Bab 17 -Demi Cinta-
Hati dan logika adalah dua sahabat sekaligus musuh sejati.
Pukul delapan malam, taksi yang membawa Marissa tiba di sebuah rumah di kawasan Permata Hijau.
Marissa menjinjing tas berisi buah kemudian masuk ke rumah. “Assalamualaikum, Bun,” ucapnya kemudian duduk di sofa panjang.
Tak lama Anissa keluar dari kamar kemudian duduk di samping putri tunggalnya.
“Alaikum salam, Marissa, kamu ngapain malam-malam begini pulang?” omelnya.
“Mas Bian ada rapat di sekitar sini, aku malas nunggu di rumah, jadi mampir aja di sini,” ujarnya.
"Kapan kamu mau cuti dari kantor? Assalamu'alaikum, cucunya Oma,” ucapnya sembari berbisik di perut Marissa.
"Mas Bian juga udah suruh Marissa untuk ambil cuti, tapi ini baru tujuh bulan. Dia malah minta aku untuk berhenti dari kantor, Bun,” keluhnya.
“Wajar, kamu itu harus nurut sama suami. Di rumah saja, fokus sama rumah tangga kamu,” nasihatnya.
Marissa mengangguk pelan kemudian menatap Anissa. “Bun, tadi aku lewat di depan rumah Pak Basori, ada rame-rame, kenapa?” tanya Marissa penasaran.
“Oh, itu. Tadi subuh, ada yang buang bayi di lataran musala beliau. Malahan, sempat ada polisi juga,” jawab Anissa.
“Astagfirullah, bayinya bagaimana, Bu?” tanya Marissa.
“Alhamdulillah, enggak kenapa-kenapa. Kayaknya ibu dari bayi itu sudah ketemu juga,” tutur Anissa.
“Bayi itu, dibuang ibunya sendiri?” selidik Marissa.
“Iya, katanya, ayahnya enggak mau terima bayi itu. Mungkin lebih baik bayi itu diasuh orang lain. Daripada harus tinggal bersama orang tua yang enggak sepenuh hati menginginkan dia. Sebentar, ya, Bunda ambil air dulu buat kamu,” lanjutnya kemudian pergi.
Penjelasan Anissa menghantam jantung, Marissa. Kecemasan itu menyergap tubuhnya, satu pertanyaan melintas dalam pikirannya. Apakah Bian akan merasakan hal yang sama seperti ayah bayi itu? Apakah sungguh, dia tidak bisa menerima kenyataan, bila bayi ini bukan miliknya?
Kilasan wajah Bian, Abhy, Erika, dan Samuel bergantian mengisi benaknya. Tangan Marissa gemetar tanpa sebab. Ia telah berjanji akan melakukan tes DNA termasuk membiarkan Bian memutuskan segalanya. Bayi yang ada di kandungannya tidak bersalah. Tidak memiliki dosa, termasuk Abhy juga Erika.
Keinginannya hanya satu, yaitu hidup dengan tenang, tanpa merasa bersalah juga disalahkan. Ia harus bisa membujuk Samuel untuk kembali pulang. Itu adalah satu-satunya cara mengakhiri semua masalah ini.
***
Pukul delapan pagi Lusi melangkahkan kaki dengan riang menuju pantri. Sebelum memulai hari yang super sibuk, ia butuh secangkir asupan kafein untuk tetap waras.
"Astagfirullah!" jerit Lusi ketika membuka pintu pantri.
"Kamu kenapa? Kaya liat hantu gitu,” ujar Bian menautkan alis sembari mengaduk kopi.
"Maaf, Pak, biasanya sepagi ini enggak ada orang di pantri," dalih Lusi. Hatinya kembali bertanya, untuk apa seseorang dari lantai delapan belas menyeduh kopi di lantai empat belas. Ia melirik gelas berisi susu di samping gelas kopinya. Ah, mungkin mereka tidak sempat sarapan, pikir Lusi.
"Alasan aja!" pungkas Bian sembari tersenyum.
"Beneran, Pak. Tumben Bapak sendiri yang buat kopi, Mbak Tya cuti? Kenapa enggak minta tolong Bang Harja, Pak?" tanya Lusi sembari menuang air panas.
