4. Pergerakan

Lucid dream

Kata orang, lucid dream adalah suatu kondisi di mana kita sadar bahwa kita sedang bermimpi. Seorang teman—yang seharusnya menikah bulan depan agar aku bisa menjadi kasir—menceritakan pernah mengatur mimpinya. Bagaimana temanku itu memerintahkan pocong agar tidak lagi mengejarnya, juga mengubah latar area pemakaman dengan pantai pasir putih, dan mengganti pakaian gembelnya dengan bikini. Itu jelas kondisi yang menarik. Mimpi buruk, hanya karena kesadaran yang kuat selagi terlelap, berubah menjadi mimpi indah.

Aku ... ingin seperti itu.

Jika saja aku tidak melihat detik-detik Sugiono—kucing Adit—ditangkap lalu dimakan makhluk mengerikan itu, atau jika jariku tidak terjepit dan masih berdenyut nyeri hingga sekarang, mungkin aku akan menghadang gerombolan yang sudah merusak malam kami. Ini sungguh mengesalkan hingga aku ingin meneriakkan kata-kata kasar. Tidak cukupkah kekacauan hari ini? Setelah kesalahan perayaan ulang tahun, keributan akibat saling melempar tanggung jawab, digebrak Mak Tary, suara ledakan besar yang entah dari mana, dan disusul padamnya listrik, kami masih harus menghadapi kesialan yang lebih besar lagi. Entah siapa dalang di balik semua ini. Aku hanya berharap orang itu bisa kembali waras dan menarik pasukannya dari lantai dasar tempat kami tinggal.

"Sekarang bagaimana?"

Dalam keremangan cahaya merah lilin yang bergoyang di tengah kami, aku bisa melihat jelas air muka Lin yang tampak ketakutan. Tangannya bahkan masih menggenggam tangan Bhimo. Padahal kupikir mereka musuh bebuyutan, mengingat bagaimana Lin selalu berteriak mengatai Bhimo pedofil.

"Te—"

Punggungku langsung tegak ketika suara Bhimo terpotong oleh lolongan di kejauhan. Gerombolan itu masih melakukan penyerangan. Adit yang duduk di sebelah Mayang berjalan perlahan mendekati jendela. Ada bagian kecil yang tidak tertutup lemari yang tadi kami dorong agar salah satu makhluk itu tidak masuk. Dari celah itulah, Adit membungkuk dan mengintip. Cukup lama sebelum dia kembali duduk dan mengusap wajah dengan kasar.

"Ini gila," ujarnya.

"Kamu lihat apa di luar?" Thiya yang duduk di sebelahku segera beranjak, menempatkan diri di antara Mayang dan Adit.

"Enggak kelihatan soalnya gelap. Tapi ... suara cabikan itu ...." Adit kembali mengusap wajah. 

"Kayak waktu dia makan Sugiono! Sial!"

Aku merasa bahwa bukan hanya bahuku yang mendadak lemas. Dan aku juga merasa kami memiliki pikiran yang sama: ini pasti mimpi. Kuku tangan kananku masih terlihat hitam kebiruan. Mungkin darahku menumpuk di sana akibat bantingan pintu setelah Thiya, Adit, Mayang, Bhimo, dan Lin menerobos untuk ikut masuk. Sudah tidak berdenyut. Namun, saat ditekan, rasa sakitnya menjalar dan membuatku ingin mengumpat.

Ini nyata. Teror itu memang tengah terjadi. Dan kami terjebak.

Sekarang, isak tangis yang memenuhi kamarku bukan hanya dari Lin, tetapi juga Mayang. Dia bahkan sampai tersengguk-sengguk dan bersandar pada tubuh Thiya. Melihat bagaimana Thiya yang tengah menatap lilin, Lin yang membekap mulut, Adit yang kembali mengusap wajah dan mengerang pelan, juga Bhimo yang semakin menutup wajah dengan hoodie, membuat pandanganku mulai buram.

