1. Puisi dan Binder Kesayangan

Masa Putih Abu-abu ... Tempat berbagi canda, tawa juga air mata. Kenangannya takkan hilang terkikis jaman.

****

Aku mengetukkan pena dengan jenuh di atas meja. Seiring dengan irama detak bunyi jam yang terasa sangat lambat. Udara siang yang cukup terik membuat ruang kelas yang tak seberapa besar ini terasa menyesakkan.

Kembali aku menghela napas bosan. Satu tanganku sudah berulang kali memijat pelipis yang terus berdenyut menatap papan tulis yang hanya berjarak kurang dari dua meter di depanku. Barisan rumus fisika yang tertulis di atasnya sungguh membuat otakku nyaris terbakar.

Rumus rumit dan teori berbelit-belit yang baru saja dijelaskan guru Fisika sekaligus wali kelas, Pak Asep Iskandar benar-benar membuat isi kepalaku terbelit. Bisa jadi sudah berasap sekarang.

Diam-diam kubuka binder kesayanganku di balik buku pelajaran Fisika. Kutuliskan beberapa bait kata yang kuanggap sebagai puisi. Begitu asik sampai lupa tempatku berada sekarang.

"Yumi!!!"

Sentakan suara berat membuat jantungku nyaris melompat. Kepalaku langsung menoleh ke arah sumber suara dan kutemukan pandangan mata Pak Asep menatapku tajam.

"Lagi nulis apa kamu teh? Kenapa dari tadi tidak mendengarkan penjelasan Bapak?" tegur Beliau dengan logat Sundanya yang kental.

"Saya dengerin kok, Pak." Sedikit keki aku menyahut. Kutarik sudut bibirku sedikit untuk membentuk garis senyum lugu tanpa dosa.

"Ya sudah, sok atuh ditaruh pulpennya. Dengerin dulu penjelasan Bapak ya," kata Pak Asep lagi. Kali ini dengan nada sedikit lembut seperti sedang membujuk anak kecil. Eh, tapi masa aku disamakan dengan anak kecil sih?

"Iya, Pak!"

Aku memilih menurut kali ini. Pak Asep memang hampir tak pernah marah. Jadi aku tak ingin menjadi orang pertama yang membuatnya marah.

Kututup binder yang tadi kugunakan. Pandanganku kembali menelusuri tiap baris rumus yang sedang dituliskannya. Walaupun aku harus beberapa kali berjuang membuka kedua kelopak mataku yang entah kenapa selalu terasa berat di tiap jam pelajaran Fisika

"Ssttt ... Yumi, lu lagi nulis apaan sih? Serius amat!" Hera Sarita yang duduk tepat di belakang mencolek pundakku dan berbicara dengan suara berbisik.

"Nih!" Aku hanya menoleh sekilas sambil menyerahkan selembar kertas yang sempat menjadi fokusku tadi.

Dan akhirnya dering bel istirahat menyelamatkan otakku yang hampir terbakar ini. Jangan bicarakan Fisika denganku.

Dari dulu sampai sekarang tak ada satu pun rumus yang berhasil kuingat. Jangankan untuk dihapal, untuk dilihat pun rasanya malas sekali. Ditambah lagi dengan gurunya yang seperti Pak Asep. Seringkali sudah menulis rumus begitu panjang tapi ternyata salah urutan.

Mungkin karena otak para guru Fisika itu terlalu jenius bila dibandingkan dengan otak pas-pasan milikku yang rasanya setengahnya pun tak ada. Belum lagi seringnya aku kena tegur oleh Beliau seakan-akan hanya aku satu-satunya murid di kelas.

Aku meregangkan ke dua tanganku sambil menoleh ke belakang. Kulihat alis Hera mulai naik dengan kening berkerut-kerut. Tapi kemudian dia tersenyum.

"Kenapa lu, Her?" tanyaku heran.

"Mi, tulisan lu ini keren juga!" sahut Hera sumeringah saat Pak Asep sudah keluar kelas.

"Tulisan gue yang mana ya?"

"Aduh, dasar lemot. Lu kan tadi ngasih gue kertas yang ada puisinya. Gue suka kata-katanya," Hera pun mengembalikan kertas milikku.

"Oh ... yang ini. Gue lagi iseng aja nulisnya. Abis tadi bete banget sih!"

"Lu suka bikin puisi, ya?"

"Iya sih, kadang-kadang. Kalo lagi ada ide aja."

"Mi, ke kantin yuk!" Suara centil dan manja Risa Purwanty, teman sebangkuku menginterupsi percakapan kami.

"Iya-iya. Hera, gue duluan, ya!"

Aku pun mengikuti Risa berjalan melintasi lorong kelas menuju kantin sekolah yang kini telah penuh sesak. Hera dan Risa adalah temanku sejak awal masuk SMA. Kita jadi dekat karena satu kelas ketika duduk di kelas satu juga tergabung dalam ekskul yang sama yaitu Teater Langit.

