh! Mengapa juga harus lemah di hadapan dia?! Sialan! Sungguh sial!”

“Orang bilang kalo ngomong sendiri itu artinya gila … jadi Olivia Carter selama ini orang gila?”

Suara khas Carla membuatku terburu-buru bangkit dari posisi. “Orang yang ngomong sendiri itu orang pinter dan kreatif, gak kayak lu yang cuma bisa julid aja.” Sesuai sasaran, wajah Carla langsung memerah.

“Apa lu bilang?” Carla langsung merangsek maju, siap menyerangku. Walau tubuhku gemetar cukup hebat, kontrolku masih terbilang bagus.

Kusambut tangan Carla dan langsung memelintirnya. Jeritannya menggema di lorong, mengundang banyak anak datang kepada kami. Bagi sebagian anak, melihat kami bertengkar bukan hal yang aneh. Tidak ada yang repot memisahkan kami. Melihat kondisi yang ada, aku juga tidak melihat untungnya terus seperti ini sehingga ku dorong Carla menjauh.

“Berterima kasihlah sama gua!”

“Sialan!” rutuknya kepadaku yang tak kuindahkan.

Perjalanan kembali menuju kelas terasa seperti neraka. Anak-anak yang berbisik-bisik satu sama lain melihatku. Pandangan yang tidak pernah berubah. Kapan ini semua akan berakhir? Apa semuanya akan berakhir kalau aku sudah tiada? Samuel tidak akan kesulitan, ayah tidak akan ada beban … dan anak sekolah tidak akan merindukanku.

Sepulangnya aku dari sekolah, Samuel tidak terlihat di mana pun. Aku mengambil buah yang ada di kulkas dan masuk ke dalam kamar, tidak lupa menguncinya. Kurebahkan tubuh di atas kasur, masih mengenakan seragam hari ini. Benar, sehari ini aku sudah berhasil menghindari Rachelle dan juga Raquel. Aku juga pasti bisa menghindarinya di hari-hari berikut.

Malam itu aku terlelap dengan tenang, untuk pertama kalinya dalam minggu ini, setelah malam yang penuh dengan cobaan. Paginya memang aku terbangun dengan tidak enak. Samuel menggedor-gedor pintu kamarku, seperti ada kekacauan di luar sana. Kepalaku yang semula pusing terasa semakin sakit karena teriakan Samuel. Tidak ingin membuatnya semakin marah, akhirnya aku membuka pintu dengan kasar dan menatapnya tajam.

“Buruan man—kok lu pucet? Sakit?”

Tangan Samuel yang sudah menggapai ke arahku langsung kutepis. “Nggak. Nggak usah sok ikut campur. Dan gak usah sok peduli. Jijik gua liatnya.”

“Olivia!” bentak Samuel yang memperhatikanku keluar melewatinya. “Gua kakak lu! Gua berhak buat khawatir sama adek gua!”

“Sejak kapan lu akuin gua jadi adek lu? Sejak kapan gua bagian dari keluarga ini, hah?! Bilang ke gua! Kapan?”

Samuel terdiam mendengar teriakanku. Bagaimana tidak? Semua yang kuucapkan itu ada benarnya. Diam artinya dia setuju dan memang menyadari semua hal yang selama ini dia lakukan kepadaku. Reaksinya membuatku mendengus kesal. Memang penyesalan akan datang di akhir, tapi terkadang setelah menyadarinya pun mereka akan tetap sama sikapnya. Seperti Samuel, dia mungkin menyesal sekarang, tapi dia tidak pernah berubah.

Hari itu aku datang ke sekolah lebih pagi dari biasanya. Karena alasan apa? Mudah. Karena aku mencoba untuk menjauhi Samuel. Kalau bisa aku tidak mau berada dekat dengannya dalam waktu yang lama. Entah apa reaksinya kalau dia tau aku menghindarinya seperti ini. Terlebih saat ayah tidak akan berada di rumah dalam beberapa hari ini.

“Liat tuh! Kayak zombie jalan!”

“Caper banget sih jadi anak! Gua gak tau mesti kasian ato nggak sama mamanya. Anaknya malah kayak gini.”

“Kalo mamanya masih idup, jangan-jangan malah dia lagi yang dibunuh? Dia aja gak takut liat darah, gimana mamanya?”

“Jadi selama ini dia nurun dari mamanya? Gila!”

