Bab 23: Siapa yang Melupakan Siapa?

ANCHILLA lagi-lagi pulang mendapatkan kedua orang tuanya sedang bertengkar. Mbok Srimaya memberikan tatapan prihatin ketika membukakan pintu depan. Kedua alis perempuan usia tengah baya itu bertaut. Sebuah senyuman tipis menghiasi wajahnya yang lelah. Anchilla membalas senyuman itu. 

"Sudah makan, non?" Tanya Mbok dengan lembut. 

Anchilla mengangguk. Suara kedua orang tuanya semakin terdengar ketika Anchilla akhirnya memasuki rumah. Gadis itu menghela napas. 

Ia melihat jam tangannya. Waktu menunjukkan pukul enam sore. Sebenarnya Anchilla belum makan malam tetapi mendengar keributan yang ditimbulkan orang tuanya, ia sudah tidak berselera untuk makan.

"Kali ini mereka ngomongin apa lagi, Mbok?" Tanya Anchilla dengan lelah. Sudah dua minggu ini kedua orang tuanya secara tidak lazim berada di rumah menjelang maghrib. Namun bukannya melepas rindu, mereka justru bertengkar. Seakan mereka memang pulang dengan tujuan untuk beradu mulut. 

Anchilla memeriksa ponselnya. Masih tidak ada balasan apapun untuk pesan Anchilla yang meminta izin untuk menginap di apartemen Flo. Kedua orang tuanya tidak ada yang membalas. Apa mereka tahu Anchilla menginap malam itu? Apa kedua orang tuanya peduli?

Rasanya mereka lebih memedulikan pertengkaran di antara mereka daripada Anchilla ... Biasanya perseteruan mereka akan berlangsung hingga pukul delapan atau sembilan. Lalu salah satu dari mereka atau keduanya akan kembali ke rumah sakit untuk bertugas. 

Melihat Mbok Srimaya yang ragu untuk menjawab, perasaan Anchilla semakin tidak enak. 

"Mbok," panggil Anchilla dengan lembut. Gadis itu memastikan Mbok Srimaya menangkap tatapannya yang serius. "Tolong kasih tahu Anchilla, Mbok."

"Non...." Mbok Srimaya memijat buku-buku jemarinya berulang kali. "Sebaiknya Non masuk kamar saja. Kita tunggu saja ya, sampai Bapak dan Ibu emosinya reda."

Anchilla dapat menebak situasi dengan cepat. Gadis itu selalu pandai memprediksi kejadian sebelum hal itu benar-benar terjadi. Rangkaian kehidupan mengikuti pola-pola tertentu. Terkadang sporadik, terkadang begitu teratur. Tapi ketidakadaan sebuah pola adalah pola tersendiri. Dan Anchilla sudah dapat menilai pola-pola dinamika keluarganya. Mulai dari keheningan orang tuanya, pertengkaran yang tanpa ujung ini, lalu diamnya Mbok Srimaya. 

Tetapi memprediksi sebuah kejadian tidaklah sama dengan siap untuk menghadapi kejadian itu. 

"Hari ini kata perceraian keluar dari mulut mama dan papa ya, Mbok?" Tanya Anchilla. Suaranya tercekat di tenggorokan. Setengah kalimat ia ucapkan dengan suara tercekik. Pandangan matanya mulai mengabur. 

Mbok Srimaya tidak menjawab. Tetapi mata Mbok yang berlinang genangan air mata sudah merupakan jawaban untuk Anchilla. 

"Mungkin Non bisa bicara baik-baik dengan Bapak dan Ibu nanti–"

"Untuk apa, Mbok?" Suara tawa yang ketir keluar dari tenggorokan Anchilla. "Mama papa aja belum menanyakan kabar Anchilla selama sebulan ini."

"Itu ga bener, Non," kata Mbok Srimaya cepat, "Bapak dan Ibu nanyain keadaan kamu terus sama Mbok."

"Kalau gitu kenapa mereka ga bisa bicara sama Anchilla langsung?"

Anchilla tidak bisa menahan air matanya keluar. Dan Mbok Srimaya tidak memiliki kata-kata yang dapat menghibur Anchilla. 

