Qanita 8

Aku sudah sampai di sebuah rumah dengan tembok berwarna kuning gading, terasnya luas dan dikelilingi pagar kayu bermotif. Ada dua pohon palem dan beberapa tanaman di halaman depan yang berpaving, sebagian kecil lahan ditanami rerumputan. Bahkan tercium aroma bunga mawar dari tempatku kini berada.

"Ini dimana, Mar?" tanyaku pada gadis di sampingku, yang masih berkutat dengan hapenya, seperti memastikan sesuatu.

"Iya, bener di sini, kok."

Aku mengerutkan kening. "Apanya yang bener?"

Amara membaca alamat yang ada di tertera di layar. "Kalau berdasarkan tulisan di sini sih, ini rumahnya Mas Dafa."

Raut kaget tak dapat aku tutupi. "Eh? Rumah Mas Dafa? Kita ke rumah Mas Dafa?"

"Katanya pengen tahu keadaannya."

Ish! Aku memang ingin tahu keadaan lelaki itu, tapi apa sampai berkunjung ke rumahnya pantas? Meski aku terlihat seperti perempuan gaul. Jujur, aku tak seperti itu. Aku jarang berkunjung ke rumah orang lain, apalagi yang tidak dekat. Ke rumah orang tua Vino pun aku tak pernah. Aku hanya sering mengunjungi apartemennya. Sepertinya ia belum berniat mengenalkanku pada keluarganya, aku juga masih merasa rikuh.

"Kita turun?" tanya Amara sembari membuka pintu mobil.

Aku menelan saliva, perasaanku bercampur aduk.

"Kita pulang aja, deh."

"Hah?" Amara mengangkat alis, tak mengerti.

"Nggak jadi lihat keadaan Mas Dafa berarti?"

Aku menggigit bibir bawah, bingung.

Melihat keraguanku, Amara kembali menutup pintu mobil, dan bersiap menyalakan starter.

"Eh, jadi aja deh." Aku berubah pikiran.

Kudengar Amara berdecak. "Kamu apaan sih, Ta? Gugup banget dah kayak ketemu sama camer."

Betul juga. Kenapa aku segugup ini. Kalau dipikir-pikir Mas Dafa sebenarnya tidak membenciku, kan? Dia masih mau berbicara denganku tadi. Lalu kenapa aku harus segugup ini? Aku hanya perlu ke rumahnya,menanyakan keadaannya, kalau perlu memberikannya kesempatan bekerja sebagai bentuk penebusan kesalahanku.

Akhirnya aku, kami, memutuskan untuk beranjak dari mobil, mendekat ke rumah itu. Dari jarak sekarang ini, aku bisa melihat ada sekumpulan anak kecil yang tengah bermain di teras. Bermain boneka-bonekaan, juga ada yang bermain mobil-mobilan. Kalau kutebak, umur mereka kisaran di bawah lima tahun.

"Permisi."

Semua anak menoleh ke arah kami, ada yang ketakutan, malu, tapi ada juga yang menyambut dengan ceria.

"Accalamualaikum," kata seorang anak dengan suaranya yang lucu, dan mendekat ke arah kami. "Ada yang bica dibantu, Kak?"

Aku tersenyum, geli. Anak ini cerdas sekali, bertingkah seperti seorang front liner di perusahaan ternama saja.

"Eeummm, Dik. Saya temennya Mas Dafa. Mas Dafanya ada?"

"Mas Dapa?" Anak itu nampak berpikir, kemudian menengok ke arah teman-temannya. "Mas Dapa teh saha?"

Banyak anak mengendikkan bahu, sepertinya tak kenal.

"Gak ada yang namanya Mas Dapa. Adanya Dapi." Kali ini si anak kecil lucu, imut, menggemaskan itu menunjuk salah seorang di antara mereka.

Aku menoleh ke Amara. "Gak ada Mas Dafa katanya, Mar."

"Masa sih? Padahal jelas-jelas Damar bilang rumahnya di sini, kok. Dia ngintip CV punya Mas Dafa."

Otakku pun ikut memproses informasi ini.

"Ada yang cari Bapak?" Sebuah suara menginterupsi dan mengalihkan perhatian kami. Ada seorang anak lain, berpakaian SD yang baru saja pulang dan melihat aku serta Amara dengan pandangan menelisik. "Eh, Kakak kan yang waktu itu."

Ia menunjukkku dan membuat keningku berkerut.

"Waktu itu Bapak nabrak mobil pacarnya Kakak."

