3. Tajin

Tajin: air rebusan beras yang agak kental

---------

"Memang kalau aku ingin manis, apa yang ingin kurasakan?"

"Bahagia," ujar Arum pelan.

Latif tersenyum samar, tak mengelak mau pun mengiyakan. Namun, dalam kondisi seperti ini, siapa yang tidak ingin bahagia?

"Nanti malam, aku balik Bintaro." Lelaki itu menghela napas, meluruskan kaki, kembali menyandarkan kepala ke tembok.

"Husna dan Sofa?"

Ketika namanya disebut, dua gadis kecil itu mulai bergerak

"Mas, bobok!" Sofa menjangkau lutut Latif, meletakkan kepala di kaki kurus kakaknya.

"Bangun aja, 'gimana? Udah siang, udah ada matahari itu di luar." Nada bicara Latif seketika berubah, terdengar lebih ringan. Entah karena dia menjadi riang karena adiknya, atau berusaha tampak baik-baik saja di hadapan Sofa.

Sofa bergerak dengan mata yang belum terbuka sepenunya, duduk di pangkuan Latif dan memeluk tubuhnya erat. Sang kakak mencium ubun-ubun, menghidu aroma rambut, membalas pelukan.

"Siang ini, aku antar mereka ke panti asuhan. Itu satu-satunya pilihan yang kami punya. Pakde dan Bulik udah repot dengan anak-anak mereka sendiri. Kondisi mereka nggak jauh beda dari kami."

"Mereka berdua udah tahu?" Arum membelai kepala Sofa lalu memandang Husna yang menggulung tubuhnya dalam selimut.

"Husna udah kubilang dari dua hari lalu. Sepertinya dia paham, aku nggak yakin. Sofa? Semalam masih nyari Ibu." Dekapan Latif makin rapat. "Aku mau ke makam hari ini, tahlilan sendiri...." Lelaki itu segera mengusap air mata sebelum jatuh mengenai adiknya. "Aku bingung, mau ajak mereka atau nggak. Kalau diajak, aku khawatir mereka bakal lebih rewel pas kutinggal. Kalau nggak diajak...." Tubuh Latif kembali terguncang. Sofa membuka mata, perlahan bangkit, berdiri di paha kakaknya.

Arum hanya duduk terpaku, benar-benar tak tahu apa yang bisa dilakukan kecuali mendengarkan. Perbendaraan kata penghiburan tak pernah mudah keluar dari mulutnya.

"Hush...." Sofa itu berdesis, tangannya rapat merengkuh leher Latif yang makin terisak. "Cakit mana? Pake minyak."

Latif tertawa parau, tersedak air mata.

"Nggak ada yang sakit."

Arum tahu, itu bukan kebohongan Latif yang pertama.

"Sofa mau ikut Mbak?" Arum mengulurkan tangan, gadis kecil itu memandangnya bingung, baru menyadari keberadaan tamunya. Arum memandang keluar, kabut mulai hilang. "Lihat kupu-kupu, yuk!"

Kupu-kupu kuning melayang di dekat jendela, terbang perlahan lalu hinggap di atas spion kaca motor Arum.

"Yuk!" Arum bangkit, berlutut di samping Latif yang sedang berusaha menenangkan diri. Tangannya tetap terjulur di udara hingga gadis ikal itu meraihnya.

***

Latif menarik napas panjang ketika Arum melangkah keluar dengan Sofa di dalam gendongan. Mereka berdua mengejar kupu-kupu. Sofa tertawa meskipun masih mengantuk dan beberapa kali menyandarkan kepala di pundak Arum.

Husna bangun. Seperti ulat, gadis kecil itu menyeret tubuhnya melewati paha Latif dan menengok keluar. Rambutnya berantakan, air liur mengering di sudut bibir.

"Cuci muka dulu." Latif kembali menyeka wajahnya sendiri, memastikan tidak ada air mata yang tersisa.

"Dek Sofa ama siapa?"

"Mbak Arum, teman Mas."

"Husna lapar," kali ini Husna menoleh ke dapur. Perlahan bangun, gadis kecil itu melangkah ke arah kompor.

Latif meraih bantal, menepuk beberapa kali. Lelaki itu mulai melipat selimut bergambar bunga, lalu bangkit dan menggulung kasur telah tipis. Meletakkan semuanya di satu sisi, sehingga ada ruang yang lebih luas.