Melihat kantin yang berjubel itu membuatku tak selera makan. Aku hanya membeli beberapa makanan ringan dan mengajak Risa segera kembali ke kelas.

Kepalaku baru selamat dari kebakaran otak. Takkan kubiarkan kembali berasap melihat kerumunan para siswa yang saling berebut di depan beberapa kios makanan.

Belum sampai di depan kelas, lebih tepatnya dekat ruang BK (Bimbingan Konseling) kami berhenti. Melongok sekilas ke dalam ruangan tersebut sebelum akhirnya bergabung bersama beberapa teman yang sudah lebih dulu duduk di sofa panjang ruang BK.

Bukan hal aneh kalau melihat banyak yang berkumpul di ruangan ini. Guru BK di sini adalah yang terbaik kami punya pokoknya. Ibu muda yang ramah dan gaul membuat kami semua betah berlama-lama mencurahkan apapun yang ingin kami bicarakan.

Entah sejak kapan ruangan ini jadi basecamp para murid kelas 2. Seperti saat ini, beberapa murid sedang asik curhat sedangkan sisanya asik bernyanyi sambil bermain gitar.

Aku dan Risa ikut duduk di sofa panjang di tengah para cowok yang sedang asik bercanda dan tertawa. Membuat kami sering kena teguran Bu Ida sang guru BK karena terlalu bising.

"Eh, Mi! Gue lagi deket sama cowok, tapi anak kuliahan. Kayaknya sih dia lagi PDKT (PenDeKaTan) gitu sama gue. Menurut lu gimana?" Risa mulai bercerita.

"Anak kuliahan? Cieee ... PDKT? Cieee ... Udah lama apa belom?" Aku menatapnya sambil menaik turunkan alis.

"Lumayan sih. Dia tuh orangnya dewasa banget. Baik sih, tapi kalo ngomong apalagi ngritik gue, pasti kata-katanya dalem banget. Gue akuin sih, kata-kata dia emang ada benernya juga."

"Nah, tuh lu ngerti. Kata gue sih cocok, soalnya dia bisa ngebimbing lu supaya nggak manja terus kayak gini. Lagipula dia bisa nasehatin orang keras kepala kayak lu biar tambah bener."

"Iiih ... kok lu jadi ikutan ngritik gue sih? Emang gue nggak pernah bener apa?" Risa mulai merajuk. Mendelik jengkel dengan bibir dimajukan lima senti alias manyun.

"Loh ... emang bener, kan? Emang salah ya kalo gue ngomong gitu?"

"Nggak sih. Tapi jangan mojokin gue gitu dong!"

"Loh, siapa yang mojokin. Yang penting mah sekarang lu ikutin aja kata hati lu. Terserah lu maunya kayak gimana. Kan lu yang jalanin. Lagian gue cuma bisa ngasih saran doang!"

"Iye ... iye ... Gue ngerti. Ya doain aja semoga emang jodoh."

"Eh BTW (By The Way) ... Rita sama Ira pada ke mana?" Aku baru tersadar dua sahabatku yang lain tak nampak batang hidungnya.

"Katanya lagi banyak PR. Jadi enggak keluar kelas."

"PR ya? YA AMPUN!!!" Aku langsung menepuk keningku histeris. Benar-benar lupa kalau belum membuat PR. "Gue belum ngerjain PR Matematika, Sa! Lu udah ngerjain belom? Gue lihat dong!" Dengan panik aku bergegas kembali ke kelas karena sebentar lagi bel masuk berbunyi.

"Sama, belum juga. Nyontek punya Hera aja yuks!" sahut Risa santai.

Kami berdua pun bergegas kembali ke kelas. Begitu mendekat ke meja Hera, aku melihat cewek itu sedang sibuk menulis sesuatu di bindernya. Di hadapannya terbuka lebar binder milikku yang sempat dipinjamnya tadi tepat di bagian kumpulan puisi yang kutulis.

"Ra, lagi ngapain lu?" tanyaku dengan suara sedikit nyaring dan membuat Hera yang terlalu asik hampir terlonjak karena kaget.

"Lagi bikin puisi. Gue jadi ngiler liat lu bikin puisi tadi. Mumpung gue lagi dapet ide nih."

"Ngiler? Lu kira puisi gue makanan apa? Kok tumben-tumbenan sih?"

"Gue suka pengen ngikut kalo ngeliat lu bikin puisi atau ngegambar. Gue jadi semangat," kata Hera bersemangat sambil mengangkat kedua tangannya yang terkepal.

"Dasar! Eh iya ... gue nyontek PR Matematika lu dong!" bujukku dengan muka melas.

"Nih!" Hera kembali fokus pada tulisan di kertas bindernya setelah menyerahkan buku latihan Matematika miliknya padaku. Sudah tentu aku bersorak girang. Aku dan Risa pun segera menyalin jawaban PR Hera. Sttt ... jangan ditiru, ya!

