08. Argo Dewangkara
Tidak sempat terkejar, Argo sudah masuk ke dalam kotak silver yang tertutup. Kupencet tombol berulang-ulang berharap lift membuka. Tidak mungkin aku mengejar Argo menggunakan tangga darurat. Kakiku bisa pecah-pecah, parahnya bisa jadi bengkak akibat menuruni ratusan anak tangga. Namun apa daya, menunggu lift kembali sampai ke lantai dua puluh sembilan bagaikan menunggu musim durian berganti musim rambutan.
Mengerahkan segenap tenaga yang ada, aku setengah berlari menuruni anak tangga dari lantai dua puluh sembilan menuju lantai dasar. Sudah pasti kakiku bakalan gempor. Aku berencana sesampainya di rumah nanti mau manggil tukang pijat langganan. Guna memperbaiki engsel-engsel kaki yang kendor.
Napasku tersengal, hampir habis ketika akhirnya aku sampai di lantai dasar. Mengabaikan rasa haus yang menyentuh tenggorokan, aku mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan. Nihil. Di parkiran, pos satpam, tidak tampak tanda-tanda kehadiran Argo. Mencoba kutelepon, nomornya sibuk. Pasti Argo sengaja mengalihkan panggilan.
Mau cari ke mana lagi? Aku tidak tahu tempat tertentu yang membuat Argo mudah ditemui. Firasatku sih, dia tidak jauh dari sini. Aku berjalan mengelilingi gedung, siapa tahu menemukan Argo mojok di tempat tersembunyi. Dia memang suka begitu, menyendiri biar tidak kelihatan publik.
Nah, aku benar, kan. Di belakang gedung terdapat bangku kayu memanjang. Tebak siapa yang duduk di bangku itu. Argo duduk menaikkan salah satu kaki sambil menyesap rokok. Aku tercengang mendapati posisi duduk serta kepulan asap yang keluar dari mulutnya itu membentuk pola-pola bundar. Ternyata Argo tidak seculun itu. Berbanding terbalik dengan pencitraan yang selama ini ia ciptakan. Mas Navin yang kecanduan rokok sejak SMA saja tidak pernah kulihat mampu mengepulkan beragam bentuk asap seperti itu.
Argo bergeming meskipun menyadari diriku kini duduk di sampingnya. Mataku mengerjap, sekarang dia mengepulkan asap berbentuk kotak! Itu gimana caranya, ya?
"Argo," panggilku pelan.
Sejujurnya aku agak waswas. Sikap Argo yang tiba-tiba meledak hingga dia berani memukul wajah Mas Genta, membuatku meragu apakah tindakanku mendekatinya ini sudah tepat.
"Lo ngapain ngikutin gue?" sahut Argo ketus, melempar puntung rokoknya ke sembarang arah.
Bola mataku bertambah lebar ketika Argo merogoh saku celananya, mengeluarkan bungkus rokok dan pemantik api. Jadi, begini caranya melampiaskan emosi.
"Lo nggak papa, kan?" tanyaku, benar-benar menunjukkan rasa khawatir.
"Nggak."
Duduk bersebelahan dalam keterdiaman, kulirik Argo diam-diam. Tidak apa-apa kalau dia tidak mau bicara. Setidaknya aku cukup beruntung bisa menemaninya di saat tidak ada seorang pun yang peduli padanya. Mulutku gatal pengin bertanya apa alasan Argo melayangkan kontak fisik sedemikian rupa terhadap Mas Genta.
Hanya saja dengan kondisinya sekarang, aku mikir-mikir lagi. Paling tidak, aku harus menunggu keadaan cukup terkendali. Tidak ada yang tahu kan, bisa saja aku menjadi sasaran berikutnya. Ketika suasana sepi, tiba-tiba Argo menubrukkan kepalaku ke tembok. Menghajarku sampai kepalaku mengucurkan darah. Terus dia melarikan diri. Dan aku hanya tinggal nama. Hish, ngeri.
"Beneran nggak papa?" ulangku.
"Nggak."
Hening menguasai.
"Sejak gue diterima kerja di sini, Mas Genta adalah orang yang paling nggak bisa nerima gue," cetus Argo membuatku menegakkan badan, memusatkan perhatian padanya. Dia mau curhat, nih?
"Cari kerjaan susah, Nir. Kalau nggak ada Mas Didas, gue nggak bakal ada di sini. Gue terpaksa bertahan di sini karena gue menghargai Mas Didas yang udah nolongin gue. Daripada nganggur, gue terima aja tawaran Mas Didas. Lumayan buat nutupin kebutuhan hidup gue yang nggak sedikit," lanjut Argo menghisap rokoknya dalam-dalam.
"Lo sama Mas Didas ada affair apaan?"
