RS | Part 24
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Pasangan itu saling melengkapi kekurangan, bukan menuntut kesempurnaan."
—Rintik Sendu—
by Idrianiiin
WAKTU masih pagi, tapi kerusuhan sudah mewarnai. Hamna yang sibuk mengacau di dapur, Hamzah yang tengah siap-siap ke kampus, ditambah lagi dengan si kecil Haleeza yang merengek karena tak kunjung dimandikan, padahal dia pun harus berangkat sekolah.
"Lebih baik kamu urus Haleeza, Na, saya nggak mau ambil risiko kalau rumah kita sampai kebakaran," titah Hamzah saat melihat kepulan asap di sekitar kompor.
"Ya terus kita mau sarapan apa?"
"Beli, Na, beli," sahut Hamzah seraya membereskan kekacauan yang telah diperbuat oleh istrinya.
"A Hamzah di mana seragam Haleeza?" teriak Hamna yang baru saja selesai memandikan putri sambungnya.
"Di lemari paling atas, Na, cari saja di sana," jawab Hamzah setengah berteriak.
"Kaus kakinya di mana? Sepatunya di mana? A Hamzah?!"
Dengan langkah gontai Hamzah menghampiri Hamna dan juga Haleeza. "Ya Allah, Na, seharusnya saya yang teriak-teriak minta dicarikan barang, lha ini kenapa malah kamu? Apa dunia sudah benar-benar terbalik!"
"Saya ada kelas pagi, A Hamzah," adunya tak memedulikan protesan sang suami.
"Saya juga sama ada kelas pagi."
"Za sama Papa ya, Buna mau mandi dulu," katanya lalu melesat pergi tanpa meminta persetujuan Hamzah terlebih dahulu.
Hamzah mengelus dada sabar, lalu melanjutkan mengurus keperluan Haleeza. "Yakin nggak ada yang ketinggalan, kan, Za? Bukunya sudah benar, kan?"
Haleeza mengangguk singkat. "Iya, sudah, Papa."
Hamzah membantu Haleeza memakai kaus kaki dan sepatu. Setelah selesai dia meminta sang putri kecil untuk menunggunya di ruang televisi.
"Kamu jorok banget sih, Na. Handuk bekas mandi itu digantung, dijemur kalau perlu, bukan malah asal simpan di atas ranjang," omel Hamzah.
Hamna yang tengah memasang khimar hanya manggut-manggut saja.
"Buku-buku saya Aa letakan di mana? Saya cari-cari tidak ketemu," tanyanya seraya mengobrak-abrik meja kerja Hamzah.
Lagi-lagi Hamzah menghela napas berat. "Makanya kalau bekas dipakai itu, rapikan lagi di tempatnya. Jangan taruh sembarangan!"
"Ish, kok Bapak jadi cerewet banget sih!"
"Gimana saya nggak cerewet kalau lihat kamu yang super berantakan."
"Ya harap maklum saja atuh, Pak. Ini, kan hari pertama kita pindah rumah. Masih adaptasi," sangkalnya.
"Berkilah terus!"
Hamna tak menyahut, dia lebih memilih untuk menyiapkan buku-buku kuliahnya.
"Parfum saya di mana A?"
"Ya mana saya tahu."
Hamna menghentakkan kaki kesal. "Kan Aa yang beres-beres. Jangan pura-pura nggak tahu deh!"
"Kalau mau keluar rumah nggak usah pakai parfum. Mau goda laki-laki kamu?"
Hamna mendelik. "Dihh, buruk sangka mulu perasaan. Saya sudah biasa pakai parfum, nggak pede kalau nggak pake."
Hamzah tak menjawab, dia melengos dan kembali menghampiri Haleeza. "Za kenapa?"
"Za lapar, Papa," adunya.
"Nanti kita makan di luar ya."
Haleeza mengangguk patuh.
"Na buruan. Kesiangan nanti!" teriak Hamzah.
Hamna berlari seraya memasangkan sepatunya yang belum terpasang sempurna.
"Kompor sudah Aa matikan, kan?" tanyanya saat sudah duduk di samping kemudi.
"Sudah."
"Setrikaan sudah dicabut, kan?"
"Sudah."
"Pintu rumah sudah dikunci, kan?"
"Sudah."
"Mau tanya apa lagi?" imbuh Hamzah saat dia sudah menjalankan mobilnya menjauh dari pelataran rumah.
Hamna menggeleng polos. "Cari sarapan dulu, Pak. Jangan sampai lupa."
"Ya."
"Za mau makan apa, Sayang?" tanya Hamna seraya melirik ke arah belakang.
"Bubur ayam, Buna."
Hamna mengangguk. "Cari tukang bubur A Hamzah."
Hamzah berdehem sebagai jawaban.
"Aa kenapa sih? Asem banget tuh muka!"
Hamzah meliriknya sekilas. "Ya kamu pikir saja sendiri."
"Gara-gara ayam cemani?"
"Ayam cemani kamu bilang? Itu ayam gosong kalau perlu saya jelaskan. Padahal kamu hanya tinggal masak doang, itu ayam sudah Mama ungkep dan bumbui."
"Ya, maaf saya, kan lupa. Tadi juga repot sambil setrika kemeja Aa."
"Iya tahu, kemeja saya sampai bolong karena kamu tinggal."