Bapak? Nabrak mobil Vino? Eh, sebentar, otakku sedang memproses memori masa lampau. Beberapa hari lalu kan .... Ah ya, aku ingat. Pantas saja aku seperti tidak asing saat pertama kali bertemu Mas Dafa, juga anak kecil ini. 

Tapi, dia memanggil Dafa dengan sebutan Bapak? Anak ini tidak mungkin anaknya, kan?

"Apa maksud Kakak ke sini mau minta ganti rugi?" tanya anak itu menelisik.

"Eh? Enggak kok, Dik. Kita cuma ada urusan sama Mas Dafa."

Bocah ini masih memandang kami tajam, tak percaya.

"Mas Dafanya ada nggak?" Amara ikut bersuara, nada bicaranya agak menyentak. Sepertinya dia mulai emosi dipandangi seperti itu oleh anak kecil. Aku menyikut untuk mengingatkan.

Raut wajah anak itu malah semakin tak bersahabat.

"Jam segini Bapak kerja. Belum pulang. Balik lagi nanti aja." Anak yang berusia sekitar 11 tahun itu melengos, mendekati kerumunan anak dan menggandeng salah satunya—yang menjawab pertanyaan kami tadi.

"Adik juga masuk rumah, makan. Temen-temennya Adik pulang, ya. Nanti dicariin."

Sebelum menutup pintu, ia melirik kami. "Assalamualaikum, hati-hati di jalan. Nanti aku kabari Bapak kalau ada yang nyari."

Aku hanya bisa menelan ludah, dan menggaruk tengkuk. Jutek sekali.

****

Setelah mendapat respon yang tidak terlalu baik itu kami pulang, tak bertemu dengan orang yang dituju sama sekali. Tak masalah, tapi entah mengapa aku jadi terbayang tentang panggilan anak kecil itu kepada Mas Dafa. Bapak. Kuperkirakan usia Mas Dafa tak terpaut jauh denganku. Dan dia sudah punya dua anak. Wow. Entah antara merasa takjub atau malah menjadi merasa tambah bersalah, aku tak tahu. Ya, kalau benar dia adalah seorang ayah dan mungkin suami bagi seseorang, pasti bebannya sangat berat, menjadi tulang punggung keluarga, banyak yang harus ia hidupi, dan ia kehilangan pekerjaan hanya gara-gara menolongku.

Dengkusan keras keluar dari hidungku.

Aku harus melakukan sesuatu.

Kuhubungi nomer seseorang. Orang yang sekiranya bisa kumintai bantuan.

Bunyi nada sambung terdengar, tapi belum juga terangkat. Meski kuulangi beberapa kali, hasilnya tetap sama. Aku melirik jam sekilas, pukul dua dini hari. Aduh! Pantas saja. Mungkin saja ia sudah tidue, atau mungkin masih di club. Ternyata sudah cukup lama aku begadang sedari tadi, insomniaku ini memang benar-benar.

Kuputuskan untuk mengirimkan chat. Setelahnya aku akan berusaha untuk tertidur. Besok aku harus bekerja lagi.

Tapi belum juga memejamkan mata, tiba-tiba ada suara orang berteriak.dari samping rumah.

Aku terkesiap, diiringi dengan bunyi gedebuk tepat di samping kamar. Dengan segera kubuka jendela, selintas ada bayangan hitam berlari dan terlihat Mbak Ayana yang panik di kamarnya, tepat di depan jendela yang bersebelahan dengan rumahku.

"Ada apa, Mbak?"

Mbak Ayana menggigiti kukunya, gemataran. "Maling! Maling!"

"Astaga! Sebentar ya, Mbak. Aku ke situ."

Aku menghampiri Mbak Ayana ke rumahnya, setelah menelepon satpam komplek.

"Mbak Ayana nggak papa?"

Helaan napas terdengar dari mulut wanita berkerudung bergo itu. "Alhamdulillah, cuma masih shock saja."

"Ada barang yang ilang?"

Kali ini ia menunduk, lemas. "Laptop dan beberapa uang di tas kerja." Namun sedetik kemudian ia mendongak lagi, mencoba tersenyum. "Tapi alhamdulillah, Allah masih melindungiku dan harta benda lain, Ta. Tadi aku berniat bangun untuk salat tahajud. Biasanya aku akan langsung ke tempat salat, tapi entah kenapa hatiku kok menuntun ke ruang kerja dulu. Laptop itu masih baru dibeli kemarin, belum terlalu banyak file penting. Uangnya juga gak seberapa. Alhamdulillah, Allah masih melindungiku, Ta."