Pantesan kemarin hari Mas Didas sanggup menjelaskan detail tentang Argo. Ternyata di antara mereka berdua terjalin hubungan rahasia yang tidak diekspos publik. Benakku mulai berandai-andai, menduga-duga hubungan macam apa yang mampu merekatkan antara Argo dengan Mas Didas. Terlalu jahat kalau aku menduga mereka adalah sepasang kekasih. Tidak mungkin juga mereka bersaudara. Terlalu mainstream banget.
"Gue udah anggap Mas Didas saudara gue."
Aku mendesah kecewa. Kasus bersaudara lagi. Sesempit itukah dunia ini sampai di mana-mana ketemu sepasang manusia yang diam-diam memiliki hubungan kekerabatan. Meskipun pada hakikatnya semua manusia di muka bumi ini bersaudara, sih. Sebab, semuanya berasal dari sumber yang sama. Adam dan Hawa. Tapi ya, tidak begini juga. Masa iya Argo dan Mas Didas saudaraan? Eh, tapi Argo bilang menganggap Mas Didas saudaranya bukan berarti mereka saudara beneran, kan.
"Kok bisa?" seruku. "Pantesan Mas Didas detail banget waktu nyeritain elo."
Argo melirikku. "Mas Didas orangnya emang detail."
Kubalas lirikannya dengan tatapan mata menyeluruh.
"Gue sadar diri, kok. Gue cuma tamu, gue nggak mungkin bersikap ngelangkahin kalian para tuan rumah. Gue cuma cari kerja, bukan cari masalah. Makanya gue cuma diem aja tiap kalian ngomentarin gue kayak gimana. Gue harus betah-betahin sampai lima bulan ke depan. Setelah kontrak kerja gue habis, gue nggak akan perpanjang lagi."
Suaraku meninggi, agak kaget. "Lo mau resign?"
Menginjak puntung rokoknya di tanah, Argo menoleh ke arahku. Cukup lama kontak mata kami saling bertaut. Aku tidak mau buang muka duluan, walaupun hatiku ketar-ketir juga. Bibirku menipis ketika Argo memalingkan wajah ke atas. Akhirnya, dia tidak tahan juga berpandangan terlalu lama denganku.
"Bukan urusan lo," sahut Argo, menyandarkan punggung di tembok.
Aku berdecak gemas. Kalau tidak mau menjadi urusanku, buat apa dia nyeritain potongan kisah hidupnya padaku? Maunya apa, sih? Dibaik-baikin malah sewot melulu. Aku ikutan menyandarkan punggung di tembok. Sekali-kali telapak tanganku bergerak menutupi hidung. Aroma sampah di depan kami membuat kepalaku pusing.
Situasi di belakang gedung ini sangat sepi. Tentu saja ini bukan tempat lumrah untuk berkegiatan. Kalau bukan karena Argo, aku tidak sudi mojok di tempat terpencil seperti ini. Sejak tadi kurasakan perutku bergejolak, mual, tapi kuabaikan. Ya iyalah.
Mana ada orang yang betah duduk di bangku berdampingan dengan tiga tong sampah besar yang baunya.. ulala banget. Kayaknya sampah-sampah ini sengaja dibiarkan teronggok berhari-hari. Belum ada oknum yang berkenan mengangkutnya ke tempat pembuangan akhir.
Kepalaku jadi pening akibat aroma maha dahsyat yang terendus indra penciumanku. Ini kenyataan, jangan anggap aku lebay, tapi beneran terjadi. Pandanganku berkunang-kunang saking pusingnya. Kupijat pangkal hidung untuk mengusir wangi aroma terapi yang sukses mengaduk-aduk isi perut.
"Kenapa lo berantem sama Mas Genta?" tanyaku setengah sempoyongan.
"Masalah kerjaan kolaborasi nerjemahin novel impor. Makasih lo udah bantuin gue. Gue tahu zaman sekarang nggak ada bantuan yang gratis. Lo pasti ngarepin imbalan karena udah nolongin gue, kan. Tenang aja, ntar bonusnya gue bagi dua buat elo."
Astaga, malah aku tidak ada pikiran ke arah sana. Jangankan ngarepin bantuan, mendengar Argo ngomong sepanjang rel kereta api yang mengelilingi bumi kayak gini saja aku sudah bahagia. Sayangnya, aku terlalu lemah. Mau membantah omongan Argo tidak kuat. Dikalahkan oleh aroma sampah yang menyengat.
Aku mengurut kening. Mau sampai kapan Argo sembunyi di sini? Aku sudah tidak tahan sama wangi sampah yang terlalu alami. Sengaja banget kayaknya sampah ini dibiarkan mengendap berhari-hari. Habis ini aku mau protes sama petugas kebersihan gedung ini. Kalau perlu protes sama yang punya gedungnya sekalian.
"Lo sering mojok di sini, Go? Bisa betah banget, sih. Gue aja nggak kuat. Bau banget," cetusku mengibaskan tangan di depan hidung. Membekap mulutku sendiri mencegah cairan perut memberontak. Bahkan pandanganku berkabut, jarak pandangku kayaknya tidak sampai satu meter.