Entah kenapa dalam situasi seperti ini, aku merasa kami sangat dekat. Walaupun aku jarang berinteraksi dengan mereka. Bahkan pada Adit yang tinggal di sebelah kamarku. Aku hanya tahu dia suka menulis puisi dan terkadang mendengar dia seolah-olah menyahuti Sugiono. Aneh, memang. Lalu Thiya, aku hanya tahu dia pacaran dengan tukang parkir rusun, dan suka pura-pura mati kalau Mak Tary datang. Mayang, aku jarang melihat dia keluar, tetapi suara menggelegar musik di kamarnya bisa menjadi penanda kalau dia masih hidup di sana. Lina ... aku biasa memanggil dia dengan Lin dan aku hanya tahu dia dulu teman satu sekolah Bhimo.

Rasanya seperti ada yang mencubit perut saat keinginan memeluk mereka satu per satu muncul. Aku ingin mengelus punggung mereka dan membisikkan kata-kata penyemangat. Seperti yang sering aku lakukan jika Alma datang dengan keluhan. Alma ....

Bagaimana keadaan anak itu? Apa dia juga bersembunyi bersama yang lain? Seharusnya, aku mengikuti seruan hati yang memerintah untuk tidur dengannya malam ini. Setidaknya, kami bersama ketika ledakan itu terjadi. Dan kami bisa saling menguatkan seperti saat tidak punya uang untuk membeli album TVXQ.

Al ... di mana pun kamu berada saat ini, Kakak harap kamu baik-baik saja. Tidak terluka. Jangan takut. Kita pasti akan ketemu lagi. Kakak janji. Kita pasti bisa nonton konser TVXQ di Jepang. Tuhan, lindungilah kami semua.

"Ini pasti ulah alien."

Aku merasa kami serentak menoleh ke arah Mayang. Gadis itu duduk tegak. Air matanya yang masih membasahi wajah, membuat kesan yang membuat bulu-bulu halus di tanganku semakin berdiri tegak. Apalagi sorot matanya yang tajam seolah sedang mengabsen wajah kami. Itu membuat udara semakin dingin. Dan saat tatapannya masuk ke mata, aku meringis keras.

"Jangan ngaco!" bantah Adit. "Memangnya kamu pikir kita lagi shooting film Chori Chori Chupke Chupke yang lagunya sering kamu puter itu?"

"Tolong didengarkan, Tuan Dita—"

"Adit!" Siapa pun memiliki hak untuk protes jika namanya salah disebut. Namun, tidak harus dengan berteriak. Jadi, daripada tempat persembunyian kami terdeteksi, aku mendesis sambil meletakkan jari telunjuk ke bibir. 

Aku bisa mengerti kenapa Adit membentak seperti itu. Kami sudah terbiasa dengan kenyataan bahwa Mayang sering salah memanggil kami. Bahkan, sering kali dibiarkan, terserah mau panggil dengan nama apa, asal dia anteng. Namun, aku yakin kalau bukan hanya aku yang baru mengalami malapetaka seperti ini. Yang membuat darah kami naik hanya karena kesalahan kecil. Aku pun kalau tidak sayang tangan sudah meninju tembok dari tadi. Merasa tidak berguna dan bingung harus melakukan apa.

"Film India tentang alien itu judulnya Koi Mil Gaya." Setelah hening sejenak, Mayang mengoreksi ucapan Adit dengan suara yang berbisik. Kupikir, dia akan kembali menyampaikan teori lagi. "Nah ... yang sering aku putar itu original soundtrack dari film Kabhi Khushi Kabie Gham." Namun, dugaanku meleset total. "Ini pasti karena alien."

"Alien? Di zaman canggih begini kamu masih percaya dongeng kayak gitu?"

Mayang mendengkus keras. "Terus apa? Udah pasti sesuatu dari luar planet ini yang udah ngirim monster kayak mereka."

"Yang realistis, dong. Ini pasti ulah teroris. Mereka ingin menggulingkan pemerintahan. Makanya pakai senjata biokimia agar pemerintahan lumpuh total."

Pikiran Adit memang yang paling masuk akal.

