2. Tiga Sahabat

Enam tahun kemudian.

Gadis jangkung berambut cokelat sebahu itu berlari menembus kerimbunan hutan. Di sela-sela pepohonan, terlihat sosok mungil berbulu hitam berkelebat. Ia segera mengeluarkan pisaunya, tetapi ia kalah cepat. Sebuah panah meluncur berdesing di samping telinganya, tepat menancap di bahu kelinci hutan yang mereka kejar.

“Aku menang!” Seorang pemuda berambut pirang yang menyandang busur berseru di belakang gadis itu. “Kau terlalu lambat, Scarlet!”

“Tentu saja aku tidak bisa mengalahkanmu dalam berburu, Sean!” Gadis itu tertawa. “Namun, jangan berharap mengalahkanku dalam pertarungan jarak dekat!”

“Akan lebih bagus kalau kamu mau belajar memanah juga. Pisau lemparmu itu tidak terlalu efisien.” Sean Hawkins mengambil kelinci yang dipanahnya itu, lalu dengan hati-hati meletakkannya dalam keranjang. Nanti, hewan itu akan jadi makan malam untuk seisi rumahnya. Pemuda itu tersenyum membayangkan wajah girang adik-adiknya bila ia membawa kelinci itu pulang nanti.

“Bagaimana kalau kau duluan yang meningkatkan kemampuan pedangmu?” sahut Scarlet. “Panah memang bagus untuk serangan kejutan, tapi itu tidak akan menyelamatkanmu ketika para werewolf menerkammu.”

“Aku sedang berusaha.” Sean duduk bersandar di bawah sebuah pohon maple di tepi sungai. Scarlet mendekat, lalu duduk di sampingnya. Meski matahari sudah naik hampir di atas kepala mereka, rimbunnya dedaunan hutan menyerap sebagian besar panasnya. Bunyi gemericik air menemani mereka. Rumput hijau menghampar, jadi karpet alami yang mengalasi kedua muda-mudi itu.

“Fran akan menikah bulan depan, kalau kau belum tahu.” Scarlet mengalihkan topik pembicaraan. “Calon suaminya seorang peternak domba dari desa sebelah. Orang yang cukup baik, menurutku.”

Sean menoleh. Fran Brennan adalah kawan mereka juga, sekaligus satu-satunya pemburu werewolf perempuan di Desa Chartain selain Scarlet. Selain gadis itu, Scarlet tak punya kawan perempuan lain. Gadis-gadis seusianya sudah banyak yang merantau ke kota untuk mencari pekerjaan, atau menikah dan menjadi ibu rumah tangga. Tinggal Scarlet seorang yang masih setia berburu bersama para pemuda.

“Apa kau menyesal memilih jadi seorang pemburu?” Sean menoleh, mata hijaunya menatap Scarlet lekat-lekat. “Maksudku, kau jadi tidak bisa pergi berbelanja, berkencan, dan berdandan seperti gadis-gadis lain. Setiap hari kau harus berlatih, berpatroli, dan berkumpul bersama para lelaki.”

“Wah, dan kukira kau sudah mengenalku sejak usiaku empat tahun!” seru Scarlet. “Tidak, tentu saja tidak, Sean. Hanya saja, kau tentu tahu bagaimana semua orang di Chartain mengenalku sebagai Sang Pembunuh Werewolf. Sejak kejadian enam tahun lalu, mereka mengharapkan agar aku melakukan sesuatu yang spesial. Terkadang aku bertanya-tanya apa jadinya jika aku tidak pergi ke rumah nenekku hari itu. Mungkin sekarang aku akan menjalani hidupku sebagai seorang gadis desa biasa yang tidak menonjol, sambil menunggu seseorang datang melamarku.”

“Ah, begitu rupanya.” Sean mengangguk-angguk tanda menyimak. Sengaja tidak diberikannya tanggapan panjang, kalau-kalau Scarlet masih ingin melanjutkan curhatnya. Pemuda itu sudah berteman dengan Scarlet semenjak keduanya masih sangat kecil. Ia tahu bahwa gadis itu bukanlah orang yang cengeng. Kalau ada sesuatu yang ingin diceritakannya, pastilah itu sesuatu yang sangat mengganggunya.