Argo bangkit. Aku memekik saat ia menarik tanganku. Kupikir Argo bakal menjadikanku target berikutnya setelah Mas Genta. Aku hampir menendang selangkangannya kalau saja dia tidak menggiringku ke belakang pos satpam yang cukup teduh. Ternyata dia membawaku menjauh dari kotak sampah yang menguarkan bau tidak sedap. Menuju tempat lebih layak untuk melanjutkan perbincangan. Aku tidak menyangka Argo bakal seberani ini menyentuh tanganku.
Pikiranku merangkai beragam konspirasi. Memikirkan makna ucapan Argo tentang anggapan Mas Didas sebagai saudaranya apakah kenyataan atau sekadar hoax belaka. Saat kesadaranku terkumpul sepenuhnya, Argo melepas cekalannya.
"Seenggaknya aroma sampah nggak pernah menghakimi gue daripada aroma parfum kalian di ruangan itu kesannya perlente, tapi nggak punya sopan santun terhadap sesama manusia," sindir Argo.
"Kan gue nggak pernah menghakimi elo, Go," tukasku sebal. "Lo jangan..."
Kudengar nada dering khas ponsel merek tertentu berteriak nyaring. Menjeda sesi pembicaraan panjangku dengan Argo yang sangat jarang terjadi. Bibirku sedikit mencebik. Argo merogoh saku celana kirinya, mengambil ponselnya. Diliriknya aku sepintas, lalu dia bergerak menjauh. Menerima panggilan telepon yang tampaknya membutuhkan privasi.
Tanganku terlipat di dada. Masih aku lihatin dari sini. Awas saja kalau kamu balik ke sini, Go. Aku tidak akan mengampunimu. Seenaknya menuduhku tidak punya sopan santun, menyamakan diriku dengan orang-orang yang tidak berperikemanusiaan semacam Mas Genta. Justru aku ini mau bantuin kamu, Go. Kamunya saja berlagak jual mahal gitu. Sok-sokan jaga jarak sama aku.
Ketika Argo kembali melangkah mendekat, aku pura-pura memandang angkasa. Bergradasi abu-abu. Bukan warna langit yang wajar di siang hari. Sepertinya gradasi abu-abu di atas sana menunjukkan pertanda bahwa musim penghujan sebentar lagi menyapa.
"Mas Didas yang nelepon. Gue duluan," ujar Argo saat langkahnya melewatiku.
Argo berlalu tanpa melirikku sedikitpun. Bisa-bisanya dia mengabaikan seorang wanita yang memiliki urusan belum selesai dengannya. Tidak mengajakku barengan padahal tujuan kita menuju ruangan yang sama. Apa dia tidak tahu usahaku untuk menemukan dirinya itu sampai rela menuruni tangga dari lantai dua puluh sembilan tanpa bantuan lift? Kakiku terasa pegal luar biasa dan dia malah meninggalkanku begitu saja.
Namun aku cukup lega. Sedikit demi sedikit Argo mulai bersikap terbuka padaku. Memang prosesnya tidak bisa cepat. Setidaknya aku berhasil mengajaknya bicara, memancingnya bercerita. Setelah ini aku akan membuatnya menumpahkan segala keluh kesahnya, membuatnya bercerita lebih banyak terkait perasaannya.
Jika memungkinkan, aku akan mencegahnya menolak memperpanjang kontrak kerja di MyStory. Aku akan melakukan negosiasi dengan Mas Didas supaya Argo diperbolehkan diangkat statusnya menjadi karyawan tetap.
Terhanyut dalam pengandaian, aku baru sadar rupanya Argo meninggalkanku sendirian di belakang pos satpam. Berdecak sebal, aku berlari menyusul Argo yang sudah menghilang memasuki gedung.
Masih pada semangat, kan? Weekend masih 3 hari lagi 😂
Iya, Argo itu artinya gunung. Makanya chapter kemarin judulnya gunung meletus.
Masih penasaran sama Argo atau udahan aja?
Ketemu Mas Argo lagi minggu depan, yah...
#UnconditionallyLoveSeries adalah series cerita mengenai romansa yang tidak biasa. Baik berupa tokoh yang memiliki kondisi yang tidak biasa, maupun keadaan yang membuat hubungannya jadi tidak biasa.
Nih, jadwal update cerita #UnconditionallyLoveSeries.
1. Senin - Selasa : I Need You by kakahy
2. Selasa - Rabu : Ready To Love You, cerita akoh
3. Rabu - Kamis : Lovesick by indahhanaco
4. Kamis - Jumat : Shades of Cool by awtyaswuri
5. Jumat - Sabtu : Inspirasa by coffeenians
6. Sabtu - Minggu : Icy Eyes by matchaholic
Jangan lupa dukung kami dengan vote dan komentar, ya... 😚😚
Yogyakarta, 7 November 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top