01 ♡ Met After

---------------------------------
ajarilah aku apapun itu, asal bukan caranya untuk bisa menjauhi dan hidup tanpamu

-- marentinniagara --
---------------------------------

One Squell of Kasta Cinta and the others
-- happy reading --
🎋🎋
.

.
.

BERTEMU kembali setelah sekian lama berpisah itu seperti menemukan buku lama yang telah hilang. Senang bercampur emosi tapi tidak berniat untuk membacanya lagi, karena sebelum hilang seseorang telah sampai pada cerita akhir buku tersebut.

Seperti hidup dalam buku lama itu, apakah jika dibaca lagi akan ada hal yang berubah atau akankah ada sebuah jawaban dari pertemuan ini? Apapun itu yang jelas satu kalimat yang sempat terpikir adalah mengucap terima kasih telah datang lagi.

Apakah pada akhirnya itu yang didefinisikan akan sebuah kata yang tertulis sebagai rindu?

Rindu ini tidak pernah sedikitpun membiarkan untuk beristirahat walaupun mata sejatinya sudah ingin terlelap. Perlahan menepis namun tetap saja tidak pernah bisa, sebuah pena yang tidak bersahabat dengan hati, dia tetap membela rindu yang pada akhirnya menuntun jari untuk menguraikan rasa rindu itu sendiri. Tentu saja harus menikmati karena rasa yang tiba-tiba menyeruak untuk hadir kembali itu seolah tidak lagi bisa terbendung walau waktu telah mengajarkan banyak hal untuk bisa saling melupakan. Sayangnya tidak, waktu hanya memberikan jeda untuk bertumbuh supaya keyakinan semakin ada dan kedewasaan semakin nyata.

Saat hari mulai gelap rindu ini tidak sedikitpun ikut lelap, dia masih saja menghantui bahkan bisa dikatakan tak tahu malu mendatangi tanpa peduli waktu. Meski sering kali mencoba berdamai dengannya namun seolah hanya sia-sia belaka, rindu tetap saja tidak pernah sirna dan selalu beriringan dengan rasa sepi yang sering kali tidak permisi. Rasanya begitu ambigu, merindu namun tidak ingin dihantui oleh rindu itu sendiri.

Rindu seperti tak pernah menyerah walau sudah memerintahkan airmata agar membuat mata memerah. Rindu juga tak pernah memberi sedikit saja jeda untuk bercengkrama dengan syahdunya dunia. Rindu hanya menunggu untuk temu, dan ketika temu itu benar-benar nyata di depan mata yang ada hanyalah kebungkaman tanpa suara namun seolah takikardia telah melanda hanya dalam sekali temu dalam tatap tanpa sengaja.

Mungkin karena nodus sinoatrial yang terletak di serambi kanan jantung memproduksi sinyal elektrik yang memicu setiap detak jantung mengalami gangguan untuk memompa darah. Bisa jadi fibrilasi atrium, atrial flutter, takikardia ventrikel atau supaventrikular bercampur menjadi satu. Bukankah itu sangat kompleks dan semakin membuat berat kerja serambi dan bilik jantung? Fiza hanya menggeleng lemah kemudian memutuskan pandangan matanya. Lima tahun tak bertemu nyatanya bukan menghilangkan namun justru semakin tumbuh bersemi lalu dengan congkak rindu berseru, hakikat menggenapi rindu bukan dengan pertemuan semu, tapi dengan kamu menggenapi agamaku dan aku menggenapi agamamu.

"Nafiza?"

"Kak Wafiq?" memakai pakaian kebesaran dengan model yang berbeda. Nafiza jelas masih mengenakan jas snelli khusus koas sedangkan Wafiq telah mengenakan snelli berlengan pendek.

"Kamu?" percakapan yang terkesan kaku karena hanya ada pertanyaan dan sapaan sepotong-sepotong.

"Koas, Kakak?"

"Internship." Banyak tempat untuk melakukan dua kegiatan untuk membuat mereka bisa menyandang gelar dokter yang sesungguhnya tapi mengapa seolah takdir membuat mereka bertemu setelah 5 tahun terpisah jarak dan komunikasi.

Tidak berlangsung lama karena Fiza harus kembali bersama timnya menuju konsuler untuk menerima tugas selanjutnya. Pertemuan singkat dengan Wafiq tentu saja memberikan efek yang luar biasa di hatinya. Sejak lama dia hanya memendam dalam hati tanpa ingin orang lain tahu termasuk sepupu terdekat dan juga orang tuanya. Membiarkan dunia mengetahui bahwa dia menyukai Hawwaiz tanpa perlu mengkonfirmasi karena sejatinya dari awal hatinya telah takluk pada pesona laki-laki yang telah memperkenalkan rindu kepadanya.

