Wish For A Dream
Wish For A Dream
Suara rintikan hujan terdengar begitu lembut pada telinga seorang gadis. Desiran angin meniup helaian rambut putih keperakan miliknya. Alunan melodi nan lembut perlahan-lahan membangunkan sang gadis dari tidur panjangnya.
Helaian perak bak rembulan, aksa merah darah tampak tak sinergis. Dengan perasaan gulana, gadis itu menegakkan tungkai kakinya. Paras kirana anugerah dari Sang Kuasa menggambarkan kepolosan wajah sang gadis dengan begitu jelas. Iris merah darah miliknya menatap ke arah binar bagastara yang ditelan cakrawala, gemita mulai berkerlap-kerlip memancarkan gemerlapnya pada nabastala. Payoda yang menutupi sang dewi malam mulai perlahan-lahan mundur.
"Nona Mizuki sudah bangun dari tidurnya?"
Seorang pemuda bersurai hitam tengah berdiri di samping gadis bernama Mizuki tersebut. Rambut hitam panjangnya tampak diikat setengah dengan pita berwarna merah senada dengan iris mata sang gadis. Bibir pucat miliknya terbuka sedikit, sayangnya tak ada suara yang keluar.
Sudut mulut sang pemuda terangkat membentuk seringaian. Pupil biru tuanya memperhatikan sang gadis dari atas kepala hingga ujung kaki. Jemari putih pucatnya terangkat, mengelus pipi sang gadis dengan lembut. Gadis bernama Mizuki hanya terdiam di tempat tanpa berekspresi apa-apa.
"Kemana suara hujan?"
Sebuah pertanyaan keluar dari bibir pucat sang gadis. Pancaran terang sinar biru menarik perhatian sang gadis. Sinar yang tidak bisa dikeluarkan oleh seseorang biasa, sinar yang malah keluar dari mata seorang manusia.
Kenapa orang sepertimu masih hidup?
Bendungan perlahan-lahan runtuh. Ketenangan berubah menjadi sebuah kesesakan, hanya pancaran sinar birunya yang bagai sang surya. Gelapnya atmosfer serasa mencekam tenggorokan Mizuki, seringaian dan pancaran biru malah menegakkan bulu kuduknya.
"Apa kamu siap bermain sebuah permainan denganku?"
***
Pilau rimpuh menembus gelombang air dengan kekuatan tak normal. Sekumpulan orang yang menaikinya hanya memegang erat pinggiran dengan harapan tidak jatuh ke dalam laut. Mizuki, seorang gadis remaja yang baru terbangun dari tidurnya tampak tidak kaget berada di tengah-tengah pilau yang entah akan membawanya ke mana.
Sarayu tampak tak mendukung saat ini. Badai kencang bersamaan dengan gelombang air tengah mengusir keberadaan perahu yang berlayar. Arumi khas laut tampak membangunkan Mizuki secara sempurna dari alam kesadarannya. Cipratan air laut mengenai lentik hitam panjangnya, lalu membasahkan sedikit rambut lembutnya.
"Hei, apa kamu kedinginan?"
Mizuki menoleh pada sumber suara yang berasal dari belakangnya. Seorang pemuda berambut cokelat muda dengan mata berwarna biru muda tengah menatapnya dengan wajah memelas. Ia juga menyadari kain putih yang disondorkan oleh pemuda tersebut.
Senyuman hangat terhias pada wajah pemuda tersebut, ia mulai melap mata sang gadis tanpa mendengar balasan darinya. "Maaf jika aku bersikap tak sopan begini, kamu akan kedinginan kalau basah begini," ucap pemuda tersebut sambilan melap puncak kepala Mizuki.
"Apa aku mengenalmu?" tanya Mizuki polos sambil memiringkan kepalanya bingung.
Pemuda tersebut menggeleng pelan. "Maaf atas ketidaksopanan saya," ia menundukkan kepalanya sedikit, "perkenalkan nama saya Hiro. Saya adalah seorang magician. Mohon bantuannya nanti, Nona Mizuki. "
Mizuki mengedipkan matanya beberapa kali, mencoba mencerna perkataan Hiro tanpa mengeluarkan sepatah katapun. "Mohon ... bantuannya?"
