Bagian ke dua puluh

Terburu buru Andrew memasuki ruang kerja aunty-nya. Sang Aunty yang tengah berbicara dengan beberapa petinggi Tan Corp Singapura terbelalak. Menandakan kalau ia tengah marah. Kemudian dengan tangan kanannya ia mengisyaratkan seluruh staffnya untuk keluar.

"Ada apa sampai kamu tidak memiliki sopan santun seperti ini" tanyanya dengan nada ketus khas Regine.

"Bisa siapkan saya satu jabatan untuk Tan Corp?" Tanya Andrew tanpa basa basi.

"Kamu gila" teriak Regine. Bola matanya hampir melompat menatap sang keponakan.

"Saya serius. Empat persen saham di sebuah perusahaan dengan perputaran uang berjumlah milyaran dollar itu cukup besar" Andrew tak mau kalah.

Regine menatap keponakannya dengan seksama. Meski ia sudah tahu apa yang terjadi di Jakarta. Ia hanya tidak menyangka kalau Andrew akan senekat ini. Berubah secepat ini.

"Kamu tidak pernah berkecimpung di dunia bisnis. Kamu juga tidak punya latar belakang pendidikan dan minat dibidang ini."

"Ijinkan saya mencoba."

"Kamu akan gagal."

"Saya akan belajar dengan cepat."

Regine menatap kesal pada Stephen Junior. Anak sama keras kepalanya dengan ayahnya!

"Kamu sedang marah. Emosimu merubah isi kepalamu."

"Saya serius. Saya akan kuliah dibidang bisnis. Semua belum terlambat."

Regine memutar kedua bola matanya. Ia tak percaya.

"Mereka mengecewakan kamu?"

"Mereka bukan yang utama. Fokuslah pada keinginan saya."

"Ini sangat sulit, tidak mungkin kamu memulai dari bawah. Apalagi meninggalkan nama besar kamu di dunia fotografi. Kamu akan segera bosan."

"Saya tidak akan bosan, saya berjanji."

"Akan saya pikirkan terlebih dahulu. Sebaiknya kamu juga berpikir jernih. Saya beri kamu waktu satu minggu"

Andrew diam, kalimat itu adalah penutup. Ia mengenal tantenya. Tapi kali ini ia takkan menyerah! Mereka sudah menghancurkan mimpinya. Saatnya sekarang mereka yang hancur!

"Apakah apartemen saya sudah ada yang menyewa?"

"Sudah, kamu bisa tinggal di rumah grandma-mu untuk sementara kalau mau. Tempat itu masih dirawat dengan baik. Lagi pula ada pembantu di sana."

"Baiklah, saya akan ke London besok. Sekaligus menyelesaikan kontrak saya dengan Harry. Setelah itu saya akan kembali kemari."

Selesai mengucapkan kalimat itu Andrew pergi. Meninggalkan Regine yang membisu. Pasti kejadian itu sangat mengganggunya. A Siang tidak pernah tertarik pada intrik bisnis keluarga Tan. A Siang adalah nama kecil Andrew ditengah keluarga Tan.

***

Andrew memasuki kediaman resmi neneknya. Meski sudah puluhan tahun tempat itu tidak ditingali. Namun semua masih terawat dengan baik. Patung dewi kwan Im masih ada altar merah. Dupa juga masih menyala. Suasana rumah kecil ini sangat bersih dan tenang.

Dulu sekali, saat ia masih kanak kanak. Ini adalah rumah keduanya. Ia terbiasa menghabiskan waktu bersama ayahnya disini. Menikmati segelas teh bersama kue jahe buatan grandma. Dan itu adalah kue jahe terenak yang pernah dimakannya. Juga permainan piano papanya. Menanti grandpa pulang dari kantor. Aunty biasanya akan membantu grandma di dapur. Meski dapur mereka masih terlihat seperti dapur tradisonal tiongkok. Namun masakan yang ke luar dari sana sudah berbau barat.

Ia ingat, hal pertama yang dilakukan grandpa saat memasuki rumah adalah mencari grandma. Mengecup kening sang istri. Lalu mereka akan saling bergandengan tangan menuju halaman belakang. Kemudian duduk sambil mengobrol. Mereka akan menikmati makan malam bersama. Sampai pukul sembilan malam, grandpa akan pulang ke kediamannya yang lain. Menginap di rumah istri kedua yang menjadi istri utama dalam keluarga besar Tan.

