5. Yang (tidak) Tersisa di Piring Seng
Segala hal yang terjadi setelah Arum pulang, terasa buram bagi Latif. Buku-buku sekolah Husna dan pakaian yang hanya beberapa, Latif tidak tahu bagaimana dia bisa menata semuanya hingga muat di dalam tas usang.
Latif mengantarkan adik-adiknya pamit pada tetangga terdekat yang belum keluar pergi beraktifitas. Usapan lembut di kepala, pelukan hangat, hingga kecupan basah di pipi diterima Husna dan Sofa. Penanda, Ibu mereka membesarkan kedua adiknya dengan baik hingga mendapatkan limpahan cinta dari tetangga yang sudah mereka anggap sebagai saudara.
Perjalanan dengan Kijang Kotak Pak RT selama dua puluh lima menit yang terasa sekejap. Latif hanya diam sambil memangku Sofa. Sedangkan Husna asyik menikmati pemandangan kota dengan angin yang menerbangkan rambutnya. Sesekali Husna akan menunjuk sesuatu, lalu berbicara sok tahu pada Sofa.
Latif tidak sadar, bagaimana dia bisa duduk di ruang tamu panti asuhan. Apa pun yang diucapkan Bu Ros, ketua yayasan panti asuhan, tidak mampu Latif cerna. Sang kakak hanya melihat bibir wanita sekitar lima puluhan berwajah tegas itu bergerak, terbuka-tertutup, tapi tidak ada suara. Di telinga Latif hanya terdengar suara Husna yang sudah berceloteh dengan anak penghuni panti yang seumuran dengannya, di luar ruang tamu. Sofa memeluk leher Latif rapat sambil mengamati sekitar untuk beberapa saat, sebelum akhirnya bergabung dengan kakak perempuannya.
"Sofa bakal nangis kalau saya lihat pergi. Bisa dialihkan dulu?" tanya Latif, saat merasa perpisahan makin dekat.
Bu Ros menggeleng.
"Sebaiknya Mas Latif pamitan langsung ke Husna dan Sofa. Biar mereka nggak merasa dikhianati karena njenengan diam-diam pergi. Pamit dengan baik, bilang ke mana Mas Latif mau pergi! Jelasin kenapa mereka harus tinggal di sini! Juga beritahu mereka, kapan Mas Latif akan datang lagi."
Latif ingin menelan ludah, tapi rasanya sangat berat. Tangannya mulai bergetar.
"Kalau setelah itu mereka menangis, serahkan ke kami. Husna dan Sofa sepertinya mudah bergaul, harusnya mereka bisa terhibur oleh teman-temannya yang lain."
"Boleh, saya di sini dulu sebentar?" Latif belum siap. Tidak akan pernah siap.
"Monggo. Sebentar lagi azan Zuhur, setelah salat, ada kegiatan bersama di musala sekalian perkenalan Husna-Sofa ke anak-anak yang lain." Bu Ros tersenyum. "Mas Latif bisa di sini sampai waktu itu. Tapi setelahnya, sebaiknya Husna-Sofa mulai ikut kegiatan dengan teman-temannya, bantu-bantu persiapan makan siang."
Pak RT menepuk pundak Latif ketika mereka keluar dari ruang tamu panti asuhan. Bu Ipah masih di dalam, meneruskan obrolan dengan Bu Ros. Nasihat dan penghiburan terus disampaikan oleh Pak RT sampai mereka duduk di bangku samping musala. Husna sudah bercanda dengan beberapa teman sebaya, Sofa mulai digendong oleh beberapa anak yang lebih tua. Perkenalan resmi belum dimulai, tapi kedua adiknya telah membaur dengan baik.
Tidak ada yang perlu dirisaukan, berulang kali Latif meyakinkan diri sendiri.
***
"NGGAK MAU!" teriakan Sofa mengalahkan desau angin yang menggoyangkan daun-daun pohon jambu di halaman.
Seluruh wajah Latif sudah panas, air mata menggenang di pelupuk. Ucapan perpisahan yang diminta Bu Ros, tersendat di mulut Latif. Dekapan tangan Sofa nyaris mencekik leher. Gadis kecil itu enggan melepaskan belitan, Latif pun demikian. Dia ingin mematri bagaimana Sofa memeluknya, berharap dia bisa menyimpan sensasi itu untuk kemudian hari ketika sedang rindu pulang.
"Kalau libur, Mas nanti ke sini. Dik Sofa bareng Mbak Husna dulu ya."
"Nggak mau," kali ini Sofa mulai sesenggukan.
"Dik, di sini banyak teman, loh! Kita punya dipan, nggak tidur di bawah lagi."
Latif makin trenyuh atas bujukan Husna. Bahkan, dipan adalah kemewahan kecil yang selama ini tidak pernah mereka rasakan.
"Mbak Sofa, ikut Bunda, ya." Bu Ros datang mendekat, berjongkok di samping Sofa yang masih memeluk Latif. Sofa menghindari sentuhan Bu Ros beberapa kali. "Mbak Sofa, Bunda gendong ya."
Latif sempat terhuyung ketika tubuh adiknya mulai ditarik. Namun, yang mengejutkan bagi Latif, Sofa tidak meronta. Cara adik kecilnya memeluk Bu Ros, mengingatkan Latif pada sosok ibu mereka.
"Mas Latif janjinya, nanti kalau libur kuliahnya, Mas pulang." Husna menatap Latif lekat, mulai terlihat kilat bening di mata gadis kecil yang dewasa sebelum waktunya.
"Mas janji." Latif mengulurkan tangan, Husna berhambur ke pelukan. Isak pertama Husna terdengar, menderaskan air mata yang selama ini Latif tahan.
***
Ruang kecil itu, tak lagi bisa Latif sebut sebagai rumah. Lantai dingin menyambut, tidak ada riuh Husna dan Sofa yang berhambur ke arahnya. Keranjang pakaian tambal sulam, hanya tersisa baju mendiang ibunya. Latif duduk, bersandar pada tembok di bawah jendela. Angin siang membawa udara panas, meniup korden yang mengusap kepalanya.
Seminggu lalu semuanya normal bagi Latif. Dia mengikuti kuliah di kampus, memperhatikan dosen yang menerangkan tentang etika profesi. Namun, sebuah ketukan di pintu kelas, mengubah seluruh hidupnya.
Rifky, teman seangkatan yang sama-sama berasal dari Semarang tapi tidak sekelas, minta izin kepada dosen untuk menemuinya. Latif keluar kelas dengan bingung.
"Bu Ipah tadi telepon." Rifky menepuk pundak Latif, seketika perutnya melilit. Dia tidak memiliki ponsel, begitu juga ibunya. Sehingga ketika Latif mulai berkuliah jauh dari Ibu, dia memberikan nomor ponsel Rifky kepada Bu Ipah, berjaga-jaga jika ada kabar penting. "Ibumu sakit. Bu Ipah minta kamu untuk pulang."
"Sakit apa?" Tangan Latif mencari tembok untuk bersandar. Kakinya tiba-tiba lemas. Dia menunduk, memandang ujung sepatu yang telah menipis di bagian jempol.
"Bu Ipah nggak jelasin, tapi minta kamu pulang secepatnya."
Latif mengingat-ingat. Ibunya, sangat jarang sakit. Tiga bulan lalu ketika dia pulang ketika liburan semesteran, Ibu masih sangat sehat, bekerja membersihkan rumah dan mencuci baju di tiga rumah yang berbeda.
"Aku udah nggak ada kelas hari ini. Besok juga kosong, kita pulang bareng." Seharusnya, Latif sudah mulai curiga dengan ucapan itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top