Sang Permaisuri
Berada di kamar bersama Anne terasa membingungkan bagi Torri. Gadis itu hanya duduk diam pada sebuah dipan layaknya patung peri penunggu ruangan. Namun, patung yang ini hidup dan terus menatap dengan sepasang mata biru terang. Torri sudah sering menerima tatapan penuh kekaguman, kebencian, peremehan, dan kasihan sebelumnya. Maka, sorot mata Anne yang datar dan dingin sepanjang waktu dengan mudahnya membuat ia merasa tidak nyaman. Ia tidak tahu jenis tatapan itu. Bahkan, saat tersenyum pun, Anne tampak menakutkan.
Seharusnya, ia cukup senang karena Anne adalah kebalikan dari Ratu Elsadora yang banyak bicara. Ia tidak perlu mendengarkan ocehan-ocehan suara bernada sopran yang menyakiti telinga. Gadis ini juga tidak kalah menarik dalam versi terbaliknya. Namun, entah kenapa paradoks itu justru terasa menyesakkan.
"Kau tetaplah di sini dan jangan ke mana-mana!" perintah Torri pada Anne. Ia memutuskan untuk mencari udara segar alih-alih terkurung bersama pikirannya dan gadis ini. Makin lama membandingkan antara Anne dan sang ratu, Torri bisa gila.
Ada satu tempat yang biasa ia kunjungi. Jika sedang ingin berbaur dalam keramaian, Torri akan mengunjungi tavern di dekat markas pemburu. Panglima Elijah dan pasukannya senang menari dan bercengkerama di sini, lalu Torri akan mengajak mereka beradu duel. Para prajurit ini banyak waktu untuk bersantai. Tingkat keamanan Laniakeia yang tinggi dan lebih banyak perburuan, membuat sebagian besar prajurit kini beralih fungsi sebagai pemburu. Ancaman yang berasal dari koloni naga padang pasir lebih nyata bagi Laniakeia daripada kerajaan sekitarnya.
Akan tetapi, Torri tidak berbelok ke arah sana. Sebaliknya, ia memutari istana, lalu turun ke ruang bawah tanah yang gelap penuh lorong dan hanya diterangi oleh obor-obor bercahaya minim di dinding. Kabarnya, ruang bawah tanah ini lebih luas daripada yang bisa dibayangkan dan bisa menampung begitu banyak orang–mungkin seluruh rakyat Laniakeia. Torri kecil pernah nyaris tersesat di dalamnya andaikan Panglima Elijah tidak muncul menolong. Awalnya, Torri pun hanya menganggap labirin ini perangkap yang sempurna untuk permainan, tetapi pandangannya berubah setelah mengetahui sesuatu. Di bawah undakan di sisi kanan lorong, terdapat sebuah bilik pertemuan rahasia yang hanya diketahui segelintir orang. Posisinya amat tersembunyi, tetapi Torri boleh dikatakan beruntung saat tahu pertama kali. Dan sialnya, itu bukan rahasia menyenangkan.
Wanita itu pasti belum kembali dan dia takkan kesini, pikir Torri ketika ia bermaksud menjelajahi isi bilik. Tidak ada pintu, perabot, ataupun apa-apa di sana. Maka, Torrreno mengambil sebuah obor yang tergantung di dinding. Dalam kegelapan dan kelembapan udara, api di tangannya hanya mampu menerangi area lingkaran yang tidak seberapa. Namun, Torri yakin tempat itu menyimpan petunjuk yang ia cari, walaupun jauh di lubuk hatinya, ia cemas jikalau semua itu bukan prasangka semata. Torri menyusuri tiap jengkal dinding batu berlumut yang licin, lalu perhatiannya berpindah ke bawah. Tanpa sadar, wajahnya memerah ketika mengira akan melihat jejak-jejak pergulatan di lantai, tetapi tentu saja tidak apa-apa.