Saat grandpa pulang, grandma akan tertunduk lesu. Lalu aunty Regine akan memeluk bahunya. Membimbingnya menuju kamar. Andrew kecil dan papanya akan menatap dari halaman belakang. Papanya akan menarik nafas dalam kemudian menghembuskan dengan pelan.

Andrew sampai pada sepasang figura yang terletak didinding. Ada wajah grandpa dan grandma disana. Mereka telah bersanding dalam keabadian. Setelah membungkuk dan memberi hormat, Andrew melangkah menuju kamar papanya. Ai Lili pasti sudah membereskan semua untuknya.

Rumah ini tidak besar. Terletak diperkampungan pecinan khas Singapura. Namun dari luar, rumah ini tampak paling indah. Ada sentuhan barat disini. Neneknya sendiri yang memilih tempat ini sebagai kediaman resminya. Meski sebenarnya sang kakek bisa membelikan rumah lain dilokasi yang lebih bergengsi. Neneknya sangat sederhana. Memakai pakaian sederhana, juga tanpa perhiasan. Kecuali sepasang giwang dan gelang giok yang merupakan hadiah pernikahan dari sang kakek.

Merebahkan tubuhnya ditempat tidur membuat Andrew mengingat kembali kejadian tadi pagi. Semua sudah selesai. Ia bukanlah pilihan. Sama seperti ayahnya dulu. Mereka adalah orang orang yang kalah. Tapi kali ini, ia tidak mau kalah. Ia akan menjadi pemenang. Paling tidak ia bisa melihat mereka mengerti. Bahwa ia bukan pria seperti yang ada dalam pikiran mereka. Ia sama dengan Dennis.

Mengingat wajah dan tatapan penuh kebencian seorang Michael padanya. Hujatan untuk ayah dan keluarga besarnya. Hinaan terhadap pekerjaannya. Membuat Andrew bertekad untuk tidak menyerah. Ia takkan kalah oleh dunia. Apalagi hanya keluarga Diandra.

***

Pagi itu Diandra bangun seperti biasa. Mandi dan berdandan tipis. Setelah melihat penampilannya sempurna, ia segera keluar kamar. Mendapati kedua orang tuanya sedang mulai sarapan. Setelah mencium keduanya, Diandra ikut duduk. Dalam diam ia memilih roti dan selai lemon favoritnya. Memakan roti itu dengan cara biasa. Kedua orang tuanya menatap tanpa kedip. Sesekali sang putri membalas tatapan mereka dan tersenyum. Senyum terbaik yang ia punya. Sama seperti saat berhadapan dengan kamera.

"Diandra sore ini ke Jakarta? Ada pemotretan dengan pihak Cosmopolitan kan?"

"Iya mi." jawabnya singkat.

"Kamu nggak ada rencana nyalon gitu?"

Diandra menggeleng sambil tersenyum dan kembali menikmati sarapannya.

"Oh ya, kita sudah lama nggak liburan bersama. Papi mau kalian atur waktu. Kita jalan jalan ke Eropa."

Diandra meletakkan rotinya kemudian meminum tehnya dengan susah payah.

"Terserah papi, aku ikut aja." jawabnya. Membuat kedua orangtuanya saling memandang tak percaya.

Selesai sarapan Diandra memilih memasuki perpustakaan. Sudah lama ia tidak kemari. Diraihnya sebuah buku yang tampak masih terbungkus. Baru teringat, ini adalah buku tentang sejarah perkembangan kebun teh milik mereka. Ia mendapatkan buku ini saat ulang tahun perkebunan teh mereka. Perlahan dibukanya halaman demi halaman. Foto foto lawas tentang pendiri yang merupakan kakek buyutnya. Karyawan perkebunan, mesin mesin pabrik.

Diandra tertegun, menyadari bahwa ia tak tahu apapun tentang perkembangan bisnis keluarganya. Sudah berapa banyak waktu berlalu? Ia yang tak punya minat untuk bisnis. Akhirnya menyadari kenapa papi ingin memiliki menantu yang berbakat mengurusi usaha keluarga mereka. Untuk meneruskan usaha yang telah dirintis lebih dari seratus tahun yang lalu.

Ditatapnya hamparan kebun teh yang ada dibelakang rumah. Juga rumah rumah karyawan dibelakang sana. Tempat orang orang yang sudah mengabdi secara turun temurun. Menggantungkan hidup dan masa depan dari perkebunan ini. Ia mengenal beberapa dari mereka. Bahkan berteman baik, saat masih sekolah dulu.

