6
✨Happy Reading✨
Stella turun dari mobil, matanya menatap bangunan megah bergaya eropa di depannya. Daun pintu raksasa terbuka, seorang pelayan menyambut kedatangan Stella.
"Nona, silahkan."
Stella melangkah masuk, matanya menyusuri keindahan setiap sudut ruangan yang di design secara indah. Terlihat seperti istana dengan dominasi warna putih dan emas. Persis terlihat seperti yang ada dalam kenangan si pemilik tubuh.
Melewati ruang demi ruang dan menyusuri koridor yang cukup panjang akhirnya Stella sampai di taman belakang kediaman itu. Terlihat Morgan tengah duduk santai bersandar di temani bidak-bidak caturnya.
Stella tiba di samping Morgan yang masih belum menyadari kedatangannya. Dengan isyarat tangannya Stella mencegah pelayan memberitahu pria tua yang tampak serius dengan permainannya dan mengusirnya pergi.
Kerutan semakin bertambah di kening Morgan, dari ekspresi wajahnya terlihat jika ia tengah berfikir keras. Ia tengah mencari cara keluar dari kepungan bidak caturnya yang lain, namun seberapa lama pun ia berpikir pion putih itu tak dapat mengelak dari kepungan pion-pion hitam.
Tangan Stella terulur mengambil sebuah bidak dan memindahkannya, "Skak mat!" Kerutan di wajah Morgan menghilang di ganti dengan sebuah senyuman, tangannya bergerak mengusap janggutnya.
"Ah, kenapa aku tidak memikirnya dari tadi."
Stella tersenyum kecil kemudian memeluk Morgan singkat. "Ada apa Kakek memintaku kemari?" tanya Stella begitu ia duduk.
"Oh, jadi kakek harus memiliki urusan dahulu jika ingin memanggilmu?" Morgan menggoda Stella.
Stella terkekeh kecil membuat matanya melengkung seperti bulan sabit, terlihat sangat indah.
"Kakek senang akhirnya kau benar-benar terlihat bahagia."
Tak terhitung berapa banyak Morgan menasehati Stella agar menyerah pada Eason. Morgan merasa sakit setiap melihat cucunya di abaikan dan terus memperjuangkan hal yang menurutnya sia-sia. Karena Eason tak mencintai Stella! Melihat Stella yang putus asa dan terus berjuang sangat menyayat-nyayat hatinya. Kini cucu satu-satunya ini terlihat sangat hidup, tak lagi terpaku pada Eason seorang. Morgan bahagia melihatnya. Morgan percaya suatu saat nanti Stella akan menemukan cinta sejatinya yang akan melindungi dan menjaga Stella sepenuh hati. Membuatnya tak lagi khawatir jika sesuatu saat nanti ia meninggalkan Stella seorang diri di dunia ini.
"Mulai besok belajarlah untuk mengambil alih perusahaan." ucap Morgan setelah terdiam cukup lama. "Teddy akan mengajarimu." sambungnya melihat bibir Stella yang terbuka. Untuk kali ini Morgan tak memberikan kesempatan cucunya ini kembali menolak. Cepat atau lambat ia akan menyerahkan perusahaan yang ia bangun dengan keringat dan darah pada satu-satunya ahli warisnya. Stella harus belajar mengelolanya mulai dari sekarang.
Stella terdiam dan berpikir, tentu saja yang selalu menolak keinginan Morgan adalah pemilik tubuh sebelumnya. Melihat sorot harap dari mata tua itu membuat Stella tak berdaya. Stella mengangguk membuat Morgan tersenyum senang. "Baiklah."
Keduanya kembali melanjutkan permainan di temani teh dan beberapa cemilan yang di bawakan pelayan.
**
Hari terus berlalu, tak terasa satu bulan sudah Stella menempati tubuh barunya. Saat ini Stella dalam perjalanan di luar kota untuk memantau perkembanagan salah satu hotel milik Morgan, tentu saja bersama Teddy yang dengan sabar membimbing dan mengajarinya.
Sejujurnya Stella tak memerlukan arahan dari tangan kanan kakeknya ini. Untuk seseorang yang pernah menjadi pemimpin perusahaan, bagi Stella ini bukanlah hal baru. Namun berbeda dengan pemilik tubuh sebelumnya, akan sangat mencurigakan jika Stella menunjukkan kemampuannya.
"Berhenti!" Stella meminta sopir untuk berhenti.
"Ada apa nona?" Teddy dan sang sopir bertanya heran.
"Uncle Ted, apa itu?" Stella menunjuk sebuah kontruksi bangunan yang mereka lewati.
Teddy membenarkan letak kaca matanya, ia menjawab dengan tenang. "Pembangunan hotel oleh LK Copration. Kebetulan atau tidak tapi beberapa kali perusahaan mereka membangun hotel di dekat hotel kita." Stella mengangguk mendengarnya.
Stella menatap pembangunan gedung yang baru 15% jadi itu. Ia tersenyum kecil, tenyata taktik Justine tak pernah berubah, Justine selalu menanggap membangun hotel dekat dengan hotel yang lebih besar dari miliknya akan mendatangkan keuntungan yang lebih besar.
Stella sendiri tak menyangkalnya, pelanggan memang akan beralih pada hotel miliknya jika uang mereka tak mencukupi untuk membayar hotel yang cukup mahal. Hotel yang lebih murah adalah alternatif teraman. Setidaknya meski mereka tak dapat menginap di hotel besar dan mewah itu mereka masih bisa memandanginya dari kamar hotel yang mereka sewa.
