Clockwise Curse
"Hikari, kamu dengar penjelasanku tidak?"
Suara berat Sensei membuatku menoleh ke arahnya, "hm? Tentu saja," aku kembali mengendarkan pandanganku ke luar jendela, tepatnya ke arah bulan purnama.
"Hm ..., sudah waktunya ya," aku hanya mengangguk pelan. "Kamu tidak bosan, Hikari? Mengulang hari yang sama beribu-ribu tahun?"
Tatapanku masih mengarah pada bulan purnama yang warnanya mulai berubah menjadi merah darah, "tidak. Apapun demi dia."
Setiap 6 tahun sekali, bulan purnama di dunia ini akan berubah menjadi merah darah. Itu adalah petanda bagi semua kaum yang tinggal di dunia ini bahwa akan ada penyerangan dari pihak sana.
"Cih, sudah ribuan tahun masih berada di sini, kamu tidak pernah berubah ya, Hikari." Aku tersenyum pelan, "kalau aku berubah, aku tidak akan berada di sini."
***
"Octa, apa kamu sudah menutup portalnya?" tanyaku pada seorang lelaki yang duduk di sebelahku.
Octa mengangguk pelan, "sudah," jawabnya singkat.
Octa adalah satu-satunya teman dekat yang aku punya di sekolah MA ini. Ribuan tahun yang lalu, aku dan adikku terhisap masuk ke dalam fantasy world ini. Tidak ada yang bisa kami lakukan selain menjalankan semuanya, lagipula dunia ini tidak buruk. Guru-guru di sini ramah, ditambah lagi kami mempunyai kekuatan.
"Hikari?" Aku menoleh ke arahnya, "ya ada apa?"
Octa menutup buku bacaannya lalu meletakkannya di atas meja, "hari ini kamu tidak boleh gagal. Kalau kamu gagal, kamu harus menunggu 6 tahun ke depannya lagi."
Aku tersenyum lirih ketika mendengar perkataan Octa, meskipun lelaki itu sudah mengucapkan perkataan yang sama hampir setiap 6 tahun, hal yang terjadi selalu sama.
Seakan-akan aku sudah tahu apa yang akan terjadi, tetapi aku tidak tahu cara mengubahnya.
"Kalau aku gagal, itu berarti aku masih belum cukup kuat," ucapku sambil mengaitkan pedang pada pinggangku.
Octa menggeleng-gelengkan kepalanya, "itu saja yang kamu bilang terus menerus. Kenapa tidak pindah sekolah saja? MA bukanlah satu-satunya sekolah di sini," ucapnya dengan nada yang begitu santai.
Perkataan Octa ada benarnya, MA bukanlah satu-satunya sekolah di dunia ini. Tetapi mengingat adikku yang terperangkap di gedung selatan MA karena kutukannya, aku tidak berniat untuk pindah sekolah.
Pindah sekolah berarti akan jauh darinya, aku hanya akan menyakiti diriku lebih parah.
"Melihat wajahmu saja sudah memberiku jawaban," tangan Octa menepuk pundakku, "aku tidak akan memaksamu untuk melakukan ideku. Apapun keputusanmu, aku akan membantumu."
Sudut mulutku terangkat, Octa adalah satu-satunya orang yang telah menemaniku selama ribuan tahun di sekolah, para guru juga sudah menemaniku selama ini.
Perjuangan mereka yang telah membantuku, tidak akan kusia-siakan.
"Maka dari itu, bekerja keraslah. Wakil Ketua OSIS," ucapnya yang membuat tatapanku beruba datar, "baiklah. Mohon bantuannya hari ini, Ketua OSIS."
Octa berdecih kesal sementara aku hanya cekikikan kecil, tetapi sebuah suara yang muncul begitu saja di kepalaku membuatku kembali serius. "Kapten, pasukan RA sudah berada di garis depan. Apa sebaiknya kita membantu mereka?" tanyanya, itu suara Tex.
Aku melihat Octa sesaat, lelaki itu mengangguk. "Baiklah, beritahu kepada semuanya untuk mengumpul di gerbang. Aku dan Octa akan memimpin pertarungan kali ini."
"Baik."
Tex memutus telepatinya, aku hanya menghela napas pelan. Sesaat aku melihat Octa yang mengeluarkan senyuman misteriusnya, buku-buku yang berada di perpustakaan mulai terbang mengelilinginya.
