Oh, Ternyata Cinta

Banyak hal di dunia ini yang tidak dapat dimengerti. Mulai dari unsur mikro sampai makro. Ribuan misteri masih belum menemukan jawaban.

Sebagai orang yang berkecimpung di bidang medis, Yusra kadang dibuat terheran-heran ketika membaca literatur tentang penyakit unik. Semasa sekolah, dia pun pernah mengalami hal serupa tatkala guru menyinggung perihal materi gelap di alam semesta. Benar-benar penuh rahasia.

Yusra kembali merasakan sensasi geregetan meletup-letup di dadanya. Jika selama ini melibatkan perkembangan ilmu pengetahuan, maka sekarang lain cerita. Terasa amat dekat. Berkorelasi dengan kehidupannya secara nyata. Terjadi di sekitarnya.

Gadis itu menghela napas, lagi. Entah sudah berapa kali dia mengulanginya. Yusra hanya tak habis pikir. Tidak, lebih tepatnya, dia belum menemukan penjelasan logis di balik fenomena yang diamatinya belakangan ini.

Pertama, Yumna dan Yafiq tiba-tiba bercerai hingga menciptakan beban mental terhadap kembarannya. Kedua, tak lama kemudian, Yasril datang berkunjung, lantas Yumna tampak normal sepulang pemuda itu. Ketiga, seorang pengacara mendadak muncul dan mendampingi Yumna di pengadilan hingga kasus perceraian tersebut resmi diakui negara.

Puncaknya, ini yang paling mengejutkan, dan dia semakin geregetan, sekitar satu jam yang lalu, mamaknya mengabari bahwa orang tua Yasril datang melamar Yumna!

Kegilaan macam apa yang sebenarnya terjadi dalam waktu kurang dari setahun ini?

Seberapa kuatpun Yusra menganalisa, seluruh kesimpulannya hanya merujuk satu orang, Yasril. Pasti ada hubungannya dengan kedatangan terakhir kali pemuda itu!

Yusra tahu dia tak punya kuasa apa-apa. Bukan urusannya secara langsung. Hanya saja, dia merasa perlu mengonfirmasi sesuatu.

Dengan demikian, atas kesadaran penuh, Yusra mengontak nomor Yasril. Tak peduli waktu, dia mau bicara segera!

"Kenapa kau menelepon malam-malam begini?"

Kalimat pertama yang terdengar setelah menunggu sekian menit. Yusra mendengus tipis. "Aku tahu kau belum tidur. Di situ masih jam sembilan. Sekarang bukan jam tidurmu."

"Hm ..., bagaimana kau tahu jam tidurku?"

Yusra mengerjap. "Eh, kau ..., ya, kau sering online Whatsapp jam begitu!"

"Aku merinding. Kau menguntitku?"

"Tahu, ah. Jangan banyak tanya! Bukan itu yang mau aku bahas!" seru Yusra agak gelisah.

"Oh, oke. Jadi, ada keperluan apa denganku, Nona yang terhormat?"

"Kau menyebalkan!"

Yasril berdecak di seberang sana. "Apa masalahmu? Kenapa kau marah-marah?"

"Kau sengaja menyewa pengacara nyentrik itu untuk memuluskan rencanamu?"

"Bang Adi? Dia keren, 'kan? Itu kakak kelasku pas SMA. Sayang, sudah menikah."

"Yas," desis Yusra. "Jangan pura-pura bodoh!"

"Aku tidak paham apa maksudmu."

"Kau memanfaatkan kesempatan untuk mendekati Yumna, begitu? Atau jangan-jangan, kalian punya affair?"

Hening sesaat. Yusra menunggu cemas. Dahinya berkerut dalam.

"Kau mabuk atau bagaimana? Bicaramu ngaco."

"Aku sudah dengar dari mamakku tentang lamaranmu. Ya Tuhan, masa iddah-nya bahkan baru tuntas, kau bergerak terlalu cepat!"