Hiro menaikkan kembali kepalanya, lalu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Sesuai rumor yang beredar, Nona Mizuki benar-benar gadis yang polos dan lamban." Senyumannya langsung luntur begitu mendengar suara teriakan makhluk malam yang terdengar begitu ramai.
Arah pandangannya kembali mengarah ke depan, Mizuki ikutan mengikuti arah pandangannya. Kobaran anala terlihat menemani sinar indurasmi, bangunan bergaris merah dan jingga terlihat samar-samar dari kejauhan. Letak jenggala yang berada di samping bangunan bergaris-garis itu memberikan perasaan gundah bagi mereka yang menyadarinya.
"Nona Mizuki, sepertinya kita sudah sampai."
Mizuki yang kembali mendengar suara Hiro kembali menatapnya. Hiro mengulurkan tangannya sambil tersenyum kecil, Mizuki yang tidak mengerti apa-apa hanya menerima uluran tangan dari pemuda tersebut. "Kita sampai di mana?"
"Di sirkus, Nona."
Mizu, apa kamu mendengar suaraku?
Bayang-bayang hitam bagai siluet menghiasi dinding-dinding bangunan. Selaput kain bercorak garis merah dan jingga menarik ke sana kemari berkat dersik angin. Hiruk pikuk kerumunan orang membuat Mizuki hanya berdiri diam di tengah kerumunan sambil menatap ke depan. Iris biru bak laut berhasil menarik perhatian Mizuki yang membuatnya mencengkram gaun putih polosnya erat.
"Nona," Mizuki tersentak ketika mendengar nada khawatir milik Hiro yang berasal dari belakangnya, "apa Nona baik-baik saja?" Gadis itu terpaksa menelan air ludah yang terasa begitu kelu, sambil menoleh ke sumber suara tanpa senyuman menghias wajahnya. "A-aku baik-baik saja."
Pancaran terang kuning tampak menyilau mata siapapun yang melihatnya, bersamaan dengan suara dehaman seseorang bernada ria itu. Highlight hitamnya tampak berkilau di tengah binar surya, memberikan efek terpana pada Mizuki yang tampak menatap kehadiran bagastara.
"Yahoo~! Selamat datang di sirkus!" ujar seorang pemuda dengan tangan memegang mic semangat. Sebelah tangannya tengah melambaikan tangannya pada kerumunan yang terletak di bawahnya. "Perkenalkan, namaku Shouta~! Aku yang akan menjadi pemandu kalian-"
Shouta tidak melanjutkan kalimatnya, malahan ia menatap ke arah sang surya yang melintasi cakrawala. Dahinya sedikit berkerut, pipinya mengembung sedikit layaknya seorang anak kecil. "-pada pagi hari ini. Tampaknya kemarin kalian semua sudah melakukan perjalanan yang berat menuju ke sini ya!" Nada riang kembali menghiasi atmosfer yang kian suram.
"Baiklah, aku tahu semuanya pasti penasaran permainan apa yang akan kita mainkan~ tetapi tenang saja, karena semuanya akan diberitahu oleh panitia-panitia di sini pada waktunya. Selanjutnya, para panitia akan memperkenalkan diri mereka! Mari beri tepuk tangan yang meriah!" ujar Shouta kembali bersemangat.
Perkataan dari pemuda berwajah bocah itu bagaikan sebuah sihir. Sontak semua orang yang ada di dalam bangunan itu menepuk tangan mereka dengan begitu semangat, Mizuki dan Hiro yang tampaknya tidak tersihir hanya menatap bingung ke sekelilingnya.
Derap langkah kaki terdengar begitu nyaring meskipun jarak kerumunan dengan panggung berbentuk lingkaran putih. Empat orang berpakaian aneh tengah melambaikan tangannya dengan senyuman lebar pada wajah mereka.
"Baiklah, saya akan memandu kalian untuk mengenal panitianya ya~!" Shouta kembali membuka suaranya, ia menghampiri seorang pemuda berambut cokelat muda dengan pita merah yang mengikat pada wajahnya, menutupi kedua matanya. "Namanya Matsu, dia adalah ketua panitia di sini! Jadi jangan nakal-nakal yaa~!" teriak Shouta dengan memberikan nada godaan pada akhir.