Ia agak terkejut karena kembali ke sini dengan tangan kosong. Selalu saja ia gagal mengumpulkan bukti tentang perselingkuhan antara sang ratu dengan kanselir hingga hampir-hampir rutinitas perburuan ini menjadi obsesi baginya. Torri tidak percaya jika tidak terjadi apa pun antara wanita itu dan tangan kanan raja di sebuah sudut terpencil yang terlindung dari mata dunia.
Torri duduk berjongkok di lantai, menikmati kegagalan dari tindakan konyol yang dipicu oleh kebodohannya sendiri. Sepertinya, ia memang ditakdirkan terjebak lebih lama bersama wanita itu di istana. Usahanya unuk mengungkap kebobrokan sang ratu di hadapan raja tampaknya angan-angan belaka.
Sang pangeran tidak tahu sejak kapan ia meragukan Ratu Elsadora hingga sejauh ini. Bahkan, ia sendiri tidak tahu bagaimana perasaan sebenarnya terhadap wanita itu. Jika ia bisa menyingkirkan wanita itu, mungkin saja hubungannya dengan raja akan membaik sediakala, sebagaimana di saat permaisuri, ratu sejati Laniakeia masih hidup.
Sejenak, wajah porselen berstruktur bak pahatan milik Ratu Elsadora yang dibingkai oleh mahkota pirang gelap bergelombang berkelebat dalam kepalanya. Torri mengumpat. Ia harus mencari cara untuk menendang wanita itu keluar dari istana secepat mungkin sebelum ia menjadi gila oleh kelakuan sang ratu. Ia tidak pernah setuju raja menikahi wanita tersebut, lalu menyuruhnya menganggap Ratu Elsadora sebagai pengganti Jeanne Le Blanc. Ibunya hanya satu.
Torri sanggup membakar kemarahan di hati ayahnya dengan mempermalukan Ratu Elsadora dalam pesta pemberkatan permaisuri dahulu dan ia tidak keberatan untuk mengulangi perbuatan yang sama. Ia hanya menunggu momen yang tepat untuk mendorong Ratu Elsadora dengan keras hingga kembali jatuh di atas bokongnya sendiri. Aroma apak yang memenuhi bilik pun tercium sebagai euforia kemenangan di hidung Torri. Namun kemudian, ia mencium aroma lain yang mengganggu. Ia seakan bisa merasakan kehadiran Ratu Elsadora di tempat itu.
Torri berharap bisa mengenyahkan wanita itu dari pikirannya, tetapi rupanya keinginan itu kandas. Ia mendengar bunyi langkah memantul samar-samar. Ada yang sedang menuruni undakan di luar. Lamat-lamat, Torri bisa mendengar perbincangan pengunjung tak diundang yang sepertinya ada dua orang. Ketika sadar siapa pemilik suara itu, ia terkesiap. Beruntung ia sigap mematikan obor dengan satu tiupan kuat, lalu mengibas-ngibas asap tipis yang tertinggal seraya merapat ke dinding. Hanya ada satu tempat keluar dari bilik, yakni arah yang dimasuki oleh kedua orang itu. Torri tidak bisa kabur tanpa melewati mereka. Ia hanya berharap cahaya obor yang terbatas tidak mampu mengungkap titik persembunyiannya sekarang.
"Ini sungguh berbahaya, Kanselir. Bagaimana jika rahasia ini ketahuan? Torreno ingin memasukkan gadis itu ke kamar Raja Dylon!" pekik Ratu Elsadora dengan panik. Torri sepertinya tahu apa yang mereka bicarakan, tetapi ia tidak bisa menebak sumber kegelisahan sang ratu tentang sebuah rahasia.
"Di mana gadis itu sekarang?" Nada suara Kanselir Januska sama dinginnya dengan hawa di bawah sini.
"Di kamarnya. Kamar Torri."
Torri bisa melihat ekspresi Kanselir Januska yang tampak keheranan sesaat.