"Nah, kita pergi yuk?" ajaknya dengan suaranya yang terdengar menyeramkan, aku mengangguk pelan. "Tetapi sebelum itu, susun kembali bukunya. Nanti Sin-Sensei marah," ucapku dengan senyuman kecil.
"Sial. Lepas kendali lagi."
Berbeda seperti Octa, aku sudah bisa mengontrol kekuatan yang diberikan oleh dunia ini padaku. Dan semua itu gara-gara kutukan itu.
***
Darah berceceran di sekitar pedangku, aku sudah tidak bisa mengingat berapa banyak makhluk yang sudah kubelah dalam jangka waktu 7 jam ini.
"Cih, lagi-lagi mereka tiada hentinya," ucap Octa di sebelahku, punggungnya bersentuhan dengan punggungku.
Masing-masing tanganku memegang erat yang sudah kusiapkan sedari tadi, "Kalau kekuatanmu habis, minum saja darah mereka," peringatku yang membuatnya jijik.
"Darah mereka tidak enak," tanganku bergerak mengayunkan pedang pada sebuah makhluk yang berada di depanku, makhluk itu tidak bisa kujelaskan bentuknya.
Setelah menghabiskan ribuan tahun membaca buku, dapat disimpulkan bahwa makhluk ini dinamakan kaum Licr. Kaum Licr adalah sebuah kegagalan dari kaum iblis, sebelum kaum iblis dibentuk, ada yang namanya kaum Licr.
Kaum Licr bukanlah kaum yang setia, berbeda dengan Angels dan Demons. Meskipun sifat mereka yang beranekaragam, mereka tetaplah makhluk yang setia dengan apa yang mereka percaya.
"Magicae exitium; Causa Satani!"
Darah tumpah ke mana-mana ketika Octa mengeluarkan sihirnya. Aku menoleh ke belakang, "cih, jangan lengah ketika sedang bertarung. Hal semudah itu tidak bisa kamu ingat?"
Aku terkekeh pelan, "maaf-maaf, kan ada kamu," ucapku dengan perasaan setengah bersalah.
"Kalau tidak ada aku, kamu pasti sudah gila sekarang," ucapnya dengan nada arogan, aku hanya memutar kedua bola mata bosan.
Aku melirik sekitar lalu menyadari bahwa kami berdua terkepung, aku bahkan tidak sempat melihat di mana anggota lain berada.
"Giliranmu, Hikari."
Masing-masing tanganku bergerak memainkan pedang, "Ars Gladius; Gladius Maria."
Mulai bermunculan ratusan pedang di sekitarku, aku memainkan tanganku dan semua pedang tersebut melesat.
Puluhan di antaranya mengenai kaum Licr, sementara beberapa hasil menghindar. "Tergum," perintahku pelan.
Mereka yang berhasil menghindar berhasil ditusuk dari belakang, Octa yang melihat itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Explosive."
Darah meledak kemana-mana ketika Octa mengucapkan sepatah kata itu, tubuh mereka tergeletak di tanah dengan darah mengalir kemana-mana.
"Ugh, dimana yang lain?" tanya Octa sambil melirik kiri kanan.
Kami dikelilingi oleh pasukan dari sekolah ALY, tetapi dari tadi aku tidak melihat seseorang yang kukenal selain Octa.
"Mereka pasti di timur, biarkan saja. Gelombang selanjutnya akan datang sebentar lagi," ucapku pelan, kembali memfokuskan pandangan ke depan.
Aku merasakan ada sesuatu yang menusuk kakiku, kurasakan ada sesuatu yang mengalir keluar.
"Darah? Kakimu terluka, Hikari!" Penciuman Octa terlalu tajam jika objeknya ialah darahku.
Tik
Mataku membulat ketika mendengar suara detakan jam, suara yang bagaikan penyelamat bagi semua kaum di dunia ini. Tetapi suara detakan jam itu bagaikan suara kutukan bagiku, suara kutukan yang amat susah dihancurkan.
Kulihat adikku, Silica, tengah terbang di udara. Gaun putih yang dikenakannya tampak bersinar di tengah-tengah langit malam, ditambah dengan percikan sinar kecil yang mengelilinginya.