Shouta kembali melangkahkan tungkaian kakinya menuju tiga orang lainnya. "Yang pakaiannya seperti balerina itu namanya Yume, lalu yang pakaiannya seperti badut itu namanya Jisi. Dan yang terakhir ...," Shouta menggantungkan kalimatnya sembari menatap seseorang yang menutupi seluruh tubuhnya dengan kain hitam. Pemuda berwajah bocah itu mengeluarkan tawanya untuk menghiasi atmosfir, "sayangnya salah satu panitia kami ini malu! Untuk sementara waktu, kalian boleh memanggilnya dengan sebutan 'Black', nanti dia sendiri yang akan memberitahu namanya!"
Kerumunan kembali mengeluarkan suaranya dalam bentuk tawaan, sementara Hiro dan Mizuki hanya menatap panggung tanpa membuka suara mereka. Iris merah darah Mizuki memperhatikan pita merah yang dikenakan Matsu, perasaan nostalgia kembali menghantui benaknya.
"Baik, kita lanjut ya. Permainan akan dimulai beberapa menit dari sekarang! Dan tentu saja hadiah, kalian datang ke sini untuk mengincar hadiah kan?!" seru Shouta sambil mengangkat mic hingga kepalanya. "Sesuai yang dijanjikan Tuan Matsu, ia akan memberikan apapun yang kalian inginkan?! Bagus bukan?! Harta, emas, keluarga, apapun akan dia berikan kepada pemenang!"
"Memori ..."
"Mizu, kamu mendengar suaraku kan?! Mizu?! MIZU?!"
"Nona Mizuki?! Nona tidak apa-apa?!" Perasaan sesak mencekam seisi tenggorokan Mizuki. Keringat dingin membasahi tubuh Mizuki, oksigen terasa seperti karbon monoksida yang tak seharusnya dihirup. Angin malam berganti menjadi kobaran api yang melahap siapapun yang mengganggunya. Alunan melodi requiem bermain di dalam kepalanya, bersamaan dengan alunan seruling yang terdengar senada.
"Mizuki, buka matamu."
***
Tenang. Ketenangan yang mendalam malah membangunkan Mizuki balik ke alam kesadarannya. Pandangan yang buram perlahan-lahan kembali jelas, menampilkan sosok Hiro yang tengah memegang lampion.
Mendengar suara gesekan membuat pemuda itu menolehkan kepalanya ke belakang, sontak ia membantu Mizuki untuk duduk. "Nona Mizuki, apa Nona baik-baik saja?" tanyanya khawatir.
Mizuki yang tak tahu apa-apa hanya menganggukkan kepalanya polos, lalu melirik sekitar. "Kemana ... yang lain?"
Sebuah helaan napas panjang keluar dari bibir Hiro, tangannya menggenggam erat satu-satunya lampion yang mereka miliki. "Permainannya sudah dimulai, Nona. Kebetulan misi Nona dengan aku berada di bangunan sirkus ini. Syukurlah misi kita tidak di dalam hutan," ucap Hiro sambil menunjuk lokasi hutan yang berada di samping sirkus yang mereka tempati.
Mizuki hanya menganggukkan kepalanya lagi lalu bangkit dari tempatnya. "Misi kita harus apa?" tanyanya dengan suara yang parau.
Hiro mengendikkan bahunya santai. "Tidak diberitahu sama sekali, Nona. Tetapi kita disuruh masuk ke dalam sirkus lebih dalam. Katanya masing-masing orang mempunyai misi yang berbeda," ucap Hiro sambil menggenggam tangan Mizuki lalu mulai menapakkan kaki masuk lebih dalam.
Mizuki tidak bereaksi meskipun tangannya ditarik paksa oleh pemuda itu, meskipun ini adalah pertemuan pertama mereka. "Apa ... kita pernah kenalan sebelumnya?"
"Sepertinya tidak pernah, Nona. Aku yakin ini pertemuan pertama saya dengan Nona," jawab Hiro santai sambil menggerakan lampion ke sana sini, memastikan tidak tersesat akibat kegelapan.
