Isu
Psst! Psst! Pssst!
Mataku mengerling ke sumber suara. Bah, dengusku jengkel. Aku tak suka dengan bisik-bisik itu. Mengganggu. Apalagi bisik-bisik itu dilakukan oleh segerombol makhluk bernama perempuan sambil sesekali diikuti dengan lirikan sana-sini untuk memastikan orang yang sedang menjadi obyek bisik-bisik itu tidak ada di sekitar mereka.
Aku jelas pembenci hal yang sering disebut isu atau gossip. Gossip, kabar burung, bisik-bisik tetangga—apapun itu nama lainnya. Bagiku, gossip itu seringnya berupa berita yang tidak jelas sumber, makna serta isi didalamnya. Lihat saja, begitu ditanya sumbernya selalu berujung pada si anu, tuan ini, nyonya itu (sebagian besar malah memang secara harafiah tidak diketahui) tanpa ada klarifikasi jelas. Dan seiringnya gossip itu bertumbuh dari sebuah prasangka akan suatu hal. Ingat, prasangka ini rawan menimbulkan fitnah, dan fitnah lebih kejam daripada tidak memfitnah. Buzz!
Tengoklah mereka yang bergosip. Kelakuannya yang suka berdengung-dengung macam lebah sangat memuakkan. Desas-desus, was-wes-wos yang klasik terdengar menjadi lonceng kematian bagi si obyek pembahasan. Karena klaim-klaim, julukan, label akan dilekatkan dan selamanya terpatri dalam hidup. Ya ampun, aku mending tidak terlibat saja. Sayangnya, setiap orang pasti tak luput jadi obyek pembicaraan.
Apa mereka tidak punya pekerja lain? Jelas punya! Tapi bergosip rupanya menjadi kebutuhan pokok seperti makan. Kalau waktu mereka bergosip itu digunakan untuk membuat sesuatu yang berguna kayak melukis misalnya. Pasti akan ada banyak lukisan yang tercipta dalam waktu sebulan.
Belum lagi dengan tayangan gossip yang selalu muncul di televisi—pagi, siang, sore, petang—semakin menambah stok bahan gosipan tiap hari. Nonton gossip fungsinya sebagai siraman rohani dalam panduan kehidupan. Persis fungsinya ustad atau pendeta dalam agama. Wow, bahkan tayangan gossip adalah kitab sucinya para penggosip itu.
Pernah sesekali kusempatkan diriku nonton salah satu tayangan gossip itu. Yang paling popular jelas yang pada awal pembukaan acara menggunakan instrumen menegangkan, layaknya film horror. Plus nada bicaranya presenter yang penuh tekanan dengan ekspresi sadis. Selesai acara itu aku makin tambah jengah. Jika kau ingin tahu detail acara yang kumaksud, thanks to Raditya Dika yang sudah mengomentari acara ini dengan banyolannya yang cukup sukses.
Oke, biar aku cerita padamu sedikit mengenai kejengahanku. Ambillah contoh satu saja. Seorang artis penyanyi wanita Indonesia tengah bahagia karena baru saja melahirkan seorang putri. Berita tersebut bisa saja disampaikan dalam waktu 5-10 menit. Tapi karena ada efek-efek lain, seperti misalnya bagaimana awal pernikahannya (padahal sewaktu menikah sudah banyak diulas satu jam nonstop!), kesan-kesan dan cerita-cerita seputar kehamilannya (beberapa episode sebelumnya juga sudah menayangkannya beberapa kali), proses melahirkan, komentar dari suami, keluarga dan yang tak ketinggalan komentar artis-artis lain dan beberapa penggemar. Ampun.
Dan jika ada sebuah berita terbaru dan sensasional, maka seluruh infotainment dari berbagai statisun berita pasti akan menayangkan berita serupa. Yang semakin bikin jengkel, sepertinya artis-artis yang itu-itu saja yang diliput. Apalagi mereka sepertinya senang sekali kalau jadi bintang utama tayangan gossip tersebut. Mereka dengan sukarela diwawancara di setiap situasi. Bah.
