18. Mamanya Datang
"Key, maafin bunda baru telepon kamu sekarang. Hp punya bunda dan ayah terpaksa kami jual buat tambahan beli pupuk. Ini saja pinjam tetangga."
Aku tersenyum memaklumi perkataan bunda. Ikut sedih juga mendengar alasan dari beliau. Di desa pasti mereka bekerja sangat keras.
Sampai saat ini aku merasa semua kejadian yang menimpa kami bagaikan sebuah mimpi. Terlalu cepat berubah.
Lima tahun lebih ayah membangun perusahaan dengan susah payah, namun tak disangka akan jadi seperti ini. Secepat angin topan yang memorakporandakan rumah penduduk. Kini semua tiada lagi yang tertinggal. Dan harus kembali ke titik nol.
"Key?"
"I-iya."
"Siapa, Kak?" tanya Litha dengan rasa penasarannya.
"Bunda," sahutku tanpa suara.
"Kamu masih di sana? Halo, Key?!"
Aku tersentak serta gelagapan. "I-iya, Bun. Aku di sini," jawabku, lalu menoleh ke arah Litha lagi.
Litha terkikik lalu menunjuk ke arah pintu. "Aku tunggu di ruang makan ya, Kak." Dan segera kujawab dengan anggukan.
"Kamu nggak apa-apa, Key?"
"Nggak. Nggak apa-apa kok, Bun."
"Sekolah kamu gimana?" tanya bunda lagi.
"Alhamdulillah, baik. Semua lancar."
"Kalau di tempat kos kamu? Betah nggak?" Pertanyaan tersebut membuatku sontak menggigit bibir.
Ada ragu di dalam hati jika mengingat beberapa keanehan di rumah ini. Setiap kali sendiri aku selalu merasa diawasi seseorang, menjadikanku tidak nyaman dan ... takut. Namun, ketika aku teringat Darrel yang menjadi sumber kekuatanku untuk melawan ketakutan itu selama ini, membuatku berangsur-angsur tenang. Apalagi hubungan kami sekarang sudah semakin dekat. Nggak seperti dulu yang hanya bisa melihat dari jauh.
"Key? Kok bunda tanya nggak dijawab lagi?"
"Eh? M-maaf, maaf, Bun."
"Ah, kamu itu kebiasaan. Pasti kamu melamun lagi."
Aku meringis bercampur malu. Ya, memang di rumah aku sering kepergok bunda jika sedang melamun. Kebanyakan melamun tentang Darrel, kembali mengenang semua kejadian-kejadian di sekolah tatkala kami bertemu. Oh, tidak-tidak. Maksudku bukan bertemu yang sengaja bertemu berduaan, tetapi lebih ke hal umum. Bertemu saat dia bercanda dengan teman-temannya di kantin, berpapasan di koridor sekolah, dan mengetahui kegiatan yang ia lakukan.
Tentu saja itu semua hanya aku yang melihatnya. Hanya aku yang memperhatikannya. Secara sembunyi-sembunyi.
"Tenang saja aku betah di sini, Bun. Nggak betah gimana kalau tiap hari bisa makan enak dan gratis? Hehe," balasku akhirnya. Mencoba berkelakar, tetapi nyatanya nggak kudengar tawa dari bunda. Aku cemberut. Ish, kayaknya aku memang nggak pandai bergurau. Kesal!
"Keluarga Pram sangat baik, kamu di sana jangan sampai bikin repot mereka, Key."
"Iya, Bun."
"Ya, sudah. Bunda ini mau bantu ayahmu di sawah. Kamu baik-baik ya di sana."
Aku mengangguk meskipun bunda tak bisa melihatku. "Iya. Kalian juga harus jaga kesehatan. Jangan terlalu capek kerjanya. Salam juga buat ayah, Bun. Aku sayang kalian."
Beberapa detik tak ada jawaban dari bunda. Hanya terdengar helaan napas lelah. "Ya, pasti. Kami ... juga sayang kamu, Key."
Tiba-tiba kudengar isakan kecil dari bunda. Aku panik. "Bun? Bunda kenapa? Bunda baik-baik saja, kan?" tanyaku khawatir.
"Bunda nggak kenapa-kenapa," jawab bunda. "Hanya saja bunda merasa, nggak seharusnya kita tinggal berjauhan seperti ini. Andaikan saja—"
"Bun, sudah," potongku seketika. "Yang terjadi nggak usah disesali. Nanti takutnya ayah semakin merasa bersalah sama kita. Kasihan ayah, Bun."
