Pukulan Telak

Dulu sekali, kata Mamak, sewaktu mereka kecil, kondisi kesehatan Yusra tidak sebaik Yumna. Dia sering sakit-sakitan. Terus terang, Yusra hampir-hampir tidak percaya. Faktanya, dibanding Yumna, kini dia terlihat sangat sehat. Berbeda dengan kembarannya itu yang seolah tak punya harapan hidup.

Dia cantik, cerdas, punya pekerjaan. Orang-orang mengakui kehebatannya. Bilang bahwa dia adalah gadis yang paling ingin dinikahi di kampung ini.

Sayangnya, memang tidak ada manusia yang sempurna. Di balik semua hal yang dapat dia banggakan, Yusra tak pernah mendapat pengakuan dari keluarga besarnya.

Entah kapan tepatnya jiwa persaingannya terhadap Yumna mengakar begini kuat. Intinya, mereka telah menjadi rival sejak kecil. Begitulah cara Mamak membesarkan mereka.

Yusra ingat, mereka nyaris berlomba dalam setiap hal. Mengerjakan PR, menghabiskan makan siang, belajar berhitung, dan sebagainya. Mamak sering berkata, "ayo semangat, yang menang dapat hadiah". Kalimat tersebut diulang-ulang hingga menancap kuat di benaknya.

Di sisi lain, Mamak berperan sebagai juri yang objektif. Siapa pun yang berhasil menjadi pemenang, akan diberikan hadiah. Makanan enak, uang jajan tambahan, baju baru, diajak jalan-jalan ke Kota Kabupaten, dan seterusnya.

Yusra menyabet kemenangan hampir di segala situasi. Lancar membaca sejak masuk sekolah, selalu menempati peringkat tiga besar, menjadi utusan sekolah bila ada lomba di bidang akademik.

Meski demikian, adakalanya dia mengalami kekalahan. Terlebih di bidang olahraga. Yusra punya kemampuan fisik yang lemah. Bawaan sejak lahir. Entah sakit apa yang dideritanya. Yusra tidak terlalu peduli. Toh, dia baik-baik saja sekarang. Bukan hal penting untuk diingat.

Yumna lebih unggul dalam cabang renang, lari, dan segala jenis kegiatan yang mengandalkan kekuatan fisik. Gerakannya lincah. Tubuhnya lentur. Atas bakatnya tersebut, tak heran bila Yumna sering mewakili sekolah mengikuti lomba di bidang olahraga.

Namun sial, keberuntungan sepertinya tidak sepenuhnya berpihak pada saudaranya itu, ternyata bakat Yumna tidak begitu dihargai. Dia memang menerima hadiah dari Mamak, tetapi tidak disertai pujian. Mamak hanya berkomentar, "wajar Yusra kalah karena sering sakit waktu bayi". Selalu dan terus begitu.

Jadi, walau agak sakit hati karena dikalahkan, Yusra merasa terobati.

Yumna, kembarannya, tidak mendapat perhatian seheboh dirinya.

Mamak cukup objektif, 'kan?

Yumna beruntung terlahir dengan fisik yang kuat. Berbeda dengannya. Tidak ada keberuntungan dalam hal kemampuan akademik. Semua dia dapatkan murni karena usaha sendiri.

Semula dia berpikir begitu, sampai dia menerima respon berbeda dari keluarga besarnya.

Paman dan bibinya bilang, wajar Yusra cerdas. Juara terus di sekolahan. Sewaktu bayi, makanannya bergizi, tumbuh kembangnya diperhatikan dengan baik, segala kebutuhannya terpenuhi. Sedangkan Yumna, diberi makan seadanya asal kenyang. Jarang diperhatikan. Sering dititipkan kepada orang lain. Mamak fokus mengurus Yusra yang sakit-sakitan, sementara Bapak sibuk bekerja di ladang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Sesekali, keluarga besarnya bahkan membuat lelucon, mungkin Yumna kuat karena terbiasa main kotor. Hidup sebagaimana orang kampung pada umumnya. Sedangkan Yusra, tidak. Dia dimanja. Terkurung di rumah. Seperti anak-anak Kota Besar.