Mizuki kembali membuka suaranya. "Kalau begitu, kenapa kamu bersikap baik kepadaku seperti ini? Kamu bisa saja pergi duluan, tidak perlu menungguku bangun."
Punggung Hiro berhenti tiba-tiba saja, mengakibatkan wajah Mizuki mengenai punggung Hiro dengan keras. Pemuda itu tidak berbalik sama sekali, hanya fokus menatap ke depan tanpa berani melihat wajah gadis itu secara langsung. "Entahlah ya, aku sendiri masih mencari jawabannya."
"Hah?"
"Ladies and gentlemans! Saya, Shouta, selaku MC sekaligus pemandu kalian akan membantu kalian dalam misi ini~! Tuan Matsu dan Nona Balerina akan membantu kalian jika kalian bingung apa yang harus kalian lakukan. Sebelumnya, apa kalian melihat kotak putih di sana?!"
Hiro dan Mizuki sontak mengikuti arah tunjuk Shouta, sebuah kotak putih berukuran cukup besar berada di atas sebuah meja kayu rapuh. "Di dalam kotak itu ada ratusan misi yang bisa kalian jalani. Kalian cukup memasukkan tangan kalian ke dalam kotak itu dan mengambil salah satu kertas!" ujar Shouta sambil melambaikan tangannya, wajahnya yang begitu energenik menunjukkan rasa semangatnya.
"Baik, kalian sudah boleh mengambilnya dari sekarang ya! Tidak perlu berebutan segala, batas waktu kalian hanyalah 8 jam! Kalian ikuti saja perintah di dalam kertas itu! Baik sampai di sini saja, semangat kalian! Aku akan menunggu kalian di akhir nanti!"
Hiro dan Mizuki saling tatap, lalu Hiro menghela napasnya sekali lagi sambil tersenyum tipis. Ia menarik tangan Mizuki lembut lalu membawanya menuju kotak putih yang dimaksud oleh Shouta tadi. Untungnya tidak banyak orang yang ingin mengambil kertas misi mereka, melainkan beberapa dari mereka lebih tertarik melihat seisi bangunan sirkus itu terlebih dahulu.
Jemari lembut Mizuki masuk ke dalam kotak itu, tumpukkan kertas-kertas yang ada di dalam sana memberi kehangatan sekaligus membuat Mizuki serasa sedikit geli. Hingga rasa dingin malah menusuk kulitnya, membuat Mizuki sedikit kaget.
"Nona, ada apa?" tanya Hiro yang menarik pandangannya dari kertas yang sudah ia ambil. Matanya menatap menuju tangan Mizuki yang masih berada di dalam kotak. "Apa ada sesuatu di dalam sana?!"
"Ti-tidak, tidak ada apa-apa, Hiro."
Entah apa yang dipikirkan oleh Mizuki, jemarinya malah mencari darimana ia merasakan perasaan dingin itu. Hingga jemarinya mengenai serangan dingin itu kembali, dengan cepat ia mengambil kertas yang ia rasa menghasilkan perasaan dingin itu.
Perasaannya tak enak, ia tidak mau membuka kertas itu sama sekali. Jemarinya yang sedikit bergetar membuka kertas itu, Mizuki hanya membaca isi kertas itu dalam diam.
"Nona Mizuki, Nona harus pergi kemana untuk instruksi pertama?" tanya Hiro penasaran.
"E-eh? I-ini instruksi pertama?! D-dimana instruksi kedua?"
Hiro melipat kertas yang ia ambil lalu menyimpannya di balik jaketnya. "Nona benar-benar lamban ya, mungkin istruksi kedua akan diberikan setelah kita melakukan instruksi pertama," jawab Hiro dengan nada yang begitu santai. "Ngomong-ngomong Nona harus pergi ke mana?"
"A-ah ... katanya aku harus pergi ke ruang utama yang kedua, mungkin ada ruangan yang seperti ini di tempat lain," jawab Mizuki sambil melirik ke sana sini. Tumpukkan bola, tali yang menggantung dari sebuah tiang hingga ke bawah, lalu kursi audiens yang mengelilingi mereka. Mizuki menghela napas pelan, lalu menatap Hiro polos. "Nampaknya kita harus berpisah di sini, Nona. Aku harus pergi ke bagian gudang."
