#Redup31. Pesan Terakhir Narajengga

Vote komentar jangan lupa ya. Tolong jangan jadi silent reader dan hargai penulis yang sudah menulis sebanyak ini yaa. Lagipula vote komentar juga gratis kok.

Selamat membaca dan selamat bersemesta

            "Rasa-rasanya, aku sudah bilang bahwa nggak ada yang perlu dibicarakan lagi."

Si Jumantara mencoba menciptakan gestur yang baik kala itu. Tidak ingin memperlihatkan kegentaran sedikit dalam dirinya. Dagunya terangkat naik, tangannya terlipat di depan perut, punggungnya tersandar, dan seulas senyum pongah serta netra yang memincing tajam seolah mendukung segalanya. Kendati di balik itu semua, ada sebuah tangan yang terkepal kuat dan rahang yang mengeras.

Napasnya tertahan manakala sebuah pesan tersebut hadir. Selepas memastikan anak semata wayangnya dalam kondisi aman dan baik-baik saja. Pun lekas mengantarkan Jingga ke kediaman Aksa dan Mika. Sena tidak butuh waktu lama untuk menuju tempat di mana Kaluna memberitahunya beberapa saat lalu. Berbagai ketakutan mulai bercongkol dalam dirinya. Semuanya berkumpul menjadi satu menciptakan kepanikan yang sejak tadi disembunyikan mati-matian.

Sena sudah terbiasa dengan seluruh lakon yang harus ia mainkan. Mencoba menyembunyikan sebuah perasaan dengan perasaan lain bukanlah perihal yang sulit untuk dilakukan. Dia tentu tidak akan lupa bagaimana satu memori usang itu mendadak hadir sejak tadi. Menginvansi seluruh pikiran Sena sehingga yang bisa ia lakukan kini hanya menempatkan terlebih dahulu Jingga di tempat teraman dengan dia yang kini sedang mencoba mempertahankan hak asuhnya.

"Aku hanya mau mengambil hakku."

Sena serta merta melepas satu tawa remeh. Ia tersenyum miring dengan seluruh umpatan yang tertahan. Marah-marah di tempat umum tentu bukan sesuatu yang etis untuk dilakukan.

"Lalu kamu pikir aku mau kasih Jingga begitu saja, Kaluna?"

"Aku ibunya."

Kaluna mencoba duduk tegak tak gentar. Seluruh aura intimidasi yang diberikan sang lawan tak dia tampik. Tatapannya lurus memberikan aura permusuhan yang kental, "Aku masih punya hak. Jingga anakku."

"Kamu jahat sekali, Kaluna," Sena menyondongkan badan, masih dengan ekspresi serupa, "Aku hanya heran kenapa Narajengga masih jatuh cinta sampai mati dengan perempuan tidak tau diri sepertimu."

Kaluna menunduk, dua tangannya terkepal erat. Tersenyum getir dengan air mata tertahan, ia membalas, "Apa Kak Sena nggak sedang lihat aku mencoba memperbaiki semuanya?"

"Terlambat, Kaluna," lempar Sena, "Aku tentunya nggak perlu jelasin satu per satu alasan keterlambatanmu karena kita sudah bicarakan ini sebelumnya. Namun, satu hal yang pasti. Jangan bertingkah seolah-olah hidupmu yang paling hancur di saat kamu juga tidak memberikan kesempatan bagi orang lain untuk memperbaiki hidupnya."

Menyadari Kaluna yang tidak paham atas perkataannya barusan, Sena seketika melanjut, "Kamu pikir apa yang Narajengga rasakan selama ini? Enam tahun dia berusaha menata seluruh hidupnya yang hancur dan kamu salah satu alasan kehancuran itu. Dia memang terlihat baik-baik saja, tapi aku kakaknya. Aku tau persis adikku tidak sebaik itu selama ini."

