10: Theater
Hampir setiap hari, minggu atau bahkan bulan terakhir ini aku selalu menghabiskan waktu bersama Valt. Dan itu sebuah kesenangan tersendiri dalam hidup baruku.
Aku tahu, aku masih belum bisa terbebas akan siksaan dan cacian dari paman dan bibi. Tapi, ada sedikit peningkatan karena aku mulai bisa menerima semua itu dan memilih melupakannya dengan pergi bersama Valt.
"Kau mau beli apa?" tanya pemuda itu yang berhasil mengakhiri lamunanku.
Hari ini kami memilih berjalan bersama di jalanan ramai sekitar pusat kota. Di sini berjajar rapi toko-toko menarik yang menjual berbagai macam barang dan makanan. "Entahlah, Valt. Aku masih mencari makanan yang enak."
"Baiklah," balasnya sembari mengamati sekitar yang tampak ramai.
Beberapa saat kemudian akhirnya aku menjatuhkan minatku pada toko permen di ujung sana. Mungkin lebih baik makanan manis menemaniku selama pertunjukan Valt nanti. "Permen."
"Kau mau permen?" tanya Valt memastikan. Aku mengangguk sebagai jawaban. "Oke, ayo ke sana." Tanpa ragu lagi dia menarik tanganku, membawaku ke toko permen yang menjadi pusat perhatianku.
Kami di sana tidak lama-lama, hanya meminta beberapa permen potong dan membungkusnya. Selesai, aku dan Valt pun akhirnya melanjutkan perjalanan menuju theater Tuan Murray.
Tampaknya hari ini cukup ramai juga, beberapa gadis dan pemuda duduk santai di kursi masing-masing. Aku menyadari sebagian dari mereka seusiaku, usia para remaja untuk mencari jati diri mereka.
"Hai, Leena."
Aku mengangguk ramah. "Hallo, Adeline," balasku pada perempuan yang kira-kira seusia Valt.
"Senang ya melihatmu selalu bersama Valt, pulang dan pergi bersama," ujar Adeline sembari tersenyum tipis. Tidak, itu bukan senyum, aku menyadari ada yang aneh padanya. Dia tampak tak suka padaku. Dan kenyataannya memang benar.
"Aku dan Valt hanya tetangga," balasku yang hanya membuat Adeline memutar dua matanya malas. Aku tahu, semenjak aku berada di sini, sikapnya benar-benar terlihat jelas, dia tak menyukaiku karena selalu bersama dengan Valt.
"Penegasan omong kosong, aku tahu kau selalu mencari perhatian padanya, Leena."
Aku belum sempat membalas ucapannya, karena waktu itu Valt tiba-tiba datang dan menarik tanganku ke area panggung untuk melihat pertunjukan seorang wanita dewasa yang benar-benar membuatku merinding.
"Valt," panggilku disela-sela aktivitas kami yang tengah membersihkan beberapa alat musik di area gudang utama.
Pemuda itu menatapku, kemudian menaikkan sebelah alisnya untuk mempersilakanku kembali bersuara.
"Kau pernah ... menyukai seseorang?" tanyaku setengah gugup. Jujur saja aku benar-benar malu sekaligus takut untuk menanyakan hal konyol semacam ini. Namun, ini demi menghilangkan rasa penasaranku selama ini.
"Mengapa kau menanyakan hal itu?" tanya Valt yang kini menghentikan aktivitasnya dan menatapku, tatapan mata yang seolah menghipnotisku untuk tak berpaling darinya.
Dengan cepat aku menggelengkan kepalaku. "Ah, lupakan! Aku tak seharusnya bertanya," sergahku kemudian. Aku memalingkan wajah ke arah lain dan melanjutkan membersihkan beberapa alat musik.
Tanpa kusadari, Valt mendekat ke arahku dan duduk di sampingku dengan sedikit dekat. "Itu pertanyaan bagus, Lein. Karena aku pikir pertanyaan itu membutuhkan jawaban jadi akan aku jawab bahwa aku tak pernah menyukai seseorang."
"Really?"
"Ya, sampai ketika hujan di bulan November 4 tahun lalu," ucap pemuda bermanik biru itu sembari tersenyum tipis.
Aku yang bingung mengerutkan kening. November? 4 tahun lalu? Apa maksud pemuda itu? Dan pada akhirnya aku tak pernah mendapatkan jawaban karena dia terlalu terburu-buru setelah mengucapkan kalimat terakhirnya.
"Come on! Kita harus mengejar latihan untuk jadwalku minggu depan." Walau terpaksa aku tetap menuruti ucapannya, dia benar-benar gigih dengan pelatihan ini dan aku sangat senang dengan ambisi itu.
Aku senang, karena dia selalu berusaha kerasa untuk meraih impian terpendamnya. Dia adalah sosok pemuda yang mungkin saja pantas untuk dijadikan panutan, sebab usaha dan pengorbanannya.
***
Kami selesai latihan cukup malam, aku tahu hari ini cukup melelahkan baginya. Kami berjalan berdua di jalanan panjang menuju kompleks rumah tempat kami tinggal. Jalanan malam ini sepi dan suasana bertambah dingin.
"Kau tidak dimarahi lagi kan, Lein?" tanyanya memecah keheningan malam itu.
Aku menggeleng pelan. "Tidak terlalu, aku berusaha melawan mereka. Itu tidak mudah sebenarnya, karena ... jika aku diusir pun aku harus ke mana lagi?"
"Kau benar, jangan terlalu membangkang dan diam saja. Kau mengerti maksudku, kan?"
"Ya." Aku mengerti, bahkan sangat mengerti, karena kakakku pernah memberikan pesan itu. Aku tak bisa terlalu melawan dan tidak bisa pula selalu diam menerima kejahatan mereka.
Di depan sana, rumahku telah terlihat. Cahaya remang-remang jalanan menyorot bagian depan saja. Aku tak bisa dengan jelas melihat suasana di dalam, tapi yang aku tahu hanya rumah itu terasa cukup sepi.
"Aku sampai," ucapku tatkala kami berhenti tepat di depan rumah tanpa pagar itu. "Terima kasih harinya, Valt. Aku benar-benar merasa bahagia hari ini," ucapku sembari melebarkan senyuman.
Valt menoleh dengan senyum mengembang. "Ya, aku senang jika kau senang, Lein." Ia menyentuh bahuku sekilas. "Masuklah."
"Selamat malam, Valt."
"Selamat malam, Lein."
***
"Waktu terindah yang pernah terukir adalah
saat di mana kita bertemu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top