RS | Part 47

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Terkadang jika kita bahagia akan sesuatu, euforia dalam menyambutnya terkesan berlebihan."

-Rintik Sendu-

by Idrianiiin

HAMNA menggeliat saat telinganya mendapati kebisingan. Dia mengerjap perlahan, dan mendapati sepasang tangan melingkar apik di pinggangnya.

"Dalam kondisi nggak sadar juga jiwa-jiwa modusnya masih ada," gumam Hamna berusaha untuk menjauhkan tangan Hamzah.

Hamzah melenguh pelan.

Lain hal dengan Hamna yang memutar bola mata malas. Dia dekatkan mulutnya ke arah telinga Hamzah lalu berkata, "Mau sampai kapan modusin saya, hm?!"

Hamzah terlonjak, nyawanya belum terkumpul sempurna. Tapi, pada saat membuka mata langsung dihadiahi tatapan tajam Hamna.

"Apa?!"

"Bapak yang apa-apaan. Tuh, tangan asal nemplok-nemplok ke saya. Berat tahu!"

Hamzah menarik tangannya. "Nggak sengaja itu."

"Alah bilang saja modus!"

"Jam berapa sih, Na? Ada yang mengganggu tidur kamu?" tanyanya.

"Jam tiga dini hari ini, tapi berisiknya minta ampun. Di luar lagi ada apaan sih?"

Hamzah mendudukkan diri, dia melihat ke arah jam dinding lalu kembali beralih menatap istrinya. "Lha iya kok rame sih?"

"Ya mana saya tahu, lha."

"Sekalian bangun, saya mau salat tahajud dulu kalau gitu. Ambil wudu, gih, Na."

"Bapak yang mau salat, kok jadi nyuruh saya ambil wudu. Nggak salah?"

"Emangnya kamu nggak mau salat malam berjamaah sama saya?"

"Kalau saya jawab nggak mau gimana?"

"Ya nggak papa, itu hak kamu. Yang penting saya sudah menunaikan tugas dan kewajiban saya sebagai suami untuk mengajak istri saya dalam kebaikan. Selagi ibadah itu termasuk dalam perkara sunnah, saya nggak akan memaksa kamu untuk melakukannya."

Hamna turun dari ranjang lebih dulu. "Kirain Bapak akan maksa saya, tahunya nggak. Ya sudah ayo."

"Ke mana?"

Terdengar dengusan kasar. "Tadi katanya mau salat tahajud berjamaah. Gimana sih!"

"Kamu mau?"

Hamna merotasi matanya. "Buruan sebelum saya berubah pikiran," ucapnya lalu melesat ke kamar mandi begitu saja.

Hamzah menahan senyumnya, dia pun bergegas menyiapkan perlengkapan salat untuk mereka. Hati lelaki itu mendadak bahagia dan berbunga-bunga.

Selama ini memang dia tidak pernah memaksa Hamna untuk menunaikan apa yang sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Sekadar mengajak dan mengingatkan, alhamdulilah sekarang Hamna bersedia tanpa melewati banyak drama.

Biasanya sang istri selalu berdalih ngantuk, dan kembali tidur pulas menyelami alam mimpi. Namun, berbeda untuk kali. Ada sebuah kemajuan, yang sangat patut dia syukuri.

Mereka menunaikan empat rakaat salat tahajud, dua rakaat salat hajat, dan ditutup dengan tiga rakaat salat witir. Selesai salam, Hamna langsung menyalami Hamzah, dan tanpa diminta lelaki itu melantunkan doa-doa terbaik.

"Terima kasih ya, Na," katanya.

"Untuk?"

"Terima kasih karena kamu sudah bersedia untuk menyempurnakan separuh agama saya."

"Nggak usah sok manis gitu ah, curiga saya."

"Perasaan kamu kalau sama saya buruk sangka terus."

"Bukan perasaan lagi tapi emang iya!"

"Kenapa?"

"Ya nggak ada alasannya."

"Harus ada dong, Na."

"Kok maksa sih!"

Hamzah menghela napas singkat. "Oke."

Dia meluruskan kakinya dan meminta Hamna untuk merebahkan tubuh dengan berbantalkan pahanya. Hamna sempat menolak, tapi tak bertahan lama dia menyerah karena enggan untuk beradu mulut lebih lama lagi.

Diambilnya salah satu tangan Hamna lalu berkata, "Kita dzikir sama-sama sambil menunggu waktu subuh."

Bukannya ikut berdzikir, Hamna malah asik memperhatikan wajah Hamzah yang hari ini terlihat jauh lebih berseri-seri.

"Terpesona dengan ketampanan wajah saya, hm?"

Sontak Hamna pun memalingkan wajah, bahkan dia memiringkan tubuhnya untuk membelakangi sang suami. "Pede banget sih jadi orang!"

Hamzah malah terkekeh tanpa dosa. "Kalau bukan terpesona apa namanya? Kamu sampai segitunya memperhatikan saya. Baru sadar kalau punya suami yang tampan rupawan."

Hamna berdecak lalu duduk seraya bersidekap dada. "Dihh, narsis abis. Sejak kapan Bapak jadi super pede gini?!"