"Aku salut kau punya pembukaan yang panjang. Ternyata itu poin pentingmu, tho. Memangnya ada larangan melamar anak orang? Yumna kan, jadi single lagi."

Yusra menggigit bibirnya. Kesal luar biasa. Memang tidak dilarang, tapi rasanya ada sesuatu yang salah di sini ..., di hatinya. "Tidak!" pekiknya.

"Nah, 'kan? Santai. Aku senang kalau kau sanggup menebak rencanaku lebih cepat. Sekalian kuteruskan, dengar, aku butuh bantuanmu."

Tidak, tunggu, Yusra tidak siap. Sedari awal, masalah terletak pada dirinya. Entah bagaimana prosesnya, harus diakui, muncul ketidakrelaan tatkala mendengar pengakuan Yasril.

Astaga!

Yusra menggeleng keras. Tertegun. Mustahil. Sangat konyol. Bagaimana bisa dia merasa ... sedih?

"Halo? Kau masih di sana?"

"Tidak, aku tidak mau menolongmu."

"Hei, dengarkan dulu!"

"Aku bilang, tidak! Jangan memaksa!" Yusra menggenggam ponselnya kuat. Sial, nada suaranya bergetar.

Senyap sekali lagi. Yusra ingin memutus sambungan, tapi ego melarangnya. Rasanya aneh mengetahui bahwa hatinya terluka.

"Kau ... baik-baik saja?

"Aku? Oke. Kenapa? Maaf, tadi ada sedikit masalah. Lanjutkan ceritamu."

Yusra menolak kemungkinan tentang jatuh cinta pada Yasril. Perasaan ini timbul karena iri. Kembarannya itu sangat beruntung. Dicintai sedemikian hebat tanpa melakukan apa pun. Sementara dirinya, belum juga menemukan lawan jenis yang cocok untuk dijadikan pasangan hidup.

Iya, 'kan? Pasti begitu!

Yusra tidak terlalu menyimak penyampaian Yasril. Secara garis besar, pemuda itu berpesan agar tak membocorkan perihal lamaran. Mereka berencana menggelar pernikahan tertutup. Lalu setelahnya, Yumna akan ikut ke Jakarta. Agar tak mengundang kecurigaan warga, dia yang bertugas menemani Yusra ke Kota Provinsi dengan alasan refreshing.

Huh, lagaknya bagai artis terkenal!

Bisa-bisanya Yusra sempat terpikir telah jatuh hati padanya.

"Iya, aku paham."

"Terima kasih, Yus. Sebagai gantinya, aku kabulkan satu permintaanmu, eh, tapi jangan barang high class, ya." tutur Yasril sembari tertawa.

"Jika aku minta, batalkan lamaranmu, bagaimana?" gumam Yusra terlampau lirih.

"Apa?"

Yusra menepuk jidat. Sepertinya dia mulai ikutan stres. "Aku pertimbangkan. Awas ingkar janji, lho."

"Tenang, asal semuanya beres. Ada lagi yang mau kau bicarakan?"

"Tidak, kurasa."

"Ya sudah, aku tutup. Bye, Yus."

"Sebentar, kenapa cara bicaramu mendadak lembut begini?"

"Aku sedang bahagia. Kapan-kapan, bila kesal, aku pasti menghubungimu. Jangan khawatir. Kau paling enak di-bully."

"Mati saja kau!"

Yasril terbahak kencang. "Sudah, ah. Salam buat calon mertua."

Sambungan berakhir. Napasnya tertahan. Bola matanya perih.

Gadis itu menghempaskan badan ke kasur. Pandangannya kosong. Tertuju ke langit-langit kamar.

Sial, masa iya, dia patah hati, lagi?!

Tidak, 'kan?

Mustahil dia menyukai pemuda bermulut tajam itu!

Yasril tidak masuk kriteria calon suami idamannya. Jauh. Melenceng dari garis ideal.

Dia menginginkan lelaki bertutur halus, pengertian, punya tatapan teduh, lebih-lebih bila bekerja di bidang yang sama.