Rambut putihnya berterbangan dikarenakan angin, aku merasa udara di sekelilingku mulai terasa begitu dingin. Silica mengangkat tangannya ke atas, kelopak matanya perlahan-lahan terbuka, menampakkan matanya yang kini berwarna silver.
"Potensia Source; Paralel."
Seketika sebuah jam muncul di belakang tubuh Silica, suara detakan terdengar seperti suara jam yang berbunyi ketika pukul 12. Sebuah buku muncul di depan masing-masing dari kami, aku menatap Silica lamat-lamat.
Sebelum gadis itu perlahan-lahan menghilang dari sana, seolah-olah bersatu dengan langit malam.
"Tidak mungkin ..., bukannya posisi kita sedang menang? Bagaimana dia bisa muncul?" tanya Octa, tubuhnya berguncang. Aku tidak tahu apakah karena terkejut atau karena kesal.
Pedang yang ada di tangan kiriku jatuh begitu saja, aku tidak peduli lagi. Tahun ini, aku gagal sekali lagi. Tangan kiriku terangkat ke atas, bergerak ingin membuka buku itu.
Sebuah sinar keluar dari buku itu, menyinari siapapun yang ada di sekitarnya. Aku tidak menutup mataku, seakan-akan sudah terbiasa menghadapi hal ini.
Riptide, Lucifer, Yoru, Asher keluar dari buku itu, lalu terbang mengelilingiku. "T-tuan ...," ucap Yoru dengan nada yang pelan.
Aku menghela napas keras, tampaknya aku harus menunggu 6 tahun lagi untuk mendapat kesempatan sekali lagi. "Kalian tahu apa yang harus dilakukan," ucapku pelan.
Empat phantom itu cepat-cepat mengangguk paham, mereka terbang mengelilingiku. "Hikari ....," suara Octa sesaat mengeras, "Awas!"
"Unattacken!" ujar Asher keras.
Semua cakar dan pedang menembus tubuhku begitu saja ketika Asher meletakkan kekuatannya pada tubuhku.
Octa berlari menghampiriku, sebuah tamparan mengenai wajahku. "Jangan hilang fokus, sudah berapa kali kubilang itu padamu!" ujarnya kesal.
Aku melihat ada puluhan kaum Licr di belakang Octa, "Yoru," panggilku pelan.
Tiba-tiba saja tumbuh sebuah akar berduri yang menusuk siapa di sekitarnya, Octa menoleh ke belakang ketika mendengar suara rintihan dan koyakan.
"I-itu ..."
Aku memaksakan diriku tersenyum, "aku tidak apa-apa, Octa. Hanya ... shock saja."
Sebelum melihat wajah Octa, aku kembali menatap 4 phantom pemberian Silica padaku.
Empat phantom ini adalah berkah yang diberikan oleh Silica kepada kami semua untuk bertarung di hari seperti ini.
Phantom itu adalah karakter yang keluar dari cerita yang pernah kami tulis sebelumnya, kalian bisa menganggap kami sebagai penulis yang terjebak di dalam dunia fantasi ini.
Anggap saja, karakter cerita kami keluar menjadi phantom untuk mendampingi kami dalam bertarung.
Tetapi sebagai balasannya, Silica akan tertidur sampai dirinya dipanggil seperti hari ini lagi. Itulah peran seorang penjaga selatan, ia akan memberikan kekuatan yang berlimpah dengan bayaran hampir seperti eternal sleep.
Itu adalah kutukan yang didapatkan oleh Silica. Karena kutukannya, ia terpaksa menjalankan role seorang penjaga selatan, sementara aku hanya bisa melihat semuanya tanpa bisa merubah apa-apa.
"Magia tenebris; tenebris meam!" ujar Lucifer keras.
Seketika banyak makhluk hitam kecil yang mengelilingi Lucifer. Ketika Lucifer mengepalkan tangannya, semua makhluk hitam itu bergabung menjadi satu. "Impetus!"
Makhluk hitam itu berjalan maju, menghancurkan siapapun yang mengganggu jalannya. "Blood Art; Blood Bat!" Aku dapat melihat darah yang berbentuk seperti kelelawar menggores lengan dan kaki kaum Licr.
Aku menoleh ke sumber suara ketika mendengar suara yang tidak terdengar asing itu, Natsume tengah terbang mengelilingi Octa. Octa menggaruk kepalanya gatal, wajahnya terlihat bingung. "Kenapa karaktermu bisa berada di bukuku?" tanyanya bingung.
