Memoar Tentang Bapakku

Sekilas kudapati langit sedang mendung. Gelap dan bergumpal-gumpal, awan berarak mendekati arah timur kota Semarang, di mana tempatku berpijak saat ini termasuk di antaranya. Aku bergidik, membayangkan sederas apa hujan akan berlangsung berdasarkan pengalaman mengamati awan, bahwa karakter awan begini biasanya akan banyak air dicurahkan plus efek petir yang menyambar-nyambar. Sepertinya akan ada badai. Tergesa, aku segera melangkah menuju tempat motor diparkir di halaman depan toko buku yang kukunjungi barusan. Begitu ku temukan motor, kusambar bungkusan plastik putih yang berisi jas hujan dari balik jok.

Sejenak, aku sempat terpaku menatap jas hujan tersebut. Tidak ada yang penting sebetulnya. Jas hujannya pun biasa saja. Namun entah kenapa, ingatanku mulai melayang mengenai sesosok orang yang penting dalam hidupku. Bapak. Aku menghela nafas. Jas hujan ini bahkan sebenarnya tidak ada kaitannya dengan beliau. Maksudku, jas hujan ini bukan pemberiannya atau pernah dipakai olehnya. Kuenyahkan sementara perkara jas hujan dan bapakku ini. Akan kuceritakan padamu nanti. Bergegas kupakai jas hujan tersebut sebelum badanku mulai kuyup karena tetesan gerimis yang membuncah.

***

Ada semacam idiom klasik yang sering dikatakan orang. Kau akan merasa kehilangan manakala sesuatu atau seseorang telah meninggalka kita. Kita tidak sadar akan makna sesuatu atau seseorang sampai akhirnya ia pergi meninggalkan kita. Dan itu menyebabkan kehilangan yang teramat besar. Apalagi dalam kasusku, kegoncangan yang teramat sangat ... dan sebuah perasaan bersalah yang selalu menghantam. Dulu sewaktu ibu dengan panik menelepon mengabarkan kematian bapak, aku hanya merasa terkejut saja. Lalu, segera kukemasi barang dan segera pergi ke terminal bus. Bukan suatu perkara yang mudah sebenarnya, mengingat pekerjaanku di semarang ini sangat luar biasa banyak. Tetapi mau tidak mau, pulang ke Surabaya harus segera dilakukan.

Dan sesampainya di rumah pun, aku hanya terdiam dan membantu segala keperluan untuk pemakaman. Bahkan aku masih bisa membacakan surat Yaasin di hadapan jenazah bapak yang sudah terkafani. Yang ada dalam pikiranku saat itu, bagaimana caranya bertahan hidup setelah ini. Tetapi dampak kehilangan secara psikologis baru kurasakan beberapa bulan setelahnya. Rasanya seakan bapakku tidak meninggal, hanya pergi sebentar. Namun saat kuhentakkan kesadaran bahwa dia tidak akan kembali karena sudah tidak ada di dunia ini, gelombang kesedihanpun mulai mendera seperti air hujan. Bahkan, sering saat aku sedang suntuk, stres dan pusing dengan pekerjaan dan hidup yang mulai payah, aku akan memimpikan beliau. Baik memimpikan beliau saat hidup atau bahkan rohnya menampakkan dirinya di hadapanku. Dan setelah bermimpi, selalu aku terbangun dengan perasaan kaget dan berlinang air mata.

Aku hanya memiliki anggapan, jika berhasil melewati deraan kesulitan ini, maka aku akan siap untuk petualangan berikutnya dan semakin tegar. Namun tetap saja, menghadapi musibah seperti ini adalah hal yang terakhir aku inginkan dalam hidup.

***

"Eh, aku kemarin baru baca novel Perahu Kertas sampai bab 5. Belum selesai sih tapi dari kata-katanya saja sudah bikin terharu..."

Aku mengangkat alis. "Oh ya? Kamu sudah sampai bagian Keenan keluar dari kuliahnya belum? Itu ceritanya bagus banget lho."

"Jangan diceritain, ntar gak seru lagi..."