"Siapa Fiza?"

"Hah?" Nafiza seperti belum ada di tempatnya ketika teman-temannya bertanya dia sedang berbincang dengan siapa.

"Hei kemana saja kamu dari tadi?"

"Hah?" kembali Nafiza hanya mengeluarkan pertanyaan bodohnya.

"Sepertinya, pria tadi memberikan efek yang luar biasa untukmu Fiza. Atau jangan-jangan dia adalah cinta dalam diammu? Cie...cie...cie." Nah kan gara-gara sikap Nafiza seluruh temannya meledek dan mulai membaca apa yang dirasakannya kini.

"Dokter muda yang sedang internship berarti nggak jauh dengan kita dong. Lah kalau begitu Mas Hawwaiznya buat kami ya?" semuanya tertawa namun Nafiza hanya diam dengan wajah memerah. Teman-temannya sukses membuat hatinya kembang kempis tidak karu-karuan.

Di sisi yang berbeda Wafiq tidak menyangka bisa bertemu kembali dengan Nafiza dengan suasana yang berbeda. Mereka memang dekat sejak SMP terutama karena Nafiza adalah saudara sepupu Hawwaiz yang sudah seperti adik bagi Wafiq. Ditambah lagi ternyata kedua kakak mereka bersatu dalam pernikahan. Mendapatkan posisi yang sama yaitu menjadi om dari si kembar Habeel dan Hafsha. Terlebih setelah Hazwan hadir, sering berada di acara yang sama membuat mereka menjadi dekat. Dulunya Nafiza sering ikut namun sejak Wafiq memutuskan untuk mengambil study kedokteran dan jarang bisa berkumpul bersama keluarga hingga kini telah mulai internship belum sekali pun pernah bertemu dengan Nafiza.

Jika hari ini mereka dipertemukan kembali tentu saja itu bukan karena kebetulan. Wafiq percaya bahwa kejadian ini adalah bagian dari campur tangan Allah atas semua rintih yang selalu dilangitkannya.

"Seneng banget tuh muka, kenapa?"

"Eh itu, pasien dipulangkan karena sembuh." Mungkin itu hal yang wajar bagi setiap orang tapi bagi seorang dokter baru seperti Wafiq melihat pasien yang berada dalam penanganannya bisa sembuh, sehat kembali lalu dibolehkannya pulang adalah kebahagiaan tersendiri. Meski sembuh hanya Allah yang memberikannya namun dia merasa menjadi orang yang berguna bisa membantu sesamanya setidaknya dengan obat dan pertolongan dari tim medis sebagai sebuat tindakan yang preventif.

"Eh tapi sepertinya bukan karena itu, bahagia elu terlalu berlebihan." Sekali lagi teman satu tim internship Wafiq memberikan pendapatnya. "dr. Faiyaz, anda terlalu lugu untuk berbohong kepada kami."

Wafiq tersenyum mendengar ucapan temannya. Dia memang tidak pandai berbohong karena memang tidak ada manfaatnya juga berbohong sehingga dalam sekali beralasan teman-teman yang sering melihat kesehariannya walau baru beberapa saat mengenalnya akan tahu dengan pasti kapan dia serius, bahagia, menyembunyikan kesedihan atau paling jelek adalah berbohong.

Pekerjaan sebagai seorang internship memang tidak sebanyak ketika dia melaksanakan koas dulu. Karena memang mereka telah resmi menjadi dokter hanya saja karena memang sebuah kewajiban untuk melaksanakan magang sebelum akhirnya berdikari sendiri sesuai dengan ingin atau minatnya.

Sejak Wafiq telah dinyatakan lulus ujian kompetensi sebagai seorang dokter melalui exit exam atau dulu lebih dikenal dengan sebutan UKDI dia telah mendaftarkan diri menjadi dokter dan telah menerima STR sebagai bukti regristasinya. Sehingga satu tahun ke depan memang kegiatannya hanya mengikuti program internship sesuai dengan SIP yang diterimanya. Dan sepertinya dia harus bersyukur kali ini karena SIP yang diajukan di rumah sakit ini menjadi rumah sakit pendidikan untuk Nafiza melakukan koasnya.

Mereka memang tidak satu almamater, itu sebabnya mungkin yang menjadi alasan juga selama lebih dari 5 tahunan tidak bertemu.

'Mungkin cara Allah untuk mempertemukannya kembali.' Hidup di kota yang sama namun harus merantau mengadu nasib di kota besar demi sebuah cita-cita. Wafiq memutar kembali kumpulan foto kegiatan di masa remajanya ketika dia dan Fiza sering terlibat dalam satu kegiatan yang sama.

