04. Beradu Pandang
Ponselku berdenting nyaring. Mematikan kompor buru-buru, aku berlari ke kamar. Saat di rumah, aku sengaja mengatur volume ponsel paling maksimal. Hanya untuk menyiasati saja misalnya ada panggilan penting supaya aku dapat menjamah ponselku lebih cepat. Soalnya, kalau sudah di rumah itu kegiatanku serabutan.
Aku bersorak membaca nama yang terpancar dari layar.
"Halo, Mas Navin."
"Salamnya mana, Nir?" sahut suara bariton dari seberang.
"Assalamualaikum, Mas Navin."
"Waalaikumsalam. Besok sore lo bisa jemput gue di stasiun Senen nggak?"
"Bisa." Aku mengangguk mantap. "Mas Navin jam berapa sampai Senen?"
"Jam empat."
"Nungguin gue nggak papa? Jam segitu barusan kelar kerja gue, Mas. Belum lagi kalau lembur, tapi gue usahain nggak lembur deh, Mas."
Hanya terdengar deheman kecil. Kayaknya Mas Navin tidak bakal mau. Dia orangnya paling benci disuruh nunggu. Pernah suatu kali aku diminta jemput Mas Navin di bandara Halim. Hujan deras menghambat perjalanan, membuatku terlambat satu jam. Sesampainya di sana, aku membuka pesan yang mampir di ponsel. Pesan dari Mas Navin, dia memberitahu kalau sudah dalam perjalanan pulang menggunakan taksi bandara. Kesel banget tahu ditinggalin kayak gitu. Sudah basah-basahan, kedinginan, rasanya pengin nangis perjuanganku tidak dihargai.
"Oke, gue tungguin."
"Beneran lho, Mas. Jangan ditinggalin lagi. Lo parah sih ninggalin gue, nggak pamitan kayak ninggalin gebetan kepergok selingkuh aja."
Mas Navin tertawa. "Beneran, Kunir. Gue tungguin."
"Janji?"
"Janji, Kunir. Dasar bocah bau kencur lo. Yaudah, ntar gue hubungin lagi. Lo hati-hati. Salam buat Ayah."
Sesudah mengucapkan salam, aku memutus panggilan. Kunir, cuma Mas Navin yang memanggilku begitu. Awalnya kesal, tapi lama-lama terbiasa juga. Aku pernah protes kenapa dia tidak memanggilku dengan nama julukan yang lebih bagus. Mas Navin tetap bersikeras memanggilku 'Kunir' ketimbang Nira. Aku sampai mendiamkannya tiga hari gara-gara dia panggil aku kayak gitu. Aku kesal. Namun, akhirnya aku sadar satu hal. Walaupun Mas Navin menyebalkan, aku tahu panggilan 'Kunir' itu adalah salah satu wujud kasih sayangnya sama aku.
Intensitas pertemuanku dengan Mas Navin sangat sedikit. Pekerjaan sebagai fotografer satwa liar menuntutnya beraktivitas di luar kota hingga pelosok negeri pertiwi. Dia juga menjadi kontributor majalah National Geographic Indonesia, memungkinkan Mas Navin memotret objek variatif selain satwa liar. Kesempatan Mas Navin ada di rumah itu langka banget. Apalagi tahun depan Mas Navin berencana pergi ke Afrika. Astaga, bakal tidak ketemu rumah berbulan-bulan itu.
"Nira."
Seruan ayah membawaku tersadar dari lamunan. Aku bergegas kembali ke dapur. Melanjutkan menyiapkan makan malam untuk kami berdua. Sejak orang tuaku memutuskan berpisah sepuluh tahun silam, aku dan Mas Navin tinggal bersama ayah. Ibu ikut dengan suami barunya, menetap di Malaysia.
Beberapa bulan pasca berpisah, sebelum pindah ke Malaysia, ibu masih sering menghubungi kami. Kadang-kadang datang ke rumah, membawa kue bolu kesukaanku yang diracik sendiri dari tangannya. Namun belakangan, kami tak pernah lagi bertukar kabar. Aku kesusahan mencari jejak ibuku sendiri.
"Bikinin Ayah kopi jahe, ya," pinta ayah, duduk di kursi rotan menghadap televisi. Mencari saluran televisi yang menayangkan acara siaran berita.
"Ayah kan udah minum dua gelas. Kalau kebanyakan ngopi nanti Ayah nggak bisa tidur lagi. Kayak kemarin, gara-gara Ayah kebanyakan ngopi bukannya istirahat malah jadi begadang," omelku.
Menurutku, rasa cinta ayah terhadap kopi terlalu berlebihan. Kalau cuma sehari dua kali sih, masih dimaklumi. Lha ini, dalam waktu sehari, ayah bisa menghabiskan lebih dari lima cangkir kopi hitam. Menurut pakar kesehatan itu maksimal minum kopi dalam sehari cuma dibatasi empat kali. Kadang-kadang ayah minta kopinya dicampuri jahe atau susu. Tak cuma itu, bahkan ayah juga sanggup menghabiskan dua bungkus rokok dalam sehari. Itu yang mampu terjangkau oleh diriku. Di luar itu bisa jadi masih banyak cangkir-cangkir kopi dan bungkus rokok yang ayah eksekusi.
