Bujur Bumi 46 : Kembalilah, Nak.
"Mau sampai kapan kamu di sini, Nak? Sudah tiga hari kamu begini."
Achala tersentak, refleks menoleh ke arah sumber suara. Entah sejak kapan ibunya sudah duduk di belakangnya, sangking larut dalam lamunan wanita itu sungguh tak menyadarinya. Achala berbalik menghadap ibunya, duduk bersandar di kepala tempat tidur. Mengusap sudut matanya yang masih juga berair, wanita itu benar-benar sedang berada di titik gamang dalam hidupnya.
Setelah pertemuannya dengan Ummu Habibah beberapa jam yang lalu, Achala masih belum berani memutuskan untuk pulang ke rumah sang suami. Ia takut Affandra akan benar-benar muak dengannya. Bukannya menyelesaikan masalah mereka, Achala justru pergi begitu saja. Terlebih ucapan terakhirnya sebelum meninggalkan rumah, seolah menantang Affandra dengan perceraian dan kembali ke sang mantan. Akankah Affandra mau menerima Achala lagi?
Achala menarik napas panjang kemudian mengembuskannya lega. Ya, wanita itu setidaknya lega dengan apa yang terjadi dalam rumah tangganya. Setelah mengetahui sang suami adalah muhalil yang melakukan perjanjian agar dia bisa kembali ke Lintang, Achala benar-benar gamang dengan pernikahan yang hampir tiga tahun mereka jalani.
Achala memang bukan ahli agama, tetapi setidaknya ia mencari kebenaran hukum pernikahan mereka di mata agamanya, ia tak mau ibadah terpanjang mereka menjadi alasan Allah membencinya. Dan sekarang, ia bisa melonggarkan beban di dadanya setelah mengetahui bahwasanya pernikahan mereka tidak diharamkan di mata hukum agama Islam.
"Ibu bukan mau mengusir kamu. Bagaimanapun juga rumah ini, rumah kamu juga. Ibu yakin Affandra pasti nggak bermaksud begitu." Usapan dari tangan rimpuhnya bergerak di bahu dan lengan kanan Achala.
"Bu, Acha salah apa sama mereka, Bu? Sampai-sampai Acha harus nerima ini semua." Achala menunduk, remasan di ujung blouse yang ia kenakan semakin kencang.
"Sabar, ya, Nak. Semua sudah diatur yang maha kuasa. Ibu yakin kamu dan suami pasti bisa menyelesaikan, nggak baik meninggalkan suami lama-lama. Lagian kamu sudah tahu jawabannya, kan? Setelah ketemu dengan Ummu Habibah tadi?"
Achala mengangguk, membenarkan apa yang ibunya katakan. "Sekarang apa yang harus Acha lakuin, Bu? Acha takut Mas Affa terlanjur benci sama Acha."
Wanita 63 tahun itu tersenyum teduh, meraih tangan putri semata wayangnya. "Ibu yakin Affandra nggak benci kamu. Kemarin ... ibu banyak cerita dengan Affandra."
Achala mengangkat kepalanya, menelisik netra kecokelatan yang serupa dengan miliknya. Wanita yang telah melahirkannya itu tersenyum, benar-benar senyuman yang membuat Achala nyaman tiap kali melihatnya.
"Ibu nemuin Mas Affa? Kapan?"
"Affandra yang datang ke sini nemuin ibu dan ayahmu. Kemarin, waktu kamu udah pergi ngajar."
"Mas Affa bilang apa aja ke Ibu? Ayah nggak marah, kan, Bu?"
Tangan ibunya terulur, mengusap kepala putri kesayangannya. "Affandra cuma menjelaskan ini memang kesalahan dia, tapi jauh dari sebelum pernikahan sampai sekarang, dia tetap cinta kamu. Affandra juga minta maaf ke ayahmu. Ya, ayahmu juga legawa. Kembalilah, Nak. Affandra rindu kamu dan anaknya."
Menekan salivanya, sejujurnya untuk kata rindu. Ia pun sama, sangat merindukan suaminya itu. Jika dihitung-hitung, sudah satu minggu ia tidak bertemu langsung dengan suaminya dari kejadian sebelum Affandra berangkat ke Surabaya. Sekalinya bertemu menjemput sang suami di bandara, ia harus pulang ke rumah orang tuanya karena sebuah fakta yang menurutnya sangat mengejutkan.
"Sekarang Juang di mana, Bu?"
"Itu ada, lagi main sama kakeknya. Seneng banget mereka berdua. Apalagi kakeknya, kalo Juang belum pulang sekolah ditanyain terus jam berapa pulang, Juang kenapa belum pulang sekolah? Nanti Acha sama Juang ke sini lagi, kan? Bosen ibu," tutur sang ibunda mengadukan tingkah suaminya pada Achala.