Gadis itu akhirnya berlari menuju kamarnya yang berada di lantai satu. Ia membanting pintu kamarnya dengan keras, setengah berharap kedua orang tuanya akan mendengar lalu berusaha menghampirinya. 

Anchilla menunggu dan menunggu. Tetapi tidak ada tanda-tanda kedua orang tuanya akan datang. 

Di saat-saat seperti ini, ia tidak punya siapapun untuk menuangkan perasaannya kecuali para sahabatnya. Sejujurnya ia ingin menceritakan permasalahan keluarganya pada para sahabatnya sejak lama. Namun, kondisi persahabatan mereka yang berada di ambangnya selalu membuat Anchilla menunda pembicaraan itu. 

Kini, Anchilla merasa harus bercerita. Ia butuh dukungan sahabat-sahabatnya. Ia butuh bersandar pada pundak keempat gadis yang sudah bersamanya sejak awal masuk kuliah. Ia butuh gurauan garing Lizzie, atau kata-kata mutiara dari Flo, atau Meili yang selalu bisa membuat segala hal terkesan seksual tapi selalu mengundang tawa, atau Deandra yang selalu ekspresif. 

Ia butuh mereka sekarang.

Anchilla menyembunyikan dirinya di dalam kloset lemarinya agar suara kedua orang tuanya tidak begitu terdengar jelas. Ia mengeluarkan ponselnya dan membuka grup chat kelima sahabat itu. 


(18:17) Anchilla: Gais


Gadis itu menunggu beberapa menit hingga sudah ada tiga orang yang membaca pesannya. 


(18:19) Anchilla: Gue mau cerita

(18:19) Meili: Cerita apa, Chil?


Anchilla mulai menumpahkan segala perasaannya dalam bentuk ketikan. Kalimat demi kalimat ia ketik menggunakan layar ponselnya. Mengenai pertengkaran dan kemungkinan perceraian orang tuanya, juga mengenai perasaannya yang merindukan kebersamaan mereka. 

Ia tahu keempat sahabatnya bukanlah jawaban dari permasalahannya. Namun membicarakan masalahnya pada orang lain yang ia percayai adalah hal yang dibutuhkan Anchilla. 

Ia harus mengeluarkan perasaan ini. Perasaan yang menyesakkan dadanya ... sebelum dirinya hancur berkeping-keping. 

Dulu, Anchilla terbiasa sendiri. Terbiasa menghadapi segala sesuatu sendiri. Tapi kini ia memiliki para sahabatnya. Jadi–


(18:19) Lizzie: @Deandra are you having fun with Skye?

(18:20) Flo: Sejujurnya ya De, gue kecewa ama lu hari ini. Semua yang kita utarakan seakan masuk kuping kiri keluar kuping kanan aja di lu.


Anchilla berhenti mengetik. 


(18:20) Lizzie: Nih ya, bukannya judging atau gimana. Tapi kita kan baru aja curhat ke lu kalau efek samping santet ini tuh bener-bener memengaruhi kita. Bayangin Flo harus menjaga hubungannya, Meili yang kini ga bisa fokus dengan pendekatan Rangga, Anchilla dan gue juga sebenernya gamau suka sama Skye. Tapi mau ga mau, kita suka sama dia. Dan kita udah berusaha terus untuk menolak perasaan ini. Lu, out of all of us, harusnya tahu gimana susahnya berusaha menahan perasaan lu sendiri. Lu kan udah memendam rasa suka dari 3 tahun yang lalu. It's hard. Tapi kita lakuin yang terbaik buat lu. The least you could do to us is to appreciate our feeling too.

(18:21) Meili: Heii kenapa gue harus fokus ama pendekatan Rangga?? Asal kalian tahu aja ya, gue ama Rangga biasa aja. Sure, dia menyatakan ketertarikan, tapi hubungan kita masih undecided. Dan itu adalah hak kita untuk merintis hubungan kayak gimana.

(18:21) Meili: Tapi gue setuju ama Lizzie. #sorrynotsorry De. Lu bahkan literally dorong gue ke arah Rangga di mall waktu itu. Rasanya kayak gue diperjualbelikan tahu?


Mereka serius??!! Otak Anchilla menjadi kosong membaca pesan demi pesan yang dikirimkan oleh para sahabatnya. 