"Dan kamu tau apa yang paling menyebalkan dari itu semua? Dia bahkan lebih dulu mati disaat dia masih menata hidupnya. Saat seluruh harapannya hanya menjadi impian omong kosong. Saat keadaannya masih sangat berantakan. Dan dia harus mati dengan cara menyedihkan seperti itu. Adikku, Kaluna, mempunyai akhir hidup yang menyedihkan. Dia kehilangan semua kesempatan untuk memperbaiki hidupnya. Dan kamu pikir, setelah semua ini aku dengan sukarela kasih kamu kesempatan itu?" Sena tersenyum miring dengan seluruh sedih yang ia bawa kembali dari dalam diri. Memicu angkara yang tengah mendominasi hati dan dia sama sekali tidak berniat untuk menjaga seluruh kata yang keluar dari lisannya. Sekalipun dia paham betul bahwa wanita di hadapannya juga sama-sama memendam luka tidak kalah besar. Namun, Sena tidak sama sekali mempedulikan itu semua. Bahkan saat Narajengga sedang hancur-hancurnya, tidak ada satupun orang yang membuka tangan untuk adiknya selain dia.

"Ada kamu saat Jengga sedang dalam masa sulitnya, Kaluna?" Sena kembali mencecar tanya. Seolah tidak rela membiarkan Kaluna lupa setiap perlakuannya yang telah menyakiti orang terkasih Sena di masa lalu.

"Kamu harus tau, Kaluna. Sebesar apapun bantuan yang aku kasih secara cuma-cuma untuk adikku. Semuanya tidak akan pernah cukup karena aku bukan kamu. Bukan aku yang ditunggunya, tapi kamu, Luna. Dan ku tanya sekali lagi. Ada kamu di sana? Ada kamu di saat itu?"

Kaluna masih tertunduk dengan air mata yang tidak bisa dibendung lagi oleh pelupuk matanya. Beruntung suasana kafe kala itu sedang sepi dan tidak banyak orang yang memberikan banyak perhatian kepada mereka. Biar bagaimana pun, Kaluna Maharani sadar bahwa dia tidak memiliki satupun pembelaan di sana. Namun, salahkah jika dia ingin egois sekali lagi setelah banyaknya tindakan egois yang dia berikan kepada Narajengga?

"Kamu bahkan sudah berhasil memulai hidup baru. Selamat untuk itu." Sena mengeluarkan tawanya. Sarkasme tentu saja, "Kamu sudah berhasil memulai lembaran baru dan suamimu kutebak lelaki baik―atau bodoh barangkali―yang menerima kamu di atas semua tindakan jahatmu pada adikku dan anakmu sendiri dulu."

Namun Kaluna masih tidak mau kalah. Tidak untuk usahanya kali ini, "Jingga berhak tau aku ibunya, Kak Sena. Biar bagaimana pun dekatnya dia dengan Ara, aku ibu kandungnya. Aku yang berhak atas dia!"

"Dan membiarkan dia menerima penolakan sekali lagi?"

"Bagaimana bisa dibilang sebagai penolakan disaat aku sendiri yang sekarang sedang minta dia?!" Kaluna memekik tertahan. Tangan yang terkepal kuat di atas meja itu mengindikasikan besarnya emosi yang tengah ia tahan mati-matian.

"Lalu bagaimana dengan keluargamu?" Sena bertanya pongah masih dengan netra sipitnya yang menyalang tajam, "Apa kamu yakin ibu dan ayahmu menerima Jingga? Di saat mereka adalah alasan terbesarmu membuang anakmu sendiri, Kaluna?"

Kaluna terdiam. Mati kutu. Dan Sena menang telak di sana. Menyadari bahwa tidak ada satu kata pun yang meluncur dari belah bibir si wanita. Sena pada akhirnya menghempaskan diri pada sandaran kursi. Dengan dua bahu terangkat tinggi dan senyum miring kepuasan.

"A-aku akan berusaha supaya―"

"Tolong berhenti saja, Kaluna." Si Jumantara melepas napas lelahnya di sana. Memandang jalanan yang sedang ramai-ramainya kendaraan berlalu lalang sembari melanjut, "Lagipula. Ini permintaan terakhir Narajengga sebelum dia benar-benar meninggalkan kami."

Kaluna mengangkat wajahnya dengan mata yang membulat sempurna. Bahunya merosot begitu saja dan seolah dijatuhi beban berat di kedua pundak, napasnya kembali tertahan dengan dada yang seolah ditekan habis manakala si Jumantara melanjut dengan nada tenangnya.

"'Hidup dengan ambisi yang kelewat besar itu menyakitkan sekali, Mas. Dan aku nggak mau Jingga tinggal dalam lingkungan yang seperti itu. Hidup normal dan menjadi biasa-biasa saja bukanlah sebuah dosa' katanya." Sena masih kekeh pada pandangan jalanan di luar sana. Dengan pikiran yang melanglang buana memanggil satu lagi memori usang tentang si bungsu dalam kepalanya. Memberikan seluruh ultimatum terakhir pada Kaluna hanya agar mempertahankan Jingga tetap di sisinya.