"Tuan Dika ini kebanyakan nonton film perang, kayaknya." Mayang menyahut santai.

Adit yang tidak terima pendapatnya dipatahkan dengan ucapan seperti itu membalas. Sekejap, mereka berdua terlibat adu mulut. Walaupun saling melempar argumen dalam bisikan, tetapi tetap saja itu mengganggu. Bukankah kami harus bersatu? Dan sepertinya tidak ada yang mau melerai mereka. Thiya bahkan sudah pindah dan kembali duduk di sebelahku. Mata gadis itu kembali fokus menatap lilin. Bhimo dan Lin tetap saling berpegangan tangan dengan mulut yang terkatup rapat.

Dan mendadak dadaku sesak. Aku benci mendengar suara mereka. "Cukup!"

Kompak, mereka berdesis ke arahku. Aku mencoba untuk menghela napas sedalam mungkin dan mengembuskannya secara perlahan. Terus seperti itu hingga impitan di dadaku berkurang. "Kita boleh berpendapat, tapi tolong jangan pakai urat. Kita belum tahu pasti siapa yang sudah ngirim zombi-zombi itu. Kita butuh informasi yang benar."

"Dapat dari mana? Listrik mati. Provider yang paling kuat aja udah hilang sinyal dari tadi."

Ucapan Mayang membuatku menggaruk kepala. Jari-jariku langsung terasa lengket. Membayangkan ketombe yang menumpuk di kulit kepala, membuatku semakin pening. Jadi siapa? Lebih dari pertanyaan itu; kami harus bagaimana? Harus diam atau bergerak?

"Bukannya kamu punya radio butut?"

Aku langsung menoleh ke Thiya. Matanya masih menatap lilin.

"Aku liat kamu bawa waktu jemur daleman."

Mulutku terbuka dan langsung beranjak ke kasur dengan membawa lilin yang sedari tadi dilihat Thiya. Benda kesayangan Kakek yang dulu selalu memutar sandiwara Tutur Tinular itu tergeletak di samping bantal. Lega rasanya karena aku batal menjual ke tukang barang rongsok. Memang benar kata orang kalau warisan itu dijaga, jangan dijual.

Sebelum menyalakan radio yang sekarang tergeletak di dekat lilin, aku memutar volumenya hingga nyaris mentok. Awalnya, suara dengungan tawon yang kami dengar. Beruntung, aku tahu frekuensi yang sering membawakan berita alih-alih lagu hits masa kini.

Posisi duduk kami pun semakin merapat dengan kepala yang mencondong ke arah radio. Pelan, suara berat yang disalurkan radio masuk telinga kami.

"Pemerintah menetapkan ini sebagai kejadian luar biasa—"

"Maksud dia itu kita?"

Kami berdesis kompak ke arah Lin.

"Penyebabnya belum diketahui secara pasti. Namun, ledakan pabrik disinyalir sebagai penyebab utama. Sampai sejauh ini, kami belum bisa mendapatkan data tentang korban yang berjatuhan. Aparat keamanan mengimbau agar selalu waspada. Personil penyelamat juga sudah dikerahkan.

"Hanya saja, apa yang kita hadapi saat ini membawa virus yang mematikan, hingga proses evakuasi hanya akan dilakukan melalui udara. Sejauh ini sudah diberangkatkan enam helikopter evakuasi yang akan mendarat di atap masing-masing bangunan tertinggi di sekitar lokasi ledakan.

"Para personil penyelamat hanya akan membantu mengamankan dari dua lantai teratas. Untuk Anda, saudara-saudara kami, jangan pernah putus asa. Tuhan bersama kita. Kami akan melaporkan perkembangan kasus ini setiap sepuluh menit. Terima kasih."

Suara berat si penyiar berganti dengan lagu kebangsaan. Kami mengembuskan napas di saat yang nyaris bersamaan.

"Apa artinya tadi? Berarti helikopter udah datang? " Aku menatap mereka bergantian. Kami bisa selamat!

"Hanya mengamankan dua lantai dari atas. Sial! Apa mereka pikir kita ini Iron Man?" Mayang menjerit tertahan.

