28. The Grey Butterfly

Dito yang kulihat saat ini, berbeda dengan Dito yang kutemui di ruang internet access.

Pemandangan pertama begitu aku tiba di indekos Dito adalah cowok itu tengah menyantap sepiring nasi bersama Bayan dan Musa. Mereka makan seperti orang pada umumnya, tanpa obrolan, juga tanpa gawai.

Tanpa gawai, sangat tidak mencerminkan Dito yang sering kulihat makan siang sambil sibuk dengan benda tersebut di internet access.

"Eh, Anya. Farrel mana?" ujar Bayan sesaat setelah aku membuka pintu.

Dito nampak terkejut melihatku, ia bahkan berhenti mengunyah, dan meletakkan piring yang sebelumnya diangkat sejajar dengan dada.

Mereka sedang mengisi perut. Lebih baik aku bicara nanti saja.

Kututup kembali pintu kamar nomor tujuh itu dengan wajar. Farrel yang baru selesai memarkirkan motor, telah tiba di depan kamar Dito.

"Kenapa?" tanyanya.

"Lagi pada makan."

"Terus?"

"Ya, biar pada makan aja dulu."

"Kok bisa di situasi begini pada makan? Bayan, Musa juga ikut makan?"

Aku mengangguk. Berbanding terbalik dengan Farrel yang membuang napas kasar. Matanya menyorot tajam saat mengalihkan wajahnya dariku.

"Gue takut, Rel." Kalimat itu meluncur saja dari mulutku.

Melihat Dito makan dengan tenang, membuatku merasa bersalah jika menghancurkan nafsu makannya. Aku khawatir akan melihat luapan emosi Dito jika aku bicara padanya. Ditambah saat ini, Farrel pun tengah kesal.

Aku takut untuk bicara berdua saja dengan Dito. Aku juga takut jika bicara kepada Dito dengan banyak orang, nantinya malah tidak menghasilkan diskusi yang komunikatif.

Dan yang terpenting, aku takut jika Dito memang benar pelakunya. Dalam otakku, dalang di balik semua kasus yang terjadi adalah monster; sesuatu yang lebih buruk dari serangga kotoran; mungkin juga lebih mengerikan daripada iblis. Jika benar Dito pelakunya, maka aku hanya berhadapan dengan yang bukan manusia.

"Lo mau pulang?" tawar Farrel.

Aku menggeleng. "Gue takut. Tindakan kita ini, bener atau salah?"

Cowok itu membuang napas perlahan. "Hasilnya kacau atau enggak, lo cuma memperjuangkan hak lo, Anya. Jadi, tindakan lo udah bener," sahutnya seraya menepuk pelan bahuku.

Mungkin, aku hanya perlu validasi, bahwa tindakanku ini benar, setidaknya dari sudut pandang korban.

Sekonyong-konyong, Bayan keluar dari kamar indekos Dito. Ia menutup kembali pintu ruangan tersebut dengan rapat. "Anya, gak apa-apa?"

Aku menggeleng.

"Maaf."

"Kenapa maaf?"

Bayan menggaruk tengkuk, sorot matanya nanar memandang ujung kakinya. "Maaf karna kamu jadi korban."

"Gak apa-apa. Kan, bukan kemauan lo juga."

"Musa lagi ngobrol sama Dito di dalem." Bayan berdehem menjeda ucapannya. "Neng Anya ... masih deket sama Bang Angga?"

Lagi, aku menggeleng. "Sebenernya juga, aku sama Angga gak ada yang berubah. Kita emang sering jalan, tapi gak pernah ngobrol terlalu banyak."

"Oh, iya."

"Lo percaya Angga terlibat di kasus ini?"

"Eh?" Bayan tampak terkejut.

"Angga emang rada sok senior, tapi dia gak mungkin terlibat kejahatan gini," tegasku. "BTW, Musa ada bahas database maba yang disimpen di sekre?"

"Ya. Itu, Musa lagi obrolin ke Dito."

"Dito yang ambil data itu?" Farrel menimbrung percakapan aku dan Bayan, sama denganku ia pun penuh keterkejutan.

"Pas kita sampe, Dito lagi bawa fotokopian berkas database," jawab Bayan. "Kalian tau dari mana soal database ini?"