Satya duduk di lantai di sebelahku, sementara aku duduk di kursi. Rasanya seperti nona besar dan pelayannya, ha ha. Dia adalah orang yang bisa kuanggap sahabatku, walaupun kalau dipikir lagi, rasanya kami juga bukan sedekat itu. Maksudku, kami tidak pernah setiap hari berhubungan untuk menanyakan kabar, atau tahu segala macam tentang masing-masing. Aku bahkan tidak tahu seperti apa rupa keluarganya, walaupun dia sudah tahu keluargaku bahkan kukira dia cowok pertama yang bersalaman dan pernah mengobrol dengan bapak. Sebab temanku yang lain hanya sekedar menengok dan mengangguk ke arah beliau saat main di rumah. Mantan-mantan kekasihku malah tidak pernah bertemu dengan beliau.

Bagiku, he ever saved my life, by offering a job in Semarang. Dia yang mengenalkan Semarang padaku—yang kemudian menjadi kota target tempatku menata karir, walaupun itu atas desakan bosku yang sekarang. Kepadanyalah aku sempat menceritakan perasaan kehilangan saat bapak meninggal, yang tidak pernah kubagi untuk siapapun. Bahkan kepada sahabat cewekku sekalipun. Aku sempat merasa tidak enak karena mungkin saja dia terganggu (siapa juga yang tidak terganggu kalau harus membalas sms orang yang sedang bersedih hingga jam sebelas malam), tetapi kukira dia pasti akan mengatakannya padaku kalau memang begitu.

Walau begitu saat kami bertemu lagi setelah aku kembali lagi ke Semarang, dia tidak lagi mengungkit masalah itu atau menanyakan bagaimana perasaanku dan proses pemakaman bapakku seperti yang lain. Justru itulah yang membuatku nyaman, karena aku tidak terlalu suka diungkit-ungkit atau ditanya-tanya mengenai apapun dalam kehidupanku kecuali aku ingin membaginya sendiri. Rasanya seperti ditekan untuk menelanjangi diri sendiri. Dan dengan Satya, aku tidak merasa begitu. Ia seakan tahu bagaimana memasuki teritoriku. Walau kesannya dia cuek sekali karena terkesan tidak peduli sama sekali dengan kehidupanku, yang sudah dikenalnya selama 8 tahun (lama sekali, bukan?), tapi aku tidak mempermasalahkan. Toh, aku juga tidak tahu banyak juga dalam kehidupannya, jadi kami berada dalam posisi yang setara.

Dan entah kenapa, tiba-tiba sekarang, dia begitu saja bercerita mengenai buku apa yang dia baca bahkan kesulitannya dengan keuangan, yang dia sampaikan dengan nada bercanda. Aku bahkan heran kami bisa berbagi canda seperti ini, karena seingatku sewaktu kami SMA dulu kami adalah biangnya ribut. Selalu memperdebatkan hal yang sepele, tapi tetap kompak untuk urusan kerjasama.

Lalu ... saat perbincangan kami harus terpotong karena aku harus menyelesaikan makalah penelitian, aku menjadi ingin tahu lebih banyak tentang dirinya. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatku tidak ingin pergi dari sisinya.

***

"Pokoknya bulan Januari, kamu harus pulang ke Surabaya, titik. Tidak akan ada lagi kerja di luar kota. Ibu gak mau kamu jauh dari rumah lagi."

Ultimatum ibuku begitu tegas. Setelah kematian bapak, beliau seakan kehilangan tempat untuk bersandar. Apalagi adik laki-lakiku yang semestinya bisa penopang hidup sama sekali tidak mau peduli dengan urusan keluarga. Bahkan ia lebih suka menghabiskan seluruh uangnya di warnet, daripada menabung atau membantu membayar tagihan. Makanya ia tidak ingin jauh dariku. Apalagi gajiku sebagai seorang peneliti jelas rendah sekali, karena bekerja untuk LSM yang berorientasi non profit. Sama-sama gajinya kecil, mending kerja di dekat rumah saja, begitu ibuku pernah berkata.

