33. Kesempatan Itu Perlu Atau Tidak?
Halo, masih lancar puasanya kan?
Semangat, dong.
Btw, tinggal 2 chapter lagi.
😁
Tidak ada badai, tidak ada banjir, tentu saja aku terkejut ketika Mas Didas tiba-tiba mengajakku menikah. Dia pasti mengigau. Apa dia tidak berkaca dengan kejadian sebelum hari ini, di mana begitu mudahnya dia mengata-ngatai aku. Meskipun perkataannya ada benarnya, tapi setidaknya dia bisa mengunakan bahasa yang lebih sopan.
Lagipula apa dia tidak sadar perlakuannya selama ini sempat menyinggung hatiku? Atas dasar apa dia mengajakku menikah? Apakah dia menjadikan aku sebagai bahan taruhannya lagi? Pernikahan itu suci, tidak pantas dipermainkan.
"Kenapa tiba-tiba ngajak saya nikah?" seruku.
"Karena— saya ingin menikah sama kamu," ucapnya.
Kelihatan sekali dia sendiri pun bingung. Entahlah, mungkin saja ini sebagai salah satu caranya melancarkan obsesi. Bukankah Mas Didas penasaran banget gimana rasanya aku? Kemudian ketika dia sudah mendapatkan apa yang dia mau, sangat mungkin suatu saat nanti dia pergi. Sebab, dia sudah mendapatkan segalanya. Pernikahan hanya dijadikan kedok. Oh, dramatis sekali.
Aku melipat tangan. "Maaf, saya nggak ngerti cara berpikir Mas kayak gimana. Pernikahan bukan hal yang main-main untuk ditawarkan pada setiap orang. Bagi saya terlalu aneh tiba-tiba Mas Didas bicara kayak gitu karena komunikasi yang terjadi antara kita selama ini bukan mengarah kepada tujuan pernikahan. Beda cerita kalau Argo yang ngomong begitu, saya nggak heran."
"Argo lagi." Mas Didas menghela napas. "Kamu ngarep banget sama dia, ya? Kamu yakin Argo cinta sama kamu? Mana buktinya?"
Buktinya? Iya, aku tidak bisa menunjukkan bukti bahwa Argo mencintaiku.
"Itu karena Mas Didas yang membatasi. Mas Didas mengancam Argo padahal Mas nggak berhak atas hidupnya. Tapi anehnya, Argo nurut aja. Saya nggak tahu kenapa Argo bisa tunduk banget sama Mas. Pasti Mas Didas mengancam Argo, kan?"
"Jangan menyalahkan orang lain atas kejadian yang menimpa diri kamu. Kamu intropeksi diri aja, Nira. Argo masih polos sedangkan kamu..."
Nah, dia mulai lagi. Katanya ngajak nikah, tapi ujung-ujungnya masih menghina. Kurasa Mas Didas mempunyai kepribadian ganda. Dia terang-terangan akan mempermalukanku bila keinginannya tidak terpenuhi. Siapa pula yang mau bersama pria kayak gitu?
"Mas Didas belum puas ngata-ngatain saya, ya? Sebenarnya Mas Didas mau apa? Kayaknya dendam banget sama saya. Saya punya salah apa sama Mas. Bilang aja, deh. Nanti saya tebus," sahutku kesal.
Kupikir sesudah mengundurkan diri dari MyStory, beban masalahku berkurang. Ternyata tidak seindah dugaanku. Aku masih diikuti bayang-bayang hantu masa lalu. Ini gimana caranya supaya Mas Didas tidak menguntitku lagi, ya? Masa harus kulaporkan sama polisi atas tuduhan pencemaran nama baik?
"Maaf, maksud saya bukan gitu. Maafkan saya, Nira." Mas Didas mengacak-acak rambutnya. "Kamu nggak ada salah sama saya, justru saya yang ada salah sama kamu. Awalnya saya cuma iseng, ingin membuktikan kata-kata Rendra aja bahwa kamu bisa diajak bersenang-senang. Tetapi semakin ke sini kamu semakin mengelak dan membuat keputusan mengejutkan, kamu memilih melepas pekerjaan kamu. Saya jadi merasa bersalah. Dari situ saya salut sama kamu. Ternyata ucapan Rendra nggak terbukti."
"Saya bukan kelinci percobaan, jadi sekarang Mas Didas nggak usah gangguin saya lagi. Sebaiknya Mas Didas juga intropeksi, nggak cuma nyuruh-nyuruh saya yang intropeksi."
"Saya pikir kita bisa saling sama-sama memperbaiki, Nir. Bagaimana kalau kita intropeksi bersama-sama?"