"Begitu ya ... terima kasih sudah menemaniku selama ini. Hiro hati-hati ya," ucap Mizuki sambil tersenyum tipis, lalu membungkukkan badannya sedikit.
"Sebuah kehormatan untuk menemani Nona. Saya berharap kita bisa bertemu di akhir nanti," ucap Hiro sambil ikutan membungkukkan badannya. "Baik, Nona sudah harus pergi sekarang. Nona berhati-hatilah di jalan, semangat ya Nona!"
Mizuki mengangkat badannya, lalu kembali tersenyum. "Terima kasih, Hiro." Ia melangkahkan kakinya pergi menjauh dari Hiro yang masih membungkukkan badannya. Setelah merasa jarak mereka sudah cukup jauh, Hiro perlahan-lahan mengangkat badannya sambil menatap datar punggung Mizuki yang kian menjauh.
"Orang itu ... kenapa dia malah ada di sini?"
"Mizuki, berhenti."
***
Sebuah suara entah kenapa terdengar terus menerus di pikiran Mizuki semenjak ia sampai di sirkus ini. Berjalan di tengah kegelapan yang amat gulita tanpa sinar surya sedikitpun memberikan perasaan tak enak di benak Mizuki. Namun wajah gadis itu tidak mengekspresikan apa yang ia rasakan saat ini.
Tungkai kakinya berhenti ketika melihat kerumunan orang di depannya, ia berjalan menghampiri kerumunan orang itu. Matanya melirik ke seisi ruangan, tumpukkan bola, tali yang menggantung, dan yang terpenting ialah kursi audiens yang mengelilingi mereka. Jelas-jelas ini terlihat seperti ruangan aula yang baru mereka tempati tadi.
Mizuki kembali melirik kertas yang ia ambil, tulisan yang tertera pada kertas sudah berbeda dari yang tadi ia baca. "Hampiri kursi audiens?" Mizuki membuka suaranya untuk membaca isi kertas itu sekarang, ia melirik ke sana sini. Ada banyak sekali kursi audiens, ia harus menghampiri yang mana satu?
Matanya menangkap keberadaan seorang pemuda bersurai cokelat muda panjang itu, salah seorang panitia yang mengenakan pita merah untuk menutupi matanya. Mizuki menghampiri pemuda itu tanpa berpikir panjang, lalu menyondorkan kertasnya pada pemuda itu.
"Ada apa, Nona?" tanya Matsu dengan senyuman menghiasi wajahnya.
"Kertas ini menyuruhku untuk menghampiri kursi audiens, kursi mana satu yang harus kuhampiri?" tanya Mizuki dengan wajahnya yang expressionless.
Matsu mengambil kertas yang disondorkan oleh Mizuki, kepalanya sedikit menurun menunjukkan dirinya yang mencoba membaca kertas tersebut. Mizuki mengedipkan kedua mata polos sambil menunggu balasan dari ketua panitia itu sendiri.
"Sebelumnya aku akan memberitahu misi kamu sebenarnya," Mizuki menatap Matsu lamat-lamat. "Sepuluh tahun yang lalu, tepatnya sebelum sebuah sirkus terbakar, ada seorang audiens yang teracuni makanan. Untungnya ia berhasil selamat karena dilarikan ke rumah sakit segera, pada saat itu polisi tidak bisa mencari tahu siapa dalang di balik insiden racun itu dikarenakan sirkus malah terbakar sebelum mereka sempat memulai penyelidikan mereka," jelas Matsu panjang lebar.
Mizuki memiringkan kepalanya polos, "jadi misiku adalah mencari tahu pelakunya?"
