24. Menguji Kesetiaan

Segalanya berantakan sejak Mas Didas menelepon Argo. Raut wajah Argo sangat keruh sesudah sambungan telepon terputus. Liburan yang sudah terbayang menyenangkan mendadak runyam. Mau menyalahkan keadaan juga gimana, mau mencegah keadaan juga tidak punya kuasa. Aku hanya menurut saja ketika Argo mengajakku ke rumah sakit. Tadinya aku ingin menolak, mengingat sikap Mas Didas terhadapku beberapa waktu lalu. Aku belum menceritakan informasi tersebut kepada Argo.

Apa pun yang berkaitan dengan keluarga Mas Didas, Argo akan mengutamakannya meskipun dia sendiri dalam keadaan terjepit sekali pun. Seakan-akan Argo telah terikat hidup dan mati dengan keluarga itu. Aku tidak bisa menyalahkan sikapnya. Sebab, mereka adalah satu-satunya keluarga yang sudi merentangkan tangan dan merangkul Argo saat lingkungan mengabaikannya. Tetapi sebenarnya Argo tak harus patuh sepenuhnya. Ada batasan yang seharusnya bisa dikendalikan.

Argo menggenggam tanganku saat kami menyusuri lorong rumah sakit. Sejak aku sering tertinggal langkah dengannya, Argo selalu menggandengku bila kami membaur dengan wilayah publik. Mungkin takut aku hilang.

Mas Didas sudah memberikan informasi ruangan mana yang harus Argo datangi. Kintan dan Arga berjalan di belakang kami. Mereka juga kelihatan cemas.

"Mamanya Mas Didas sakit apa, Go?" tanyaku.

"Nggak tahu," sahut Argo.

Mempercepat langkah, Argo membawa kami ke sebuah kamar pasien berkelas VIP. Membuka pintunya perlahan, terlihat beberapa orang duduk di dekat ranjang. Semua mata langsung tertuju ke arah pintu terbuka. Mas Didas menghampiri Argo kemudian memeluknya. Otomatis genggaman tanganku dengan Argo terlepas. Aku berdiri mematung ketika Kintan dan Arga bergantian mencium punggung tangan Mas Didas. Kedua bocah itu lantas menghampiri anggota keluarga lainnya.

Tak lama sesudahnya, Argo menyusul kedua adiknya. Aku terbengong, mau ikut ke sana tapi tak enak. Kalau diam di tempat juga semakin tak enak. Aku pernah bertemu dengan keluarga Mas Didas. Bahkan pernah makan malam bersama. Ketika sebelah kakiku hendak melangkah, Mas Didas menghampiriku.

"Hai, Nira," sapa Mas Didas menampilkan senyumnya seperti biasa. "Maaf ya, mengganggu acara kalian. Saya jadi ngerasa punya hutang waktu sama kamu. Nanti saya lunasi, deh."

"Yang hutang waktu sama saya itu Argo, bukan Mas. Urusan lunas-melunasi hutang itu urusannya Argo, bukan Mas Didas. Lagian namanya musibah nggak ada yang tahu datangnya kapan," ucapku menurunkan nada suara. Aku sadar berbicara di rumah sakit tidak boleh berisik.

Aku tidak menyalahkan Mas Didas yang menelepon Argo tiba-tiba. Mengabarkan bahwa sang mama terbaring di ranjang rumah sakit. Namun, aku benci kalau Mas Didas memanfaatkan situasi. Beralasan sang mama sakit, lantas dia memberdayakan Argo untuk mengikuti segala kemauannya. Tak usah ditanya, pasti Argo dengan senang hati memenuhinya. Seperti sekarang, aku merasa ada sesuatu yang kurang menyenangkan.

"Nira, Nira. Apa enaknya pacaran sama orang polos selain mudah dikelabui? Oh ya, tujuan kamu pacaran cuma pengin dapat 'itu', kan? Apa sudah dapat?" bisik Mas Didas menyejajarkan wajahnya dengan wajahku.

Kedua tanganku mengepal. Setengah mati aku menahan emosi supaya tidak meluap. Ubun-ubunku terasa sangat panas. Satu hal yang membuatku bertahan menyabarkan diri terhadap kelakuan Mas Didas adalah tatapan Argo dari sana. Sepertinya dia tahu kalau Mas Didas menggangguku. Argo menatapku, sorot matanya mengatakan aku harus menghindari Mas Didas. Aku segera melangkahkan kaki menujunya.