“Sejujurnya aku hanya ingin melupakan malam itu,” lanjut Scarlet. “Tapi, sisi lain dari diriku mengatakan bahwa aku harus menghabisi para werewolf itu sampai punah. Aku tidak ingin ada anak-anak lain yang mengalami hal yang sama sepertiku. Mereka percaya padaku, Sean. Teman-teman dan senior-senior kita di kesatuan pemburu, termasuk Seneca. Terutama Seneca, kurasa.” Scarlet menunduk. Jari jemarinya memainkan rerumputan.

Untuk beberapa saat, Sean menatap sahabatnya itu, sebelum akhirnya kembali bersandar dan menghela napas panjang. Pemuda itu tahu Scarlet adalah salah satu pemburu yang sangat dibanggakan Seneca. Pria itu benar-benar mewujudkan kata-katanya untuk menjadikan Scarlet seorang pemburu.

“Hei, Scarlet.” Sean berucap penuh arti. “Kau menyukai Seneca, bukan?”

“Oi, jangan ngawur!” Agak terlalu cepat Scarlet menjawab. “Kalau aku tidak salah menangkap maksudmu, sangkaanmu salah! Seneca sudah seperti kakakku sendiri. Semenjak hari itu, ia banyak membimbingku. Tentu aku memandangnya sebagai senior dan panutanku.” Scarlet segera berdiri. Matanya melebar penuh keterkejutan, wajahnya memerah. Beberapa kali dia mondar-mandir, sebelum akhirnya berbicara kembali.

“Ah, ngomong-ngomong, Sawyer lama sekali, ya? Ayo kita susul dia!” Masih ada nada salah tingkah dalam suara Scarlet waktu ia cepat-cepat mencari cara untuk menyudahi topik itu. Diambilnya tasnya, lalu segera ia melangkah pergi.

“Scarlet, tunggu!” Sambil menahan tawa, Sean buru-buru menyandang busurnya, lalu berlari-lari kecil menyusul gadis itu. Bersama, keduanya pergi menyusuri tepi sungai, terus ke arah Barat.

***

Seorang pemuda berusia sekitar delapan belas tahun mengendap-endap di balik semak-semak blueberry. Tidak ia pedulikan kerikil yang menggesek lengannya, serta daun dan ranting yang tersangkut di rambutnya. Dengan teropong kecilnya, pemuda itu memantau pergerakan di antara pepohonan. Tangan satunya menggenggam sebuah crossbow yang telah berisi panah, siap untuk ditembakkan. Sawyer Weston memanglah orang yang tekun. Berbeda dengan teman-teman seusianya, ia tidak segan-segan menunggu lama untuk mendapatkan buruan yang ia inginkan. Memang akan lebih cepat dan mudah baginya untuk menangkap hewan yang masih kecil dan lemah, tetapi ia tidak menginginkan hal itu. Baginya, hanya yang terbaiklah yang pantas untuknya.

Perhatian Sawyer terpecah oleh suara langkah yang datang dari belakangnya. Tanpa mengubah posisi ia melirik ke belakang, lalu mendesis pelan pada kedua temannya yang baru datang.

“Ssssh! Menunduk, cepat!” bisiknya. Scarlet dan Sean mengangguk. Tanpa suara, mereka menggabungkan diri di balik semak. Tidak lama setelah mereka mulai menunggu, binatang yang dikuntit Sawyer menampakkan diri. Seekor rusa jantan melangkah keluar dari balik pepohonan. Telinga dan matanya bergerak-gerak, waspada akan keadaaan sekelilingnya.

Perlahan, tangan kiri Sawyer bergerak meraih pelatuk crossbow miliknya. Dibidiknya rusa itu dari sela-sela semak. Ia menahan napas. Begitu rusa itu masuk dalam jangkauan bidikannya, segera ia tembakkan panah itu. Anak panah meluncur secepat kilat di udara, menembus leher rusa itu. Binatang itu jatuh ke tanah, bergerak-gerak sebentar sebelum akhirnya diam untuk selamanya.