"Mana saya tahu."

"Dihh, nggak jelas banget!"

"Mau ke mana?" tanya Hamzah saat melihat Hamna beranjak seraya membuka mukenanya.

"Mau keluar, penasaran ada apa rame-rame jam segini."

Hamzah pun ikut berdiri, dan mengikuti langkah Hamna keluar kamar. Keduanya membelalakkan mata tak percaya saat mendapati banyak orang, yang tengah sibuk dengan kegiatan masing-masing.

"Yang punya hajat baru bangun rupanya."

Hamna dan Hamzah saling berpandangan.

"Maksud Uwa apa?" tanya Hamzah linglung pada kakak dari ibunya tersebut.

"Oh, iya Mama lupa belum ngasih tahu kalian. Nanti ba'da zuhur Mama mau bikin acara syukuran atas kehamilan Hamna. Kalian jangan ke mana-mana, usahakan juga pulang dari kampus langsung ke sini."

"Maksud Mama?"

"Kamu ini, Ham, masih nanya juga. Maksud Mama kamu itu ya mau bikin acara tumpengan atuh," sahut uwanya yang bernama Lastri.

"Empat bulanan gitu? Kan, usia kandungan istri Hamzah baru dua bulan."

"Bukan, lha, Ham beda lagi itu. Acara nanti siang ya sebagai bentuk rasa syukur Mama saja, kalau mau empat bulanan, nanti. Acaranya beda lagi."

"Harus memangnya?" tanya Hamna akhirnya buka suara.

"Kenapa? Kamu keberatan, Na?"

"Keberatan sih nggak, cuma ya apa nggak mubazir ya? Ini sudah kayak mau bikin hajatan."

"Mubazir itu kalau nggak ada faedahnya. Ini, kan jelas ada, bentuk syukur kita sama Allah. Niatnya juga untuk berbagi kebahagiaan pada sesama."

"Kenapa Mama nggak ada ngomong apa-apa sama Hamzah?" protesnya.

"Emangnya harus?"

Helaan napas berat dia keluarkan. "Ya sudah terserah Mama."

Memilih untuk angkat tangan, tidak akan benar jika diteruskan. Terlebih di tengah kerumunan seperti sekarang. Dia pun tak ingin perdebatan di antara mereka jadi konsumsi sanak-saudara.

"Beda kalau masih pengantin baru, sarungan mulu," cetus salah satu di antara mereka.

"Hamzah sama Hamna baru selesai salat malam, Bi," lurusnya.

"Habis ibadah yang lain juga nggak papa, Ham. Nggak usah malu-malu," timpal yang lainnya.

Hamna memijat pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut. Keluarga besar sang suami sangat heboh, persis sama seperti mertuanya. Mendadak pening perempuan yang tengah hamil muda itu.

"Balik kamar, A, pusing saya," pinta Hamna.

Hamzah mengangguk setuju.

Baru dua langkah memutar tubuh, rasa mual menyerang. Dengan segera Hamna bergegas ke arah kamar mandi, yang berada di samping dapur. Memuntahkan cairan bening secara berulang.

Dengan telaten Hamzah memijat tengkuk istrinya. "Sudah lebih baik?"

Hamna menggeleng, dia kembali memuntahkan cairan bening.

"Dikasih minum atuh, Ham, istrinya," tutur Anggi seraya menyerahkan segelas air putih hangat.

Hamzah menerimanya lalu menyerahkan gelas tersebut pada Hamna. Hanya dua tegukan saja yang berhasil perempuan itu telan.

"Mau Mama buatkan jahe hangat lagi, Na? Supaya mual-mualnya hilang," tawar Anggi.

Hamna pun mengangguk pelan.

"Bawa Hama ke kamar, Ham. Rebahan dulu saja, siapa tahu mualnya bisa sedikit mendingan."

Hamzah menurut patuh, dia menuntun istrinya untuk kembali ke kamar.

"Morning sickness emang harus sesubuh ini ya, Na?" tanyanya saat dia sudah membantu Hamna untuk naik ke atas ranjang.

"Saya mual katanya nyium aroma masakan, bau bawang goreng sangat menusuk hidung."

"Kirain saya morning sickness."

Hamna tak menanggapi, dia lebih memilih untuk memijat pelipisnya.

"Saya bantu pijitin, hanya kening?"

Hamna mengangguk lemah.

"Lagian kamu ini ada-ada saja, sensitif banget hidung kamu itu. Bikin saya khawatir saja, Na."

"Bukan salah hidung saya, salahin yang masak subuh-subuh begini. Kayak nggak ada waktu lain saja. Nanti pagi setelah kita berangkat kampus, kan bisa."

Hamzah mengedikkan bahunya. "Ya mana saya tahu."

Hamna mendengus kasar. "Kelakuan ibu siapa itu, hah?"

"Ibu saya, mertua kamu."

-BERSAMBUNG-

Padalarang, 08 Desember 2023

Kelakuan Mama Anggi ternyata masih membuat Hamna pusing tujuh keliling. 😂🤣✌️ ... Kalau ada typo tolong diingatkan ya

Masih mau digasskeun?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top