Begitulah kata mereka. Entah dari mana sumbernya. Mungkin televisi. Tidak sepenuhnya salah. Yusra memang sering menghabiskan waktu di rumah. Dia belajar dan belajar. Bukan karena dimanja, Yusra sendiri yang malas ke luar. Cuaca panas bukan main. Bikin pusing kepala dan kuping berdengung. Intinya, kondisi geografis kampungnya sangat tidak bersahabat dengan Yusra.

Singkat kata, dia dan Yumna punya bakat di bidang yang berbeda. Untungnya, di mana-mana, kecakapan akademik, ternyata lebih dihargai. Paling tidak, begitulah di mata Mamak.

Seiring waktu berlalu, semakin beranjak dewasa, Yusra juga mulai peduli pada penampilannya. Dia tak mau dicap kutu buku. Tak punya teman. Itu agak mengerikan. Dia ingin jadi figur yang menarik. Bagi Yusra, menjadi cantik itu penting. Diakui atau tidak, gadis-gadis menawan, punya keistimewaan yang tidak dimiliki oleh gadis biasa saja. Terutama di mata para pemuda.

Terbukti. Sejak mereka memasuki  usia remaja, Yusra berhasil mencuri perhatian. Cowok-cowok mengaguminya. Dia bebas menerima dan menolak siapa saja yang ingin pacaran dengannya.

Walau demikian, di antara kilas-balik hidupnya, ada suatu momen yang tidak mungkin dia lupakan. Itulah kali pertama Yusra merasa sangat inferior.

***

Suatu waktu di masa lampau, beberapa puluh tahun silam, saat mereka kelas tiga SMP.

Seluruh siswa berbondong-bondong meninggalkan kelas setelah bel istirahat berbunyi. Yusra buru-buru menahan tangan seorang cowok ketika sang empunya hendak melangkah ke luar. Dia menyeret cowok itu ke pojok ruangan. Menunggu situasi benar-benar sepi.

"Oi, kau apa-apaan! Jangan main tarik sembarangan!" Si cowok menghempaskan tangannya.

"Aku mau bicara. Ayo, duduk dulu." Yusra menunjuk kursi pakai dagu.

Cowok itu memutar bola mata. Sontak mengingatkan Yusra akan kebiasaan saudarinya. Mungkin karena dia dan Yumna bersahabat, makanya punya gerak-gerik yang mirip.

Ya, cowok yang barusan ditahannya, adalah Yasril, teman dekat sang adik.

"Mau bilang apa? Cepat!"

Yusra menghempaskan bokong ke kursi. Mereka duduk berhadapan dengan meja sebagai penghalang. Gadis belia itu menopang dagu sambil membiarkan rambut hitamnya tergerai.

"Aku dengar, kau lagi-lagi menghalangi Yumna dapat pacar."

"Huh? Bicara apa kau ini?"

Yusra memandang penuh perhitungan. Entah karena alasan apa, tetapi tampaknya Yasril tidak menyukainya.

Di antara sekian banyak cowok, Yasril mungkin satu-satunya yang tidak menaruh kagum kepadanya. Ekspresi Yasril selalu menyebalkan saat mereka bertemu. Terkesan malas. Sarat penghinaan.

Hal itu sukses membuat Yusra tersinggung, sekaligus penasaran di waktu yang sama.

"Dulu Rafa, lalu Aman, sekarang Ilham. Kau pikir aku tidak tahu?"

"Ah, ya, aku hampir lupa, kau memang tukang gosip."

Yusra menarik napas keras. Lihat, cara bicara Yasril benar-benar sinis. Sepertinya semua cewek dia perlakukan begitu. Yusra tahu dari curhatan teman-temannya. Namun, tidak pada Yumna. Dia manis dan perhatian. Yusra pernah beberapa kali menguping obrolan mereka saat sepasang sahabat itu bermain di rumah.