Menarik nafas dalam ia menyadari. Rasa sesak itu belum berakhir. Dalam kesunyian pagi ini, ia merasa bahwa Andrew tengah menangis disuatu tempat. Apa kamu pernah menyesal Doo? Saat ini aku merasakannya. Kenapa aku harus ketemu sama kamu berulang kali? Kenapa dulu kamu menghubungi aku. Kenapa aku nggak bisa menahan debaran saat menerima pesan dari kamu?

Aku hancur Doo, kamu nggak tahu kan? Aku ingin melupakan semua, tapi aku nggak  bisa. Aku hancur Doo. Kamu nggak tahu kan sehancur apa aku sekarang?

Kali ini Diandra sudah meletakkan kepalanya diatas kedua lutut yang bertekuk. Ia merindukan Andrew. Ia ingin semua kembali seperti semula. Tapi ia tahu, itu hanyalah angan angannya.

***

Andrew membereskan seluruh pekerjaannya di London. Ia juga pamit kepada Harry. Awalnya  Harry menentang keputusannya. Dan berjanji akan memberikan sebuah pekerjaan yang membuatnya menetap. Sayang ia sudah kehabisan semangat. Tak ada lagi yang harus dikejarnya kecuali membuktikan bahwa ia bisa menjadi seorang yang lebih baik.

Pada awalnya ia berniat menjual rumah peninggalan papa. Namun akhirnya atas saran Regine, ia hanya menyewakan. Kepada sepasang suami istri asal Malaysia yang tengah kuliah disana. Selain karena alasan kenangan. Juga karena harga rumah disana cukup meningkat pesat. Cocok untuk investasi jangka panjang.

Sebelum benar benar meninggalkan dunia kerjanya. Andrew masih menerima beberapa tawaran. Termasuk memotret sebuah produk kecantikan terbaru. Sebagai akhir perjalanan kariernya. Setelah  semua selesai. Ia mengucapkan selamat tinggal kepada rekan kerjanya.

Saat akan kembali ke Singapura. Ia membereskan peralatan memotret miliknya. Ada berbagai jenis lensa dengan banyak ukuran. Sesuai dengan kebutuhannya selama ini. Juga barang barang pribadi miliknya dan juga papa. Semua dikemas dengan baik dalam beberapa box. Benda benda itu akan menghuni rumahnya yang baru. Ia akan tingal di rumah Grandma.

Saat memasuki ruang kerja ayahnya, ia tertegun menatap dua pasang foto dalam figura yang sama. Ada papa dan mama. Juga ia dan Diandra. Dirabanya wajah Diandra yang melekat disana. Cantik! Rasa sesak, sakit dan marah bercampur menjadi satu.

Teringat saat ia melangkah keluar dari kediaman mereka. Saat itu ia berharap kalau Diandra mengejarnya. Mengatakan mencintainya dan memilih pergi bersamanya. Seperti janjinya dulu. Tapi semua tidak terjadi. Diandra sudah memutuskan pilihannya. Yakni melepaskannya.

Semua rasa yang masih terekam. Sampai saat ini memberikan sebuah rasa yang baru. Yakni dendam! Ia ingin melihat satu saat nanti kedua orang tua Diandra akan terpuruk dan menunduk. Ia ingin suatu saat nanti Diandra akan memohon  untuk menghentikan langkahnya. Dan pada saat itu, sudah terlambat. Karena Andrew sudah berubah menjadi orang yang berbeda.

Ia akan membuktikan pada mereka bahwa ayahnya adalah orang baik. Ia akan membuktikan bahwa ayah dan auntynya tidak salah dalam mendidiknya. Merekalah yang salah dalam memandang keluarga besarnya. Ia seorang laki laki bermarga Tan. Tidak akan pernah menyerah dengan keadaan seperti ini.

Ada banyak Diandra lain diluar sana. Bahkan mengejar ngejarnya sampai sekarang. Diandra harus melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau seorang Andrew tidak terpuruk karena kehilangannya. Ia akan kembali muncul sebagai Andrew yang baru.

Tidak peduli seberapa sulitpun jalan itu. Ia akan berusaha melaluinya. Ia akan tekun mempelajari semua. Dan akan mengalahkan mereka!


***

Happy reading

Happy weekend

Maaf untuk typo

030819

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top