Arum dan Sofa terus bermain di luar. Husna duduk termenung di bangku kecil di depan kompor, mengamati beras yang mulai bergerak di dalam air mendidih. Latif mengumpulkan kekuatan, mengeluarkan tumpukan baju dari keranjang plastik, mengambil tas besar yang sudah ditambal beberapa kali. Mulai untuk memasukkan baju Husna dan Sofa ke tas, menyisihkan baju Ibu dengan berat hati. Kain-kain usang yang hanya sekadar menjalankan tugas utama: melindungi tubuh, bukan untuk berhias ataupun kebutuhan tersier lainnya.

Semua barang yang ada di petakan kecil itu harus disisihkan nanti sore. Sewa bulanannya berakhir minggu depan. Barang-barang usang, jangankan dijual, diberikan belum tentu ada yang mau menerima. Pemuda itu memandang sekeliling, mencari apa pun yang masih bisa dia simpan, untuk dibawa ke perantauan. Setelah ini, Latif tidak memiliki tempat pulang lagi.

"Mas, mau tajinnya." Akhirnya Husna bersuara, dia sudah memegang sendok.

"Jangan." Latif menutup resleting tas, lalu beranjak mendekati Husna, berjongkok di depan kompor. Beras mulai mengembang, air telah bercampur dengan pati beras, membuatnya mengental. "Sabar bentar ya, kalau bisa sabar, nanti bisa dapat yang lebih enak."

Latif tidak mengatakan itu untuk adiknya, tapi untuk dirinya sendiri. Bersabar saat ini, demi 'nanti' yang lebih baik. Meskipun dalam kini, 'nanti' makin nisbi.

"Ibu biasanya kasih, kalau Husna minta tajin!" Bibir kecil Husna mengerucut, matanya mulai berkaca-kaca.

"Iya, tapi sekarang Ibu...."

"Mbak ambilin?" Suara Arum terdengar dari punggung mereka, memotong ucapan sang kakak. Latif berdiri untuk menerima Sofa yang menjulurkan tangan pada. Arum bergerak luwes, mendekat ke kompor bertukar tempat dengan Latif. Gadis itu mengambil piring seng dan sendok sayur. Beberapa pecahan beras ikut dalam tajin yang dituangkan ke piring. "Biasanya kayak gini aja? Atau dikasih yang lain?"

Anak tertua itu sedikit tersinggung dengan sikap Arum yang menyelanya. Latif berjalan menjauh, tidak ingin bertengkar dengan seseorang yang mencoba membantu. Sofa menunjukkan bunga yang rumput yang dibawanya. Adik kecilnya mengalihkan perhatian Latif dari percakapan Husna dan Arum.

Tak lama, Husna mendekat dengan langkah hati-hati sembari membawa piring. Majalah sekolah digunakan untuk mengipasi cairan kental yang masih mengepulkan uap panas.

"Nggak apa-apa, Tif." Arum memandangnya dari depan kompor. Dia duduk di bangku kecil dengan tangan mengaduk isi panci. "Meskipun nanti, pas bubur sudah jadi hasilnya akan lebih baik. Tapi, nggak ada salahnya ambil sedikit untuk menikmati 'sekarang'. Apalagi, kalau memang dibutuhkan karena lapar. Asal nggak diambil terlalu banyak, buburnya tetap jadi, kok."

Sofa mendekati Husna, berjongkok di depan kakak kedua.

"Sabar ya, Dek! Mbak kipas dulu biar dingin. Masih panas." Husna menyendok, mengipas tepat di atas sendok, lalu menyeruput sedikit. "Enak! Coba, Dek!" Gadis enam tahun itu menyuapi adiknya dengan luwes, telah terbiasa menjalankan peran kakak.

Sofa membuka mulut lebar, tersenyum senang setelah menelan sajian setengah jadi.

"Enak, 'kan? Anget!" celoteh Husna yang makin semangat mengipasi.

Latif hanya menggenggam tangannya erat.

Apakah dia boleh menikmati apa yang ada di hadapannya sekarang? Ketika hal yang dicita-citakan masih jauh dari jangkauan? Seperti kedua adiknya yang dengan keluguan menikmati tajin, saat bubur belum matang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top