Matsu menganggukkan kepalanya semangat. "Benar, tugas kamu ialah mencari tahu dalang di balik insiden racun itu. Tetapi sebelumnya, aku akan memberitahumu apa yang terjadi sebelum insiden itu secara mendetail. Anggap saja pihak yang teracuni bernama A, ia mempunyai tiga teman dekat. Teman yang pertama bernama Lia, ia adalah seorang dokter. Teman kedua bernama Ezra, ia adalah seorang guru yang bekerja di satu sekolah dengan A. Lalu teman ketiga bernama Allen, ia adalah seorang arsitektur sekaligus teman masa kecil A. Pada waktu itu, ketiga teman A yang membeli semua makanan yang dikomsumsi oleh A, yang perlu kamu pecahkan adalah siapa dalang di balik insiden itu. Tentu saja kamu boleh menebak-nebak, tetapi kamu hanya mempunyai satu kesempatan saja untuk menjawab. Jadi sebaiknya kamu pikirkan baik-baik."
Mizuki hanya terdiam sambilan mencerna perkataan Matsu dari awal hingga akhir, iris mata Mizuki tampak sedikit bersinar. "Dari wajah Tuan Matsu, sepertinya Tuan sudah mengetahui jawabannya. Kenapa menyuruhku untuk menjawab?"
Matsu tersenyum sambilan menjawab, "tentu saja untuk mengabuli permintaan Nona, Nona harus membuktikan diri bahwa Nona berhak mendapat perkabulan permintaan."
Mizuki yang mendengar balasan dari Matsu hanya terdiam, sesuatu di dalam dirinya terasa terusik ketika mendengar jawaban Matsu yang terdengar sedikit ambigu. "Kalau begitu, apa aku boleh tahu dimana lokasi duduk mereka?"
"Tempat duduk mereka ada di sana," ucap Matsu sambil menunjuk ke pojok kanan. "A duduk di tengah, sebelah kanannya itu Lia, lalu sebelah kirinya itu Allen. Di samping tempat duduk Allen, itu tempat duduk Ezra."
Matsu menyondorkan kertas itu kembali pada Mizuki, sontak gadis itu mengambilnya. "Satu pertanyaan lagi, apa Tuan tahu racun yang terkomsumsi oleh A?"
Untuk kali ini, Matsu menggelengkan kepalanya. "Sayang sekali informasi kami terbatas, kami tidak bisa mengetahui racun apa yang terkomsumsi oleh A. Tetapi setidaknya racun itu tidak terlalu mematikan."
"Baiklah, terima kasih."
Mizuki berjalan menjauhi Matsu, tepatnya berjalan menghampiri tempat duduk A yang ditunjuk oleh Matsu tadi. Setelah sampai di depannya, matanya menangkap bekas cairan yang terlihat sudah hampir menyatu warnanya dengan warna kursi itu sendiri. Selain itu, Mizuki tidak melihat bekas apa-apa lagi. Warna lantai juga terlihat ada banyak sekali jejak kaki, dirinya juga tidak bisa asal menebak.
Melihat tempat duduk yang kotor malah membuat Mizuki tidak ingin duduk di sana. Terpaksa, ia berjongkok sambil memerhatikan gaun putihnya agar tidak kotor. Hingga matanya tak tersengaja mengarah pada bagian bawah kursi yang ditempati oleh orang berinisial A, debu bertebaran di mana-mana, namun ia mendapati percikan air yang terlihat sedikit blur karena tergesek sesuatu ketika masih cair.
Mau tak mau, Mizuki memasukkan sedikit bagian kepalanya untuk melihat apakah ada sesuatu yang mungkin menjadi penyebab gesekan itu, akan tetapi tidak ada sesuatu selain debu dan bekas percikan air itu. Ia merasakan ada sesuatu yang janggal di sini, jika dilihat dari bawah kursi, ia tidak bisa melihat cairan yang menembus kursi. Itu menandakan cairan tidak tembus sampai bagian bawah kursi, jadi darimana cairan itu bisa berada sampai di bawah sana?
Cairan itu menggambarkan sebuah segitiga yang blur sekaligus sebuah garis. Mizuki menelan air ludah kelu, jika semua kejanggalan ini disusun, tampaknya ia sudah bisa menebak apa yang terjadi 10 tahun yang lalu. Sayangnya ia masih tidak yakin apa yang sebenarnya terjadi, namun ia yakin pelakunya adalah orang itu.
Mizuki berjalan menuruni tangga lalu kembali menghampiri Matsu. Matsu yang dihampiri kedua kali oleh gadis itu tersenyum, "apa Nona berhasil memecahkannya?"