"Kak, bisa tolong bantuin Fiza nggak? susah ini jalannya pake kain." Ingatan Wafiq kembali pada peringatan hari lahir ibu Kartini di sekolah mereka dulu. Jelas saja Fiza tidak mengenakan konde, dia masih tetap berjilbab namun dengan mengenakan kebaya juga kain yang membebat tubuhnya serta lengkap dengan make up tebal membuat Wafiq menatapnya lebih dari satu menit tanpa berkedip.

Bayangkan saja, gadis yang biasanya tidak pernah mengenakan make up kemudian di make over sedemikian rupa, membuat sudut di hati Wafiq tidak rela jika seluruh mata nakal laki-laki memandang Nafiza seperti halnya dirinya.

"Kak Wafiq, kok malah melamun sih. Bisa bantuin Fiza nggak?" Wafiq tergagap dan menggeleng pelan menghalau bayangannya.

"Eh, bisa. Emang mau dibawa kemana?" tanya Wafiq.

"Itu ke aula, kan sebentar lagi lomba mau dimulai mungkin karena semua sibuk jadi yang baku malah nggak dibawa ke sana." Nafiza memberikan beberapa peralatan yang hendak dipakai oleh peserta lomba di Aula.

"Kurang berapa lama lagi lombanya?"

"Setengah jam lagi."

"Kamu nggak pengen sholat dulu?" mengapa Wafiq justru menanyakan hal itu? tentu saja, supaya make up Nafiza luntur kena air wudhu.

"Sholat?" tanya Fiza tidak percaya.

"Iya, dhuha maksudku." Wafiq menjawab salah tingkah.

"Oh, itu kebetulan lagi dispensasi." Nafiza berhenti kemudian menoleh kepada Wafiq. Tidak seperti biasanya kakak tingkatnya ini seperhatian itu sampai mengingatkan sholat dhuha.

"Kak Wafiq mau dhuha dulu?" tanya Fiza.

"Oh enggak, kirain kamu__?" tanya Wafiq namun Fiza terdiam dan melanjutkan jalannya meski tidak segesit biasanya.

Suasana kembali diam namun Wafiq memilih untuk berjalan di depan Fiza karena memang sebaiknya seperti itu untuk menghilangkan pikiran jeleknya. "Lain kali kalau peringatan hari kartini tidak perlu mengenakan full make up seperti ini. You are look so beautiful as you are."

Wafiq terus berjalan sementara Nafiza berhenti dan entah karena bisikan dari Wafiq atau Nafiza menyadari sesuatu hingga membuat gadis itu telah berpenampilan polos tanpa make up ketika memasuki aula.

Wafiq tersenyum lebar saat mengenang peristiwa itu ketika kini dia hanya bisa memandangi foto dirinya, Nafiza, Hawwaiz dan seluruh pengurus OSIS setelah lomba selesai diadakan. Hingga lamunan manis itu harus buyar tatkala temannya masuk ke kamarnya tanpa permisi terlebih dulu hingga Wafiq kaget dan beristighfar dengan kencang.

"Astaghfirullah, Ardi. Salam dulu woy masuk kamar orang!" Wafiq segera menutup layar laptopnya tanpa menekan tombol stand by.

"Lah dari tadi sudah gue ketuk pintunya, bilang assalamu'alaikum tapi nggak ada sahutan. Takut kenapa-kenapa makanya langsung gue buka. Eh ternyata dr. Faiyaz lagi asyik mandangi kolase foto di laptop. Emang foto siapa sih?" tiba-tiba dengan tidak sopannya Ardi membuka kembali laptop yang telah ditutup oleh Wafiq.

Tidak ada yang mencolok mata karena kebanyakan foto kegiatan di sekolah jaman Wafiq masih sekolah dulu.

"OMG, Yaz ini beneran elu. Culun banget sih muka lu." Ardi tertawa ringan mengolok temannya. Tentu saja masih culun, dibukanya sekarang setelah beberapa tahun berlalu, coba pada jamannya dulu mungkin Ardi merasa tersaingi dengan penampilan Wafiq kala itu.

"Kek kamu nggak pernah culun aja sih?"

"Maap-maap kata ya, Babang Ardi udang ganteng dari sononya."

"Narsis."

"Lagian ngapain sih buka album lama, kangen sama mantan ya. Yang mana mantan lu Yaz?" penyakit kepo Ardi kembali menyapa. Masalahnya Wafiq yang memang tidak memiliki mantan cukup menjawab bukan dan bertanya ada apa temannya datang ke kamarnya.