Aku menggeleng cepat. Rasa simpatiku sudah hilang terhadap orang ini. Aku tidak mau menceburkan diri ke dalam lubang penistaan lagi. Sudah kubilang kalau aku mulai selektif, kan. Apalagi membicarakan pernikahan, aku hanya menerima orang yang benar-benar siap mencintaiku lahir batin. Terutama dengan kondisiku yang sudah tidak punya mahkota. Entah siapa dia nantinya, aku masih menunggu dengan sukarela. Namun Mas Didas, hati kecilku membaca bukan dia orangnya. Walaupun aku tidak memungkiri, masa depan siapa yang tahu.
"Terima kasih. Nggak perlu repot-repot. Mas Didas cukup membantu saya dengan meninggalkan rumah ini saja. Selanjutnya biar itu menjadi urusan saya," ujarku sedikit mengangkat dagu. Barangkali wajahku sekarang terlihat songong. Ya, gimana lagi. Ini salah satu cara agar aku tidak direndahkan olehnya.
Mas Didas tersenyum tipis. Dia berdiri, menatapku sebentar lantas pergi tanpa berkata. Sebelum sampai di ambang pintu, dia menyahut.
"Saya nggak pernah mengancam Argo. Semua atas kemauannya sendiri. Harap maklum, Nira. Mungkin Argo grogi. Kamu tahu Argo nggak pernah bersentuhan dengan wanita makanya dia bingung mau menentukan sikap. Makanya dia mau digimanain juga nurut-nurut aja, Nir. Tetapi setidaknya setelah kenal sama kamu, dia lebih sering tersenyum meskipun masih agak kaku. Sepertinya dia hanya butuh sedikit bimbingan."
Aku tercenung. Memikirkan perkataan Mas Didas. Selama ini aku sudah berusaha membimbing Argo. Quality time berdua, nonton film di rumahnya berdua, berbaur dengan kedua adiknya, mengusahakan menggandeng tangannya setiap jalan berdua, bahkan aku sudah mengajarinya cara berciuman dengan baik dan benar. Kurang apa lagi coba?
"Memang harus punya banyak stok sabar kalau ngadepin Argo. Dulu aja saya berjuang keras buat deketin Argo. Sekarang sih, udah lumayan banget dia mau sosialisasi sama orang lain. Dia pernah bilang sama saya pengin balik sama kamu, tapi nggak tahu caranya. Katanya kamu terlalu cepat ambil keputusan. Kamu nggak mau kasih dia kesempatan," sambung Mas Didas membuatku semakin merasa sedih. Sedih kenapa Argo bisa kayak gitu. Kenapa ada manusia seperti Argo diciptakan di dunia ini?
"Oh ya, kalau kamu berubah pikiran soal tawaran saya tadi jangan sungkan kabari saya, ya. Kalau kamu setuju, kita harus berdialog untuk membicarakan acara pernikahan," sahut Mas Didas lagi sambil mengedipkan sebelah mata. Kemudian dia berlalu. Meninggalkanku bengong di ruang tamu.
Baru kali ini aku menghadapi situasi rumit yang berhubungan dengan kepribadian seseorang. Antara Argo maupun Mas Didas, keduanya sukar ditebak. Susah menentukan siapa di antara mereka yang benar-benar jujur. Jika Argo memang ingin balik sama aku, kok dia nggak ada bau-bau perjuangan gitu, sih? Malah asyik bercandaan sama wanita lain.
Lagipula hubungan antara Argo dengan Mas Didas menurutku berbahaya. Argo selalu mengadu dan terbuka soal asmaranya kepada Mas Didas. Seharusnya dia bisa membatasi bagian mana yang perlu diceritakan dan yang tidak perlu diceritakan pada orang lain. Ikatan batin kedua pria ini terlalu kuat.
[Ready to Love You]
"Ini memang novel romance, sih. Tapi paling nggak, lo mesti kasih detail lagi buat penggambaran profesi mereka. Biar kesannya kerjaan tokoh utama itu bukan cuma buat pajangan aja," ucap Mas Afnan ketika kami melakukan janji temu di kantornya. "Menurut gue settingnya kurang kuat, Nir. Lo mesti revisi bagian ini."
Aku manggut-manggut sambil mencatat kalimat penting yang dia katakan. Naskahku sudah memasuki tahap edit. Aku cukup beruntung pihak penerbit memercayakan Mas Afnan untuk menangani naskahku lagi. Awalnya aku pasrah saja kalau naskahku ditangani editor lain. Untung saja Mas Afnan tidak menolak penugasan ini. Jadi aku tidak perlu menyesuaikan diri lagi.
"Terus buat adegan ini dibuang aja. Nggak relevan sama isi cerita." Mas Afnan memberi tanda silang besar untuk adegan yang kujabarkan sepanjang satu lembar penuh. Padahal aku berpikir sangat keras untuk menampilkan adegan itu. Ujung-ujungnya dibuang juga. Sakit banget, tahu.
"Cuma itu aja catatan dari gue. Yang lain paling cuma typo dikitlah."
"Siap. Gue perbaiki dulu, Mas."