Mendengar semua orang membicarakan yang buruk soal ibuku tentu membuatku kesal. “Gak usah banyak bacot! Emang siapa lu yang bisa ngomongin keluarga gua?! Lu gak kenal siapa ibu gua jadi gak usah banyak komen!” semprotku.

Teriakanku berhasil membuat semua anak yang di lorong terdiam, di saat yang bersamaan, berhasil membuatku merasa kesakitan, tanpa kusadari aku sudah mengernyitkan dahi untuk menahan rasa sakit. Merasa takut anak-anak itu akan sadar, kuputuskan untuk pergi dari lorong itu sekarang juga, menolak pergi ke kelas walau masih ada tugas yang harus kuselesaikan.

Kakiku membawaku ke tempat berkumpul dengan Rachelle dan Raquel. Aku tidak tau harus merasa bahagia atau tidak, aku ingin ada seseorang yang peduli kepadaku, tapi aku tidak boleh ketahuan oleh mereka. Stephanie dapat melakukan segalanya, aku tidak bisa mengambil risiko lain dan justru membahayakan orang lain. Sudah cukup aku membahayakan keluargaku sendiri.

Tepat ketika aku duduk, rasanya aku kesulitan bernapas. Napasku menjadi sesak, setiap oksigen yang kuhirup terasa dingin dan menusuk paru-paru. Udara di sekitarku juga terasa lebih dingin dari biasanya. Meski terasa dingin, anehnya keringat mulai membasahi wajahku, perutku juga terasa seperti dikuras dan kepalaku terasa berat. Pandanganku juga mulai mengabur.

Sebelum pengelihatanku menjadi gelap, aku dapat melihat seseorang berlari ke arahku. “Liv! Olivia! Olivia Carter!”

“Si … apa?”

***

“Makan yang teratur dengan porsi yang cukup. Tidur yang berkualitas dan mengurangi beban pikiran, semua itu akan membantu.”

“Baik, terima kasih, Bu.” Mataku yang membuka langsung kembali menutup setelah melihat cahaya lampu yang menyorot. Tindakanku ini sepertinya disadari oleh siapa pun yang bersamaku. “Liv, gimana? Masih mual? Minum teh anget dulu, yuk!”

“Ha …?”

Suara itu anehnya terdengar asing di telingaku sehingga aku memaksakan untuk membuka mataku lagi. Memang suara yang kudengar terasa asing, tapi orang yang ada bersamaku jauh dari kata asing. Raquel berada bersamaku, hanya sendiri dan menatapku dengan khawatir. Ekspresi dinginnya berubah sama sekali, membuatku ragu ini benar Raquel.

Dia kembali mengulang pertanyannya yang belum kujawab dengan penolakan mentah-mentah. Raquel terlhat mengerti dan menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Dia menarik kursi dan duduk di sampingku, tidak mengatakan apa pun yang membuat suasana canggung. Rasa mual kembali muncul dan kali ini Raquel memaksaku untuk minum teh yang ada.

Baru sedikit aku meminum teh itu, tiba-tiba saja pintu UKS membuka dengan kasar, gelas yang kugenggam—dengan tangan gemetar—hampir terlepas dari tanganku. Raquel yang menyadari ini menatap tajam ke arah pendatang itu, atau lebih tepatnya Rachelle. Dia tersenyum meminta maaf sebelum aku didekati olehnya.

“Lu gak papa? Masih ada yang sakit? Badan lu anget banget. Udah makan?”

“Nggak,” jawabku singkat.

“Hm. Nggak ada lebam. Berarti papa lu nggak ada di rumah, kan? Lu nginep di rumah gua aja ya sampe baekan?”

🌻✨🌻
(13/03/2021)

New chapter!! Buat yang belum sadar, di sini aku mau nekenin satu hal, kalo Olivia itu punya depresi, meski dia nggak terbukti secara klinis memiliki depresi, tapi Olivia itu masih punya pemikiran untuk bunuh diri. "Apa semua akan baik-baik saja jika aku tiada?" Adalah salah satu point penting dari  pemikirannya, menandakan kalau dia nggak baik-baik aja. Sering orang ngira yg kyk gitu caper, mungkin dgn maraknya "aku depresi nih" membuat kebanyakan orang jadi ragu, siapa yg beneran depresi?

Anyway, hope you like this story sejauh ini!

Jangan lupa tinggalkan vomments kalian ya ^^

See you next update~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top