Mizuki mengangguk pelan. Matsu masih mempertahankan senyumannya, "menurut Nona siapa dalangnya?"
"Apa aku boleh bertanya satu pertanyaan lagi mengenai insiden ini?"
"Tentu saja, Nona boleh bertanya sebanyak mungkin, aku akan memberitahu apa yang aku ketahui untuk Nona asal Nona bisa memecahkan kasus ini," jawab Matsu mantap, ia melipatkan kedua tangannya di depan tubuhnya.
"Kata Tuan, A ini seorang guru, bukan? Kalau boleh tahu, A ini guru apa?"
"Oh, sesuai informasi yang kami dapat, A ini adalah seorang guru matematika. Sementara Ezra ialah seorang guru olahraga. Bagaimana? Apa ini berguna?"
"I-iya ...."
Tangan kanan Matsu terangkat, jari telunjuknya menunjuk sesuatu. Mizuki yang melihat itu hanya mengikuti arah tunjuk Matsu, ternyata Matsu tengah menunjuk seorang kain hitam yang Mizuki yakini ada orang di dalamnya.
"Nona beritahu jawaban Nona pada Black, benar atau salah akan ditentukan oleh Black."
Perkataan yang dikeluarkan dari mulut Matsu telah menjadi sebuah sihir yang menyihir tubuh Mizuki. Gadis itu berjalan menghampiri Black tanpa mengucapkan apapun pada Matsu, senyuman manis yang biasa menghiasi wajahnya telah berubah menjadi sebuah seringaian.
"Sebuah sirkus telah hangus terbakar pada sebuah pulau di dekat kota. Ditemukan 3 mayat yang hangus terbakar, 13 orang terluka berat dan 45 orang terluka ringan."
"Mizuki."
"Mizu."
"Nona, apa Nona siap menjawab?" Black membuka suaranya, namun tak menunjukkan diri dari balik kain hitam yang ia kenakan.
"Dalangnya ialah-"
"Mizuki, lari."
"Seharusnya kamu yang mati, bukan mereka."
"Pembunuhnya Allen, bukan?"
Iris merah darah tak menampakkan dirinya, melainkan sinar biru muda bersamaan dengan sinar pink menghiasi kelopak mata gadis bersurai putih keperakkan itu. Jemari lembut Mizuki menarik paksa kain hitam yang dikenakan oleh Black, menampakkan sosok asli siapa yang bersembunyi di belakangnya.
"Mizuki tak dapat menebak bahwa sosok Black ternyata adalah dirimu, Hiro."
Sosok Hiro terlihat begitu percaya diri ketika mengenakan tuxedo hitam itu, jemarinya menyentuh topeng hitam yang ia kenakan. Ia tersenyum lebar, "seorang magician harus bisa memberikan surprise attack kepada audiens, bukankah begitu?" tanya Hiro sambil memainkan topi hitam magician miliknya.
"Menurut Mizuki, dalang dibalik insiden itu adalah Allen. Apapun yang dikatakan Mizuki, aku akan mengikutinya," ucap gadis bermata pink dan biru itu dengan tatapan seriusnya.
"Kenapa pelakunya Allen?"
Gadis itu melipatkan kedua tangannya di depan gaun putih polos yang ia kenakan. "Mizuki menemukan bekas cairan di tempat duduk A dan di bawah tempat duduk. Padahal jelas-jelas cairannya tidak menembus kursi, kalau begitu bagaimana bisa sampai berada di bawah sana? Bekas yang ada di bawah kursi membentuk sebuah segitiga dan sebuah garis. A adalah guru matematika, seharusnya kamu tahu kan apa maksud dari pesan A itu?"
"Jadi menurut Mizuki, segitiga itu adalah huruf kapital A, lalu garis itu adalah huruf l, bukan?" terka Hiro sedikit ragu.
"Bentuk segitiga dan garis itu sedikit blur, Mizuki rasa setelah A menjatuhkan minumannya, ia sengaja menjatuhkan sesuatu ke bawah kursi. Kemungkinan besar, A sengaja berjongkok dan menulis pesan itu dengan bekas air yang tumpah ke lantai lalu mengambil barang yang ia jatuhkan itu," lanjut gadis bersurai putih keperakkan itu.