"Kau suka sekali padanya, ya? Apa yang menarik darinya? Hoh, ternyata seleramu model begitu?"

"Kalau iya, kenapa?"

Yusra tersentak saat Yasril tiba-tiba mengulurkan tangan dan menyentuh lengannya. Lalu perlahan naik ke leher, wajah, dan berhenti di pipi.

"Ka-kau mau apa?" Bergetar. Dada Yusra berdebar gila. Dia merasakan sensasi menggelikan mendesak dari dalam perutnya.

"Aku tidak pernah menyentuh Yumna seperti ini," bisik Yasril rendah. Sikunya bertumpu pada meja. Pandangannya menusuk.

Gadis itu bergeming. Dia terpaku. Terbuai saat cowok itu meniup telinganya.

"Kau mau tahu kenapa? Itu karena aku sangat menghargainya," tutur Yasril seraya menjauh. Kembali ke posisi semula. Kedua tangannya bersedekap di dada.

Yusra langsung tersadar. Dia terbeliak saat melihat senyum sinis dan tatapan melecehkan dari cowok itu.

"Kurang ajar!"

"Bukannya kau sudah biasa?" timpal Yasril santai.

"Apa maksudmu?" geram Yusra.

"Aku tebak, kau pasti mau saat aku benaran menciummu. Tapi maaf, aku tidak berminat."

Yusra seketika bungkam. Bibirnya kelu. Mukanya mendadak kaku.

"Dengar, ya, Yusra. Aku menyampaikan ini karena kita saling  mengenal sejak kecil. Aku tidak peduli kau mau pacaran dengan siapa, tetapi pandai-pandailah menjaga diri. Kau pikir, para mantanmu itu tutup mulut setelah kalian putus? Mereka berbangga diri atas apa yang sudah kau berikan. Sebelum semua terlalu jauh, mumpung kita masih muda, aku sarankan kau berhenti pacaran. Setidaknya sampai kau benar-benar menemukan seseorang yang tidak hanya menyukai fisik dan kecerdasanmu." Datar.

Kala itu, tanpa dapat dicegah, mendengar penuturan tersebut, air mata Yusra spontan mengalir. Harga dirinya tercabik. Dia merasa tertampar.

"Hei, jangan menangis. Aku tidak mau dituduh yang bukan-bukan!"

"Kau keterlaluan," bisik Yusra lirih. Dia tertunduk. Menyembunyikan wajah di antara helaian rambutnya.

"Hah, kenapa aku berbicara seperti pria tua begini, tetapi ya sudah, lah. Telanjur. Sebaiknya aku teruskan. Kapan lagi aku melihatmu menangis."

"Dasar sialan!"

Cowok itu mengedikkan bahu. "Orang lain mungkin benar, Yumna kalah saing darimu. Dia tidak pandai berhias, tomboy, kemampuan akademiknya standar. Namun, dia memiliki hati yang murni. Yumna tidak akan membanggakan diri sendiri, berprasangka buruk, menjelek-jelekkan orang lain, bergosip. Senyumnya tulus, kepolosannya menyentuh hati, tidak bermuka dua seperti kau dan teman-temanmu."

"Berisik! Belum puas kau menghinaku?! Keluar kau! Pergi! Aku tidak mau melihat mukamu!" Yusra menengadah. Tatapannya murka.

Yasril bangkit. Dia menggeleng prihatin. "Nah, kan, kau tadi mirip anak kucing waktu aku elus-elus. Sekarang, kau malah kelihatan seperti kucing beranak!"

Yusra memelotot. "Yasril ...!" pekiknya.

Cowok itu langsung berlari ke luar ruangan. Kabur sembari tertawa kencang.

Dia tak tahu, bahwa sepeninggalnya, Yusra lagi-lagi terisak.

Kata-kata Yasril, entah bagaimana ceritanya, benar-benar menohok. Memukulnya telak, sekaligus membuatnya tersadar.

Setelah hari itu, Yusra tidak lagi bermain-main dengan yang namanya hubungan romansa.

-Bersambung

15 Juni 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top