"Udah habis, Nira. Ayah justru nggak bisa tidur nyenyak kalau nggak ngopi."
Aku menghela napas. Pada akhirnya aku yang mengalah. Sebab, aku ingat perkataan ayah suatu hari. Kopi dan rokok adalah hiburan yang paling tidak bisa membohongi, makanya ayah sangat menggemari. Kata ayah, perpaduan rokok dan kopi itu berasa surga dunia.
"Yaudah, aku bikinin bentar," ucapku. "Oh ya, tadi Mas Navin nelepon. Katanya besok mau pulang. Mas Navin titip salam buat Ayah."
Ayah mengerutkan dahi dengan pandangan tetap tertuju pada layar televisi. "Udah balik dari hutan dia?"
Aku tertawa kecil. "Udah, Yah. Tapi, kayaknya habis ini Mas Navin bakal berkelana ke hutan lagi. Hutannya di luar negeri, lho."
Terdengar helaan napas berat. Ayah menoleh. Menatapku.
"Kapan masmu itu mau nikah, Nir? Dijodohin nggak mau. Katanya bisa cari sendiri. Gimana dia bisa ketemu jodoh kalau plesirnya di hutan gitu. Yang ada malah dia ketemu gorila, ular berbisa. Di hutan nggak ada wanita."
Aku hanya tersenyum. Sudah sering ayah berkata begitu kepadaku. Kegelisahan standar orang tua masa kini. Ketika anaknya menginjak usia dewasa, apa lagi seperti Mas Navin yang sebulan lalu baru merayakan ulang tahun ke tiga puluh tiga. Pasti akan terus dicecar pertanyaan tentang pernikahan. Padahal ukuran menikah itu tidak hanya ditentukan usia. Tapi, itulah yang terjadi. Anggapan masyarakat mengenai usia pantas menikah sudah berlaku seperti itu.
"Meskipun Mas Navin plesiran di kota dan ketemu banyak wanita, kalau yang namanya belum jodoh mau gimana lagi, Yah? Orang yang bertahun-tahun barengan aja belum tentu jodoh, kan."
"Nggak usah nyeramahi Ayah. Kamu nggak ngerti apa-apa soal jodoh, Nir," sahut Ayah ketus.
Aku baru sadar ucapanku sepertinya menyinggung perasaan ayah. Aku tidak bermaksud menyentil hubungan ayah dan ibu yang memilih jalan berbeda setelah bertahun-tahun bersama. Iya, mendingan aku diam saja. Daripada mengutarakan pendapat, tapi ujungnya dipersalahkan.
Aku kembali berkutat di dapur. Membuat kopi jahe pesanan ayah sekaligus menyiapkan makan malam yang sempat tertunda.
[Ready To Love You]
"Ra, ntar gue nggak bisa nganter lo pulang nggak papa, kan? Gue mau jemput Mas Navin di stasiun. Lo barengan Mas Genta aja, ya?"
"Yah, gue nggak mau pulang sama Mas Genta. Ceweknya ngeri, coy. Bulu matanya aja anti badai halilintar ngalahin Syahrini. Kedipannya maut. Ntar gue dikira pelakor. Diviralin di instagram kan gue yang repot."
Spontan aku tergelak. Memecah kesunyian ruangan divisi fiksi yang memang lagi sepi. Mas Genta dan Ardian belum balik dari makan siang. Sedangkan Argo, entah ke mana. Tiara memang suka bener kalau mendeskripsikan ciri-ciri seseorang. Aku pernah melihat ceweknya Mas Genta. Waktu itu sengaja diajak mampir ke kantor. Persis sama penjabaran Tiara barusan. Riasannya cetar, busananya mengkilat, dan bulu matanya memang berkibar-kibar waktu dia mengedipkan mata.
"Naik ojol ada, dah," usulku. "InsyaAllah aman, Ra. Jalan Jakarta kalau sore kan ramai. Abang ojolnya nggak bakal berani macem-macemin elo."
"Iya, sih. Daripada naik kopaja ntar gue digrepe lagi. Hish. Jijik." Tiara bergidik.
"Lo nggak usah naik kopaja lagi, Ra. Kecuali kalau elo emang udah nggak trauma lagi, tapi ya itu tetep kudu waspada. Eh, lo ambil kredit motor aja napa. Biar gampang itu mobilitas mau ke mana-mana."
"Duh, gue nggak berani motoran di Jakarta, Nir. Rame banget. Nggak papa, deh gue naik ojol aja."
"Suatu saat lo harus berani, Ra. Lo nggak mau hidup lo gitu-gitu aja, kan?"
Tiara mencebik. Memanyunkan bibir, Tiara meraih botol air mineral di sudut mejanya. Aku geli melihat ekspresinya.