Cukuplah dengan artis. Nanti aku bakal diamuk oleh kaum media massa (termasuk si artis yang akan menggeber kisahnya yang dicela orang selama durasi tiga puluh menit) karena terlalu sarkatis menilai mereka. Atau mungkin akan dilaporkan ke polisi dengan tuduhan mencemarkan nama baik (padahal dari tadi aku tidak sebut nama ya kan?) dan menghalangi kebebasan pers (sebenarnya tidak, sungguh). Baiklah, kini kembali kepada topic utama kejengkelanku.
Sebenarnya aku tak melarang untuk berbagi cerita. Namun jika masih berupa dugaan dan belum dikonfirmasi kepada obyek yang bersangkutan, lalu ternyata sudah bocor kemana-mana ... Tuhan, aib serupa itu terlalu menyakitkan untuk ditanggung. Atau hal-hal yang yang sebaiknya menjadi konsumsi pribadi harus diumbar kepada khalayak. Semisal pertengkaran dalam keluarga. Demi Tuhan yang menguasai kebenaran, aku adalah orang yang sangat menginginkan dan menghargai privasi.
Pernah ada seseorang yang mengatakan kita berada pada kultur masyarakat pedesaan di mana di sana akses masyarakat untuk menerima dan menyebarkan informasi antar warga sangatlah mudah dan jangkauannya luas (lebih heboh dibanding dengan iklan provider seluler kan?). Bahkan daun jatuh di pekarangan kita akan tersebar beritanya ke segala penjuru. Wow.
Eh, tapi kan kita sudah modern? Pasti kau akan mencetus demikian. Individualis katanya, kan?
Jangan lupa teknologi yang makin mutakhir sekarang malah menjadikan informasi tersebut makin mudah diakses. Benar, mungkin kita tidak akan tahu nama tetangga sebelah. Tapi berita artis yang mau cerai, atau penyanyi dangdut yang mau operasi selaput daranya biar bisa perawan lagi, kita pasti tahu. Siapa bilang masyarakat perkotaan tidak suka menggosip. Buktinya, tayangan infotainment laris manis, karena banyak sekali yang nonton which is bukan cuma orang desa saja, saudara. Orang desa malah di beberapa tempat tidak ada listrik. Sinyal juga tidak ada. Sehingga mengakses berita artis mania ini juga menjadi hal yang sulit untuk dilakukan. Sehingga gossip ternyata untuk siapa saja.
Salah satu prototipenya, inilah realita di kantorku. Bukan, aku bukan pekerja pers. Cuma perusahaan asuransi semata. Tapi jangan salah. Disini isu mudah keluar masuk karena telah mengantongi izin VVIP dari seluruh pegawainya. Dan tidak hanya pegawai perempuan, yang selalu diidentikkan dengan urusan gosip-menggosip ini. Tapi juga pegawai laki-lakinya.
Di sela-sela waktu kerja, ada saja yang senang mengobrol menceritakan si anu, si itu, dan siapapun yang bisa di omongkan. Bahkan ini menjadi rutinitas menjelang makan siang sampai makan siang usai, ba'da ashar dan sewaktu kerja selesai. Malah ada beberapa pegawai yang menyempatkan diri bertukar gosip di jam-jam sibuk. Terutama fasilitas intranet dari kantor, mereka bisa ber YM ria, chat, bahkan kalau sedang mati lampu ya pakai BBM. Lagi jenuh, katanya. Refresh dulu. Aku hanya membatin, jenuh kok tiap hari. Tapi sudahlah ku tak mau menambah perkara.
Namun suatu hari, ada sebuah peristiwa kecil yang mengubah hidupku hingga kini. Hanya karena sebuah isu semata. Tapi efeknya, begitu luar biasa.
Hal ini bermula dari Anne, sang bigos (biang gosip) sejati tiba-tiba bertandang ke dalam bilik kerjaku. Biasanya dia menegurku saja tidak mau, karena kita bersilang paham mengenai jalan hidup. Ya mengenai menggosip itu jadi kebutuhan primer dalam atau sekedar menyampaikan berita saja. Aku selalu mencibir melihat gerombolan karena aku sangat skeptis, apatis dan sarkartis terhadap aktivitas gosipnya.
