Part 4 - Back and Forth
"Al? Mau ngapain? Ini di perpustakaan.."
Felicia berbisik sambil memundurkan wajahnya menjauhi wajah lelaki di hadapannya yang hanya tinggal berjarak lima senti itu. Ditangannya masih bertengger buku yang sedang dibacanya beberapa saat yang lalu sebelum Aldrich menghampirinya.
Aldrich memang sempat mengirimkan pesan kepadanya untuk menanyakan dimana dia saat ini, setelah kemarin selama seharian penuh Aldrich tidak menghubunginya, yang kemudian langsung dijawabnya bahwa dia sedang mengerjakan tugas di perpustakaan.
Perpustakaan di jam makan siang seperti ini memang selalu sepi. Hampir tidak ada penghuni yang mengunjunginya di jam-jam tersebut, dan Felicia memanfaatkan waktu sunyi di perpustakaan untuk mengerjakan tugas lebih fokus. Toh, dia tidak memiliki alasan untuk berada di tempat lain kecuali menyendiri di perpustakaan ini. Aldrich tidak menghubunginya sejak kemarin, yang membuatnya berusaha mengambil kesimpulan bahwa lelaki itu sedang butuh waktu sendiri, entah atas dasar alasan apa; Dan Felicia tidak memiliki teman yang akan membuat acara makan siangnya bisa dilewati dengan menyenangkan.
Felicia tidak memiliki teman. Fakta itu tidak pernah berubah sejak SMP, SMA hingga sekarang. Dulu mungkin dia akan menyalahkan nasib buruknya dan mencoba menganalisis apa yang salah dari sifatnya sehingga dia tidak memiliki teman, mulai dari tuduhan orang kepadanya sebagai penghancur hubungan orang walau tidak ada apapun yang dilakukannya, hingga ketidaksukaan tidak berdasar teman-teman perempuannya setiap ada teman-teman lelakinya yang mengajaknya berbicara. Namun Felicia tidak terlalu ambil pusing untuk memikirkan hal-hal itu. Kini waktu kadang terasa lebih menyenangkan dihabiskannya sendiri seperti saat ini.
Dan kini dia sudah memiliki Aldrich yang selalu berada di sisinya.
Atau mungkin tidak selalu berada di sisinya.
Felicia kembali mencoba tidak ambil pusing atas hal itu. Oleh karenanya dia tidak berusaha menghubungi terlebih dahulu walau seharian Aldrich tidak menghubunginya apalagi menemuinya. Felicia akan memberikan waktu berapapun yang diinginkan lelaki itu untuk berpikir.
Bukan karena dia tidak peduli, apalagi karena kepercayaan dirinya terlalu tinggi bahwa lelaki itu akan kembali kepadanya. Namun karena setelah apa yang sudah dialaminya selama lebih dari setengah hidupnya ini, dia menyadari bahwa seberapa sempurnapun hidupnya selama ini, apa yang tidak bisa menjadi miliknya, maka tidak akan menjadi miliknya. Contoh konkritnya adalah seorang sahabat.
***
Aldrich menemukan gadis itu berada di salah satu sudut terpencil perpustakaan setelah mencari berkeliling di setiap sudut perpustakaan yang cukup sepi itu. Dia menghela napas lega.
Entah setan apa yang mempengaruhinya untuk mengirimkan pesan kepada Felicia dan menanyakan keberadaannya beberapa saat lalu, dan langsung menghampirinya seperti saat ini. Mungkin setan bernama rasa penasaran, karena Felicia tidak berusaha menghubunginya sama sekali kemarin. Atau mungkin setan sialan bernama rasa kangen karena hal pertama yang ingin dilakukannya saat melihat gadis itu sekarang adalah menciumnya.
Dan hal itulah yang sedang berusaha untuk dilakukannya saat Felicia memundurkan wajahnya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling mereka karena takut ada yang melihat apa yang hendak lelaki itu lakukan di tempat umum seperti ini.
Namun Aldrich kelihatan tidak peduli. Dia sudah memastikan bahwa tempat yang dipilih Felicia untuk membaca buku cukup sepi dan tidak akan ada yang melihat kecuali mereka membuat keributan lebih dari ini. Dan ketahuan berciuman oleh penjaga perpustakaan tidak akan pernah menjadi hal yang ditakutinya.
Aldrich menahan tengkuk di hadapannya supaya tidak semakin mundur sebelum memajukan wajahnya sendiri. Dia melekatkan bibir mereka hingga bertemu dan menunggu reaksi dari gadis yang tadi menolaknya dengan memundurkan wajahnya.
