9. Pengkhianatan itu Nyata

"Ketika kepercayaan dan kesetiaan dikhianati, tak ubahnya seperti sebuah gelas yang telah retak."

~***~

Kabar kehamilan Kasih belum tersebar karena hanya Suhadi, Maryam dan juga Sekar yang mengetahuinya. Namun, Suhadi tidak bisa tinggal diam. Ketika mengetahui kenyataan, bahwa Dimas yang telah menghamili Kasih. Calon menantunya sendiri. Calon suami dari Sekar. Dia merasa malu sekaligus kecewa. Bagaimana bisa dua orang yang akan menjadi keluarga melakukan semua ini.

Suhadi benar-benar tidak habis pikir. Nafsu telah membutakan mata hati mereka berdua. Suhadi pergi ke rumah Dimas malam itu juga, setelah mendengar pengakuan Kasih, tentang siapa ayah dari bayi yang kini ia kandung. Dia tidak peduli lagi kalau disebut tidak sopan bertamu malam-malam ke rumah orang tua Dimas.

Mobil Suhadi terparkir di halaman rumah Rahman, calon besannya. Ayah dari Dimas. Laki-laki setengah baya itu ingin memberi perhitungan pada Dimas. Laki-laki yang telah berzina dengan anak pertamanya. Suhadi tidak menyangka kalau Dimas bisa berbuat sebejat itu. Tega mencoreng wajahnya dan juga kedua orang tuanya sendiri.

Ternyata wajah Dimas yang lugu dan polos hanyalah sebuah topeng. Dimas tak ubahnya seperti laki-laki penebar benih. Dia bisa melakukannya dengan Kasih, calon kakak iparnya. Dan mungkin juga dia bisa melakukannya dengan wanita lain di luar sana.

Suhadi menggedor pintu rumah Rahman dengan tidak sabar, sambil memanggil nama laki-laki bajingan yang telah menghamili putri pertamanya.

Seorang wanita berjilbab panjang membuka pintu. Suhadi tahu siapa wanita itu, dia adalah Ratih, ibu Dimas.

"Pak Hadi." Ratih terkejut dengan kedatangan Suhadi.

"Di mana anak bajingan itu?" tanya Suhadi tanpa mengurangi nada suaranya.

"Sabar Pak Hadi, ada apa to? Pak Hadi cari siapa?" Ratih bingung dengan sikap Suhadi yang terlihat marah.

"Sembunyi di mana anak bajingan itu?" Suhadi terus berteriak mencari keberadaan Dimas.

"Siapa yang sampean sebut bajingan?" tanya Ratih yang sejak tadi kebingungan. Wanita berjilbab itu masih kaget dengan kedatangan calon besannya malam-malam dalam keadaan marah.

"Siapa sih, Bu?" tanya seorang laki-laki yang umurnya tidak berbeda jauh dengan Suhadi. Dia adalah Rahman, ayah Dimas.

"Loh, Mas Hadi?" laki-laki itu kaget melihat ayah Sekar datang ke rumahnya selarut ini.

"Di mana kau sembunyikan anakmu itu, Man!"

Suhadi sudah benar-benar marah sehingga tidak ada sopan santun pada setiap kata yang keluar dari bibirnya. Padahal Suhadi orang yang sabar dan selalu ramah pada orang lain. Perbuatan Dimas dan Kasih membuatnya marah,kecewa sekaligus malu.

"Dimas?" tanya Rahman. Dia bingung kenapa Suhadi mencari Dimas malam-malam begini?

"Iya, di mana bajingan pengecut itu?"

"Maksud sampean nopo to Mas?" Rahman kebingungan karena Suhadi menyebut Dimas sebagai bajingan pengecut.

"Dimas itu bajingan—,"
Kata Suhadi terpotong ketika melihat laki-laki jangkung yang dicarinya muncul di ruang tamu. Suhadi segera menghampiri Dimas dan memukul wajahnya hingga tersungkur ke lantai. Lalu mendaratkan pukulan bertubi-tubi pada wajah Dimas.

Ratih menjerit ketika melihat Dimas dipukul di depan matanya. Rahman segera menghampiri Suhadi dan menahan tangan laki-laki itu agar tidak memukul putranya kembali.

"Sabar, Mas... Sabar." Rahman mencoba menenangkan Suhadi. Ratih berlari menghampiri Dimas yang masih terkapar di lantai.

Napas Suhadi memburu. Dia sangat marah. Matanya menatap Dimas dengan tajam. Bapak dua anak itu terluka. Sedangkan Dimas, laki-laki itu tampak biasa saja seperti tidak pernah melakukan dosa apa pun.

"Kalau ada masalah bisa dibicarakan baik-baik Mas, jangan main pukul." Rahman tidak terima dengan perlakuan Suhadi yang tiba-tiba memukul putra tunggalnya tersebut.

Suhadi menepis tangan Rahman. "Baik-baik? Apakah seorang ayah masih bisa baik-baik saja ketika anak gadisnya hamil, hah?"

Rahman dan Ratih terhenyak begitu juga Dimas. Laki-laki jangkung itu pasti sudah tahu siapa yang dimaksudkan oleh Suhadi. Dia hanya mampu menunduk.

