15. Jalan Berdua
"Dasar Argo nggak tanggung jawab. Kalau resign itu kerjaannya diberesin dulu. Bukannya ninggalin warisan novel-novel ke gue," dumel Ardian saat serah terima sisa pekerjaan Argo kepada Ardian.
Hingga akhir masa kerjanya, Argo memang telah menyelesaikan tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Namun, nasib novel-novel yang ia pegang membutuhkan seorang penerus untuk mengasuhnya.
"Kebiasaan orang-orang yang resign kan gitu, Yan. Pergi ninggalin warisan kerjaan. Ujung-ujungnya bikin ribet. Untung masih ada yang mau back up kerjaan dia. Kalau dari awal nggak bisa kerja harusnya nggak usah kerja di sini sekalian," nyinyir Mas Genta.
Mas Genta dan Ardian tertawa serempak. Memilih kembali ke tempat duduknya, Argo mengabaikan kicauan dua pria bermental bocah itu. Aku yang mendengarnya saja kesalnya minta ampun. Seandainya aku yang digituin, sudah pasti kutampar itu mulutnya Mas Genta sama Ardian. Biar mulutnya jontor, tidak seenaknya memperlakukan manusia. Coba bayangkan kalau mereka ada di posisi Argo, belum tentu mereka sanggup bertahan.
Hari ini adalah hari terakhir Argo berkarya di MyStory. Dari pagi sampai sore, aku termangu di kursiku. Memandangi Argo yang tidak membalas ajakan kontak mataku. Besok, bisa jadi kursi yang Argo tempati akan digantikan orang lain. Tidak ada upacara perpisahan yang lazim dirayakan seperti saat Mbak Karina mengundurkan diri. Tidak ada hadiah yang biasanya diberikan sebagai bentuk kenang-kenangan.
Sorenya, aku menunggu Argo keluar dari ruangan Mas Didas. Duduk lesehan di depan ruangan itu membuatku menjadi pusat perhatian orang-orang lalu lalang. Hampir satu jam berlalu, pintu cokelat itu tak kunjung terbuka. Mereka ngobrolin apa, ya, betah banget. Apakah Mas Didas sedang melakukan negosiasi untuk membujuk Argo mengubah keputusannya? Setidaknya sampai MyStory menemukan pengganti. Kudengar HRD sudah memasang pengumuman rekrutmen karyawan baru untuk mengisi posisi Argo.
Aku bergegas bangkit begitu melihat kepala Argo menyembul dari balik pintu.
"Langsung pulang, Go?"
Aku berlari kecil menyejajarkan langkah dengannya.
"Iya."
"Nggak pengin ke mana dulu gitu? Kan ini hari terakhir elo. Gimana kalau makan? Eh, tapi lo nggak makan micin, ya. Gimana kalau makan sate aja?"
"Makan?" Dahi Argo terlipat.
"Iya, makan. Sekali-kali makan bareng gitu, dong. Besok-besok kan elo udah nggak bisa gue temui di kantor lagi. Mungkin aja ntar lo susah diajak ketemuan."
Langkah Argo terinterupsi. Memencet tombol lift, dia menatapku. "Besok-besok lo emang udah nggak bisa ketemu sama gue di kantor."
Aku menunduk lesu. Memang kenyataannya begitu. Belum tentu setelah ini Argo mau ketemu sama aku lagi. Bisa jadi dia pergi ke suatu tempat, menghilangkan jejak, memulai kehidupan baru, dan mengganti diri dengan identitas baru. Sebab, aku tidak tahu pasti rencana Argo habis resign mau ngapain. Dia tidak bilang spesifik. Cuma mengatakan kalau pengin kerja serabutan saja.
"Tapi bukan berarti lo nggak bisa ketemu gue lagi," lanjut Argo.
Wajahku segera menengadah. Bibirku mengurva penuh. Kupikir sudah tidak ada harapan.
"Jadi makan?" ulangku semangat.
Pada dasarnya aku memang lapar. Jarang-jarang aku bisa pulang bareng Argo. Mungkin hari ini rekor pertama sekaligus terakhir aku bersamanya. Makanya sekalian saja kuajak makan. Besok, dia sudah memiliki rutinitas berbeda. Mencari waktu longgar tidak akan mudah.
"Oke."
Begitu pintu lift terbuka, aku mencengkeram tas ransel Argo lantas menariknya masuk ke dalam. Aku menekan tombol bersimbol basement ketika seseorang menahan pintunya dari luar sebelum menutup. Bergeser ke kanan, aku berdiri tepat di belakang Argo. Memberi ruang untuk orang itu mengisi celah kosong di dalam lift yang hanya diisi aku dan Argo. Aku mendengus lirih.
"Saya bareng, ya," ucap Mas Didas melempar senyuman kepada kami.
"Silakan," sahut Argo.