"Dia tidak menginginkan anaknya untuk tinggal di lingkungan seperti keluargamu, Kaluna. Narajengga adalah seseorang yang pintar. Dia pasti sudah tau akan jadi apa anak kalian jika menghadapi sikap otoriter ayahmu dan ambisi kelewat besar ibumu. Dia tentu tidak mau hal yang sama terulang," menelan sedikit minumannya untuk meredakan kering di tenggorokan. Si Jumantara masih melanjut dengan nada kelewat tenang, "Melihat rasa tertekanmu selama ini sekali lagi terjadi melalui anaknya. Bagi Jengga, kebahagiaan Jingga adalah yang paling utama."

Kaluna menunduk. Senyum getir ia layangkan bagi dirinya. Bagi hidupnya yang kelewat menyedihkan. Bagi dia yang tidak bisa melindungi seseorang yang dicintainya. Bagi dia yang membuang harta berharga titipan Tuhan untuknya. Ah, jadi seperti ini akhirnya, bukan? Di balik seluruh kesuksesan dan keberhasilan yang telah diraihnya selama ini, semua itu agaknya tidak berarti mengingat kegagalan terbesar yang terus menghantuinya seumur hidup.

Jengga, inikah balas dendam terbesarmu? Kamu tau kalau aku tidak menginginkan anak kita pada awalnya. Kamu adalah orang yang paling mengenal aku, Jengga. Kamu tau bahwa aku akan datang dengan semua rasa sesal yang aku pikul seumur hidup dan kamu tidak pernah membiarkan aku menebus itu semua. Kamu buat aku merasakan luka yang sama. Meskipun tentu saja, besarnya lukaku tidak akan pernah sebanding dengan apa yang kamu tanggung selama ini.

Bahkan sampai akhir hidupmu pun, kamu tidak membiarkan siapapun melukai anak kita. Termasuk olehku, ibunya sendiri.

Menyadari bahwa dia tidak punya kesempatan sekali lagi. Ataupun pembelaan yang sudah disiapkan sejak kedatangannya menjadi sia-sia belaka. Menghapus kasar air mata dengan punggung tangannya. Kaluna dengan susah payah mengangkat kepala. Membalas tatapan Sena yang sudah tidak setajam tadi, barangkali saja menyelipkan sedikit rasa iba atas reaksi yang ditunjukkan wanita tersebut.

Mencoba menelan ludah kepayahan dengan napas yang tersendat. Kaluna memohon di sisa-sisa harapan terakhirnya. Setidaknya, biarkan dia memperjuangkan kesempatan terakhirnya kali ini. Biarkan dia mendapatkan satu waktu yang tidak pernah dia miliki. Dan biarkan dia menjadi egois untuk terakhir kali.

"Sekali saja," mohonnya lirih, "biarkan aku menghabiskan waktu bersama Jingga. Bersama ... anakku. Meskipun itu hanya sehari."

Menahan air mata yang sudah semakin mengalir deras mati-matian, Kaluna menunduk dengan bahu yang gemetar hebat, "Ku mohon berikan kesempatan terakhir. Setelah itu, aku nggak akan minta apapun lagi."

Well, di chapter ini aku cuma mau bilang bahwa hidup nggak melulu memberikan kita banyak hal yang kita mau. Ada beberapa hal yang bisa kita perbaiki dan ada pula yang nggak bisa. Hidup nggak selalu kasih kita kesempatan apa yang kita mau. Karena sesungguhnya, kesempatan kedua itu hal langka yang bisa kita dapat. Jadi, jangan sia-siakan apa saja yang kamu miliki kini. Kesempatan kedua yang berhasil kamu dapat, jangan sia-siakan itu dan perbaiki semuanya sampai kamu merasa itu cukup baik untuk disudahi.

Beberapa hal memang ada yang tidak bisa kembali lagi seperti dulu.

with love

Bintang

Anyway, mari berteman di instagramku @bintangsarla dan di sana kalian bakalan lebih sering dapat update-an tentang cerita-ceritaku ataupun projek novel yang sedang kukerjakan. Sampai jumpa di bab selanjutnya.

Salam dari Jingga dan ayah Jengga

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top