Aku tidak menjawab. Aku sendiri tidak tahu harus berkata apa. Aku sudah menata impianku untuk menetap di kota Semarang dan membangun karir di sana. Walau aku juga harus mengimbanginya dengan mencari penghasilan tambahan, aku sama sekali tidak ingin menyerahkan mimpi itu begitu saja. Karena bagiku, karir bukan sekedar bekerja dengan gaji bagus dan fasilitas melimpah. Tetapi karir, adalah kecintaan kita terhadap sesuatu yang layak untuk diperjuangkan walau dengan banyak pengorbanan sekalipun. Dan dengan kembali lagi ke Surabaya itu berarti memulai lagi dari awal. Apalagi aku belum menemukan bidang yang pas di Surabaya. Entah.

"Sudahlah, Nduk. Kerja gak usah jauh-jauh. Kasihan ibumu... merana memikirkan adikmu yang tidak bisa diandalkan itu. Apalagi bapakmu juga sudah tidak ada..."

Ya Tuhan, baru sebulan bapak meninggal, tetapi bayangan kehancuran karirku seakan di depan mata. Sempat aku merasa tertekan. Bahkan saat empat puluh harinya meninggalnya bapak, di mana ibu bersikeras mengadakan selametan (padahal menurutku itu hanya buang-buang uang saja, toh kami sedang berduka dan kena musibah, tetapi harus menyelenggarakan pesta makan-makan untuk orang sekampung. Bukan apa-apa sih, tapi saat sedang tidak punya uang begini, apa yang bisa disuguhkan?)

Aku sempat merasa tidak adil. Adikku berlaku sangat egois dan kekanak-kanakan tetapi dia bebas melenggang keluar masuk rumah tanpa ada beban, sementara aku harus menanggung semua beban dunia di bahuku. Kenapa aku tidak boleh egois? Karena aku anak tertua yang harus mengalah atas segala sesuatu? Karena aku perempuan, yang selalu menjadi marjinal dalam konstruksi masyarakat sekitarku? Karena aku saja yang peduli, sementara adikku tidak?

"Bosku sangat suka dengan hasil kerjaku, dia ingin memperpanjang kontrak."

Akhirnya berhasil juga kuucapkan kata-kata itu. Namun ibuku segera menggeleng.

"Tidak. Tidak usah diperpanjang. Langsung cari kerja di sini saja."

Melihat ekspresi ibuku begitu garang, mulutku segera terkunci. Bukan apa-apa. Kalau kuteruskan argumenku sekarang, rasanya semuanya akan dimentahkan tanpa kecuali. Kuputuskan untuk membujuknya lain kali, saat suasana hatinya sudah tenang. Aku merasa buntu. Dan pada saat inilah memoriku selalu memanggil bapak.

***

Mungkin memang benar, dalam bawah sadar, kita selalu membutuhkan adanya pelindung. Saat kita sedang dalam masalah, dalam kondisi kesepian, tertekan, bahkan depresi. Karena pada dasarnya manusia sangat rapuh. Dia tidak bisa mengentaskan sendiri deritanya, dia butuh sosok orang yang diharapkan untuk menyelesaikan masalahnya. Begitulah aku. Walau dulu, aku tidak terlalu menggantungkan diri kepada bapakku, kini terasa sekali bahwa kasih sayangnya yang membuatku tidak sadar bahwa aku telah banyak bergantung padanya. Dengan beliau, aku tidak perlu meminta.

Beliau sangat suka sekali memberikan wejangan. Itu karena dulu ia berhasil mengentaskan dirinya dari pengalaman masa lalu yang buruk. Walau sekarang, ia tidak sekaya konglomerat, namun kurasa beliau menjalani hari tuanya dengan tenang. Setidaknya tidak terlalu bergejolak seperti masa mudanya. Aku ingat saat dulu aku hendak pergi ke kampusku dan mendung sudah menghiasi langit—hitam berarak-arak dan bergumpal-gumpal. Bapakku menyerahkan jas hujan. Menyuruhnya agar menjaganya baik-baik. Memang setelahnya hujan tidak jadi turun, namun jas hujan tersebut tetap kubawa. Sayangnya saat perjalanan pulang, aku lalai mengikat tali pembungkus jas hujan itu di gantungan motor. Dan sayangnya lagi saat jas hujan tersebut akhirnya jatuh, aku tidak menyadarinya karena terlalu terburu-buru.