"Iya, sampai lusa, Bang Harja lagi saya suruh keluar beli camilan buat Ibu Marissa. Kamu cuma minum air saja?" tebaknya.
Lusi tersenyum kikuk, urung melakukan niatnya. Bos-nya yang satu ini sulit untuk diprediksi. Lebih baik menyingkir sebelum ditanya hal aneh.
"Iya, saya duluan, ya, Pak," pamit Lusi.
Bian mengangguk kemudian menyesap kopi hitamnya. Sejenak ia menyandarkan diri ke dinding, menatap tanpa arah, seolah sedang mencari jawaban.
Baru saja Lusi menutup pintu, seseorang memanggil namanya, Bian mengenali suara Marissa dengan baik. Entah mengapa hatinya meminta untuk diam saja lalu merapatkan tubuh ke daun pintu.
Marissa menatap ke sekeliling lorong lalu berkata, "Lusi, aku mau minta tolong, hanya saja rahasiakan ini dari semuanya termasuk suami aku, ya?"
Jantung Lusi berdebar lebih cepat, ia tidak mungkin mengatakan kalau Bian ada di dalam pantri. Sepelan apa pun Marissa bersuara, tentu saja tetap akan di dengar oleh Bian.
"Bu, kita bicara di ruangan Ibu saja, ya?" mohon Lusi.
Marissa kembali menatap ke sekeliling. "Di sini sepi, kalau di ruanganku, takutnya nanti, Mas Bian masuk tiba-tiba,” tolak Marissa, “dia pasti tahu masalah ini,” lanjutnya.
"Bu, tapinya, Bu ....” Lusi berusaha keras berpikir untuk memberikan kode atau semacamnya.
Sementara Bian benar-benar diam serta bisa dengan jelas mendengar percakapan dua wanita itu.
"Bisa kamu booking satu meja di Mars kafe untuk makan siang hari ini?” pinta Marissa.
"Cie, Ibu mau bikin kejutan buat Pak Raka, ya?" goda Lusi, hatinya benar-benar lega.
Bian tersenyum sembari menyesap kopinya. Sudah lama sekali rasanya Marissa tidak memberikan kejutan manis walaupun hanya sekadar makan siang.
Wajah Marissa berubah muram. "Sebenarnya, aku juga mau minta tolong sama kamu buat hubungi Samuel," lirih Marisa.
"Siapa? Sam–SAMUEL? Maksudnya Bapak Samuel yang itu?!" tebak Lusi setengah berteriak.
"Syuuut! Pelan-pelan ngomongnya! Iya, aku enggak mungkin yang duluan telepon dia, nanti Mas Bian tahu!" elak Marissa.
Lusi benar-benar berharap dirinya bisa menghilang. Tangan serta lututnya gemetar.
Sumpah, pasti Pak Raka dengar semuanya, batin Lusi.
"Lusi, nanti kamu juga ikut, ya? Jadi, aku punya alasan makan di luar sama kamu, oke?"
"Bu, tapinya—"
"Lusi, aku cuma mau meluruskan beberapa hal sama Samuel. Mas Bian enggak kasih aku izin untuk berurusan lagi sama Samuel. Tolong aku, ya? Aku ke ruangan duluan, ya? Terima kasih banyak,” tutur Marissa lalu pergi meninggalkan Lusi dengan sejuta kebimbangan.
Jantung Lusi rasanya berhenti berdetak ketika mendengar suara pintu dibuka. Hatinya meminta untuk lari sekencang-kencangnya, tetapi ia bahkan tidak sanggup untuk berkedip, di detik berikutnya Bian sudah berada di hadapan Lusi.
"Sa–ya, enggak akan–lakukan perintah ...," ujarnya terbata.
"Pesankan kursi di sebelah kursi mereka. Pastikan mereka enggak mengetahui keberadaan saya,” ujarnya dengan tatapan datar kemudian pergi meninggalkan Lusi yang hampir pingsan.
***
Siang itu, matahari membakar aspal jalanan Jakarta. Bian sudah tiba di kafe setengah jam sebelum waktu makan siang. Ia berganti pakaian; mengenakan jaket juga topi hitam yang baru dibeli. Berharap Marissa tidak akan mengenali dirinya.
Bian duduk menunduk dengan hati gemetar, walau sudah berjanji berkali-kali untuk diam dan mendengarkan percakapan mereka. Ia khawatir tidak bisa menahan emosi saat mendengar pengakuan yang mungkin akan terlontar dari bibir istrinya.