Felicia memejamkan matanya, menikmati sesuatu yang tidak akan sanggup untuk ditolaknya, sesuatu yang memang sangat dinantinya. Ciuman dari seorang Aldrich Shah.
Otaknya kembali mencoba memperingati bahwa setelah dia mencium Felicia seperti ini lagi, sesudah usahanya untuk mengacuhkan gadis itu yang nampak membuahkan hasil, akan semakin sulit untuk mundur kali ini. Namun tubuhnya menyerah kepada nalurinya. Naluri yang telah terkontaminasi dengan aroma feromon tubuh gadis itu yang terlalu kuat saat jarak mereka sedekat ini, dan naluri untuk menikmati sepasang bibir merah yang merekah begitu indah sejajar dengan miliknya sendiri.
Persetan kembali dengan otaknya.
***
"Andreas sama Retha putus?!" kata Felicia mengulang informasi yang baru saja disampaikan Aldrich kepadanya, "Kapan? Kok bisa?"
Aldrich mengangkat bahunya santai, jemari tangan kanannya sibuk bermain dengan jemari tangan kiri gadis itu.
Kini mereka sedang duduk di salah satu kursi di perpustakaan yang masih jauh dari keramaian setelah pergumulan bibir singkat mereka di sudut lain perpustakaan beberapa saat lalu.
"Namanya juga Andreas. Sehabis kita balik dari Bali. Mereka putus malem itu juga," jelas Aldrich. Biasanya dia malas menjelaskan, namun kini dia butuh fakta itu untuk melengkapi alibi kebohongannya, "Makanya kemarin aku sama Jonathan sibuk ngehibur dia. Nggak berani ninggalin dia lama-lama sendirian."
Felicia menghela napas lega tanpa disengaja. Penjelasan itu mau tidak mau membuatnya merasa tenang, penjelasan bahwa Aldrich tidak menjauhinya secara sengaja seperti dugaannya.
Felicia tersenyum manis yang ditujukan kepada Aldrich, yang menyentil rasa bersalah karena membohonginya sekaligus menyentil urat nadinya. Dia bersumpah akan melanjutkan ciuman tadi kalau tidak menemukan di sudut pandangan matanya beberapa mahasiswa lain yang sedang mengawasi mereka berdua. Dia sendiri sadar bahwa kehadirannya di perpustakaan pasti akan menjadi pemandangan yang asing dan mengusik penghuni lainnya, karena sudah dua tahun dia berkuliah di kampus ini dan ini adalah kesempatan keduanya mengunjungi perpustakaan.
"Tapi kamu nggak papa disini sama aku? Kamu nggak mau temenin Andreas dulu?" tanya Felicia yang membuat kesadaran Aldrich yang tadi sempat terbagi ke bibir gadis itu kembali.
"Dia udah move on kok. Sekarang dia lagi kejar-kejar Prita anak Psikologi." jawabnya jujur sekenanya.
Felicia berusaha memasang wajah sedatar mungkin walau dia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa semudah itu bagi seorang lelaki untuk beralih dari satu perempuan ke perempuan lain. Karena walaupun ini pertama kalinya dia menyukai seseorang dan belum pernah merasakan kehilangan, tapi kalau hal itu sampai terjadi kepadanya, dia tidak yakin akan semudah itu melupakan Aldrich. Tidak mungkin dia bisa melupakan apa yang sudah mereka lakukan selama ini hanya dalam hitungan hari. Meskipun dia sangsi Aldrich akan sama sepertinya.
"Emang kalo cowok segampang itu ya bisa dapet cewek baru yang dia suka?"
"Maksud kamu?"
"Iya, Andreas kan baru putus dua hari lalu, tapi kamu bilang dia udah kejar cewek lain." jelasnya sebelum kemudian menambahkan, "Jadi aku penasaran aja, apa semua cowok emang segampang itu punya cewek baru yang dia suka?"
"Jangan jadiin Andreas standar dong, Fel. Dia itu deviasi, penyimpangan. Kamu lihat Jonathan dong, dia udah pacaran tiga tahun sama Bianca kan?"
"Terus kalo kamu sendiri gimana?"
Aldrich mati kutu. Felicia memang selalu berhasil menjebaknya, baik melalui godaan, sikap maupun percakapan seperti barusan. Aldrich selalu baru sadar belakangan ketika dirinya digiring dalam jebakan seperti ini.
"Aku.." Aldrich berusaha mencari jawaban senetral dan seaman mungkin, "Kalo menurut kamu gimana?"