Aku cekikikan kecil, menyembunyikan rasa sakit di dadaku. "Apa jangan-jangan Octa suka dengan Natsume di ceritaku?" godaku yang membuat Octa tergagap.
"T-tentu saja tidak!"
Kemampuan Natsume membuat beberapa di antara makhluk Licr itu mengeluarkan darah karena tergores, memberikan kesempatan bagi Riptide untuk mengeluarkan kemampuannya. "Sanguies es; lac filio!"
Darah-darah mulai berterbangan keluar dari luka-luka itu, Riptide. membuka mulutnya. Perlahan-lahan, darah-darah itu terbang masuk ke dalam mulut Riptide.
Aku melirik Octa, lelaki itu tampak merinding ketika melihat Riptide yang begitu santai menyedot habis darah mereka.
"Ugh, bagaimana tokohmu bisa tahan dengan darah asam itu?" tanya Octa kesal, seorang Phantom duduk di atas kepalanya.
Aku cekikikan kecil, lalu mengambil pedang yang kujatuhkan tadi dengan tangan kiriku. "Jangan main-main dulu, Octa. Pertarungan kita masih belum siap."
"Hoho, tokoh utama sudah bersemangat. Baiklah, aku akan membantu kalian!" ujar Phantom yang duduk di atas kepala Octa, namanya Lira.
"Totem potentia est," ucap Lira sambil memainkan tangannya. Seketika sebuah totem berbentuk beruang muncul di belakang kami, aku dapat merasakan aura-aura mengelilingi tubuhku.
"Yosh, kita harus bertahan beberapa jam lagi."
Yoru terbang mengelilingiku, "Tuan, gelombang ke-9 akan muncul," ucapnya pelan.
Dengan hidungnya yang tajam itu, Yoru tidak mungkin salah. Sudah waktunya gelombang ke-9 muncul, "aku harap kau siap, Octa."
"Cih, aku selalu siap."
***
Dengan langkah yang tertatih-tatih, aku berjalan ke arah pintu. Darah berceceran kemana-mana, meninggalkan jejak darah kemanapun aku melangkah.
Tangan kananku yang sedikit gemetar memutar knop pintu lalu mendorongnya pelan, mataku membulat ketika melihat Silica tertidur di dalam sebuah tabung.
Kelopak matanya tertutup, wajah tidurnya yang polos membuatku menghela napas sekali lagi. Sambil menahan sakit, aku berjalan menghampiri tabung itu.
Lutuk kananku mengenai lantai, posisiku bagaikan ksatria yang tampak memberi hormat kepada sang Putri, "aku kembali, Silica."
Tidak ada balasan dari adikku itu, aku menghembuskan napas kasar. "Kamu bangun lebih cepat hari ini, aku harus menunggu 6 tahun lagi gara-gara itu."
Tangan kananku bergerak menyentuh tabung, "tetapi tidak apa-apa. Kakak sudah berjanji bukan? Kakak berjanji akan melepaskan kutukan ini."
Aku menoleh ke belakang, menatap darahku yang terlihat membuat pola. "Sampai saat itu, kamu jangan sedih ya. Kakak akan sering datang dan membersihkan tempat ini, sebelum Tachika-Sensei marah."
Aku mendengar suara langkah kaki mendekat, kulihat Octa tengah keluar dari tempat tempat persembunyiannya dan berdiri di ganggang pintu, "aku akan tempat ini. Orang sakit cukup duduk diam saja," ucapnya dengan nada ketus.
Aku tertawa pelan ketika Octa terlihat seperti seseorang tsundere sekarang, "baiklah-baiklah, mohon bantuannya dokter."
Octa membantuku duduk di kursi yang ada di ujung ruangan, tetapi tatapanku tetap mengarah pada tabung dimana Silica yang masih tertidur pulas.
Adikku masih di alam mimpinya sementara ini. Tetapi mengingat dia bangun tepat setelah kakiku terluka, membuatku sedikit lega.
Dia masih memerhatikanku, baik di dunia sana maupun dunia sini.
Meskipun aku harus menjalani ribuan tahunku di sekolah MA ini, melihat kejadian yang sama berulang kali.
Akan tetapi, aku sudah berjanji padamu, Silica. Aku akan mematahkan kutukan ini.
Aku, Takashima Hikari, sudah berjanji padamu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top