Lusi dengan baik memesan dua tempat yang saling membelakangi hanya terpisah sekat kaca tipis dengan sulur daun plastik menghiasinya.
Ponsel yang tiba-tiba bergetar, sempat mengagetkan Bian. "Halo," jawabnya malas.
"Mas, kamu di mana?" tanya Marissa antusias.
"Ada apa? Aku ada meeting sama Aris di Ciputat, maaf tadi enggak sempat pamit sama kamu," kilahnya.
"Oh, ya udah, aku mau makan di luar sama Lusi, boleh, ‘kan?" Bian terdiam, bila ia tidak mengizinkan istrinya pergi, akankah Marissa tetap nekat? “Mas?” panggilnya lagi.
"Iya, hati-hati," jawabnya lalu memutus panggilan telepon. Rasanya Bian tidak sanggup berlama-lama mendengar omong kosong istrinya.
Perlahan ia menutup mata, entah apa yang ingin Marissa sampaikan pada Samuel. Ia tidak meragukan kesetiaan Marissa, hanya saja hatinya tidak mampu menutupi logika.
Apa yang akan terjadi bila Marissa memutuskan untuk meninggalkannya? Apakah ada pengakuan lain?
Bian membetulkan topi juga jaketnya ketika mendengar ketukan langkah makin mendekat.
Hatinya berbisik bahwa istinya sudah tiba di restoran ini.
Lusi menyeka keringat dingin di dahi. "Bu, aku pesan minum saja, itu juga mau dibungkus, aku udah bawa roti, mau makan di mobil aja,” dalihnya.
"Kenapa? Di sini saja, pesan kursi sebelah situ," anjur Marissa.
"Enggak, maksudnya, biar Ibu sama Pak Samuel bisa ngobrol lebih leluasa!” tolak Lusi lalu bangkit dari kursi. Sejenak menelan ludah ketika menatap sosok pria yang duduk di belakang sekat kaca, tahu kalau itu adalah Bian. Ia pergi sekaligus berdoa, mudah-mudahan saja Marissa tidak mengatakan hal yang kelak memicu kemarahan Bian.
Marissa kembali meraih ponselnya. Belum ada balasan pesan dari Bian. Hatinya mengira mungkin dia sedang sibuk bersama Aris.
"Selamat siang, Bu, pesanannya jus jeruk, ada lagi?" tanya seorang pramusaji yang meletakkan pesanan di atas meja.
"Itu saja dulu, terima kasih," ucap Marissa.
Ia kembali menatap arlojinya. Waktunya hanya tiga puluh menit lagi.
"Marissa, maaf terlambat," ujarnya yang tiba-tiba datang dengan terengah-engah.
Marissa sedikit tersenyum lalu melambaikan tangannya pada seorang pramusaji.
Secangkir kopi juga dua porsi croissants sudah tersaji di atas meja. Belum ada percakapan berarti, yang dilontarkan keduanya baru sekadar bertanya kabar.
"Erika apa kabar?"
"Sepertinya baik.”
"Sepertinya?" Marissa menegaskan pernyataan Samuel.
"Kami sedang dalam tahap perceraian, minggu depan masuk persidangan kedua," ucapnya lagi.
"Samuel, hentikan! Duniamu bukan lagi hanya tentang kamu, ada Erika juga Abhy! Jangan menuai hal yang akan kamu sesali!" seru Marissa.
"Aku menyesal karena menyerah akan cinta kita!" balas Samuel.
"Samuel, enggak ada kita dan enggak akan pernah ada! Sadarlah!" marah Marissa.
"Kamu menerima pinangan Bian karena sakit hati aku menikah, ‘kan? Apa sekarang aku enggak boleh menebus semua kesalahanku padamu?” Samuel menggenggam tangan Marissa. "Aku tahu kamu masih mencintai aku," lirihnya.
Seketika Marissa menarik tangannya. "Samuel, aku menerima pinangan Mas Bian karena aku mencintai dia! Terima kasih karena kamu sudah mempertemukan kami. Aku dan Bunda sudah memaafkan semua kesalahanmu. Cukup. Takdirku adalah bersama Mas Bian. Jodohku adalah dia, bukan kamu. Samuel, Mas Bian memberikan aku banyak hal selain cinta yang tentunya enggak bisa aku dapatkan dari orang lain termasuk kamu!" lanjut Marissa.