"Lo udah tahu belum?" tanyanya tiba-tiba.
Dahiku mengernyit. Tuh, kan? Itu awal sesi pembukaan para gossipers (julukanku untuk para tukang gosip).
"Tahu apa?" sahutku acuh tak acuh. Semoga saja dia lekas pergi karena aku tak menunjukkan sikap antusias.
"Ih, masak gak tau sih?" balasnya sambil menampakkan mimik heran ala sinetron (itu tuh yang matanya sengaja dilebar-lebarin dengan dahi mengernyit, sedikit menggeleng-geleng dengan dramatis dan mulut berkomat-kamit).
God, I wish the drama will be over soon! "Tahu apa?" kali ini nada bicaraku mengandung kejengkelan tingkat tinggi. Kenapa juga pakai sok-sokan pancing memancing yang bikin gondog saja. To the point, please!!!
"Lo kan katanya mau naik pangkat, Ciinn!" tukasnya genit. Wait. What?
"Masak?" kali ini aku serius penasaran.
"Makanya gabung dong sama kita-kita kalo lagi lunch. Jangan suka berkubang di bilik kerja lo aja. Jadinya gak tahu info terbaru deh!" bebernya berpromosi tentang gossipers clubnya. Dia menamainya, Naughty Lunch. Bisa dibayangkan kan betapa meriahnya klub makan siangnya itu?
Aku mengangkat alis. "Tapi beneran? Bukannya yang ngurusin masalah kepegawaian itu Risa? Kok lo bisa tahu?" cecarku.
"Jangan remehkan informasi yang beredar di kalangan kita. Semuanya berasal dari sumber yang terpercaya. Gak usah jadi orang penting buat ngerti perkembangan. Yang penting adalah punya jaringan ke mana-mana. Tapi masak lo gak tahu, sih? Mestinya kan Risa dah ngasih tahu..." ujarnya menggantung.
"Iya, ya?" Aku mengeryit. "Mungkin lagi sibuk kali?"
"Ah, sibuk apa sih? Ini kan emang kerjaan dia. Tahu nggak, si Lulu kemarin dapat promosi aja, dia juga nggak ngasih tahu sampai si Lulu tanya sendiri ke manajer."
"Hah? Lha si Lulu tahu dapat promosi darimana?" tanyaku polos. Anne berdecak lagi. Oh, aku paham. Jaringan. Entah jaringan apa yang dimaksud si Anne tapi aku mengiyakan saja.
"Kayaknya si Risa sengaja deh, gak bilang-bilang, gak ngasih surat pemberitahuan, dan sebagainya itu. Tahu sendiri kan kenaikan gaji pasca promosi itu berapa..."
Aku merasa ada sesuatu yang janggal di sini. Tapi aku hanya menepis perasaan itu. Mungkin karena ada pekerjaanku yang belum beres yang mengganggu pikiranku. Aku tak mau berburuk sangka.
"Mmmm.... " gumamku tak tahu harus menanggapi perkataan Anne.
"Eh, beneran lho!" tukas Anne semakin bersemangat meyakinkanku. "Bayangin lo dapat kenaikan gaji tapi karena lo gak tahu akhirnya lo cuma nerima gaji yang biasa. Sementara perusahaan tahunya karena lo udah naik jabatan, gaji yang dikeluarin buat lo ya sudah ada kenaikan. Akhirnya selisihnya buat siapa coba? Kan Risa juga yang mengurusi transfer gaji kita..."
Mendadak kepalaku pusing mencerna kalimat Anne. Tunggu, ini bukan fitnah kan?
"Eh, udahan dulu ya. Mau share ke yang lain. Ntar kita ketemuan aja pas lunch ya? Dadah, Cin!" secepat ia datang, secepat itu pula ia pergi.