"Ya, kamu benar, Key. Selama ini ayahmu sudah cukup terbebani. Kita nggak boleh bikin ayahmu makin sedih."
Aku mengangguk-angguk kecil. "Aku yakin ini nggak akan lama. Kita kenal ayah. Ayah nggak akan gampang menyerah sebelum tercapai keinginannya, Bun. Kita cuma perlu kasih dukungan dan kepercayaan sama ayah."
"Waduh, anak bunda sekarang sudah beranjak dewasa ya pikirannya. Anaknya siapa sih ini?" Kudengar bunda terkekeh.
"Kan anaknya bunda ayah." Aku juga ikut terkekeh geli. "Oh, ya, aku turun dulu ya, Bun. Litha sudah nunggu aku di bawah."
"Oke. Hati-hati di jalan ya, Key. Belajar yang rajin di sekolah. Salam buat keluarga Pram."
"Ya, Bun. Oke, nanti aku salamin. Dadah, Bun. Asalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
🎃🎃🎃
Aku turun ke bawah sambil masih mengingat-ingat percakapanku dengan bunda. Aku tahu bunda dan ayah pasti sedih memikirkan keadaan kami sekarang. Lebih sedih daripada aku.
Mungkin benar apa kata orang. Hidup tak semudah apa yang kita bayangkan. Hidup penuh kejutan dan roda kehidupan pun terus berputar. Kadang di atas, kadang di bawah. Dulunya kami bisa dikatakan kaya, akan tetapi dengan kehendak Tuhan, perusahaan ayah bisa bangkrut dalam sekejap. Kami kini tak punya apa-apa lagi.
Tapi ... tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti kami akan berada di atas lagi, kan? Aku yakin dengan kerja keras dan sifat pantang menyerah yang dimiliki ayah, perusahaan dan perekonomian di keluarga kami akan bangkit kembali. Ya, semoga.
Aku berjalan semakin cepat dengan langkah pasti. Menguatkan hati dan semangat dalam diri yang baru terisi penuh.
Sesampainya di ruang makan aku menyapa mereka semua, hingga tertuju pada seorang wanita yang membekukan tubuhku. Dia berada di depanku, duduk berdampingan dengan Om Pram.
"Duduk dulu, Key. Kami semua nunggu kamu dari tadi," kata Om Pram.
"Maaf, Om. Barusan ada telepon dari bunda," sahutku, sembari lekas duduk. Tapi canggung.
"Nggak apa-apa, Litha sudah bilang tadi. Ayo, kita mulai sarapan."
Aku mengangguk dan mulai mengambil nasi serta lauk-pauk ke dalam piring. Memakannya dalam diam sambil ekor mataku mengamati Darrel yang duduk di sebelahku, diapit oleh aku dan Litha.
Kenapa Darrel duduk di sini? Bukankah biasanya dia duduk di seberang meja bersama Om Pram? Lagian kursi di sana masih ada satu kan? Ada apa ini?
Beberapa pertanyaan sibuk bergelayut di pikiranku. Sesekali aku memperhatikan wanita itu yang tengah mengambilkan makanan untuk Om Pram. Diam-diam kuperhatikan lagi wajahnya, bukankah dia mamanya Darrel?
"Key, kenalkan ini istriku. Mamanya Darrel."
"Oh, iya, Om." Aku tersenyum ke arah Om Pram, lalu beralih menatap istrinya. "Halo tante, nama saya Keyla."
"Halo, Key. Ah, nggak usah formal gitu ya ngomongnya. Biasa saja, anggap Tante Tara ini sebagai bunda kamu sendiri juga boleh," ujarnya dengan sangat ramah. Yang sontak membuat Darrel berdeham cukup keras.
Aku kontan menoleh menatap Darrel. Terlihat ia menyambar gelas dan meminumnya. Cukup tenang, lantas kembali tertunduk sibuk dengan makanan di piring. Atau mungkin sibuk dengan pikirannya, yang aku sendiri tidak tahu apa maksud dia tadi.
Sengajakah atau hanya perasaanku semata? Ia seolah menutupi sesuatu.
Ruangan mendadak hening. Hawa pun terasa mencekam. Dingin dan terasa aneh.
Litha makan dalam diam. Tak bereaksi apa pun. Aku merasa berada di tempat asing yang sepi. Rasa was-was merongrongku. Aku serba salah, bingung harus bersikap bagaimana.
Melihat suasana kaku yang begitu kentara, membuatku membuka suara. "Makasih tante sudah mau menganggapku sebagai keluarga."
"Sama-sama," jawabnya seraya tersenyum, kemudian beberapa detik kemudian ia menunduk selepas memandang Darrel. Wajah sedihnya sempat kulihat beberapa saat.
