3
Di saat-saat terakhir, Akiko tak sanggup untuk berdiri. Hendak ingin membantunya, alih-alih kekuatan entah dari mana memelesat, mengenai tubuh Akiko hingga menghilang sekejap, menyisakan kalung yang memiliki gambar keluarganya.
Bibir Aiko bergetar, "M-maaf," ucapnya dengan nada kecil. "Aku tak bisa menolongmu." Tak sanggup mengingat masa lalunya, membuat air mata berjatuhan membasahi pipi.
"Dasar, pengecut!" Akiko mengangkat tangan, lima jemari terbuka lebar. Aliran petir berwarna hitam mengalir, memelesat lepas dari lengan Akiko. Petir itu melaju dengan kecepatan tinggi menuju Aiko.
Mungkin di sini tempat terakhirku, senyuman itu mulai tergores di wajahnya. "Benar, aku harusnya mendengarkan Fani," lirih Aiko.
Jarak petir hitam itu kian mendekat, segera menghanguskan tubuh Aiko. Saat mendekat, sebuah benda terjatuh dari langit, menimbulkan kabut dari pasir. Pandangan kian terbatas, lengang menyelimuti sekitar.
Petir hitam dari hadapan Akiko menghantam dirinya sendiri membuatnya terpental, hingga tersungkur di atas tanah.
Secercah cahaya kekuningan menyelimuti Aiko.
"B-bagaimana bisa?" Akiko memandang sesuatu yang mustahil itu.
Aiko sendiri pun heran, kenapa ada prisai yang melindungi dirinya. Asalnya dari atas. Jauh dari tempatnya berdiri, sebuah menara tinggi berdiri dengan gagah. "Sejak kapan menara itu ada di sana?" Aiko memiringkan kepala. Prisai yang melindungi dirinya lenyap.
Akiko tengah berjuang bangkit, aliran petir yang mengitari tubuhnya mulai tampak melemah. Memandang celah itu, Aiko maju menerjang. Mengerahkan petir berwarna magenta memelesat maju. Akiko mengangkat tangan, aliran petir hitam muncul, menghantam petir magenta. Meski begitu, Akiko hanya mundur beberapa langkah. Menyadari itu, menjadikan kesempatan untuk Aiko mampu mengalahkannya. Entah siapa yang mengirim prisai barusan itulah tidak penting.
"K-kenapa petirku bisa selemah ini?" tanyanya curiga.
"Aku tidak tahu bagaimana pastinya, tetapi yang kamu barusan lakukan adalah menyerang kekuatanmu sendiri. Baiklah, aku akan menolongmu!"
Berbagai petir mulai bermunculan di sekitar mulai menerjang menuju Akiko. Kini Akiko berusaha untuk bangkit kembali, menerjang.
Dua petir berwarna kelam itu saling menghantam, menimbulkan ledakan yang memekakkan telinga. Debu pasir mulai berhamburan kembali. Kedua gadis itu sama-sama terpental saling menjauh. Sekujur tubuh Aiko nyeri kesakitan setelah menghantam tanah, meski berulang kali terjatuh kali ini benar-benar parah.
Saat mengangkat kepala, Akiko masih terkujur kaku jauh di depan. Segera dia datang menghampirinya perlahan.
Belum genap mendekat, sosok asap hitam terlepas dari tubuh Akiko yang tengah terbaring tak sadarkan diri. Aiko menatap pada asap hitam yang kian meninggi, perlahan berubah bentuk menjadi sosok manusia.
"Kurang ajar rupanya kau, bisa-bisanya dengan mudah mengalahkanku," ucapnya.
"Aku tidak mengalahkanmu, sebenarnya kau sendiri yang mengalahkanmu," balas Aiko sedikit tersenyum simpul.
Amarah mulai terbakar pada manusia asap itu, mengangkat tangannya. Petir-petir berwarna hitam itu mulai menghujam ke arah Aiko. Tak tinggal diam, Aiko mengerahkan seluruh kekuatan petir magenta itu. Lagi-lagi kedua kekuatan itu saling menghantam.
Aiko tengah menahan kekuatannya yang lambaut laun makin melemah. Petir berwarna hitam itu dengan mudahnya mendorong mundur Aiko. Namun, terbesit satu hal, mungkin akan memakan nyawa. Akan tetapi, tak ada cara lain.
Aiko merapalkan mantra, lingkaran sihir dari tangan kiri mulai terbentuk berwarna ungu. Aliran petir memelesat, menambah kekuatannya. Perlahan petir magenta milik Aiko berhasil memukul mundur dan melenyapkan manusia berasap itu. Ledakan besar terjadi, mengaburkan pandangannya. Perlahan kabut debu sirna, di hadapannya menyisakan tubuh Akiko yang masih terbaring.
Segera Aiko menghampirinya, memastikan sosoknya baik-baik saja. Memangku tubuh Akiko.
Perlahan mata Akiko mulai terbuka, memandang sosok kembarannya. Aiko bernapas lega, kali ini dia berhasil menyelamatkannya.
"Sudah berakhir?" tanyanya.
Aiko mengangguk.
"Syukurlah kalau begitu, walau aneh sekali barusan. Tapi terima kasih." Senyuman mulai terukir di wajah Akiko. Perlahan tubuh yang dipangku oleh Aiko mulai memancarkan cahaya keemasan.
"T-tunggu, apa yang terjadi?"
Akiko menggeleng. "Tidak ada yang terjadi kok, kamu berhasil menyelamatkanmu. Kini aku bisa beristirahat dengan tenang. Sebagai gantinya, kini aku yang menolongmu. Pergilah ke sisi barat kota ini."
"T-tapi bagaimana dengan—"
"Sssst! Tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi, Aiko. Terakhir, sampaikan salamku pada Misaki ya." Senyuman itu pun sirna bersama seluruh tubuh, lenyap menjadi kepingan cahaya yang kini mengambang di udara, kian tinggi.
Kehilangan sekali lagi, namun kali ini entah mengapa Aiko sedikit lega dengan kepergiannya yang tenang. Seluruh beban yang diembannya kini telah menghilang satu. Dia tengah berdiri, melangkah menuju barat bangunan ini.
Perjalanan yang memakan waktu beberapa jam itu, membuatnya tiba di sebuah hutan lebat. Dia menghentikan langkah sebelum memasuki tempat itu. Gelang yang dikenakan bergetar, terdeteksi anomali dalam hutan. Namun, tak ada apa pun di sana. Aiko memilih untuk mendekat, getaran pada gelang yang dikenakan semakin kuat. Memandang sekitar, menemukan dua pohon yang berdiri di sisi kiri dan kanannya.
Tak seperti pohon pada umumnya, batang pohon itu berwarna magenta. "Jadi di sini ya akhir perjalanannya?" gumam Aiko.
Langkah kakinya maju, namun sebelum melewati batas itu, dia menoleh ke belakang. "Beristirahatlah dengan tenang, Akiko." Mulailah menapakkan kaki melewati batas itu. Tubuhnya lenyap melintasi batas itu....
fin
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top