(18:22) Flo: Tindakan lu termasuk egois, tahu? Lu punya perhatiannya Skye sekarang, lu punya waktunya Skye sekarang. I don't care. Tapi pliss jangan lupain sahabat-sahabat lu juga dong! Inget, kita yang bersedia untuk dibenci Skye demi lu. 

(18:23) Flo: Kecuali lu sekarang berencana untuk bikin Skye benci ama lu ... Gue ga akan komplain sih kalo gitu ....

(18:23) Meili: Preach sistur @Flo

(18:23) Meili: 🙏🙏🙏

(18:24) Lizzie: WOI lah ... di sini kita curcol, ngomong panjang lebar. Tapi ujung-ujungnya apa? Deandra lagi bersenang-senang ama Skye. Lupa lah dia ama kita. 

(18:24) Lizzie: Skye >>>> sahabat 3 tahun

(18:25) Flo: RT (999)

(18:25) Meili: Ironi banget sih ....


Suara tertawa muncul dari mulut Anchilla. Semakin lama semakin keras diselingi tangisan yang masih menderu.

Ada tiga kata yang Anchilla lihat merupakan ironi terbesar di sini. Satu, kata egois. Mereka menuduh Deandra egois tapi lihatlah, tidakkah tindakan mereka yang juga mementingkan perasaan mereka sendiri adalah egois? Perasaan kecewa mereka begitu pentingnya hingga tidak terpikirkan oleh mereka bahwa ada satu sahabat mereka yang menderita sendirian. 

Dua, kata lupa. Siapa yang melupakan siapa di sini? Karena duduk di dalam kloset di kamarnya, bersembunyi dari peraduan suara kedua orang tuanya, Anchilla merasa dirinya adalah yang paling terlupakan. 

Kata terakhir yang menjadi ironi adalah kata ironi itu sendiri. Bukankah ini adalah gajah di dalam ruangan. Semua tindakan mereka adalah suatu karya ironi yang besar. 

Air mata Anchilla semakin membanjiri wajahnya. Ketiga sahabatnya itu terus menerus mengirimkan pesan mengutarakan perasaan mereka masing-masing. Tak lama pesan Anchilla di awal sudah tertimbun, terkubur ... rasanya Anchilla ingin mengikuti. Ia ingin mengubur dirinya di bawah tanah. 

Ia meremas bajunya sendiri, berusaha menghentikan perasaan sesak di dadanya. Isakannya semakin menjadi-jadi. Berbagai perasaan bergejolak dalam dirinya. Campuran amarah dan sedih. Yang pasti, ia merasakan frustrasi. 

Dan ia kecewa dengan para sahabatnya. Karena ternyata persahabatan mereka begitu gampangnya retak karena seorang pemuda. 

'Skye >>>> sahabat 3 tahun'? Tch. Kalimat itu berlaku untuk kalian semua!

Di tengah-tengah kesedihannya, suara kedua orang tuanya semakin terdengar. Anchilla dengan cepat menutup kedua telinganya. Tetapi suara-suara itu terus saja berdatangan. Ia membayangkan dirinya melebur menjadi bayangan, melebur dalam gelap. Rasanya seperti ada banyak tangan-tangan bayangan yang melilit tubuhnya, membawa dirinya semakin tenggelam dalam gelap. Dalam ketiadaan. 

Bukankah eksistensi seorang manusia dilandaskan dari orang-orang yang mengingatnya? Tanpa orang lain yang dapat memvalidasi keberadaan orang itu, orang itu akan dianggap tiada. Apalah arti keberadaan Anchilla bila orang tua dan para sahabatnya melupakan dirinya? 

Saat itu juga, Anchilla merasa dirinya semakin tiada. Hampa. Terkubur dalam kegelapan. Tangan-tangan itu mulai menutup hidung dan mulutnya. Begitu sesak, ia tidak bisa bernapas.

Anchilla memutuskan, ia tidak bisa terus diam. Ia takut bila ia diam saja, ia akan benar-benar menjadi tiada. Kegelapan itu akan menang atas dirinya.

Ia harus keluar. 



Sedih aku menulis chapter ini...

I miss you all crazy peeps <3

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top