Yang mengetahui kalau jas hujan itu sudah tidak tercantol di gantungan malah bapakku. Saat aku turun dari motor, beliau tidak menyambutku malah menengok ke arah gantungan tersebut dan berkata, "Jas hujannya kemana, Sayang?" dengan nada suaranya yang khas—riang dan tanpa tekanan. Aku terkesiap. Lalu bergegas memacu motorku lagi—menyusuri jalanan yang kulalui tadi. Aku tidak menemukannya, jelas sudah diambil orang apalagi jarak kampus dengan rumahku sekitar 45 menit perjalanan. Ketika aku kembali ke rumah, beliau terkekeh dan mengatakan, "Jangan meleng aja makanya. Jas hujan mahal-mahal jadinya hilang."

Sudah begitu saja. Tapi perasaan bersalahku makin kuat setiap kali melihat jas hujan. Seolah-olah aku harus menebus kesalahanku karena ceroboh. Sampai sekarang.

Beliau jugalah yang sering menyuruhku untuk senantiasa tegas dalam membuat pilihan. Bagi bapakku, terserah adalah kata-kata bagi orang yang tidak berpendirian. Dan orang seperti itu tidak akan sukses dalam kehidupan. Hidup baginya adalah memilih, dan pilihan kita adalah sesuatu yang harus kita pertanggungjawabkan sendiri. Bukan orang lain yang menanggung akibatnya.

Namun bagaimanapun jeleknya kelakuanku, bapak akan selalu ada untuk mendukung. Sekalipun dia tidak suka akan pilihanku, dia pasti tetap berada di sisiku. Yang kuingat, beliau jarang sekali menolak permintaanku. Pernah sekali, saat aku memutuskan akan bekerja di Semarang. As a volunteer. Low payment volunteer. Beliau menolak. Bahkan dengan tegas. Bukan karena gajinya yang rendah. Atau tugasnya yang berat. Beliau hanya tidak mau merasa jauh lagi dariku. Entah kenapa. Aku tidak tahu apakah itu keputusan yang emosional atau ada pertimbangan-pertimbangan lainnya. Yang jelas beliau kukuh dengan pendiriannya, sampai akhirnya aku bersikeras dengan atau tanpa izinnya akan berangkat. Keputusan nekat, tapi kukira itu adalah keputusan yang terbaik yang pernah kubuat. Walau aku juga harus menanggung resikonya. Bapakku meninggal, tanpa ada pesan, firasat atau apapun. Hanya tiba-tiba, ibuku menelepon dan mengabarkan kematiannya. Bahkan tanpa didampingi oleh aku, his lovely daughter. Dan kini, ibuku melakukan hal yang sama. Melarangku kerja di Semarang.

Will I lose her too?

***

"Jadi keputusanmu gimana? Mau tetap di sini apa balik ke Surabaya?" Satya mencecarku. Aku benar-benar butuh orang untuk diajak bicara, dan kukira dia yang paling available untuk itu. Aku bahkan sulit sekali membuka topik ini kepada teman-temanku yang lain. Mereka selalu menyarankan untuk terus membujuk ibuku agar mengizinkan aku tetap di Semarang. Tidak ada yang benar-benar menanyakan apa yang kuinginkan sebenarnya.

Aku masih bimbang. "Belum tahu juga. Tapi ibuku sudah memberikan ultimatum. Bahkan itupun sebelum masa kontrak. Aku jadi gak enak sebenarnya. Mengabaikan ultimatum ibukupun... rasanya aku juga gak enak."

Satya mendengus. "Kamu kesannya kok terlalu pasrah akan keadaan. Be profesional. Jangan gegabah. Setidaknya tunjukkan sikap, apa yang kamu inginkan sekarang."