Aku terhenyak di kursiku. Merasa terguncang akan ucapan Anne, sampai-sampai tak sempat merasa heran dengan panggilannya padaku tadi, yang biasanya khusus ditujukan buat para gossipers. Apa maksud Anne tadi? Si Risa ... korupsi? Ah, buru-buru kutepis tuduhan itu. Lagipula, yang kutahu Risa adalah pekerja yang baik. Ia rajin, dan ... tapi aku juga tidak begitu mengenalnya sampai bisa menyimpulkan bahwa tidak mungkin dia tidak korupsi. Kupejamkan mataku, mencoba mengusir kegundahanku gara-gara omongan si Anne.
Akhirnya kucoba memfokuskan diri ke pekerjaanku. Sial, tetap saja aku hilang konsentrasi. Kulirik komputerku. Untungnya di kantor ada intranet yang memungkinkan antar pekerja bisa chatting dan berkirim pesan tanpa harus keluar dari biliknya. Aku mengirim pesan ke Dina, sahabatku yang bekerja di Divisi Riset. Mencoba mencari tahu kebenaran.
***
Lambat laun, berita soal Risa korupsi semakin santer terdengar. Aku yang awalnya ragu, setelah bertukar pikiran dengan Dina, kamipun sepakat hendak mengonfirmasi kepada Risa. Tapi sebelum aku atau Dina sempat bertanya, tiba-tiba kudengar Risa telah dipecat karena tuduhan penyelewengan dana. Aku terkejut. Gila, hanya berselang dua hari sejak Anne datang ke bilik kerjaku, tiba-tiba saja kantor sudah bertindak. Berarti, memang benar kan, ya?
Namun saat aku melewati bilik kerja Risa saat dia sedang mengemasi barang-barangnya sebelum pergi, aku mendengar isak tangis. Langkahkupun terhenti. Lalu kudengar Risa mengumpat. Aku mempertajam pendengaranku.
"Suatu saat, fitnah ini akan kubalas!!" desis Risa.
Aku terhenyak.
***
Selanjutnya, berita-berita mengenai pekerja lain tak ketinggalan selalu kudapatkan. Kini aku lebih sering bersama Anne dan Naughty Lunch ketika jam makan siang. Aku yakin, mereka bukan sekedar cewek-cewek berotak kosong yang hanya bisa pecicilan dan bergosip. Tapi mereka memang benar-benar menguasai informasi mengenai lingkungan kerjaku (dan yang lain-lainnya itu jelas). Apalagi omongan Anne mengenai kenaikan gajiku nyata terbukti.
Protes Dina karena melihat diriku lebih sering berada bersama Naughty Lunch tak kuindahkan. Maaf. Tapi penguasa informasilah yang menang. Siapa yang paling cepat mendapatkan informasi itulah yang berkuasa. Dengan informasi, kita dapat mengambil tindakan seefektif dan seefisien mungkin tanpa harus khawatir terlambat dalam penanganan. Dan bersama Anne, aku bisa mengatasi itu tanpa bersusah payah.
Sekarang pun, aku terpaksa mengakui, bahwa kehidupanku sebelumnya begitu payah dan membosankan. Seharusnya aku tidak terlalu mengklaim bahwa kelompok seperti Anne itu tukang kibul, karena toh ternyata informasi yang didapat dari desas-desus juga tidak selalu tak berguna. Seandainya Dina tahu hal itu, dia tidak akan mengecam kebersamaanku dengan Naughty Lunch. She supposed to be with me. Kini tiba-tiba kurasakan dirinya adalah ancaman existensiku.
***
"Alah, kalau gitu mah kecil, Cin."
Aku mendongak dari menu makan siangku mendengar komentar Anne barusan. Di sebelahnya, Julie mengangguk-angguk membenarkan.
"Kecil apanya?"
"Yah... membereskan urusan Dina lo itu. Kirain masalahnya serius. Toh, ternyata begini aja. Tahu gak sih, Dina itu dulu pernah ngerebut pacar gue sewaktu pacar gue masih kerja di sini." Anne mengibaskan rambutnya yang dicat brunette.