Om Pram meraih tangan Tante Tara, menggenggamnya seakan memberikan kekuatan. Dan Tante Tara pun membalas sebuah senyuman untuk Om Pram. Aku ikut tersenyum melihat keharmonisan mereka.
"Maaf ya, Key, tante baru ke sini menyambut kamu. Dalam dua minggu ini tante ada keperluan di luar kota."
"Nggak apa-apa kok, Tan. Om Pram sama Litha sudah luar biasa menyambutku."
"Luar biasa heboh gitu kan maksudnya?" tukas Om Pram, kemudian kami dan juga Litha tertawa menanggapi ucapan beliau.
Minus Darrel.
"Oh, ya, gimana kabar ayah bunda kamu, Key?" tanya Om Pram.
"Baik, Om. Tadi di telepon, bunda titip salam buat Om Pram dan keluarga di sini."
"Ya, Om Pram juga titip salam balik sama bunda ayahmu. Semoga mereka selalu sehat."
"Aamiin." Aku dan Tante Nara langsung mengamini. "Mereka sekarang di desa, lagi mau nanam padi, Om."
"Wah, enak banget tuh. Di desa kan udaranya sejuk. Ya, kan, Mas?" timpal Tante Tara.
Om Pram mengangguk-anggukkan kepalanya penuh semangat sambil menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. "Betul banget itu. Dulu kami juga pernah berlibur ke desa. Ke rumah eyang putri. Sejuk dan tenang. Ya, nggak, Rel?"
"Hm." Darrel hanya menggumam. Tangan yang memegang sendok dan garpu itu berhenti sejenak. "Aku harusnya lebih milih tinggal sama eyang ketimbang di rumah ini."
Dahiku berkerut bingung. Entah apa maksud perkataan Darrel. Kenapa ia mau tinggal bersama eyangnya jika keluarganya masih lengkap? Aku benar-benar tidak mengerti. Sungguh.
Semuanya juga terdiam.
"Aku sudah kelar." ucapnya sembari mengambil tas punggungnya. "Berangkat dulu, Pa."
"Darrel," panggil Om Pram. "Kamu nggak pamitan sama mama kamu?"
Darrel berhenti tanpa menoleh ke belakang. "Jangan harap, Pa. Papa tahu alasanku."
"Darrel." Kini berganti Tante Tara berkata dengan suara lembutnya. Beliau berdiri, mengukir seutas senyuman. "Kamu masih marah sama mama?"
Tampak kedua tangan Darrel mengepal di kedua sisi tubuhnya. Ia berbalik dan menatap tajam Tante Tara. Tiba-tiba ia tersenyum miring dan menggelengkan kepalanya.
Aku baru kali ini mendapati ekspresi kayak gitu dari Darrel. Respons yang begitu tak terduga. Maksudku, biasanya Darrel ramah pada semua orang kan? Tapi kenapa sekarang justru sebaliknya, apalagi ini dengan orangtua sendiri.
Kilihat Litha ikut berdiri, kedua tangannya beradu dan saling meremas. Aku yakin ada sesuatu yang terjadi di keluarga ini. Aku pun perlahan berdiri dan makin gelisah.
"Bisa akhiri semuanya?"
"M-maksud kamu, Rel?"
"Aku minta tolong nggak usah pura-pura lagi. Aku sudah muak! Kamu nggak seharusnya di sini. Tiap kamu ke sini rumah ini layaknya neraka, ngerti nggak?!"
"Darrel!!" bentak Om Pram seraya menggebrak meja.
Tenggorokanku tercekat bersamaan dengan Darrel yang kembali berbalik, lantas pergi tanpa menoleh sedikit pun. Membawa cengkeraman tangannya yang semakin menguat.
Sarapan bersama sirna. Suasana kekeluargaan pun seakan tak ada. Tante Tara menangis di pelukan Om Pram.
Aku sendiri, mematung menatap kepergian Darrel. Aku tak bisa berkata-kata, hanya mampu mengerjapkan mata pelan. Akan tetapi detakan jantungku kali ini terasa sakit. Sangat sakit. Lebih ke nyeri.
Aku terus saja menatap Darrel. Hingga punggungnya hilang dari pandanganku.
Darrel, ada apa sama kamu? Kenapa jadi begini?
......................🎃🎃🎃.........................
Jangan berprasangka buruk dulu sama Darrel ya. Darrel sendiri sebenernya anaknya ramah dan baik banget. Hanya saja ada beberapa hal fatal yang membuatnya sefrontal ini😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top