"Marah-marah terus ih, iya saya minta maaf. Saya, kan panik lihat kompor sudah mengepulkan asap, mana ada apinya lagi."
"Lain kali kalau selesai salat subuh jangan tidur lagi, apalagi kita harus berangkat pagi-pagi. Jadi, keteteran, kan."
"Iya, tadi nggak sengaja ketiduran, nggak tidur beneran."
"Berkilah terus!"
"Za, Buna kena omelan Papa terus perasaan. Padahal, kan Buna nggak sepenuhnya salah," adunya meminta pembelaan.
"Papa nggak boleh marahin, Buna, ya," ucap Haleeza seraya berdiri di tengah-tengah Hamzah dan Hamna.
Hamna membawa Haleeza untuk duduk di atas pangkuannya. "Bilangin sama Papa, jangan marah-marah terus, sudah tua jadi makin tua nanti."
"Jangan racuni otak polos Haleeza ya, Na!"
"Ish, sensi banget sih. Lagi PMS hari pertama, ya!"
Hamzah hanya memutar bola mata malas. Dia masih cukup kesal dengan kekacauan yang diperbuat oleh Hamna.
"Di depan ada tukang bubur itu, berhenti di sana saja," ucap Hamna.
Hamzah menurut dan menginjak pedal remnya.
"Bubur tiga, yang satu jangan pakai bawang goreng, satunya lagi jangan pakai kacang, dan yang satunya lagi komplit," ujar Hamzah.
"Kok Aa tahu sih kalau saya nggak suka bawang goreng. Kepoin saya ya?"
"Apa sih yang ngga saya tahu."
"Dasar angkuh!"
"Silakan dinikmati," ungkapnya seraya meletakkan bubur pesanan mereka.
"Jangan pedas-pedas, masih pagi ini," tegur Hamzah.
Hamna mendelik. "Bapak nggak ngaca? Tuh di mangkok sendiri isinya sambel semua."
"Saya sudah biasa, Na."
"Ya saya juga sudah biasa."
"Awas kalau sampai kamu ngeluh sakit perut," ancamnya.
"Nggak akan!"
Perbincangan itu menjadi penutup, karena mereka fokus pada makanan masing-masing.
"Za kenyang Papa," ungkap Haleeza saat buburnya masih sisa setengah.
"Habisin, Na," titah Hamzah.
Dengan senang hati Hamna menghabiskan sisa bubur Haleeza. Dia memang cukup lapar, ternyata suaminya pengertian juga.
Setelah selesai mereka kembali naik mobil dan mengantar Haleeza ke sekolah. Tak membutuhkan waktu lama, mereka sudah sampai di sekolah Haleeza.
"Za jangan jajan sembarangan ya. Nanti Buna jemput, kalau Buna belum datang, Za tunggu di pos satpam. Oke?"
Haleeza mengangguk patuh. "Iya, Buna."
Setelah memastikan Haleeza masuk kelas, Hamna bergegas memasuki mobil. "Jalan, A," titah Hamna karena Hamzah malah fokus memainkan gawai.
"Sudah?"
"Sudah, lha, masih juga nanya. Makanya jangan main hp terus!"
"Saya lagi balas pesan mahasiswa saya, Na."
"Selingkuhan berkedok mahasiswa kali!"
Hamzah geleng-geleng kepala. "Ada yang cemburu kayaknya."
"Dihh, kepedean banget. Mana mungkin saya cemburu sama Bapak. Ya kali, nggak ada ya!"
"Ya terus?"
"Terus ..., terus ..., terus ..., dikira tukang parkir kali. Sudah sana fokus nyetir. Jangan banyak ngoceh."
"Kuliah yang benar, jangan gaya-gayaan doang. Kamu harus lulus tepat waktu," ujar Hamzah memperingati.
"Iya, ih bawel banget sih."
Hamzah menghentikan mobilnya di parkiran, dia menahan Hamna yang hendak keluar mobil. "Kerudungnya jangan dililit ke leher terus," katanya seraya menurunkan kerudung Hamna hingga menjulur menutupi dada.
"Gerah, Pak, nggak nyaman saya."
"Dibiasakan, nanti juga nyaman."
"Baik Paduka Raja," sahut Hamna lalu turun dari mobil begitu saja.
"Kamu kayaknya lupa sesuatu deh, Na," ungkap Hamzah mengejar langkah Hamna.
"Apa?"
Hamzah menyerahkan tangan kanannya, bermaksud untuk meminta Hamna agar disalami.
"Apaan? Bapak minta jatah jajan sama saya? Apa nggak kebalik."
"Salim, Na, salim. Nggak peka banget sih, kamu. Kalah sama Haleeza yang tanpa diminta sudah lebih dulu inisiatif."
"Ini di kampus, tempat umum, nggak boleh pamer kemesraan," kilahnya lalu berlari cepat menjauh meninggalkan Hamzah.
—BERSAMBUNG—
Padalarang, 24 November 2023
Harap ditambah lagi stok sabarnya, Ham. Emang kalau punya istri modelan Hamna, menguras emosi jiwa dan raga 😂
Diramaikan dulu saja kolom komentarnya, siapa tahu nanti tiba-tiba double up lagi 🤣✌️
Masih mau digasskeun?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top