Sebetulnya hotel yang di bangun perusahaan mendiang orang tua angkatnya tak seburuk itu. Namun jika di bandingkan dengan perusahaan raksasa milik Morgan memang tidak ada apa-apanya.
Mobil berhenti tepat di lobby hotel, manager dan beberapa staf berjajar rapi menyambut kedatangan Stella. Mereka membungkuk dan memberi hormat pada pewaris pemilik hotel.
Pintu lift terbuka, tepat saat Stella dan rombongannya akan masuk dari dalam lift terlihat seorang pria melepaskan ciumannya pada wanita dalam pelukannya.
Mata obsidian itu tepat menatap manik biru Stella. Hanya beberapa detik sebelum pria tersebut memalingkan muka seolah Stella tak layak untuk ia lihat.
Kening Stella berkerut, ia mengingat-ingat dimana kah ia pernah melihat pria itu. Stella dan yang lainnya masuk setelah pasangan tadi keluar. Di dalam lift Stella merasa Teddy sering meliriknya dari ekor matanya.
"Ada yang salah?" Stella memiringkan kepalanya.
"Apa.. anda baik-baik saja?" Teddy terlihat ragu.
"Tentu."
Stella merasa lucu dengan pertanyaan Teddy. Kenapa ia harus tidak baik-baik saja. Stella kembali terlihat acuh tak acuh seperti biasanya membuat Teddy mendesah dalam hati. Benar-benar pria yang tak berperasaan. Teddy menatap kasihan pada Stella yang ia yakin berusaha terlihat tegar di hadapan orang lain.
Pintu lift terbuka manager mengantarkan Stella ke kamar yang telah di siapkan secara khusus untuk pemilik hotel.
"Nona.."
Panggilan dari Teddy menghentikan Stella yang akan memasuki kamarnya. "Ya?"
Teddy merasa ragu namun ia tetap bertanya. "Apa perlu saya menyelidikinya?"
"Menyelidiki?" Stella bertanya tak mengerti.
Menyelidiki apa? Pembangunan hotel milik Justine? Tak perlu bersusah payah karena Stella sudah mengetahui semuanya. Yang ia perlukan adalah menjalankan rencananya.
"Mm, itu.." Teddy merasa bersalah karena tak bisa berakting seolah percaya dengan sandiwara baik-baik saja Stella. Pria berusia 40 an itu telah menjadi tangan kanan Morgan lebih dari 15 tahun, ia bahkan sudah mengagap Stella seperti putrinya sendiri. Ia tau bagaimana Stella menggilai Eason.
Bosan menunggu Teddy yang masih belum bicara Stella kembali berkata. "Paman, Saya lelah. Boleh saya istirahat?" tanyanya lembut.
"Ah, ya, ya. Tentu." Teddy mengangguk-angguk.
Stella kembali melangkah namun baru 3 langkah ia berhenti. "Paman, aku ingin paman melakukan sesuatu." ia berbicara tanpa menoleh.
Teddy sudah mengiranya. Bagaimana mungkin perasaan Stella bisa berubah secepat itu. Ia terlalu mengenal gadis ini. Bukan ia tidak senang dengan perubahan Stella, hanya saja sangat menyedihkan terus tersenyum saat kau ingin menangis. Di masa lalu Teddy lah yang selalu melakukan banyak hal dan membersihkan kekacauan yang di lakukan Stella, jadi ia sangat mengenal tabiat Stella yang pangang menyerah.
Stella berbalik dengan senyum manis yang terukir di bibirnya, matanya menatap dalam pada pria setengah baya di depannya.
**
Pintu tertutup, Stella bersandar sambil meraba dadanya yang entah kenapa terasa begitu sesak. Ada apa dengannya? Mungkinkah perasaan si pemilik tubuh?
Stella melemparkan tubuhnya ke atas ranjang, memandangi langit-langit kamar dengan pandangan hampa. Semua terasa hampa, satu-satunya alasan ia melakukan semua ini untuk membalaskan dendam. Tanpa stella sadari ia terlelap begitu saja.
Kaki Stella berjalan di lorong yang sepi. Ini.. penjara? Dua orang napi perempuan, Agni dan Medina berjalan kearahnya dengan dua ember berisi cairan menjijikan. Kaki Stella seakan terpaku, ia hanya terdiam saat keduanya menyiram dan melumuri tubuhnya dengan cairan tinja seperti biasanya.
Blankkk
Suara lemparan ember bergema di lorong sepi. Keduanya pergi begitu saja sambil menggerutu, meninggalkan Stella yang berekspresi datar melihat kepergian mereka.
Menghela langkah menuju selnya tanpa mempedulikan tubuhnya Stella berpapasan dengan Helena_ sipir penjaga yang kebetulan bertugas pada malam itu.
Ini mimpi?
Stella sadar jika ia berada di alam mimpi, ia membiarkan semua berjalan sebagaimana semestinya.
Helena mendengus melihat Stella, ia berlalu melewati Stella yang berhenti memandanginya. Tangan Stella terkepal erat, bibirnya membentuk segaris senyum tipis.
Mata Stella terbuka, mengerjap-ngerjap beberapa saat kemudian ia bangkit dan berjalan menuju jendela besar, memandangi pemandangan malam di luar sana yang terlihat indah.
Ternyata ia tertidur cukup lama, tanpa terasa di luar matahari telah beranjak bergantin oleh sang rembulan. Yah inilah dunia, seindah apapun itu semua memang akan kembali ke tempatnya.
Tbc...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top