“Berhasil!” Sawyer berseru gembira. Bersama kedua temannya, ia segera mendatangi hasil tangkapannya. Sebelah tangannya masih menenteng crossbow, sedangkan tangannya yang bebas menepiskan dedaunan kering dari rambut cokelat kemerahannya. Scarlet tidak bisa menahan diri untuk tidak mengagumi hasil tangkapan sahabatnya itu. Kelihatan jelas kalau rusa tersebut tadinya sedang berada pada masa jayanya. Postur tubuhnya besar dan gagah, kulit dan bulunya mulus. Sawyer berkacak pinggang, nyata sekali merasa bangga.

“Bagaimana, bagus kan? Sudah lama sekali aku tidak makan dendeng daging rusa.” Sawyer tersenyum lebar. Mata hazel-nya dipenuhi semangat, saat ia membayangkan masakan-masakan yang dapat dibuat, serta jaket baru yang bisa ia peroleh dari kulit rusa itu. Ia berpaling pada teman-temannya, kali ini dengan pandangan meminta tolong yang jenaka.

“Jadi, kalian pasti sudah bisa menebak apa masalah selanjutnya,” ujar Sawyer sambil menyeringai nakal. “Karena aku tidak menyangka akan mendapat tangkapan sebesar ini, aku tidak mempersiapkan apa-apa untuk membawanya pulang. Yah, jadi, bisa kalian tolong aku? Nanti, kuberikan paha belakangnya untuk kalian, masing-masing satu! Oke?”

“Ugh, baiklah,” sahut Sean pura-pura kesal. Scarlet mengacungkan jempol. Bersama, ketiganya membawa rusa itu ke tepi sungai, lalu menggantungnya pada dahan sebuah pohon yang menjorok ke sungai. Tangan Sawyer bergerak cekatan membuat irisan vertikal pada perut rusa itu. Beberapa saat kemudian, ketiga sahabat itu sudah sibuk menguliti dan membersihkan isi perut hewan itu. Saat mereka selesai, barulah mereka menyadari bahwa rona cahaya mentari telah berubah menjadi kemerahan. Melihat hal itu, Sean buru-buru mengelap tangannya pada kemeja, lalu mengeluarkan jam saku dari kantong celana.

“Oke, kita harus pulang sekarang. Sudah lewat pukul empat sore, dan kita masih harus bersiap untuk nanti malam!” seru Sean.

“Hm?” Sawyer memandang Sean seolah pemuda itu makhluk asing. Sesaat kemudian, ia menepuk dahinya sendiri. “Oh, maksudmu pertemuan pemburu! Ah, sialan, aku sama sekali lupa!” Pemuda itu buru-buru membereskan barang-barangnya.

Mereka memang harus kembali sebelum matahari terbenam seluruhnya. Untuk meminimalkan serangan werewolf dan hewan-hewan buas lainnya, seluruh desa di daerah pinggiran Kerajaan Sonneval membangun “benteng” mereka masing-masing dari kayu dan batu, lengkap dengan gerbang-gerbang yang ditutup setiap malam. Tak terkecuali Desa Chartain, desa petani yang sepenuhnya dikelilingi hutan, sekaligus rumah tercinta bagi ketiga pemuda itu.

Dari kejauhan, terlihat para penjaga gerbang melambai-lambaikan tangan dan meniup terompet, memanggil semua orang yang masih beraktivitas di hutan untuk kembali sebelum gerbang ditutup. Setengah berlari, ketiga sahabat itu pun bertolak kembali ke desa.

Bab 2 sudah update! Sekarang, kita berjumpa dengan Scarlet dewasa. Ia kira ia sudah menjumpai segala kejutan dalam hidupnya, tetapi malam hari ini akan menjadi malam yang tak terlupakan. Penasaran? Yuk, tunggu bab selanjutnya!

(。・ω・。)ノ♡

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top