Kulihat Tante Dena, mama Mas Didas terbaring lemah di ranjang, tapi dia tidak menanggalkan senyum ketika melihatku. Tangan kanannya terangkat lantas dengan sigap aku menggenggamnya. Kayaknya Tante Dena ingat betul aku pernah numpang makan malam di rumahnya. Eh, bukan numpang. Lebih tepatnya dipaksa numpang.

"Nira, ya? Saya hapal wajah kamu," ucap Tante Dena memandang lekat sambil meremas tanganku.

Bibirku menipis. Jadi ngerasa aneh dipandangi kayak gini. Perlahan aku melepas genggamannya. Memberi ruang wanita itu agar lebih leluasa. Kedatangan kami di sini tampaknya cukup menyita pasokan oksigen di ruangan ini. Napas wanita itu terembus berat.

"Kenal sama Argo juga, ya?" tanya Tante Dena lagi.

"Iya," ucapku ragu.

Argo menatapku penuh selidik. Aku tersenyum seraya mengusap lengannya. Kakiku mundur selangkah, meminta izin menunggu di luar saja. Aku merasa tidak enak hati berada di sekitar keluarga ini. Terlebih kepada Mas Didas, malah cenderung muak.

Aku duduk di salah satu kursi kosong yang tersedia di depan kamar. Seharusnya aku langsung pulang saja tidak mengiyakan ajakan Argo ke sini. Ah, sebenarnya Tante Dena sakit apa, sih? Segitu khawatirnya Argo sama keadaannya. Pertanyaan Tante Dena tadi mengusikku. Bahkan Argo tidak memperkenalkan diriku sebagai kekasihnya. Apa susahnya mengakui kalau aku dan dia benar-benar pacaran? Biar orang-orang di sekitarnya tidak meremehkan.

"Kayaknya aku masih lama. Kamu mau kuantar pulang?"

Tiba-tiba Argo mengambil duduk di sebelahku. Aku menghindari arah pandang matanya. Mendadak aku kesal sama dia. Jelas banget dia mengusirku. Tidak mau berlama-lama denganku padahal ini akhir pekan. Tahu kan, kalau pertemuan kita itu tidak setiap hari. Sudah beda kantor, sama-sama sibuk kerja pula. Aku tidak masalah ikut menunggu di rumah sakit yang penting bersamanya. Walaupun ada Mas Didas, aku yakin merasa aman bersama Argo.

"Mamanya Mas Didas sakit apa?" tanyaku tetap mengalihkan pandang ke arah lain.

"Asam lambungnya kumat."

"Oh."

"Nira."

Aku pura-pura tidak mendengar. Anggap saja asyik memandangi anak kecil yang tengah bercengkerama dengan ibunya di kursi seberang. Kan ceritanya aku sedang ngambek sama Argo, tapi Argonya tidak tahu.

"Nira. Kenapa?" ulang Argo kali ini dia menarik bahuku hingga kami berhadapan.

"Nggak ada apa-apa," sahutku ketus.

"Kamu marah?"

Nah, peka juga dia.

"Yaiyalah marah. Masa kamu nyuruh aku pulang. Kamu udah bosan lihat aku, ya?" sentakku membuat kedua alis Argo terangkat.

Seorang perawat yang lewat menoleh. Memberi isyarat padaku dengan telunjuk menempel di bibir. Aku mendengus. Memangnya suaraku segitu berisiknya, ya?

"Aku bakal gantian jagain Tante Dena di rumah sakit. Kalau kamu mau pulang kuantar sekarang aja. Kintan dan Arga masih mau di sini. Kayaknya mereka pengin nginap karena besok masih hari Minggu."

"Nggak usah kamu antar, Go. Aku bisa pulang sendiri."

"Apa bareng Mas Didas aja? Sekalian Mas Didas mau balik."

Aku melotot. "Kamu ngusir aku beneran, Go? Udah tahu Mas Didas brengsek, kamu nyuruh aku pulang bareng dia?"

"Brengsek? Jaga bicara kamu, Nira," ucap Argo tajam.

"Kamu lihat sendiri kan tadi cara Mas Didas mandangin aku kayak gimana?"

"Mungkin kamu aja yang kegeeran."