"Bian, Bian, Bian! Cukup menyebut dia! Aku enggak akan mundur, aku minta maaf karena pernah meninggalkanmu di hadapan tamu juga penghulu, Marissa, menyerahlah! Aku akan menjadi imam untukmu, aku akan memberikan semuanya untukmu!" mohon Samuel.
"Enggak, bukan pernikahan seperti itu yang aku inginkan. Biarkan aku dan Mas Bian menjalani rumah tangga kami dengan baik, merawat bayi ini hingga pada akhirnya maut yang akan memisahkan,” balas Marissa.
"Aku sudah melepaskan semuanya, demi kamu."
"Kamu enggak tahu apa yang sudah kamu lepaskan. Aku enggak akan pernah menjadi milikmu, kalaupun Mas Bian melepaskan aku, demi Allah, aku enggak akan kembali lagi padamu!” tegas Marissa.
"Aku mencintaimu, Marissa!"
"Enggak! Demi Allah, aku menginginkan kita tetap menjalin silaturahmi bukan untuk kembali mengenang semuanya, melainkan untuk menjalin ikatan persaudaraan yang lebih kuat dari hubungan asmara belaka! Samuel, hentikan, kasihanilah aku, hanya dengan Rakabian Soejarmoko aku ingin menjalani sisa hidup!”
Setangkup rasa gembira menggelayuti hati Bian. Ia memang yakin Marissa tidak akan pernah berpaling.
"Lalu bagaimana dengan bayi itu? Dia adalah anakku! Malam itu, walaupun dalam matamu aku adalah Bian, tetap saja yang bercinta denganmu adalah aku!! Samuel Aditya Herman!!" sentak Samuel.
"Malam itu, kamu memperkosaku! Memanfaatkan kondisiku! Aku tahu kamu enggak mabuk! Tapi, bayi ini adalah milik Mas Bian! Enggak ada dugaan lain!" tampik Marissa.
"Apa yang membuatmu begitu yakin? Mungkin dia adalah anakku! Kamu enggak bisa memisahkan seorang ayah dari anaknya!" balas Samuel.
Marissa tertawa pelan. "Berkacalah! Jangan bicara soal tanggung jawab ketika kamu sendiri mengabaikan Abhy! Dia yang jelas-jelas adalah anakmu! Darah dagingmu!" cibir Marissa.
"Aku enggak akan melepaskan kamu!" tegas Samuel.
"Kalaupun anak ini adalah milikmu, selamanya kamu enggak akan pernah ada dalam hidup kami, berhentilah sebelum enggak ada lagi hati yang akan terbuka untuk menyambutmu, aku pergi!" pamit Marissa.
"Marissa! Marissa!!" panggil Samuel yang berlari mengejar Marissa.
Bian membekap erat-erat mulutnya. Seluruh tubuhnya gemetar hebat, sekuat tenaga ia menahan jerit. Sesak di dadanya terasa berkali-kali lipat mengimpit jiwa.
Pengakuan itu akhirnya meluncur dari bibir istrinya sendiri. Semua yang ia coba pertahankan, hancur seketika dan menghilang bagai debu tersapu angin.
Semakin kuat ia coba untuk tidak menjerit, batinnya semakin teriris. Kecurigaannya terjawab dengan kenyataan pilu.
Ia bahkan tidak rela seekor nyamuk hinggap di kulit Marissa dan sekarang kenyataannya adalah seseorang telah berhasil menyentuh semuanya.
Suami macam apa yang tidak sanggup melindungi istri juga kehormatannya dan istri mana yang melindungi orang yang sudah menghancurkan rumah tangganya sendiri?
Bian merunduk, kepalan tangannya menopang dahi. Isak tangisnya mulai terdengar jelas. Ia tidak bisa cegah hatinya meluapkan semua rasa kecewa, bersalah, sakit hati serta tanpa sadar membulatkan keyakinan bahwa bayi itu bukan miliknya. Bukan darah Soejarmoko.
Rasa egois juga harga dirinya sebagai seorang pria melarutkan cinta. Bian hancur, lebih dari berkeping-keping.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top