"Eh, Nir. Gue jadi penasaran sama Mas Navin. Tiap elo cerita kayaknya orangnya charming gitu. Gue boleh ikut ke stasiun nggak? Kenalin gue sama abang elo dong, Nir. Mas Navin masih jomlo, kan?" Tiara mengedip-ngedipkan mata.
"Mas Navin nggak suka dijodoh-jodohin, Ra. Dan, kayaknya dia nggak bakal suka sama elo. Mas Navin nggak suka cewek berisik."
"Yaelah, semua cewek pada dasarnya berisik kali, Nir. Aduh. Mendadak mules," cetus Tiara sambil memegangi perutnya. "Gue ke toilet dulu, deh. Kayaknya gara-gara kebanyakan makan sambal."
Mencapai ambang pintu, Tiara berbalik. "Pokoknya sisain Mas Navin buat gue, Nir."
Aku tertawa. Mas Navin cuma satu, tidak perlu disisain juga kali.
Perhatianku kembali terpusat kepada layar komputer. Memeriksa kata per kata dari tampilan word yang terpampang. Sebenarnya cerita ini bagus. Aku agak kurang mantap sama bagian ini. Hantu itu memang bisa mencelakakan, tapi kalau sampai membunuh orang kurasa itu berlebihan. Itu pun bisa mencelakakan karena dari sisi manusianya sendiri. Misalnya si manusia sengaja berulah sampai bikin hantunya marah. Bagian ini perlu direvisi.
Pintu ruangan terbuka. Aku menoleh. Kukira Tiara sudah balik dari toilet. Rupanya Argo. Dia berjalan menunduk sambil menggenggam kotak makan. Kutebak Argo barusan dari gudang, makan siang di sana. Mataku memicing. Argo tergesa-gesa duduk di kursinya. Sebentar, ada darah yang mengalir dari lubang hidung Argo. Sebelah tangan Argo memegangi hidungnya, sedangkan tangan lainnya berusaha membuka laci meja yang terkunci. Dia kelihatan kesusahan.
"Biar gue bukain, Go," ujarku seraya mengambil alih aktivitasnya membuka laci.
Argo diam saja. Dia mendongakkan wajah. Berusaha menyumbat aliran darah supaya tidak terus mengalir. Kuangsurkan tisu padanya.
"Kenapa lo bisa mimisan?" tanyaku sambil membantunya memegangi tisu.
Tidak ada jawaban.
"Wajah lo diangkat lagi, Go. Sini gue bantuin."
Kubantu Argo mencondongkan badan ke depan. Menjaga mulutnya tetap terbuka agar darahnya tidak menutup jalan napas. Kusentuh hidungnya, memencet perlahan untuk menghambat darahnya mengalir. Argo masih diam, dia tidak membantah. Menuruti apa yang kulakukan. Dalam posisi sedekat ini, tak sengaja pandangan kami beradu. Tak berkedip aku menatap matanya. Aku baru sadar mata di balik lensa itu berwarna cokelat terang.
Suasana yang senyap, aku dapat mendengar suara detak jantungku sendiri. Argo juga tidak memutus kontak mata denganku. Malah, tatapannya semakin menjadi. Salah tingkah, aku yang pertama kali mengalihkan pandang.
"Gue nggak pernah mimisan. Mimisan itu sakit nggak, sih?" tanyaku sekadar menutupi kegugupan.
Tidak ada sahutan sama sekali. Hadeh, aku berasa ngomong sama rumput yang bergoyang. Malahan masih mending ngomong sama rumput, rumputnya ditanya dijawab pakai goyangan. Ngomong sama Argo cuma didiamkan saja. Eh, tapi kucuran darahnya sudah lumayan berkurang.
"Lo sakit, Go?"
Argo tetap mengabaikanku.
"Lo mau gue antar ke klinik?" seruku gemas.
Aku berdecak sebal ketika Argo meninggalkan kursi lantas berjalan ke luar ruangan. Tak ada ucapan terima kasih atau apalah, aku kan sudah membantunya. Setidaknya dia bisa bersikap sopan sedikit sama orang. Pantas saja orang-orang tambah semangat menyudutkan kalau cara bersikap Argo seperti itu. Menyebalkan.
Mau tahu siluetnya Mas Navin?
#UnconditionallyLoveSeries adalah series cerita mengenai romansa yang tidak biasa. Baik berupa tokoh yang memiliki kondisi yang tidak biasa, maupun keadaan yang membuat hubungannya jadi tidak biasa.
Nih, jadwal update cerita #UnconditionallyLoveSeries.
1. Senin - Selasa : I Need You by kakahy
2. Selasa - Rabu : Ready To Love You, cerita akoh
3. Rabu - Kamis : Lovesick by indahhanaco
4. Kamis - Jumat : Shades of Cool by awtyaswuri
5. Jumat - Sabtu : Inspirasa by coffeenians
6. Sabtu - Minggu : Icy Eyes by matchaholic
Jangan lupa dukung kami dengan vote dan komentar, ya... 😚😚
Yogyakarta, 24 Oktober 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top