Bella menambahkan,"Bener. Dia juga pernah ketahuan godain cowok gue waktu cowok gue lagi nunggu di lobby sewaktu jemput gue."
Aku tersentak. "Gak mungkin, ah. Dina gak kayak gitu kali. Orangnya kan emang supel banget, gampang akrab sama siapa saja ..." bantahku.
"Oh ya? Tapi lo kenal dia baru berapa lama? Dia itu masuk kerjanya kan bareng kita-kita. Jadi kita jauh lebih ngerti kayak gimana boroknya dia!!!" desis Anne.
Aku terdiam. Tiba-tiba, aku kehilangan selera makan.
***
"...barangnya cepetan dikirim ya ... Jangan sampai telat kayak kemarin dulu ... Gue keburu sakau tahu ..."
Aku yang sedang mencuci tanganku di toilet merasa tidak asing dengan suara barusan. Dina! Mengobrol bersama siapa dia? Dan apa maksudnya ... sakau?
Menilik dari obrolannya yang berlangsung satu arah, sepertinya dia sedang menelepon seseorang. Aku tidak tahu pasti, tetapi aku bisa memastikan bahwa apa yang berlangsung sekarang akan berakhir tidak menyenangkan.
Tiba-tiba Anne masuk ke dalam toilet. Tanpa sempat kucegah, dia mendengar sebagian ucapan Dina di dalam bilik. Anne mengisyaratkan aku untuk diam dan mendengarkan lebih lanjut.
"...gue bayar deh, berapapun. Lo gak tahu sih gimana penderitaan gue. Lagian lo kan dah janji bakal ngasih lebih banyak ..." lanjut Dina lagi. Diam sejenak lalu kudengar dia tertawa. "Yoi, gue gak perlu mati-matian diet lagi, toh efek sampingnya gue bakal tetep kurus walau makan sebanyak apapun. Beda kalo ma nyabu kan?"
Aku semakin terkejut. Nyabu? Dina ... itu pemakai? Tunggu, mungkin ini salah paham. Mungkin yang dimaksud Dina adalah istilah sesuatu hal yang aku belum mengerti. Mungkin memang aku harus bertanya padanya. Di sebelahku, Anne tersenyum senang.
"Tuh kan, belangnya udah keliatan!!" bisiknya.
***
"Lo tuh kurang ajar banget yah!" Dina melabrakku di suatu pagi. "Lo ngaca dulu dong, sebelum ngomong yang gak-gak. Lo kira lo tuh sapa, sampai-sampai lo punya hak ngomongin gue di belakang!!!"
Aku tetap tenang. "Maksud lo apa?"
"Lo kan yang nyebarin berita tentang gue make! Lo itu bisa jaga mulut lo gak sih? Gue udah bilang jangan bergaul ma sampah kayak Anne. Lo jadi orang yang gak tahu diri dan tukang fitnah!"
Mukaku pitam. "Gue gak pernah fitnah orang!" semburku marah. "Gue denger sendiri pembicaraan lo di toilet kemaren lalu. Tentang barang, tentang nyabu. Lo nyangkal gak kalo lo pernah ngomong itu di telepon ma seseorang?"
Rekan-rekan yang melihat kami segera bergabung untuk memisahkan kami. Namun Dina tetap tak beranjak sekalipun tubuhnya sudah ditarik menjauh oleh Sasa, sekretaris Direksi. Wajahnya pucat.
"Lo nyangkal?" tudingku lagi.
"Gue gak nyangkal ... tapi, tapi itu salah paham ... Beneran salah paham."
"Gue gak mau denger apa-apa lagi."
Dan aku berlalu. Kudengar Dina berteriak memanggilku. Tak kuhiraukan. Beberapa rekan juga sempat kudengar mengonfirmasi berita itu kepada Dina, dan Dina berusaha mengatakan bahwa itu semua salah paham. Aku tersenyum sinis. Sudah terlambat.