Kutarik napas dalam-dalam. Walaupun statusku kini menjadi pacar Argo, bukan berarti aku berada dalam daftar prioritas utamanya. Aku ikhlas Argo mengesampingkan diriku di atas kepentingan keluarganya. Kintan dan Arga adalah nyawanya. Namun, bukan berarti dia juga mengesampingkan diriku karena Mas Didas. Aku tidak bisa memengaruhi loyalitas Argo kepada Mas Didas dan keluarganya.

"Kamu belain Mas Didas ketimbang aku, Go?" gumamku tak percaya.

"Nggak usah protes. Kamu pulang bareng Mas Didas," cetus Argo seraya beranjak.

Seharusnya aku memberitahu Argo lebih awal kelakuan Mas Didas kayak gimana. Sayangnya, kesetiaan Argo dengan bosku itu loyalnya terlalu berlebihan. Bisa dipastikan Argo bakal tidak percaya dan menyalahkanku sepenuhnya. Masih ada waktu, aku masih bisa memberitahunya.

"Argo." Aku menarik pergelangan tangannya.

"Apa?"

"Kamu yakin nyuruh aku pulang bareng Mas Didas? Kamu nggak khawatir kalau nanti aku kenapa-kenapa?"

Mata Argo menyipit. "Kenapa gimana? Kamu mau merayu Mas Didas?"

"Argo! Mendingan aku ngerayu kamu daripada dia," seruku kesal. Kuhimpit tubuh Argo, berbisik di telinganya. "Mas Didas pernah ngajak aku tidur, Go. Tadi aja dia masih sempat nyinggung lagi. Makanya aku ngeri sama dia. Brengsek banget, kan? Aku tuh udah ninggalin kebiasaan gilaku itu."

"Ngeri karena kamu khawatir bakal terpancing lagi? Mas Didas nggak akan seperti itu kalau nggak ada yang ngumpan. Aku kenal dia udah lama daripada kamu," ucap Argo mendorong bahuku menjauh.

"Jadi kamu nyalahin aku?"

Nada suaraku meninggi. Aku tidak peduli ini di rumah sakit. Anggap saja kami sedang syuting drama FTV. Sepasang ibu dan anak di seberang memusatkan perhatiannya padaku dan Argo.

"Bahkan kalian pernah makan malam bersama. Tante Dena kenal banget sama kamu. Aku baru tahu," sindir Argo.

"Nggak sengaja, Go. Aku tuh nyari alamat rumah kamu eh, nyasar ke rumah Mas Didas. Makan malam bersama itu adalah bentuk balas jasa biar aku bisa dapat alamat rumah kamu, Go. Itu syarat dari Mas Didas."

Argo terdiam.

"Go, bisa nggak sih kamu itu nggak terlalu bergantung sama Mas Didas dan keluarganya. Maksudku, iya mereka udah baik sama kamu, tapi pada hal-hal tertentu kamu nggak harus nurut sama mereka. Kesannya kamu kayak dimanfaatkan banget. Kamu berhak memutuskan apa aja berdasarkan apa yang kamu yakini. Hati nurani kamu," ujarku sembari menempelkan telapak tanganku di dadanya.

"Kamu ngomong apa, sih?" sahut Argo menepis tanganku.

Aku tertawa dalam hati. Segini parahnya diriku, ya. Bisa-bisanya kalah pamor sama Mas Didas. Benar, kan. Argo tidak akan percaya dengan penjelasanku. Argo lebih setia sama Mas Didas daripada sama aku. Nasibmu miris banget, Nir. Baiklah, ada baiknya kali ini aku mengalah supaya tidak memperpanjang masalah.

"Yaudah, aku pulang aja. Aku tahu kamu nggak bakal ngabarin, jadi ntar aku yang neror kamu kayak biasanya. Nanti malam kutelepon," ujarku mengusap pipi Argo. Kusempatkan mengecup pipinya sebentar. Argo sudah tidak terkejut, tapi wajahnya tetap tidak menampilkan ekspresi.

"Hati-hati."

Hanya itu yang Argo ucapkan. Aku sengaja tidak menoleh. Berharap dia mencegahku pergi kemudian minta maaf seperti adegan di drama-drama televise. Lantas aku segera sadar bahwa Argo bukan tipe pria macam begitu. Mempercepat langkah, aku segera menuju pintu utama rumah sakit. Duduk di salah satu kursi, aku membuka ponsel hendak memesan ojol.

"Nira."

Otomatis wajahku terangkat. "Ya?"

