59 - RICHARD
Ada enggan yang sempat menghinggapi Richard ketika mendengar rencana yang diutarakan Jaz. Di lubuk hatinya, ada perasaan bahwa menyetujui ide Jaz akan sama halnya mengkhianati tahun-tahun yang telah dilewatinya bersama Evan sebagai sahabat. Ada luka yang mengancam akan menyayatnya dan melukai koneksi yang telah lama terbentuk antara dirinya dan Evan.
Singkatnya, Richard belum siap diserang kenyataan jika memang Evan adalah pria yang menghamili Mina.
Di saat yang bersamaan, ada marah yang belum sepenuhnya reda, tidak peduli usaha untuk menghapusnya begitu kuat. Benci yang sempat mengemuka di antara dirinya dan Jaz memang sudah lama luruh, bahkan digantikan oleh perasaan lain. Namun bukan berarti bulan-bulan yang sudah dia lalui dalam ketidakpastian bisa ikut hanyut begitu saja seiring dengan waktu yang berjalan. Ada trauma dan ketakutan yang sulit dibuang Richard. Penyebabnya tentu saja pria yang terlalu pengecut untuk mengakui kesalahan dan memikul tanggung jawab.
Namun Richard sudah berjanji membantu Jaz dan Mina. Bukan sifatnya untuk mengingkari janji yang sudah dilontarkannya meskipun ada sebagian kecil hatinya yang berontak.
"Kita mau ke mana? Tumben banget lo ngajakin hang out."
Richard hanya tersenyum mendapati pertanyaan Evan. "Lo belum pernah ke Red Bamboo, kan?"
"Gue malah baru denger. Bar?"
"Restoran yang punya bar di belakang," jelas Richard singkat. "Barnya sendiri baru buka jam 9, jadi kita makan aja dulu. Makanya gue tadi pesen supaya lo nggak usah dandan rapi-rapi banget. Smart casual aja."
Evan mengangguk paham. "Atau lo mau get laid malam ini?"
"Gue lagi nggak mood, tapi liat nanti. Kalau ada yang oke, why not?"
Red Bamboo sengaja dipilih Richard karena dia lebih tahu selera tempat yang disukai Evan. Jaz menyerahkan keputusan itu kepadanya.
Skenarionya sederhana. Dia dan Evan akan bertemu 'secara tidak sengaja' dengan Jaz dan Mina di sana, sebuah kebetulan yang jelas tidak akan dicurigai Evan. Lagipula tujuan yang ingin dicapai Jaz adalah melihat reaksi Evan saat bertemu Mina, dan juga memberi kesempatan Mina untuk bicara langsung dengan Evan. Tidak kurang dan tidak lebih. Tidak akan ada adegan dramatis yang berakhir dengan tuduhan. Tidak akan ada pembicaraan mengenai pesta malam itu demi menghindarkan curiga yang mungkin muncul dalam diri Evan. Richard dengan tegas memastikan Mina atau Jaz tidak akan kehilangan kendali. Semuanya harus berjalan tanpa canggung dan biasa.
Meski terkesan seperti menjebak sahabat sendiri, Beth meyakinkannya bahwa tidak ada pihak yang dirugikan dari rencana tersebut. Evan tidak akan kehilangan apa-apa, begitu juga dengan Richard. Jaz, Mina, dan Richard hanya harus memperhatikan dengan saksama reaksi Evan saat bertemu Mina. Karena hanya dirinya yang begitu mengenal Evan, seharusnya Richard bisa menebak-nebak tentang apa yang melintas di dalam pikiran Evan nanti.
"Lo beneran sejak pindah ke Bali nggak pernah ke Jakarta? Karena gue beneran nggak pernah tahu kapan lo di Jakarta dan kapan lo ada di Bali."
"Gue ke sinilah, apartemen dan kerjaan gue masih banyak di sini. Cuma memang biasanya gue ke sini kalau ada kerjaan yang emang ngeharusin gue dateng, dan abis itu gue selalu balik ke Bali. Gue pasti selalu sibuk tiap ke Jakarta karena gue emang minta Ruri buat ngatur supaya gue nggak sering bolak-balik."