"Tidak ada masalah jika begitu. Mungkin saja gadis itu adalah kekasihnya."
"Orang waras mana yang menyodorkan kekasihnya secara sukarela untuk tinggal di kamar lelaki lain? Sekalipun Raja Dylon adalah ayahnya, Torri pasti gila!"
Torri menahan napas. Untuk satu alasan, ia sepakat dengan perkataan wanita itu. Ingin rasanya ia membenturkan kepala ke dinding, tetapi ia masih tertarik untuk mendengarkan percakapan mereka.
"Jadi, apa yang Anda ingin saya lakukan sekarang? Melaporkan perbuatan pangeran kepada Raja Dylon?"
"Menurut saya ...," Ratu Elsadora terdengar ragu dan menimbang-nimbang, "Raja Dylon tidak perlu dibebani dengan hal semacam ini. Kesehatannya sedang tidak baik. Saya khawatir kabar ini akan mengganggu pikiran beliau. Maka, Kanselir. Saya harap, Anda bisa memikirkan cara untuk mengusir gadis itu keluar dari istana."
"Yang Mulia, mengurusi intrik asmara bukan wewenang saya. Yang Mulia bisa memikirkan caranya sendiri karena mengasuh Pangeran Torreno sudah menjadi tugas Anda." Kalimat Kanselir Januska terdengar kejam dan meremehkan. Bukan hanya Ratu Elsadora yang sepertinya tertampar, tetapi Torri juga.
"Anda bisa mengatakannya langsung kepada Panglima Elijah. Pak Tua itu bisa memberi saran yang masuk akal kepada pangeran. Saya rasa, penilaian Anda terhadap gadis itu pun berlebihan, Yang Mulia. Dalam hemat saya, dia bukan ancaman–"
"Dia gadis naga!" Teriakan Ratu Elsadora menggaung di langit-langit yang rendah, berusaha membangkitkan kesadaran Kanselir Januska, tetapi lelaki itu masih bersikap skeptis.
"Bukankah itu bagus? Selama ini, kesehatan Raja Dylon sangat bergantung pada obat-obatan berbahan dasar naga. Gadis itu mungkin bisa mendatangkan kesembuhan padanya, dengan tidak mengurangi nilai hormat saya kepada Anda, Yang Mulia." Kanselir Januska membungkuk, tetapi tindak-tanduknya serasa mencemooh.
Wajah Ratu Elsadora memerah diterangi api obor yang meliuk-liuk. Lucu juga saat menyaksikan wanita itu kalah suara di hadapan tangan kanan ayahnya, tetapi ia cukup terusik dengan keberatan yang disampaikan oleh Ratu Elsadora. Apakah ada alasan lain di balik itu?
"Kanselir, Anda sepertinya lupa jika tidak pernah ada naga yang berubah menjadi manusia sebelumnya. Anda seharusnya khawatir!" protes Ratu Elsadora sebagai usaha terakhir, tetapi hanya mengundang gumam tak sabar dari lelaki itu.
"Saya tidak percaya Anda menganggap serius perkataan Pangeran Torri setelah mengenalnya sekian lama. Pembicaraan tak penting ini mengganggu saja. Saya punya urusan yang lebih berharga untuk diurus. Permisi, Yang Mulia."
"Tuan Kanselir!"
Ratu Elsadora menyusul Kanselir Januska dan berusaha mengadang lelaki itu hingga Torri kini sepenuhnya tertinggal dalam kegelapan. Masih terdengar perdebatan samar mereka di luar sebelum akhirnya menghilang naik di undakan.