"Buru-buru banget." Mas Didas sudah berdiri menjulang di depanku. "Bareng saya aja. Nanti saya antar ke rumah kamu. Argo udah nitipin kamu ke saya, lho."

Oh, gitu. Sekarang Mas Didas buka usaha jasa titip, ya. Memangnya aku barang perkakas yang bisa seenaknya dititip-titip. Argo juga ngapain pakai acara titip menitip. Sama saja dia tidak menghargaiku sebagai manusia.

"Nggak. Saya naik ojol aja. Sudah pesan juga, kok. Nih."

Aku menunjukkan keberadaan driver ojolku dari layar aplikasi. Namun, Mas Didas sigap merampas ponselku dan langsung membatalkan pesanan.

"Ayo, saya antar kamu pulang," tukas Mas Didas seraya menarik tanganku.

Rasanya pengin teriak, tapi aku tidak mau disangka drama. Apa lagi di rumah sakit. Nanti aku malah diusir petugas keamanan. Demi menjaga nama baik keluarga dan teman-teman seprofesi, aku terpaksa menuruti kemauan Mas Didas pulang bersama. Tentu saja setelah berada di dalam mobilnya, aku tidak putus merapalkan doa. Agar manusia ini tidak bertingkah.

Sebagai pengalihan rasa gugup, aku berkirim pesan dengan Argo. Untung saja Argo bersedia melayani berbalas pesan denganku. Keasyikan berbalas pesan dengan Argo, aku mengabaikan Mas Didas di sampingku. Hingga aku menyadari ternyata Mas Didas malah membawaku ke tempat yang tidak seharusnya.

"Kenapa ke sini?" seruku panik.

"Kebetulan rumah saya lagi sepi," kata Mas Didas mengetukkan jemari di setir mobil.

"Terus?"

"Kamu nggak mau mampir? Kita bisa leluasa melakukannya."

Mataku membelalak. Buku-buku jemariku memutih karena mencengkeram celana terlalu kuat.

"Tenang saja, Nira. Saya nggak akan maksa kamu, tapi saya mau kasih tahu kamu satu hal. Bahwa saya selalu konsisten kalau sudah punya keinginan. Saya selalu menerapkan sistem negosiasi elegan untuk mencapai tujuan. Kamu tahu sendiri gimana kinerja saya di kantor, kan. Nggak usah khawatir, saya akan memperlakukan kamu dengan baik," tukas Mas Didas enteng.

"Mas Didas... gimana bisa tahu cerita tentang saya?" tanyaku berusaha membendung emosi.

Mas Didas tersenyum. Menyerongkan badan menghadapku.

"Kamu nggak ingat sama saya?"

Alisku menyatu di tengah. Tidak ingat bagaimana? Dia kan bosku. Tentu saja aku ingat. Setiap hari aku kerja satu atap bareng dia. Awalnya aku sangat hormat padanya, tapi sejak kejadian di pantri tempo hari aku kehilangan respect sama dia.

"Nira, kamu beneran nggak ingat sama saya?" ulang Mas Didas menatap mataku dalam-dalam. Aku sampai memundurkan badan menempel jendela. Waspada.

"Nggak, Mas," sahutku cepat.

"Tapi saya selalu ingat sama kamu. Saya sudah pengin kamu sejak lama," lanjutnya dengan senyuman serupa iblis.





Yash, Mas Didas sok iyuh banget, ya.

Mau maki siapa? Mas Didas, Nira, atau Argo?
Ahahaa


Nih, bonusnya Argo sama Nira.





#UnconditionallyLoveSeries adalah series cerita mengenai romansa yang tidak biasa. Baik berupa tokoh yang memiliki kondisi yang tidak biasa, maupun keadaan yang membuat hubungannya jadi tidak biasa.

Nih, jadwal update #UnconditionallyLoveSeries.

1. Senin - Selasa : I Need You by kakahy

2. Selasa - Rabu (sebenarnya kondisional... hihiiii): Ready To Love You, cerita akoh

3. Rabu - Kamis : Lovesick by indahhanaco

4. Kamis - Jumat : Shades of Cool by awtyaswuri

5. Jumat - Sabtu : Inspirasa by coffeenians

6. Sabtu - Minggu : Icy Eyes by matchaholic

Jangan lupa dukung kami dengan vote dan komentar, ya... 😚😚





Yogyakarta, 3 Maret 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top