"Kenapa sih lo pindah lagi ke sana? Sebosen itukah lo sama Jakarta? Atau karena di sana banyak cewek yang jauh lebih gampang buat lo bawa ke tempat tidur?"
Tawa Richard menggema di mobil karena dua alasan. Yang pertama karena dia lupa bahwa yang ada di pikiran Evan setiap kali mereka keluar untuk clubbing atau sekadar pergi ke bar tidak jauh dari perempuan. Yang kedua karena Evan sama sekali tidak tahu-menahu bahwa sejak perasaannya ke Jaz berubah, dia tidak pernah lagi membawa perempuan mana pun ke tempat tidur. Bukan karena dia tidak mau, tapi karena keinginan itu memang tidak muncul. Dia lebih suka menggunakan waktunya dengan melakukan hal-hal lain.
"Nanti gue pasti balik ke Jakarta. Pindah ke Bali juga nggak permanen," jawab Richard setelah menyingkirkan kebohongan yang sempat ingin diutarakannya ke Evan. "Dan setelah ngabisin dua minggu di Florence, terus sebelumnya gue syuting di Bali, rasanya gue sempet disconnect sama Jakarta. Mungkin bener kata lo, gue bosen hidup di sini, perlu sesuatu yang baru. Meski udah sering ke Bali, di sana tetep rasanya beda." Dia memandang Evan yang malam ini hanya mengenakan kemeja polo warna putih dan celana bahan biru tua. "Lo juga nggak pernah ke Bali. Jadi kita impas, kan?"
"Gue sibuk banget, Rick. Kerjaan makin bikin kepala gue mau pecah."
"Then you probably need a break, my friend."
Tidak lama kemudian, mereka sampai di Red Bamboo. Richard tentu saja sudah melakukan reservasi, memastikan mereka mendapatkan meja. Setelah menyerahkan mobilnya kepada petugas valet, Richard dan Evan langsung masuk ke restoran.
Selepas mendapati perempuan muda yang bertugas untuk mengecek daftar reservasi sedikit salah tingkah melihatnya dan Evan, mereka langsung dipersilakan duduk di meja yang sudah dipersiapkan sebelum pramusaji menyodorkan menu.
"Enak tempatnya," puji Evan sekalipun mereka baru saja duduk.
Namun Richard harus mengakui bahwa pujian tersebut memang tidak salah.
Red Bamboo didesain dengan sangat sederhana. Selain warna merah yang mendominasi, banyak ornamen dari bambu yang diintegrasikan ke dalam interior restoran. Richard langsung merasakan atmosfer yang menyenangkan, terlebih musik yang diputar hanyalah suara air sungai yang mengalir hingga tidak menjadikan telinga bising.
Ponsel Richard bergetar dan dia melihat notifikasi pesan masuk dari Jaz. Dia membukanya.
Gue samperin lo sebentar lagi
Karena merasa tidak perlu membalasnya, Richard hanya mengedarkan pandangan—dengan penuh kehati-hatian supaya tidak menimbulkan curiga dalam diri Evan—untuk mencari Jaz dan Mina. Ketika menemukan mereka, pandangannya dan Jaz bertemu hingga Richard kemudian memberikan anggukan pelan.
"Menu mereka boleh juga," gumam Evan yang masih tidak menyadari bahwa Richard belum sedikit pun membaca menu di tangannya.
"Lo udah tahu mau pesen apa?" tanya Richard demi mengulur waktu bertepatan dengan Jaz dan Mina yang mulai meninggalkan meja mereka untuk menghampiri meja Richard dan Evan.
Belum sempat Evan menjawab, Jaz dan Mina sudah sampai di meja mereka.
"Yang ada di Jakarta tapi nggak ngabarin gue, ya? Sombong banget!"
Kalimat itu sontak membuat Evan dan Richard mendongak dari menu yang sedang mereka telusuri. Di saat seperti ini, profesi Richard sebagai aktor benar-benar sangat diperlukan.