Hera memang teman yang memiliki hobi sama denganku. Dia akan senang sekali melihat hasil karyaku yang selalu kusimpan rapi dalam binder kesayangan. Mulai dari gambar karakter anime, tulisan puisi, hingga cerpen atau novel hasil imajinasiku sendiri. Bahkan ada beberapa gambar desain pakaian yang menjadi keisenganku dikala senggang. Jika lulus nanti aku ingin sekali menjadi seorang komikus, novelis atau desainer pakaian. Kemaruk ya?

****

Bel pulang telah berbunyi sedari tadi. Kelas sudah kosong dan sepi. Seperti biasa, setiap pulang sekolah aku pasti menyempatkan diri berkumpul dengan teman-teman ekskul paskibraku. Kami biasanya berkumpul dan duduk di undakan pinggir lapangan. Akan tetapi baru beberapa menit aku duduk di sana, tiba-tiba aku tersadar ada sesuatu yang kulupakan.

Aku langsung berdiri dan kembali ke kelas. Dengan cepat kubuka tas ranselku menumpahkan semua isinya keluar namun tak kutemukan benda itu di sana. Aku kembali memeriksa kolong meja belajar dan tampaknya benda yang kucari tak ada di situ. Dengan bingung aku melangkah kembali keluar kelas dan memandang ke sekeliling lapangan mencari seseorang.

"Mi, lu kenapa sih?" tanya Mona Andara teman satu ekskulku.

"Binder gue nggak ada."

"Dipinjem orang kali," sahut Fina Oktarani.

"Iya juga ya. Bentar ... gue mau ke kantin dulu." Aku segera berlari ke kantin sekolah untuk mencari Hera, karena seingatku dia orang terakhir yang tadi membaca binderku.

"HER ... HERA!!!" panggilku setengah berteriak begitu melihat Hera sedang mengobrol dengan Ovie Calista-yang juga teman satu komplek perumahan.

"Ada apaan sih teriak-teriak?" omel Hera yang merasa acara curhatnya dengan Ovie terganggu.

"Tadi lu minjem binder gue kan? Sekarang mana?"

"Kan tadi udah gue balikin!"

"Udah dibalikin? Kok nggak ada?"

"Oh iya, tadi bukannya dipinjem sama Vano."

"Vano? Minjem? Kapan?"

"Yah elu, kan tadi gue bilang kalo Vano mau pinjem binder lu. Lu denger gue ngomong nggak tadi?"

"Enggak," jawabku lugu.

"Aduuuh! Dasar lemot! Padahal tadi lu manggut-manggut aja ditanya. Ya udah, sekarang lu tanya aja sama si Vano. Binder lu masih ada sama dia kali."

"Ya udah deh. Sekarang Vano-nya mana?"

"Mana gue tau. Cari aja di perpus. Biasanya kan dia mangkal di sana."

"Iya juga ya. Ya udah, gue mau nyari Vano dulu deh!"

Aku langsung bergegas pergi ke ruang perpustakaan untuk mencari Vano. Berharap cowok itu masih ada di sana. Aku tidak akan sepanik ini kalau di dalam binder tidak ada apa-apanya. Masalahnya di sana berisi curahan hatiku beserta puisi-puisi tentang cinta yang romantis. Kan bahaya kalau dibaca seorang cowok.

Belum juga sampai di perpustakaan, tepatnya di depan meja guru piket, aku berpapasan dengan Vano yang sedang memegang binder milikku.

"Lu pasti nyariin binder lu kan?" tanya Vano dan aku mengangguk cepat. "Nih, binder lu! Isinya lucu juga, apalagi puisinya. Tapi keren juga sih," kata Vano cuek sambil menyerahkan binder milikku, kemudian melangkah pergi meninggalkan aku yang masih terbengong-bengong mencerna kata-katanya.

Lucu? Puisi? Jangan-jangan dia udah baca semua curhatan gue lagi? Aduuuh... bikin malu aja!!!!

****

#AuthorNote :
If you reading this story on any other platform OTHER THAN WATTPAD, You're very likely to be at risk of a MALWARE ATTACK. If you wish to read this story in it's ORIGINAL, SAFE, FORM, PLEASE GO TO ::
https://www.wattpad.com/549354314-sang-putri-dan-pangeran-pujangga

Sang Putri dan Pangeran Pujangga, ayu_anggun©2018-All Right Reserved

Bogor, 19 April 2018 / 00.33 WIB
Revisi akhir 4 Agustus 2020

Haloha.... Ketemu lagi sama saya penulis amateeeeer... Hahaha...

Lagi pengen nulis cerita jaman abegeh... Ini cerita pertama dibuat juga bulan April tapi jaman jebot, tahun 2005 kalo ga salah... Rada geli juga sih ngetik puisinya... Ini aseli puisi jaman saya abegeh... Ternyata saya pernah alay juga... Hahaha... 😅😅😅😅😅

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top