"Ada dua puluh lantai lebih di atas kepala kita," sahut Thiya. "Menurut kalian, berapa lama waktu yang bisa kita gunakan untuk ke atas dengan makhluk jelek, bau, dan berlendir darah itu sebagai pengintai?"

"Kita di sini aja, yah."

Entah ucapan Lin untuk Bhimo atau kami semua, tetapi Adit langsung membantah. "Memangnya, kamu pikir berapa lama lemari itu bisa menutup jendela? Meja itu bisa menahan pintu? Kita harus bergerak."

"Tapi bagaimana? Kita enggak punya senjata! Kalau modal nekat, itu sama aja kayak bunuh diri." Lin kembali menangis histeris.

"Yang ada malah arwah kita aja yang nyampe atas." Dan ucapan Bhimo sangat tidak membantu.

"Kita beda dari mereka. Mereka cuma tahu nyerang. Kita bisa pakai strategi karena masih waras."

"Mau pakai strategi apa? Market-garden?"

"Enggak harus kayak tentara Sekutu juga, Thi." Adit menyahut pelan. "Bener kata Lin, kita butuh modal nekat. Tapi ... kita juga akan membawa senjata. Apa aja yang berada di kamar ini bisa kita buat sebagai senjata. Gunting, misalnya."

Aku ingat menyimpan satu buah gunting lipat di laci meja. Tadinya itu buat hadiah temanku yang akan menikah agar nanti dia tidak perlu lagi membeli gunting lipat saat hamil. Namun sepertinya, aku yang lebih membutuhkan benda itu.

"Akan lebih aman kalau kita punya banyak kucing kayak Sugiono," ujar Thiya. "Tinggal sodorin ke zombi-zombi itu biar mereka mati."

Mendadak atmosfer berubah. Dan aku yakin tadi mendengar tarikan napas yang dalam dari Adit. Memang, matinya Sugiono pasti menyisakan duka lara di hati Adit, tetapi pemikiran Thiya memang bagus. Aku masih ingat bagaimana salah satu zombi itu mencekik Sugiono sebelum membuka mulutnya yang robek dan memasukkan bagian bawah Sugiono. Mengunyah tubuh kucing malang itu hingga darah muncrat ke mana-mana. Namun, tidak lama zombi itu tersungkur. Dan tidak bergerak lagi. Mati.

"Juga bekal." Adit melanjutkan. Memang, di saat seperti ini lebih baik menyimpan duka untuk sementara. "Untuk kali ini jangan ada yang pelit."

Lima pasang mata langsung mengarah padaku. Sial. Aku memang jarang menyumbang kalau kami mengadakan kegiatan, terutama makan-makan. Itu semua kulakukan untuk menerapkan hidup hemat.

"Aku punya banyak di kolong kasur." Sebisa mungkin aku berkata dengan tenang. "Kita bisa membawa semuanya."

"Oke. Jadi, kita akan berangkat besok. Pagi-pagi. Karena kalau sekarang terlalu berbahaya."

"Aku enggak mau!"

Seruan dari Lin membuat beberapa dari kami mendengkus.

"Terus kamu mau mati di sini? Mereka enggak akan mau ke bawah cuma buat jemput enam orang yang terkurung di kamar," ujar Mayang.

"Lin ...." Aku beranjak. Memisahkan tubuh Lin dari Bhimo yang sama sekali tidak bisa diandalkan untuk menenangkan Lin. Pelan, aku menggenggam tangannya. "Lin ...."

Lin menatap ke wajahku. Ah ... betapa aku ingin mengatakan ini juga ke Alma.

"Kamu enggak sendiri. Ada kami. Kita akan bekerja sama. Saling melindungi. Enggak akan ada yang terluka karena kita lebih pintar dari mereka. Semua akan cepat selesai. Kita akan selamat."

Lin kembali menundukkan wajah, tetapi tak lama dia mengangguk.

"Oke, fix. Besok pagi kita bergerak."

*****

Ditulis oleh: ranelinez

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top