Aku semakin menyembunyikan diri di balik tubuh Argo. Sungkan bertatap muka sama Mas Didas. Bila kuingat rentetan pesan tidak penting yang hingga kini masih bersemayam di memori ponselku, aku jadi malu. Malu membaca saking gelinya. Kupikir Mas Didas bakalan dendam karena beberapa pesannya tidak kubalas. Makanya lebih baik aku menghindarinya saja.
Berulang kali Mas Didas melirikku. Untunglah aku masih bisa membenamkan wajah di ransel Argo. Setiap wajahku menyuruk di sana, kurasakan tubuh Argo berjengit kaget. Sayup-sayup kudengar Mas Didas terkekeh panjang.
"Kamu pakai jurus apa, Go? Bisa bikin Nira sejinak itu sama kamu," ujar Mas Didas sontak membuatku mengangkat muka. Bibirku mencebik ke samping.
"Nggak ada, Mas," cetus Argo.
Mas Didas terkekeh lagi, menyenggol lengan Argo. "Lain kali kamu harus bagi tipsnya sama saya."
"Iya, Mas."
Lihat, Mas Didas saja menyangsikan kedekatanku dengan Argo. Seolah-olah Argo tidak layak punya teman. Kalau memang mereka berdua saling mengenal erat, kenapa Mas Didas bersikap seakan tidak terjadi apa-apa? Membiarkan Argo menjadi bulan-bulanan Mas Genta. Walaupun sekarang dia sudah terbebas dari segala bentuk penyalahgunaan di kantor ini, aku belum bisa melupakan peristiwa yang terjadi.
Lift telah berhenti. Aku mendorong punggung Argo, menyalurkan kode supaya cepat keluar dari kotak silver ini.
"Duluan ya, Mas," sahutku seraya melambaikan tangan pada Mas Didas.
"Kalian pulang bareng?" Mas Didas menggerakkan telunjuknya ke arahku.
"Emang kenapa?" tukasku.
"Nggak papa."
Mengabaikan Mas Didas yang agak takjub mengawasi kami, aku berjalan cepat mendahului Argo. Aku malas berbincang lama-lama dengannya. Toh, pasti Mas Didas sudah paham kronologisnya. Siapa lagi kalau bukan mulut Argo yang ember. Aku jadi penasaran, Mas Didas dan Argo ini sebenarnya siapa, sih?
"Kunci motornya masih lo bawa, kan, Go?"
"Ya."
Tentu saja aku harus pulang bareng Argo. Tadi pagi berangkat bersama, maka pulangnya harus bersama juga, dong. Aku duluan yang mampir ke rumahnya pagi-pagi, sih. Makanya kami bisa barengan. Memangnya aneh, ya?
"Makan sate, kan?" tanyaku lagi sesudah aku mengambil duduk cantik di belakangnya.
"Iya."
Menutup kaca helm, aku tersenyum lebar.
Menjelajahi jalanan ibukota di malam hari setelah jam kerja usai bersama Argo adalah pengalaman pertama buatku. Sepanjang jalan kenangan kami saling larut dalam keterdiaman. Aku tidak menyebutkan warung sate spesifik yang akan kami datangi. Argo juga tidak bertanya. Jadi, aku menyerahkan keputusan sepenuhnya mau memilih warung sate yang mana kepada sang pemegang kendali setir kendaraan. Apapun yang Argo pilih, aku ngikut saja.
Iseng-iseng aku melirik kaca spion motor saat berhenti di lampu traffic light. Persis di belakang kami, ada sebuah mobil yang familiar. Aku memang tidak hapal pelat nomornya, tapi diperhatikan dari gelagatnya, gerakan mobil itu terasa ganjil. Terutama corak garis abu-abu yang menghiasi badan mobilnya.
Aku menjawil lengan Argo. "Lo janjian sama Mas Didas, ya?"
"Nggak."
"Kok Mas Didas ngikutin kita?"
"Ngikutin gimana?"
"Lihat dari spion, deh. Itu mobilnya Mas Didas, kan?"
Lampu merah sudah berganti hijau. Argo membagi fokusnya antara jalanan dengan mobil di belakang kami melalui kaca spion. Sejak tadi mobil itu memang tidak berniat menyalip. Selalu mempertahankan posisinya persis di belakang motor yang kami tumpangi.
"Itu memang Mas Didas," seru Argo.
"Terus ngapain ngikutin kita?" teriakku.
Maklum, volume kendaraan yang melaju di jalanan ini tidak sedikit. Aku harus menaikkan intonasi agar suaraku terdengar.
"Dia nggak ngikutin kita." Argo berkata santai.
"Apa?" aku balas berteriak lagi.
"Dia nggak ngikutin kita," ulang Argo. "Dia ngikutin lo."
"Maksudnya?"
Argo tidak menjawab, malah menambah kecepatan laju motor saat menemukan celah jalan yang agak renggang oleh kendaraan. Aku sampai mencengkeram jaketnya, mengantisipasi biar tidak terpental. Ternyata dia bisa ngebut juga. Cara berkendaranya tak jauh beda sama Mas Navin.