Benar, seperti Yafiq.

Iya, 'kan?

Yusra menutup matanya pakai punggung tangan. Pikirannya berisi tentang Yasril. Kenangan mereka berputar-putar di kepala.

Seragam putih-merah muncul dalam ingatan. Mereka berdiri bersisian menerima penghargaan sebagai juara kelas. Senyumnya amat lebar. Berbanding terbalik dengan Yasril yang bertampang datar. Pandangan bocah itu lurus ke depan. Ketika Yusra mengikutinya, samar-samar sosok Yumna hadir di sana.

Memori berganti. Kali ini menampilkan pemandangan Yasril dan Yumna sedang belajar bersama. Dia mengawasi di balik sekat pemisah ruangan.

Lembaran usang kembali terbuka. Rak-rak buku berjajar rapi. Yusra berdiri sambil menutupi separuh wajahnya pakai topi biru. Dia sedang memperhatikan sesuatu. Jauh ke depan. Di antara celah-celah meja, sepertinya perpustakaan, dia mendapati Yasril mengacak rambut Yumna.

Lagi, kali ini sedikit berbeda. Hanya mereka berdua. Tapi tunggu, Yusra sedang menangis, sedang ekspresi Yasril justru terlihat sinis.

Bepindah pada dua sosok dewasa. Duduk berhadap-hadapan. Hamparan laut membentang indah.

Asal jangan jatuh cinta, soalnya aku tidak tertarik menjalin hubungan romantis denganmu.

Yusra sontak membuka mata. Dadanya sesak. Dia membuka mulut, meraup udara. Dan dia benar-benar terperangah, ketika sesaat kemudian, cairan bening meleleh di pipinya. Tanpa sadar, teramat lambat.

Yusra memiringkan badan. Membekap mulutnya. "Ugh ...," lirihnya payah.

Yusra paham tak semestinya merasa demikian, tapi apa daya, Yasril mengisi hatinya lebih lama dan berpengaruh dibanding yang dia kira.

Ini bukan patah hati pertamanya. Ketika tersadar, satu kenyataan menamparnya keras.

Dulu ataupun sekarang, di mata Yasril, cuma ada ... Yumna.

Dan Yusra, terima atau tidak, harus mengakui bahwa Yasril ... adalah cinta pertamanya.

Pada akhirnya, Yusra mengetahui, alasan kenapa tubuhnya sering bereaksi berlebihan terhadap perilaku Yasril, tak lain dan tak bukan, karena pemuda itu telah menarik perhatiannya.

Oh, ternyata cinta yang membuatnya menikmati segala keusilan pemuda itu.

Akan tetapi, kenapa rasanya begini menyakitkan?

Karena sejak awal, yang Yusra butuhkan bukanlah sosok ideal, melainkan seseorang yang ketika bersama dengannya, dia bebas menyalurkan seluruh emosi terpendam tanpa khawatir dihakimi.

-Bersambung.

Yusra dan Yumna, sebenarnya mereka menginginkan hal yang sama, kebebasan. Bebas dalam artian bertindak tanpa diawasi, dinilai, dan dibanding-bandingkan. Sesederhana itu, tapi, nyatanya terlampau sulit untuk mereka berdua. Sad, but true :(

Banyak Yumna dan Yusra bertebaran di dunia nyata. Dan setiap orang, layaknya mereka, punya penyikapan berbeda.

Bisa dibilang, si kembar menemukan 'angin segar' ketika berinteraksi dengan Yas. Secara, pola pengasuhan keluarga mereka bertolak belakang.

Huahh, kok kayaknya cerita ini menyedihkan, yak. Makin dipikir, makin bikin hati potek. 😭

Buat kalian yang jadi Yasril-Yusra shipper. Maaf ya, sejak awal emang gaada rencana bikin mereka jadi pasangan. Meski sejujurnya aku suka banget interaksi sarkas mereka. UwU gak, siiih. Haha.

7 Agustus 2020.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top