Achala menarik senyum samar. Mungkin benar kata orang, setelah adanya cucu orang tua akan sedikit abai akan keberadaan kita. Di pikiran mereka hanya cucu ... cucu, dan cucu. Achala bangga pada kedua orang tuanya, meskipun status Juang anak sambungnya, tetapi baik Achala dan kedua orang tuanya tidak pernah mempermasalahkan hal itu.
"Bu, kira-kira Mas Affa mau nggak maafin Acha, ya. Omongan Acha udah jahat banget."
"Emangnya kamu ngomong apa, toh, Nak?"
"Acha bilang ... silakan urus perceraian biar Acha bisa balik ke Mas Lintang sesuai yang Mas Affa mau, tapi itu nggak serius, Bu. Acha cuma emosi aja." Achala bergerak gusar, meraih tangan sang bunda.
"Cangkem kamu itu, Cha ... Cha."
"Bu, kira-kira Mas Affa udah ngurus perceraian belum, ya?"
"Ya, mbuh. Terima sendiri nanti."
"Terima apa?"
"Surat cerai!"
Mata Achala membulat sempurna. "Bu! Ngomongnya, ya, mbok yang baik-baik, gitu."
"Mulut kamu juga nggak baik-baik ngomong sama suami."
Achala cemberut, sang ibu tertawa melihat putri kesayangan sudah sedikit lebih tenang dibandingkan dengan beberapa hari lalu pertama kali datang ke rumah, setidaknya wanita berdarah Jawa itu bisa memegang perkataan sang menantu, bahwasanya ia tidak akan menceraikan Achala, kecuali Achala sendiri yang menggugatnya.
"Ya, udah. Ibu mau lihat ayahmu dulu. Udah sore biasanya minta buatkan teh."
Ibunya Achala beranjak dan keluar dari ruang pribadi putrinya. Belum juga langkahnya melewati pintu kamar Achala, sosok kecil berlarian hampir menabrak tubuhnya.
"Jangan lari-lari, nanti nabrak nenek gimana?"
"Abang, jalan aja." Achala memperingatkan sang buah hati.
Bocah itu hanya menyengir, menampilkan deretan giginya yang kecil-kecil. Sang nenek pun gemas, mengusap kepala cucunya dengan sayang.
"Macha, abang boleh tinggal di sini sama kakek?" Juang bertanya sembari berbaring tengkurap bersandar di perut Achala, wajahnya mendongak menunggu sang mama memberi jawaban.
"Iya, kita masih tinggal di sini. Nanti tunggu papaf jemput baru pulang."
Anak itu mengulurkan tangannya ke wajah Achala. Telapak kecil itu menempel di kedua belah pipi Achala. Kepala Juang menggeleng ribut.
"Abang nggak mau pulang, Macha. Enak di sini sama kakek."
Menyingkirkan tangan Juang dari wajahnya, mengusap dahi sang putra yang berpeluh, Achala bertanya, "Habis main apa sama kakek? Sampe keringatan begini. Bentar lagi mandi, ya? Udah sore juga."
"Macha, boleh, ya? Abang di sini sama kakek, sama nenek. Abang nggak mau pulang."
Achala mengernyit, ada apa dengan putranya? Kenapa ngotot sekali ingin tinggal di sini. Sogokan apa yang ayahnya gunakan untuk Juang.
"Iya, boleh. Sekarang ambil ponsel Abang. Telepon papaf minta izin tinggal sama kakek."
Anak itu tersenyum lebar, gummy smile serupa sang ayah bisa Achala lihat. Juang turun dari ranjang, tungkai pendek itu terayun ke laci meja rias Achala. Mengambil ponsel pribadinya, Juang kembali menghampiri sang mama. Mengangsurkan benda canggih itu ke Achala, anak itu kembali bersandar manja di tubuh Achala.
Achala mencari id caller sang suami di ponsel anaknya. Ia melakukan panggilan. Nada terhubung masih terdengar, tetapi belum juga ada tanda panggilannya diangkat.
Mengulangi lagi menekan tanda hijau, dada Achala berdebar menantikan panggilan itu bersambut. Achala menahan napas sejenak saat suara berat di seberang sana masuk rungunya.
"Iya, Bang."
"Mas, ini aku."
"Iya, Sayang. Kalian butuh sesuatu? Kalian baik-baik aja, kan? Maafin, mas, ya. Mas emang salah. Jangan berpikiran macam-macam, ya."
Belum juga Achala berbicara, suaminya itu sudah lebih dulu buka suara panjang lebar, serta permintaan maaf.
"M-mas, besok bisa jemput kita? Kita mau pulang ke rumah." Suara Achala sedikit lirih.
"Jangan pulang!" Suara itu menggema kencang di kamar Achala.
Tanjung Enim, 06 November 2022
RinBee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top