Sembari memeriksa hasil edit softcopy dari Mas Afnan, aku memutar otak untuk menemukan pengganti adegan yang dihilangkan tadi. Ah, hanya satu adegan saja bikin pusing. Enaknya mau dibuat kayak gimana.
"Sebentar, Nir. Kok gue baru nyadar tumben lo bikin novel romance? Biasanya juga cerita lo serem-serem gitu. Lo pindah haluan?" celetuk Mas Afnan.
"The power of kepepet, Mas. Gue bisa nulis kayak gini juga dipaksa situasi. Gue lagi kesal sama orang makanya daripada makin kesal gue bikin novel aja."
"Jadi ini kisah nyata?" seru Mas Afnan, spontan aku membekap mulutnya.
"Bukan kisah nyata, tapi terinspirasi. Lo bisa bedain antara nyata dan terinspirasi, kan, " ralatku.
"Pantesan pas gue baca kesannya real life banget. Jadi siapa laki-laki yang lo maksud? Didas, ya?"
"Enak aja!"
"Udah lo sama Didas aja. Kalian cocok, kok." Mas Afnan tertawa. "Eh, Nir. Lo beneran pernah kerja bareng Didas? Kok lo nggak pernah cerita sama gue?"
"Buat apa juga gue cerita sama elo. Lagian lo kan sibuk banget, mana sempat cerita-cerita. Emang kenapa kalau gue kerja sama dia?" tukasku.
"Lo cuma bilang kerja di penerbit, tapi nggak bilang jadi editor. Gue pikir lo kerja jadi ghost writer tetap buat penerbit. Lo juga jarang posting foto di medsos, kan." Mas Afnan mengangkat bahu. "Nggak apa-apa, gue cuma kepikiran kenapa lo resign. Info yang gue dengar si Didas itu agak genit kalau lihat cewek cakep dikit. Ya kali aja lo nggak betah gara-gara tingkah dia."
"Emang genit dan genitnya nggak sama cewek doang, tapi sama cowok juga." Aku mengembuskan napas kasar. Iya, sama Argo saja Mas Didas genit apalagi sama aku?
"Hehe. Terus kesibukan lo sekarang selain nulis ada yang lain nggak?"
"Ada. Gue sibuk merancang masa depan yang nggak pasti."
Mas Afnan tertawa. "Udah tahu nggak pasti masih aja lo rancang, Nir. Maksud gue, lo udah punya kerjaan lagi nggak? Atau lo emang berniat nggak pengin kerja kantoran lagi. Fokus nulis?"
"Makanya biar jadi pasti mesti gue rancangin dari sekarang, Mas."
"Ntar kalau di sini ada lowongan gue kabarin, ya. Lo mau kerja di sini nggak?"
"Di mana aja gue nggak keberatan, Mas. Yang penting masih sekitar Jakarta aja biar gue bisa dekat sama Ayah."
"Sip, deh. Eh, gue tinggal bentar, ya. Ada panggilan dari bos besar." Mas Afnan menunjuk ponselnya. Lalu, Mas Afnan menunjuk sebuah paragraf yang menurutnya banyak kesalahan dalam penempatan tanda baca. "Lo ngeditnya santai aja, Nir. Nggak usah buru-buru. Perhatiin juga tanda bacanya, masih ada salah penempatan buat komanya, tuh."
Duh, Mas Afnan ini teliti banget. Aku saja kalau ngoreksi naskah dan kesalahan tanda baca tidak fatal masih bisa ditoleransi. Aku iyain aja biar cepat.
Sepeninggal Mas Afnan, ponselku berdenting. Keningku mengerut ketika sebuah nama muncul di layar. Tumben banget Kintan nelepon aku.
"Hai, Kintan." Aku menyapanya dengan nada suara sengaja dibuat ceria.
"Mbak Nira lagi di mana? Bisa ketemu nggak?" tanyanya.
"Lagi di kantor penerbit." Aku mengambil jeda sebentar untuk berpikir. "Bisa, kok."
"Bisa sekarang, kan? Aku share lokasinya ya, Mbak."
Sambungan dimatikan. Berikutnya Kintan mengirim pesan tentang keberadaannya. Ngapain dia ngajak aku ketemuan, ya?
#UnconditionallyLoveSeries adalah series cerita mengenai romansa yang tidak biasa. Baik berupa tokoh yang memiliki kondisi yang tidak biasa, maupun keadaan yang membuat hubungannya jadi tidak biasa.
Ikuti juga kisah #UnconditionallyLoveSeries lainnya ya.
I Need You by kakahy
Ready to Love You by akoh
Lovesick by indahhanaco
Shades of Cool by awtyaswuri
Inspirasa by coffeenians
Icy Eyes by matchaholic
Jangan lupa dukung kami dengan vote dan komentar ya.
Yogyakarta, 8 Mei 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top