6 - Bad Dream


Tepat di sebelah timur gerbang sekolah yang menghadap ke utara, Darel berdiri di sebelah mobil hitam sambil bersedekap, mengamati setiap anak yang keluar dari gerbang. Pria berambut coklat acak-acakan itu menoleh ke kiri-kanan untuk mengatasi kebosanan. Sesekali membuka layar ponsel untuk mengecek ada tidaknya notifikasi. Helaan nafas pun terdengar berkali-kali.

Mengapa harus aku yang menjemput anak itu?

Tidak sabar, Darel mengunci mobilnya, kemudian masuk melalui gerbang sekolah yang masih terbuka lebar.

"Boleh numpang ke toilet sebentar?" tanyanya kepada satpam sekolah.

***

Sebelum kelas berakhir, tiba-tiba tiga orang siswa mengalami pusing, mual, dan muntah. Lova sempat panik ketika mengajar di kelas 3-2, mendapati tiga anak itu berwajah pucat. Ia pun langsung menghubungi orangtua masing-masing, mengizinkan mereka pulang duluan. Sepertinya ia tahu penyebab tiga siswa itu mengalami kondisi kesehatan yang mendadak turun.

"Apa yang kau lakukan pada mereka?" Lova menghadang Gavin begitu anak itu keluar dari kelasnya.

"Aku tidak mengerti ucapanmu, Miss Lova," sahut Gavin polos.

"Aku telah melihat semuanya. Kau tidak bisa berbohong. Kemari!" Lova menarik kasar tangan Gavin. Mereka menuju tempat agak sepi, taman samping sekolah.

Kebetulan, Darel baru saja keluar dari toilet, melihat mereka bergandengan tangan dan berjalan sedikit cepat.

"Alvin, Harry, dan Morgan ... tadi bertemu denganmu, 'kan?"

"Kalau iya, memangnya kenapa?" Gavin balik bertanya.

Lova menceritakan peristiwa yang terjadi di kelas 3-2. Tiga siswa yang tadi disebutkan namanya mendadak mengalami sakit kepala secara bersamaan. Mereka juga merasa mual. Setelah itu, lantai belakang kelas tercecer muntahan mereka bertiga.

"Kudengar, mereka pernah mem-bully dirimu sewaktu kelas 2. Pasti kau memberi mereka racun," tuduh Lova.

Bola mata hazel milik Gavin membulat seketika. Ia terkejut gurunya berkata demikian.

"Jangan menuduhku sembarangan! Apakah Miss Lova punya bukti?"

"Tidak. Tapi, aku yakin itu pasti perbuatanmu," tekan Lova.

Menyaksikan kejadian tidak menyenangkan, Darel segera bergabung dalam percakapan.

"Gavin, Lova ... apa yang kalian lakukan di sini?"

Lova mengarahkan jari telunjuknya, langsung bicara blak-blakan, "Gavin telah meracuni tiga temannya."

Darel terkejut. Namun, untuk memastikan, ia menanyakan langsung kepada yang bersangkutan. "Benarkah itu, Gavin?"

"Aku tidak meracuni mereka, Paman. Itu hanyalah efek samping dari permen stroberi peppermint yang kuberikan pada mereka."

Gavin membuka tas bagian depan. Terdapat kantung merah di dalamnya berisi sebuah permen dengan kemasan hijau mengkilap. Permen itu ia berikan kepada Darel. Kemudian pamannya itu memeriksa sejenak.

"Dosisnya terlalu tinggi untuk anak di bawah 12 tahun," tuturnya.

"Dosis tinggi? Apakah itu obat tidur? Obat mual? Obat sakit perut?" cerocos Lova makin penasaran. Bungkusan hijau itu terus diperhatikan.

"Oh, em... bukan apa-apa," ucap Darel tak ingin memberitahu. "Terima kasih sudah memperingatkan Gavin. Lain kali aku akan lebih serius menasehatinya."

"Eh, iya sama-sama!" sahut Lova sedikit menunduk. Mungkin ucapannya tadi terlalu keras sehingga membuat Darel berpikir yang bukan-bukan tentang Gavin.

Menatap kepergian dua anggota keluarga Gladstonius dari gerbang sekolah, Lova terpikirkan suatu hal.

Stroberi peppermint? Sepertinya, aku pernah mencium aroma itu.

Tiba-tiba, ia teringat bahwa ada hal penting yang harus dikerjakan. Ia kembali menuju ruang guru.

***

"Huh, hampir saja ketahuan!" keluh Darel saat ia dan Gavin berada di dalam mobil.

"Kurasa Miss Lova punya insting yang tajam," ucap Gavin masih menatap jalanan di depan mobil.