Sudah berapa kali aku mendengar Mbak Ayana mengucap hamdalah. Bukannya dia baru saja terkena musibah, masih bisa juga berpikir positif. Kalau aku mungkin sudah kalang kabut, marah-marah tidak jelas.

Setelahnya, Pak satpam datang. Terlihat juga tetangga yang berdiri di depan rumah, penasaran atas apa yang terjadi malam ini, tapi mereka tak mencoba mendekat, malah sepertinya tidak peduli.

Aku membantu Mbak Ayana membuat laporan, menjadi saksi ke mana maling itu pergi.

"Makasih ya, Ta."

"Sama-sama, Mbak. Untung aja aku belum tidur."

Mbak Ayana mengerutkan kening, lalu melihat jam di dinding. "Jam dua dini hari begini kamu belum tidur?"

Aku meringis. Ya, kenyataannya memang begitu.

"Belum tidur sama sekali?"

"Iya, Mbak. Aku udah lama kena insomnia. Udah pakai obat tidur juga, nggak mempan."

Mbak Ayana menatap iba. Hah! Kenapa aku malah seperti menjadi pesakitan begini, ya. Padahal cuma masalah kurang tidur saja.

"Nggak papa kok, Mbak. Udah biasa, kurang tidur pun besoknya aku masih bisa lancar bekerja, nggak ngantuk sama sekali."

Mbak Ayana mengangguk-angguk.

"Oh iya, Mbak udah baikan, kan? Masih takut nggak?"

"Euuumm ...." Wanita itu mengelus tengkuknya. "Sedikut, sih."

"Mau aku temani?" tawarku.

"Kamu mau?"

"Tentu saja. Mbak juga sering bantu aku kok, sebagai tetangga kan harus saling membantu."

"Jadi... "

"Kalau boleh, aku nginep sini. Anggap aja aku juga butuh temen, kali aja nanti bisa tidur, Mbak."

Mbak Ayana tersenyum. "Oke. Ke kamarku, ya?"

Aku mengangguk, mengikutu Mbak Ayana dari belakang. "Maaf kamarnya masih agak berantakan."

Pandanganku mengedar ke sekeliling. "Kalau kayak gini berantakan, gimana dengan kamarku, Mbak? Kapal pecah?"

Tawa Mbak Ayana pecah. "Ya sudah kamu baringan aja dulu. Aku mau keluar sebentar."

"Lho, Mbak. Nggak mau tidur?"

"Udah jam dua, nanggung kalau tidur. Aku mau sholat tahajud dulu, ya. Kalau kamu mau tidur dulu, nggak papa. Belum tidur sama sekali, kan?"

Aku mengangguk, ragu.

"Tenang aja, nanti aku salat di sini, kok."

Beberapa waktu, aku mencoba memejamkan mata, tapi rupanya otakku belum bisa diajak istirahat. Aku masih terjaga. Dengan telinga yang terpasang. Kudengar Mbak Ayana kembali ke kamar, hening sejenak. Aku mengintip dari balik selimutku. Mbak Ayana sedang salat, khusu sekali. Hatiku bergetar, kapan terakhir kali aku bersujud kepada Allah, ya? Setelahnya, alunan suara Mbak Ayana yang tengah mengaji. Suaranya cukup pelan, sepertinya takut menggangguku, tapi keheningan ini membuatku mampu menangkapnya dengan jelas.

Suara Mbak Ayana terdengar begitu merdu, mendayu, membuat hatiku terasa tenang. Dan setelah itu, aku tidak sadar lagi apa yang terjadi.

***

Hai semua ... Alhamdulillah kita bisa kembali bertemu di cerita ini.

Adakah yang masih menunggu?

Oh iya, sebelumnya di lapak ini kita belum kenalan, kan?

Hai ... namaku Prima Mutiara, kalian bisa panggil aku Pim, salam kenal.

Hayo, siapa yang kemarin tebakannya bener? Hihi.

Karena udah lama gak nulis di lapak ini, kemarin aku baca ulang. Dan malu sendiri karena ada buanyaaaaakk sekali typo. Hahaha. Maaf belum sempat benerin, tapi mohon dimaklumi, ya. Saya hanya manusia biasa yang penuh salah dan kekhilafan.

Semoga setelah ini, kita bisa bersama-sama mengikuti perjalanan hijrah Qanita sampai selesai, dan mungkin sedikit bumbu-bumbu baper, hihi.

Happy reading, guys.

Salam Ukhuwah.
primamutiara_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top