"Maksud Mas, Dimas sudah menghamili Sekar?" tanya Ratih yang kini memandanh Suhadi dengan tatapan tidak percaya.

"Bukan."

Rahman dan Ratih saling bertatapan. Mereka tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Siapa yang hamil? Lalu apa hubungannya dengan Dimas?

"Dia telah menghamili Kasih." Suhadi menatap lekat-lekat wajah Dimas yang tertunduk.

"Kasih?" kedua orang tua Dimas berseru. Seingat mereka, Kasih adalah kakak Sekar.

"Pasti ini salah paham." Ratih mencoba meluruskan.

Suhadi berdecak sinis, "Salah paham? Tanyakan sendiri pada anakmu itu," ucap Suhadi seraya menunjuk Dimas.

Rahman mendekati Dimas. "Benarkah itu, Le?" tanya Rahman yang sudah mengepalkan telapak tangannya.

Dimas memandang ayahnya kemudian mengangguk.

"Ya Allah!" Ratih memekik seolah tak percaya anaknya berbuat dosa besar seperti itu.

"Anak tak tahu malu!" Rahman mendaratkan pukulan bertubi-tubi ke wajah Dimas yang sudah babak belur sebelumnya oleh Suhadi. Amarahnya sudah berada di puncak.

"Aku tidak pernah mengajarkanmu perbuatan yang dilarang agama!" Rahman terus saja memukul Dimas hingga tak berdaya.

Ratih terduduk di atas lantai sambil terus mengucap istiqfar dan memegangi dadanya sendiri. Wanita berjilbab itu menangis. Sedangkan Suhadi, dia menjadi penonton ketika Rahman terus saja memukul Dimas tanpa ampun.

"Anak kurang ajar!"

"Anak tak tahu diri!"

"Bikin malu orang tua!"

Napas Rahman memburu. Dia benar-benar malu, kecewa dan juga marah. Dimas hanya pasrah ketika ayah kandungnya terus saja memukul tanpa henti. Dia merasa akan mati di tangan ayahnya sendiri.

Rahman menghentikan pukulannya ketika Dimas benar-benar terlihat menyedihkan dan tidak berdaya.

"Sekarang terserah, Mas Hadi."

Rahman menghampiri istrinya yang sedang menangis kemudian memeluknya. Dia sudah tidak punya apa-apa untuk membela anak tunggalnya. Biarkan saja Suhadi yang akan memberi pelajaran untuk Dimas.

****

Kediaman rumah Suhadi terlihat sepi. Malam semakin larut. Hanya suara jangkrik yang terdengar dari luar. Kejadian sore tadi membuat suasana menjadi sunyi. Sanak saudara yang harusnya bermalam di rumah Suhadi, memilih untuk pulang ke rumah masing-masing.

Terdengar isak tangis dari dalam sebuah kamar. Maryam terisak sendiri di dalam kamarnya. Dia meratapi takdir yang menimpa kedua putrinya. Suhadi belum kembali setelah mengantarkan mereka pulang. Maryam tahu pasti suaminya itu pergi ke rumah Dimas.

Kasih sudah pulang dari rumah sakit walaupun keadaannya masih lemah. Sedangkan Sekar, gadis berjilbab itu memilih mengurung diri di dalam kamarnya.

Kenyataan yang dialami keluargamya begitu menyedihkan. Maryam masih tidak percaya kalau Kasih tega mengkhiati adiknya sendiri. Tega berselingkuh dengan calon adik iparnya. Wanita berjilbab itu kemudian keluar dari kamar. Matanya menatap pintu kayu jati berwarna cokelat yang berada di hadapannya. Pintu kamar milik Sekar. Dia tahu kalau putri keduanya tengah terluka, kecewa dan marah. Bukan dia tidak peduli tetapi, saat ini Maryam lebih memilih untuk diam dan membiarkan Sekar sendiri. Dirinya butuh kekuatan untuk menopang putri sulungnya. Hatinya juga sama sakit dan terluka. Ibu mana yang tega melihat anaknya menderita.

Maryam terisak kembali kemudian berjalan menuju kamar mandi. Dia ingin mengambil air untuk wudhu. Rasanya tidak ada tempat lain untuk mengadu selain pada Sang Pencipta. Dia ingin menumpahkan segala keluh kesahnya pada Dzat yang telah meniupkan roh dalam raganya. Maryam hanya seorang manusia biasa yang lemah di hadapan Tuhannya. Seorang istri sekaligus ibu yang hatinya mudah terluka. Apalagi dilukai oleh anak kandungnya sendiri. Maryam menangis dalam sujudnya.

****

~***~
Apa pun masalahmu ingatlah masih ada Allah, tempat untuk menumpahkan segala keluh kesahmu.
~***~

*

**

Maaf jika masih ada typo, kalimat tidak efektif, kesalahan EYD dll, akan diedit setelah cerita tamat.

Untuk mbk Tyaswuri tolong kasih kritik yang pedas jika menemukan kata atau kalimat yang salah.

Peluk cium Vea Aprilia 😍

Tw, Sabtu 04 februari 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top