Aku tersentak. Bukan karena sikap Satya. Tapi... apa yang dia katakan... sama seperti apa yang dikatakan oleh bapakku. I'm not father complex, no. But when he said that, I feel like being awaken from falling to sleep. I supposed to choose of my life, not by anyone else.

"Tidakkah itu egois?" Akhirnya kukeluarkan kata-kata itu. Namun setelahnya, di kepalaku sudah menemukan sendiri jawabannya. Dan sebelum Satya membuka mulut, segera aku berujar, "No, I mean... thanks. It's enlighting."

***

Malam itu, aku bermimpi lagi tentang bapak. Mimpi saat terakhirku bersama beliau. Saat itu aku di Surabaya, mengurus SIM dan beliau mengantarku. Bahkan beliau bersikeras memboncengku, padahal aku tahu tangan beliau tidak kuat memegang setir terlalu lama. Namun karena proses pengurusan yang lama, akhirnya kami memutuskan jalan-jalan dulu. Ini bukan mimpi dengan penambahan adegan baru, atau simbolisasi baru. Ini hanya sepotong kenangan terakhir bersama beliau yang seakan diputar ulang di benakku. Beliau biasa nongkrong di Pasar Atum, Surabaya bersama teman-teman kerjanya. Makanya beliau lebih suka mengajakku ke sana.

Namun karena waktu itu, keponakanku telah dikhitan, dan aku ingin memberikan hadiah, aku ingin mampir sebentar ke Mall di seberangnya. Hari masih pagi, kukira toko-toko di mall juga baru saja buka, walau begitu, aku tetap ke sana daripada harus bolak-balik.

Jadi kami setelah dari Colombo, segera ke mall baru nanti kemudian akan mengambil arah putar balik untuk ke Pasar Atum. Aku tidak ingat persis apa yang kubicarakan saat itu, namun yang kuingat adalah, beliau tidak mau mengantarku keliling mall untuk belanja. Bapak hanya bilang, beliau akan mengantarku ke depan mall tersebut lalu akan naik motor sendiri ke pasar atum dan menungguku di sana. Aku setuju meski agak cemas karena jalanan di depan mall sangat ramai.

Akhirnya di depan mall, aku turun dari motor, menyerahkan helmku pada bapak dan mencium tangan beliau. Lalu bapakku berkata,"Sudah dulu ya, Nak. Dari sini, kamu pergilah sendiri. Bapak hanya bisa mengantarmu sampai di sini."

Waktu itu, aku hanya mengangguk. Dan sama sekali tidak berpikir mengenai apapun. Mungkin itu bisa firasat, mungkin juga tidak. Entahlah. Aku juga ingat dia mengatakan,"Nanti kalau kamu sudah selesai, tinggal menyeberang dan bapak akan menunggumu di sana."

Namun dalam mimpi itu, perkataannya yang terakhir sama sekali tidak ada. Karena begitu beliau mengatakan hanya bisa mengantar sampai di sini, aku yang semula hendak melangkah masuk, berbalik dan menatap kepergiannya dengan motor itu. Beliau hanya di seberang jalan itu, batinku. Namun aku menatapnya lama sekali hingga beliau menghilang dari pandanganku. Beliau hanya di seberang jalan itu, bisikku lagi meyakinkan diri. Tiba-tiba ada kesadaran menghantamku, bapak tidak akan pernah kembali lagi. Aku terkesiap menyadari ucapannya dan setelahnya aku terbangun dengan air mata yang telah mengalir membasahi pipiku.

***

"Sat, kamu tahu ... sewaktu masih kecil. Aku ingat pernah naik motor berempat dengan bapak, ibu dan adikku. Kami benar-benar miskin saat itu karena kami harus berdesakkan berempat mengendarai motor yamaha tua tahun 75, tapi kami merasa nyaman karenanya."

Satya mengangkat sebelah alisnya. "Lalu?"

"Aku ingat kami mau beli es krim, conello ... karena aku berhasil mendapat peringkat pertama, setelah selalu harus puas dengan peringkat kedua. Kami melewati perumahan yang cukup elit, dengan rumah-rumah yang besar dan megah. Lalu ... aku berkata bahwa enak sekali bisa punya rumah sebesar itu. He he ... aku dulu merasa sempit karena harus tinggal serumah dengan kakek nenek serta paman bibiku."