"Bagaimana bisa kau membawa benda itu ke sekolah?" Darel langsung menuju ke inti pembicaraan.

"Ini semua gara-gara Paman Daven dan Paman Darel."

Darel mengernyit, lalu sedikit tertawa. "Bisa-bisanya kau menuduh berbuat hal yang tidak ada kaitannya dengan kami."

"Jika Paman Darel mau mendengarkan ceritaku sampai tuntas, maka kau akan mengerti," tekan Gavin meyakinkan.

"Oh, baiklah, Mr. Emiliano! Ceritakan semua kejadian yang kau alami sebelum kita sampai rumah."

Biasanya, Darel selalu tertarik dengan cerita kehidupan keponakannya satu ini. Terlebih cerita tentang hantu atau kejadian tak terduga lainnya. Gavin adalah anak pemberani, tidak pengecut seperti dirinya. Darel mengakui hal itu.

Mobil berhenti tepat ketika lampu merah menyala. Darel mengetuk-ketuk gagang setir mobil, seraya menunggu bocah lelaki di sebelahnya bersuara. Dengan tatapan tenang, Gavin masih bungkam. Darel terus sabar menunggu kisah bocah lelaki ini hingga lampu menyala.

"Apakah Paman Darel masih ingat, saat kita menyelamatkan tiga anak yang hampir dikurung di dalam peti mati rasa stroberi?"

Darel merenung hendak mengingat kembali. Setelah ingat, ia mengangguk.

"Mereka bertiga tidak tahu tentang fenomena Sacred Hour, tetapi mereka tahu kalau ada orang-orang yang menyelamatkannya saat akan diculik hantu. Salah satu dari mereka melihatku dan memberitahu dua temannya. Mereka masih ingat tentang para makhluk berjubah merah."

"Jubah merah? Bukankah itu ... kita?" Darel menunjuk dirinya sendiri. Orang yang dimaksud selain dirinya adalah Daven dan Gavin.

"Setelah misi kita berakhir, harusnya Paman memberinya permen penghilang ingatan. Jadi, sebelum anak-anak lain tahu tentang identitasku, aku memberikan obat itu kepada mereka bertiga." Gavin mengeluarkan kantung permen dari dalam tasnya.

"Kau tidak boleh membawa ini lagi. Obat ini berbahaya bagi anak-anak. Ada dosis tertentu yang harus diberikan. Tidak boleh makan semuanya." Darel merebut kantung permen dari tangan Gavin.

"Setidaknya, aku telah mengingatkan Paman agar tidak menjadi makhluk pelupa." Sindiran itu terdengar tajam di indera pendengaran Darel.

"Baiklah, aku mengaku salah. Karena saat kejadian itu, ada Lova di sana. Aku pun buru-buru menyelamatkannya agar tidak terkena imbas fenomena mencekam itu."

"Huh, Paman Darel selalu saja mempedulikan perempuan itu!" Gavin menghela nafasnya. Ia mengambil coklat kacang yang ada di dashboard, lalu memakannya. "Bilang saja, kau menyukainya, bukan?"

"Ah, kau pun sama saja! Selalu ingin tahu urusan orang dewasa." Darel tak mau kalah dengan ucapan bocah lelaki yang berbicara tampak dewasa ini.

"Itu karena hidupku selalu dikelilingi oleh orang-orang dewasa macam kalian." Gavin menimbulkan suara kecapan beberapa kali. Kepalanya disandarkan di bantal kursi bergambar kucing hitam. Ia menutup matanya, merenungkan sesuatu.

"Aku yakin, setiap malam Miss Lova selalu mengalami mimpi buruk. Ada saja drama yang ia lakukan setiap hari. Kelakuannya makin gila. Apakah Paman Darel bisa mengobatinya?"

Lagi-lagi, bocah ini melontarkan pertanyaan iseng yang menggelitik batin pamannya.

"Entahlah, aku tidak tahu! Dia menjadi gila karena mengalami mimpi buruk, atau ... karena tergila-gila dengan pesonaku?" Darel membayangkan sesuatu sambil meringis.

"Dasar jomlo!"

Terasa ada yang menggelitik perut Darel. Dia langsung tertawa terbahak-bahak setelah mendengar ucapan konyol Gavin. Darel menatap sekilas ke arah anak bermata hazel ini. Dalam hati kecilnya, Darel selalu berharap kalau Gavin bisa tertawa. Bukan berwajah tanpa ekspresi seperti saat ini.

Tiba-tiba,Darel merasa ada sesuatu yang menabrak mobilnya. Setirnya langsung diputar kekiri untuk menepi. Mobil pun berhenti.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top