"Jaz, nggak nyangka gue ketemu lo di sini," balas Richard yang segera bangkit dari duduknya untuk mengecup kedua pipi Jaz. "Inget pesen gue," bisiknya sangat pelan hingga hanya bisa didengar Jaz.
"Lo nggak usah khawatir," balas Jaz tidak kalah pelan.
"Hi Mina, apa kabar?" tanya Richard sambil melakukan hal yang sama sebelum dia memandang kedua perempuan yang berdiri di hadapannya. "Girl's night out ceritanya?"
"Gue sengaja ngajak Mina keluar karena sejak ada Brandon, dia lebih sering di apartemen."
Richard memperhatikan pandangan Mina terarah ke Evan yang sepertinya masih menunggu untuk dikenalkan.
"Oh ya kenalin, ini sahabat gue, Evan. Evan, ini Jaz, yang lo pasti udah tahu, dan ini Mina," ucap Richard tanpa mengalihkan tatapannya dari Evan yang seperti diduga, menunjukkan bahwa dia memang biasa bertemu orang baru.
"Apa kabar? Kalian cantik sekali."
"Richard, jangan bilang ke gue itu salah satu gombalan temen lo, karena gue sama Mina udah nggak mempan digombalin begituan," canda Jaz.
Evan menanggapinya dengan tawa. "Sama sekali nggak. Itu pujian yang tulus. Kalian memang keliatan cantik."
Mengenal Evan, ada beberapa bahasa tubuh yang menimbulkan dugaan dalam diri Richard bahwa sahabatnya itu sedang berusaha menutupi gugup. Dia tentu harus memastikannya nanti saat mereka pulang dengan mengungkit kembali pertemuan ini.
"Evan, gue boleh nyulik Richard sebentar, nggak? Ada sesuatu tentang Revulsion yang harus kami bahas. Rahasia soalnya."
"Silakan, Jaz."
"Gue tinggal bentar, ya?" ujar Richard seraya menepuk lengan Evan sebelum dia mengikuti Jaz yang lebih dulu meninggalkan meja yang dipesan Richard. Sesekali dia menoleh ke belakang, memastikan interaksi antara Evan dan Mina tidak menimbulkan kekhawatiran dalam dirinya.
"Gue makasih banget lo mau ngelakuin ini, Richard. Gue tahu ini pasti nggak gampang. Lo pasti ngerasa kayak ngejebak Evan."
"That's okay," balas Richard atas ucapan terima kasih yang diutarakan Jaz. "Gue tahu nggak ada salahnya nyoba. Lagipula, nggak ada pihak yang dirugikan, kan?"
Pandangan keduanya beberapa kali terarah ke Mina dan Evan yang sepertinya terlibat dalam percakapan yang cukup menarik. Hal itu tampak dari tawa yang keluar dari Mina dan Evan. Richard dan Jaz saling berpandangan.
"Menurut lo, reaksi Evan gimana pas ngeliat Mina?"
"Evan biasa ketemu orang baru, itu kerjaan dia sehari-hari. Jadi kalau dia tampak biasa-biasa aja, itu karena dia pinter banget nyembunyiin perasaan yang sebenernya," jelas Richard. "Gue harus ngobrol sama dia, nyinggung dikit-dikit soal pertemuan kita ini buat tahu apa yang sebenernya ada di pikiran dia. Nanti gue kabarin."
"Lo yakin?" Jaz mengajukan pertanyaan itu dibarengi ragu.
Richard mengangguk. "Sedeket apa pun gue sama Evan, dan betapa ini bikin gue nggak nyaman, tapi gue udah janji sama lo buat bantuin. Gue nggak akan ngingkarin itu. A promise is a promise."
Menatap Jaz saat ini, tidak ada hal lain yang ingin dilakukan Richard selain mencium perempuan itu. Namun dia menahannya sekuat tenaga dan mengingatkan dirinya bahwa waktunya akan tiba. Dia hanya perlu sedikit lagi bersabar.
Jaz tersenyum tipis. "Thanks, Richard."
Richard hanya mengangguk. "Anytime, Jaz."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top