"Eh, nonton yuk seru nih Vin Diesel beraksi."

"Sama siapa?"

"Sama gue."

"Songong." Wafiq malah berbaring di bednya.

"Eh ini anak diajak nonton malah tidur. Mumpung free malam ini, kita nepe atau jalan kemana kek mumpung di kota pahlawan kali aja masih ada anaknya tukang rujak cingur yang masih cantik. Lagian gue juga mau cerita sama elu tentang anak koas yang baru gue lihat hari ini."

"Maksudmu?" tanya Wafiq.

"Lah yaopo se peno, arek Jawa Timur ora paham." Ardi menjawab dengan logat Surabaya yang dipaksakan karena dia asli anak Jakarta. "Sopo ngerti nasib awak lagi mujur, kenal anake sing dodol rujak cingur." Sekali lagi Ardi menyanyikan lagu jawa timuran yang sangat ngetop pada jamannya.

Wafiq tertawa ngakak ternyata yang dimaksud temannya anaknya pedagang rujak cingur itu yang ada di lirik lagu rek ayo rek, pantesan ngajakin jalan-jalan ke tunjungan. Lagian di Basuki Rahmat itu apa ya masih ada orang jualan rujak cingur.

"Yaz, bytheway cingur itu apaan sih?" tanya Ardi yang belum mengerti artinya.

"Lagian jaman gini kudet banget sih, cingur saja nggak paham."

"Ye ngerti gue, itu kan yang kenyal-kenyal dari kikilnya sapi. Maksud gue arti sebenernya apa?" Wafiq tertawa sambil mengganti kaosnya dan bersiap keluar keliling kota pahlawan tapi bukan berarti ingin kenal anaknya penjual rujak cingur seperti si Ardi.

"Cingur itu bagian dari bibir dan mulutnya sapi termasuk lidah. tapi biasanya kalau lidah itu dipake sop bukan buat rujak."

"Wah berarti kalau gue makan tuh rujak kek gue ciuman sama sapi dong?" tanya Ardi dengan polosnya.

"Iya, apalagi kalu kamu punya cita-cita dapat anaknya penjual rujak cingur." Tawa Wafiq meledak disambut sewotan dari bibir Ardi.

Dokter juga manusia bukan? Yang juga membutuhkan hiburan dan terkadang sedikit garing cara bercandanya. Namun terlepas dari itu mereka juga sama membutuhkan sosialisasi dengan lingkungan. Bukan hanya belajar dengan benar bagaimana menggunakan bisturi atau menancapkan jarum spuit pada nadi untuk memasukkan cairan ke tubuh manusia.

Setengah jam berlalu akhirnya Ardi dan Wafiq sampai juga di tunjungan plasa. Bergerak ke lantai lima tunjungan 4, keduanya berniat untuk mengisi perut mereka sebelum masuk ke gedung bioskop. Namun baru akan duduk di kedai betawi yang ada di sana mata Wafiq bersirobok dengan seseorang. Namun belum sampai menyapa Ardi langsung memperkenalkan bahwa mereka adalah anak koas di rumah sakit yang sama dengan tempat Ardi dan Wafiq internship.

"Anak koas tuh, yang depan jilbab besar itu namanya__"

"Kak Wafiq di sini juga?" Wafiq tersenyum namun Ardi langsung memandang ke arah Wafiq.

"Wafiq?" Ardi tertegun. Bukankah selama ini di kampus teman yang berdiri di sampingnya ini dikenal dengan nama Faiyaz. Mengapa tiba-tiba ada gadis yang menyapa temannya dengan panggilan Wafiq?

"Iya Fiz, ini diajakin Ardi mau nonton tapi lapar makanya mau makan dulu. Kalian?"

"Kita sudah makan, Kak. kalau begitu kami duluan." Nafiza meninggalkan Ardi dan Wafiq bersama teman-temannya yang lain. Ardi masih diam mematung saat Wafiq melangkah dan mencari tempat duduk untuk mereka. Ada yang keliru dari cara memandangnya kalau dia tidak salah tangkap. Dan perkara gadis koas yang ingin diceritakannya? Sepertinya Ardi justru yang akan bertanya lebih banyak kepada Wafiq karena mereka saling mengenal.

Dunia juga tidak seluas daun kelor bukan? Namun mengapa dua kali bertemu dalam sehari membuat jantung Wafiq berdetak sebagaimana mestinya. Jangan sampai ummanya harus turun tangan untuk mengobatinya. 

-- to be continued --

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
🙇‍♀️🙇‍♀️
Jazakhumullah khair

sorry for typo
Blitar, 26 Juli 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top