"Mizu, waktumu hampir habis."
"A ini nampaknya sudah mengetahui siapa yang meracuninya saat itu, tetapi tidak punya waktu untuk memberitahunya, jadi dia terpaksa memberikan pesan yang akhirnya tak disadari orang-orang. Seorang dokter bisa menyiapkan racun dengan mudah, seorang guru bisa berhubungan baik dengan A karena bekerja pada instansi yang sama, seorang arsitektur memperhitungkan semuanya dengan baik. Ketiga orang ini bisa melakukannya, namun bukti langsung dari A mengarah pada Allen, begitulah yang dipikirkan Mizuki," jelas gadis itu dengan tatapan yang begitu serius.
[Time's up. One life has lost it's life]
"Nona Mizuki menang, kami kalah telak."
***
"Jadi, permintaan apa yang kamu inginkan?" tanya Matsu sembari mengelus pipi lembut milik Mizuki. Matanya sudah kembali seperti semula, tidak ada pupil berwarna pink dengan biru muda, melainkan iris merah darah.
"Memori ...."
"Memori?" tanya Matsu sembari memiringkan kepalanya bingung. "Nona Mizuki harus memberitahu yang jelas, saya tidak bisa menebak apa isi pikiran Nona."
"Kembalikan memoriku," ucap Mizuki.
Desiran angin kembali mengajak helaian rambut keperakkan miliknya untuk menari bersamanya. Jemari lembutnya memegang pita merah yang dikenakan oleh Matsu, lalu menariknya lembut. Iris mata biru bak samudra sekali lagi membuat gadis itu kembali terpana.
"Memori apa, Nona Mizuki?" tanya Matsu sambil kembali tersenyum, seakan-akan menahan amarah yang bisa keluar kapan saja berkat sebuah pita.
Mizuki menatap tangannya yang berkulit pucat itu, pita merah perlahan meliliti satu persatu jari Mizuki. "Dari awal, kamu hanya mau mempermainkanku saja kan?"
Matsu terdiam sebentar ketika mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh gadis nan polos itu, namun ia kembali tersenyum. "Apa maksud Nona? Event Show Your Talent kami adakan untuk umum, tidak mungkin kami mempermainkan Nona."
Mizuki menyondorkan pita merah yang ia ambil paksa dari pemuda itu. "Pembakaran sirkus itu, kamu yang melakukannya 'kan?"
"A-apa maksudmu?"
"Matsu, kamu tidak bisa menyembunyikannya."
Sebuah suara terdengar nyaring di dalam pikiran pemuda itu. Kedua bola matanya membulat kaget, lalu ia melirik ke sana sini. "Su-suara itu! Ka-kamu ...!"
"Sirkus yang tadi kita tempat itu harusnya terbakar sepuluh tahun yang lalu, tapi kenapa terlihat biasa-biasa aja? Kamu memakai kekuatan Tuan untuk mempermainkan kami di antara ruang dan waktu, bukan?"
Mizuki tidak mendengar balasan dari pemuda itu, malahan pemuda itu hanya tersenyum sembari menatap gadis itu lamat-lamat. "Kemampuan detektif Nona mengerikan sekali, Nona Mizuki."
"Show Your Talent 'kan?" Iris mata merah darah miliknya bersinar terang di tengah indusrasmi. Dewi malam menutupi binar sang chandra, menemani mereka berdua-bertiga-yang berada di antara ruang dan waktu. "Dari awal, Show Your Talent hanya berlaku untuk orang seperti kita kan?"
Biru tua bak samudera ikutan bersinar, menemani binar merah darah sang gadis. "Tidak, bukan berlaku pada Mizuki. Hanya berlaku pada Mizu."
Matsu mengepalkan kedua tangannya, perlahan-lahan Mizuki dapat melihat ada yang mengelilingi tangan pemuda itu, sesuatu yang tak dapat ia artikan bagi seorang manusia. Sesuatu yang seharusnya tak dimiliki oleh seorang manusia.
"Kamu ingin melihat Talent-ku? Akan kutunjukkan semuanya padamu."
"Matsu-Nii."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top