"Yah .. aku ingat rumahmu yang lama itu. Masih adakah?"

"Masih, kakek nenek masih tinggal di sana. Cuma bagian rumah yang dulu kami tempati dikontrakkan."

Satya tersenyum kecil. "Terus?"

"Apanya?" tanyaku. Satya mendelik. "Oh, oh iya. Ketika aku berkata begitu, ibuku cuma tertawa. Dan tahu tidak bapakku bilang apa?"

"Mmm ... entah ya. Kamu harus bekerja keras dulu biar bisa punya rumah seperti itu?"

"Ha ha. Bukan. Dia bilang, 'kamu harus cari suami yang kaya.'"

"Hah? Masak ngomong gitu?" Satya tertawa.

"Lucu ya?" aku tertawa mengingat saat-saat itu. "Lalu aku bilang, 'apakah cari suami harus yang kaya?' Bapakku bingung, lalu dia bilang, 'memang kamu cari suami yang seperti apa?' Aku merasa konyol banget, karena waktu itu aku masih SD, demi Allah. Tapi bapakku sudah membicarakan masa depanku seperti itu."

"Memang ya. Kamu cewek soalnya. Yang diharapkan kerja dan sebagainya kan cowok. Terus kamu jawab apa?"

"Mmm.. apa ya? Oh, aku jawab, 'yang penting hatinya. Kalau kaya tapi sifatnya jelek, gimana? Mending miskin tapi hidupnya tenang.' Bapakku tertawa waktu itu. Tapi dia menepuk pundakku dan berkata, 'yah... gak apa-apa. Kamu yang memutuskan. Apapun pilihanmu, bapak gak melarang.'"

Satya terpingkal-pingkal. Aku sendiri merasa wajahku sudah panas dan memerah karena merasa konyol membicarakan masa kecilku yang jelas-jelas norak sekali itu. Namun hal itu setidaknya menyadarkan aku satu hal. Dan itu semakin menguatkan untuk melakoni pilihanku sekarang. Karena apapun yang akan kupilih, senantiasa ada pengorbanan yang harus dilakukan. Semuanya akan bernilai egois, bagi masing-masing pihak. Akhirnya pertimbangan yang paling benar untuk memilih adalah manakah yang terbaik.

Benar, bapak selalu mengajarkan aku untuk tegas dalam bersikap, termasuk memilih menjalani hidup seperti apakah aku nanti. Mungkin kemarin beliau sempat melarang atas pilihanku ke Semarang. Semata hanyalah aku juga tidak lupa dengan keluarga, dan memperlakukan mereka dengan baik tidak seperti saat aku sebelum pergi ke Semarang dulu dan juga memberikan alternatif bahwa berkarir di Surabaya pun juga patut untuk diperjuangkan.

Sehingga sekarangpun kukira bapak akan mengharapkan aku untuk tegas. Jika aku terus berada di ambang keraguan dan terus menanti keputusan orang lain, jelas akan sangat mengecewakan beliau. Setidaknya, aku harus bisa membuatnya bangga karena telah berhasil mendidik anaknya dengan ketegasan dan sikap pertanggungjawaban yang kuat. Itulah yang bisa kulakukan untuk membahagiakan beliau, walau beliau kini tidak ada. Kini hanya tinggal mengatakan pada ibuku, serta orang-orang di sekitarku, yang akan banyak yang kecewa atas keputusanku. Tapi, kali ini aku sudah siap. Jika aku sudah berhasil meyakinkan diriku, maka meyakinkan dunia adalah hal yang mudah.

"Lalu, sekarang gimana?" tanya Satya. Aku mengerling ke arahnya.

"Maksudnya?"

"Yah, kamu sekarang. Gimana? What do you choose?"

Aku tersenyum penuh rahasia. Satya memandangku dengan tatapan menyelidik. "Hmmmm.... Sat, what about if we're making a date?"

Semarang, 30 Januari 2012.

In memoriam of my beloving and inspiring father. I miss you so...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top