Felicia mengerucutkan bibirnya atas pertanyaan yang dilontarkan kembali kepada dirinya, "Aku kan nanya kamu, kenapa malah kamu nanya balik?"
Aldrich memamerkan giginya saat tahu bahwa gadis itu sadar dia hanya sedang berusaha menghindar dari pertanyaan tersebut, walau akhirnya Felicia tetap menjawabnya.
"Aku kan baru kenal kamu belum lama juga, jadi aku nggak tahu kamu itu mirip Jonathan atau Andreas."
"Kamu kan nggak pernah lihat mata aku jelalatan kayak Andreas," katanya membela diri sekaligus menjelekkan sahabatnya sendiri sambil menyengir.
"Tapi aku udah beberapa kali diganggu mantan-mantan kamu di kampus yang nggak terima kamu punya pacar baru lagi. Artinya kan di kampus aja koleksi mantan kamu nggak tau berapa banyak. Itu cuma yang datengin aku doang, yang belom datengin aku nggak tahu berapa banyak lagi," ejeknya balik.
Seketika ekspresinya mengeras, senyum jahilnya sebelumnya tiba-tiba berubah menjadi serius.
"Mantan aku? Ganggu kamu? Siapa? Kamu kok nggak pernah bilang?"
Jujur Felicia hanya mengatakannya untuk mengejek lelaki itu tanpa ada maksud lainnya. Dan dia tidak menyangka ekspresi lelaki itu berubah hanya karena mendengar candaannya tersebut
"Oh, udah lama kok, Al." katanya yang kurang terdengar meyakinkan, karena bahkan mereka baru kenal kurang dari satu bulan.
"Siapa? Siapa yang ganggu kamu?" kata Aldrich masih menuntut jawaban sambil mencengkram tangannya semakin erat. Seketika dia ingat kejadian aneh minggu lalu saat dia bertemu dengan Felicia di kampus, "Jadi waktu itu baju kamu yang kamu bilang kesiram teh botol itu.."
Dan ekspresi bingung Felicia membuatnya sadar bahwa terkaannya memang benar. Seharusnya dia sadar ada yang aneh dari baju Felicia yang terguyur dengan teh botol dengan jumlah yang tidak normal dan gadis itu hanya mengatakan tidak sengaja menabrak orang yang membawanya.
"Jadi siapa, Fel?" tanyanya sekali lagi dengan semakin mengeraskan genggamannya.
"Aku nggak tahu siapa nama-nama mereka, Al," jawabnya takut.
"Kamu jangan bohongin aku," katanya dengan nada datar yang sama.
"Aku beneran nggak tahu nama mereka siapa. Mereka nggak sebutin. Yang aku tahu cuma mereka kakak kelas," jawabnya jujur.
Aldrich menghela napasnya atas usahanya sedari tadi menahan emosinya yang bersiap untuk dikeluarkannya saat Felicia akan menyebutkan nama mantan sialan yang masih ikut campur dengan hidupnya. Kepalan tangannya melemah dan Aldrich melayangkan pikirannya. Pikirannya masih menerka-nerka siapa yang berani melakukan hal itu kepada Felicia-nya.
Felicia mengeratkan jemarinya untuk menggenggam jemari Aldrich yang melemah.
"Maaf, Al."
"Kenapa jadi kamu yang minta maaf?" tanyanya depresi melihat seberapa manisnya gadis itu.
"Aku cuma mau bercandain kamu doang dengan bilang gitu," jelasnya.
"Harusnya aku yang minta maaf sama kamu. Lain kali kalo ada kejadian kayak gini lagi, kamu musti bilang sama aku, oke?"
Felicia mengangguk menurut, "Aku janji."
Aldrich menundukkan kepalanya lesu sambil menghela napasnya panjang, "Kalo begini sih aku jauh lebih parah dari Andreas. Aku cuma jumawa ternyata selama ini ngira kalo aku cowok baik-baik."
"Kamu cowok baik kok, Al! Buat aku, kamu cowok paling baik yang aku kenal. Dan buat aku kamu jauh lebih baik dari Jonathan ataupun Andreas. Aku cuma bercanda tadi bilang nggak tahu kamu gimana." kata Felicia buru-buru mengutarakan pendapatnya.
Mau tidak mau Aldrich berusaha melebarkan garis senyumnya mendengar penuturan pembelaan dari perempuan itu untuknya, "walaupun kamu udah ketemu mantan-mantan aku yang jahat itu?"
Felicia mengangguk mantap, "Sejak pertama kali aku kenal sama kamu, kamu orang paling baik yang aku kenal, dan sampai sekarang pun nggak berubah Al, kamu orang baik."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top