Menyelinap masuk ke dalam sebuah gang, Argo menghentikan motor tepat di depan sebuah hotel kelas menengah. Mataku membelalak. Serius, nih, aku dibawa Argo ke hotel? Aku menggelengkan kepala. Mengusir pikiran negatif yang beranjak meracuni. Tidak mungkin dia segila ini.
"Satenya di sana," tunjuk Argo ke arah sebuah warung sate di seberang hotel.
Kuembuskan napas lega. Syukurlah. Hatiku sempat waswas. Kalau memang warungnya di seberang sana, kenapa tidak langsung ambil parkir di dekat warung saja? Kenapa mesti berhentinya di depan hotel? Tidak masuk ke lobinya sekalian check in?
Kami duduk lesehan di tikar yang digelar sembari menanti pesanan dua porsi sate ayam. Kayaknya, sih, satenya enak. Kalau tidak enak mana mungkin pelanggannya seramai ini. Eh, tapi bisa jadi karena warung ini letaknya strategis persis di depan hotel terpencil. Paling sebagian besar pelanggannya juga tamu hotel situ. Malas beli makan jauh-jauh, alternatif yang dekat pun jadi.
Makanan belum tiba, tapi dua orang pengamen sudah mendatangi kami.
"Maksudnya gimana, kok bisa Mas Didas ngikutin gue?"
Aku berusaha mendapat penjelasan pasti atas pernyataan Argo barusan yang terkesan ambigu.
"Cuma nebak."
"Iya, atas dasar apa lo bisa nebak kayak gitu?" cecarku tak sabar.
"Gue biasa pulang naik busway, tapi Mas Didas nggak pernah ngikutin gue. Giliran gue pulang bareng elo, dia mendadak kepo."
"Mas Didas nggak suka, ya, gue temenan sama lo?" selidikku menyipitkan mata.
Dua porsi sate dan es jeruk akhirnya menghampiri kami. Aromanya sungguh menggoda iman. Aku segera lupa sama topik perbincangan sebelumnya. Campuran gurihnya bumbu kacang serta empuknya daging ayam melebur sempurna di mulutku. Enak, enak.
"Suka satenya?" tanya Argo, ternyata dia belum memakan sate setusuk pun.
Aku mengangguk antusias. Mengunyah buru-buru saking semangatnya. "Enak banget. Apa efek gue kelaperan kali, ya?"
Argo menggeser piring satenya padaku. "Makan aja kalau lo suka."
"Lo nggak makan?"
"Gue udah pesen buat dibungkus. Buat Kintan sama Arga. Ini buat lo aja."
"Terus lo nggak makan? Nggak bisa gitu, dong. Lo harus makan. Lagian seenak-enaknya makanan, gue pasti kekenyangan kalau dipaksa makan dua porsi. Makan aja deh, Go. Gue yakin sate ini nggak ada micinnya. Meskipun ada paling juga sedikit. Jarang-jarang lho, lo makan bareng gue," sergahku.
"Oke."
Sok-sokan jadi pahlawan kamu, Go. Nyatanya kamu juga lapar, kan. Sudahlah, tidak usah gengsi. Mari kita menikmati porsi sate ini berdua.
"Soal Mas Didas tadi, gue yakin dia serius ngikutin elo. Menurut feeling gue," kata Argo di sela santapannya.
"Bodo amat. Gue nggak peduli. Yang penting gue perginya kan sama elo, bukan sama Mas Didas," celetukku. Satenya enak, aku jadi punya ide pengin bawa pulang juga buat dimakan di rumah.
Asyik terhanyut menikmati sate hingga tak bersisa, aku baru sadar jika Argo tidak membalas perkataanku. Aku tersentak saat mendapati Argo memandangku dengan pandangan paling datar. Apa aku salah ngomong, ya?
Mulutku membulat sempurna begitu ingat kalimat terakhir yang aku katakan. Suasana seketika canggung. Wajahku terasa hangat. Bukan kode, tapi kalau Argo menganggapnya kode, ya, terserah.
Kamu suka Argo atau Mas Didas? 😋
#UnconditionallyLoveSeries adalah series cerita mengenai romansa yang tidak biasa. Baik berupa tokoh yang memiliki kondisi yang tidak biasa, maupun keadaan yang membuat hubungannya jadi tidak biasa.
Nih, jadwal update cerita #UnconditionallyLoveSeries.
1. Senin - Selasa : I Need You by kakahy
2. Selasa - Rabu : Ready To Love You, cerita akoh
3. Rabu - Kamis : Lovesick by indahhanaco
4. Kamis - Jumat : Shades of Cool by awtyaswuri
5. Jumat - Sabtu : Inspirasa by coffeenians
6. Sabtu - Minggu : Icy Eyes by matchaholic
Jangan lupa dukung kami dengan vote dan komentar, ya... 😚😚
04.12.2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top