Aku dan Farrel saling menoleh. "Tadi, pas di sekre gue ngecek berkas terus liat database berantakan banget," sahutku.

"Gue gak pernah liat Dito ke sekre perasaan," kata Farrel. "Seringnya liat lo, Musa, Angga, sama gengnya Rahma."

Bayan membuang napas panjang. Banyaknya hal yang kami tahu saat ini, sama sekali tidak menunjukkan titik terang yang sesungguhnya.

"Musa ... enggak ter—"

Pintu kamar indekos Dito terbuka. Musa berdiri di ambang pintu dengan raut yang sulit ditebak. Wajahnya datar, sorot matanya pun lurus biasa saja.

"Sumpah, gue gak bisa ngobrol sama si Dito," keluhnya.

Bahuku yang menegang seperti merosot. Apa yang diucapkan Musa di luar dugaan. Melihat wajahnya yang serius tadi, kupikir ia akan mengatakan fakta baru.

"Coba lo temuin, Rel. Aslian ini mah, gue yakin dia ada masalah psikis," sambung Musa. Kali ini wajahnya terlihat frustasi.

"Dia bolehin gue masuk emang?"

"Au." Musa menjawab tak minat. Cowok itu kemudian menjauh sedikit dari kami, menyalakan rokok. "Capek gue, berasa ngomong sama hape-hapean yang bunyi aiya-iyaaa."

Sepengalamanku yang pernah mengobrol dengan Dito lebih dari sepuluh menit, Musa tidak sepenuhnya salah. Dito sedikit tidak nyambung dalam menanggapi obrolan.

"Musa tablo." Bayan terkekeh pelan. "Terus tadi di dalem ngomongin apa aja?"

Musa membuang asap rokoknya sebelum menjawab, "Bahas ilmu goib gue."

Bayan berdecak. Matanya tajam memandang Musa, membuat cowok itu sedikit terkesiap.

"Dito cerita panjang lebar, katanya ada negara, di negara itu hidup satu kelompok yang punya kemampuan mengubah orang jadi kepompong. Nantinya, kepompong itu bakal metamorf jadi kupu-kupu warna abu. Si Kupu-Kupu abu dianggap cacat sama kupu-kupu lain yang berwarna, karena bau bangke. Tau gak bau bangkenya dari mana?"

Kontan aku menggeleng menyahuti Musa.

"Dari markas si kelompok itu!" Musa berseru, lalu kami bertiga menggumamkan 'oh' nyaris tanpa suara. "Kelompoknya marah karena si Kupu-Kupu abu itu nyebarin bau bangke yang di markas, padahal mereka sendiri yang bikin si Kupu-Kupu bau bangke. Mereka ninggalin si Kupu-Kupu di markas supaya kalau ada orang lain nemuin bangke itu, si Kupu-Kupu Abu yang disalahin. In other words, kelompok itu nyiptain kupu-kupu abu buat jadi tumbal supaya bisnis mereka tetep lancar."

"Jadi dongeng, sih, anying?"

"Tar duluu!" Musa berseru lagi. "Nah, abis itu si Kupu-Kupu Abu kabur dari markas dan pergi ke taman salju. Dia tidur di sana, terus motong sedikit sayapnya supaya dapet warna merah, dan salju di sana jadi berwarna keberanian. Udah, tamat. Bayangin, setiap kalimat dari cerita itu adalah jawaban ketika gue nanya tentang database ke Dito."

"Nyastra pisan euy." Bayan berkomentar.

Mungkin Dito bermimpi untuk menjadi sastrawan, menyampaikan isi pikirannya dengan metafora dan sarat dengan seni.

"Tidur di taman salju." Farrel berkata pelan, tangannya bergerak menyentuh kepala. "Dito suka diem di internet access FISIP, kan? Di sana warna putih?"

Aku, Bayan, dan Musa melongo mendengarnya. Kenapa ia malah bertanya soal warna putih di ruang itu? Apa kaitannya dengan masalah ini?

Melihat kami bertiga yang merautkan alis, Farrel malah berdecak kesal. Ia bergerak cepat membuka pintu kamar Dito, seusai berkata, "Pikir pake semiotik!"

🌻🌻🌻

Kamu keren udah sampai di sini🎊 Keep it going!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top