***
Kuakui kehebatan Anne. Dia tidak hanya mampu mencari informasi yang tidak terduga dari seseorang, maupun mengemasnya dalam tatanan cerita yang apik. Bahkan menyebarkannya seperti virus, adalah keahlian yang sangat lihai. Kini, bagiku tak ada lagi benar dan salah. Baik dan buruk. Sama seperti infotainment selebritis yang selalu bombastis dan gombal, kita hanya perlu memblow up di saat yang tepat dan memanipulasi penyampaiannya. Sedikit mendramatisir, akan bagus. Dan kukira, aku adalah murid yang cukup baik.
***
Beberapa bulan setelah Dina dipecat karena tuduhan menjadi pemakai narkoba, Anne tak lama kemudian juga dipecat. Beberapa orang merasa terkejut, karena Anne merupakan orang yang cukup penting dalam jajaran Direksi. Anne dianggap tidak kompeten dalam menangani pekerjaannya. Dan yang paling penting, dia dianggap ambisius dan licik karena akan menjungkirkan siapapun yang menjadi penghalangnya. Termasuk Risa. Dina. Mimi. Siska. Wahyu. Byan. Ronnie. Semuanya. Yang dipecat dengan tidak hormat. Mereka adalah rivalnya, maka Annepun menyingkirkan mereka. Maka Anne pun kena getahnya.
Anne tidak sehisteris Dina saat tahu bahwa dirinya dipecat. Dia hanya menatap tajam ke arahku. Aku balik menatapnya. Wajahnya penuh amarah saat mendesiskan,"Lo bakal dapat balesannya, Jalang! Gue yakin lo penyebab semua ini."
Aku tetap tak bergeming. Dan Naughty Lunch? Di bawah kendaliku sekarang.
Oh, aku tahu kau terkejut. Aku tahu kau pasti menerka-nerka. Kau juga pasti sudah melayangkan tuduhan padaku. Bertanya-tanya, bagaimanakah kebenarannya. Di mana hati nurani, di mana norma.
Kawan, kuberitahu satu hal. Aku hanya menyampaikan apa yang kudengar dari Anne sendiri kepada segelintir orang. Jaringan. Selanjutnya mereka yang bermain. Banyak bukti-bukti bermunculan. Dan layaknya bola salju, semakin bergulir ke bawah akan semakin membesar dan melindas apapun di dalamnya.
Kebenaran? Di saat teknologi telah semakin canggih, kebenaran dan kesesatan saling tumpang tindih. Bukankah sudah kukatakan, penguasa informasilah yang benar. Sedikit atau banyak. Dan setelahnya biarkan isu merebak. Biarkan ia menjadi kontroversial dengan sendirinya. Tambahkan dengan dugaan, bumbu kutipan-kutipan yang mendukung cerita (tidak harus selalu linier, bukan?) dan diaduk dengan tanya-tanya retoris. Jadilah Sup Isu yang luar biasa. Atau Tumis Gosip Istimewa. Bukankah sudah ada ungkapan bahwa gossip, makin digosok makin sip?
Aku tak peduli dengan nasib Anne. Atau Risa maupun Dina. Mereka hanya keeping kisah yang tak cukup berharga untuk dipertahankan. Hidup adalah kompetisi. Makan atau dimakan. Itu adalah pelajaran berharga yang kudapat selama ini dari Anne, maupun kelompoknya. Kompetisi. Informasi. Dan aku layaknya murid yang baik, mengapresiasi ilmunya dengan mempraktekkan langsung.
Apakah aku salah? Apakah aku jahat? Suatu hari aku akan kena hukum karma, begitu? Ha ha ha, jangan membuatku tertawa, kawan. Jangan bicarakan moral baik-buruk di zaman seperti ini. Lagipula, bukankah moral kini tak lebih dari omongan sampah? Karena toh, masyarakat kita sudah sedemikian permisif, sehingga akan membolehkan segalanya.
Jadi, sebelum kita banyak berdebat mengenai itu, baiknya aku beritahu kau sesuatu. Kau pasti belum tahu, bukan? Sini, mendekatlah. Akan kuberitakan sesuatu yang menarik. Penasaran, kan?
Semarang, 10 Januari 2012
Di tengah keresahan permisifisme moral.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top