Torri masih bergeming. Ia berusaha mencerna percakapan antara kedua orang tadi. Hawa dingin dan kesunyian di tempat ini mestinya bisa menjadikan pikirannya lebih jernih. Namun, ia tidak mampu menggali lebih jauh. Meskipun tidak paham rahasia apa yang disembunyikan oleh Ratu Elsadora dan Kanselir Januska, tetapi kini ia tahu bahwa sang ratu tidak berselingkuh dengan lelaki itu. Kecurigaannya terpatahkan. Pantas saja tidak ada jejak atau tanda apa pun. Bilik bawah tanah ini hanya menjadi tempat pertemuan rahasia keduanya.
Sudah sekian lama Torri memendam pertanyaan yang harusnya ia ajukan kepada ayahnya dan Ratu Elsadora. Dorongan itu kemudian tidak terbendung lagi. Torri ingin meluruskan satu hal pada sang ratu sebelum ia benar-benar kehilangan akal sehat seperti ucapan wanita itu: orang waras mana yang membiarkan kekasihnya berada di kamar lelaki lain, sekalipun itu adalah kamar ayahnya?
Setelah di lantai atas, Torri tidak menyangka ketika wanita itu sendiri yang berlari ke arahnya, lantas menubruknya dengan keras hingga mereka kehilangan keseimbangan dan nyaris jatuh. Namun, kali ini Torri menangkap wanita itu, bukan mendorongnya dengan kasar seperti di pesta masa lalu.
Tanpa ucapan terima kasih, Ratu Elsadora segera membebaskan diri lantas menepuk-nepuk bekas sentuhan Torri dengan ekspresi jijik. Meskipun tampaknya terkejut, ia masih sempat untuk membusungkan dada penuh kuasa. "Torri, apa yang kaulakukan di sini?" tanyanya dengan sepasang mata menyelisik.
"Aku sedang berjalan-jalan sampai Anda berpura-pura lari ketakutan dan menabrak saya barusan, Yang Mulia."
"Aku tidak berpura-pura!" sergah Ratu Elsadora kecut karena tanggapan sinis sang pangeran. Wanita itu pun mengendus-endus udara di depan hidungnya. "Kau bau apak. Apakah kau dari ruang bawah tanah?" Alisnya terangkat curiga.
Torri membalas dengan sikap serupa. "Lucunya, Anda juga punya bau yang sama, Yang Mulia." Wanita itu pun tersengat.
"Demi rambut keritingmu, Torri. Aku tidak punya waktu untuk ini," tukas wanita itu kesal menyaksikan tarikan bibir usil Torri. Sudah begitu banyak tingkah kekanakan sang pangeran yang membuat Ratu Elsadora naik pitam, tetapi ia sepertinya tidak punya kesabaran untuk menoleransi kekeliruan yang Torri lakukan hari ini.
"Aku sudah menyuruhmu untuk menyimpan gadis itu di kamarmu."
"Anne."
"Terserah!" Tatapan Ratu Elsadora berkobar. Wanita itu terlihat betul-betul marah di mata Torri. "Kau ke mana saja? Aku bertemu gadis itu tadi di selasar. Kau tidak menjaganya dengan baik!"
Torri memutar mata lalu mengangkat bahu. "Gadis itu punya sepasang kaki. Dia bebas berjalan ke mana saja."
"Tidak di istana ini," Ratu Elsadora berbisik sambil mengirim tatapan peringatan serius. "Di sini bukan tempat bermain untuk seorang gadis yang aneh. Kau sudah membawa makhluk itu ke sini, maka kau harus bertanggung jawab menjaganya."
"Maaf, saya keberatan, Yang Mulia. Anne bukanlah ancaman selama ia tidak memasuki kamar raja, bukan?" Pernyataan Torri berhasil membungkam mulut sang ratu. Wanita itu bahkan tak mampu berkedip. Namun, Torri belum puas sampai ia benar-benar memenangi perdebatan. "Mesti Anda ingat, Yang Mulia. Istana ini adalah milik ayahandaku. Suatu hari, tempat ini akan menjadi milikku. Kerajaan, istana, dan segala isinya, termasuk permaisuri Raja Dylon."
Ucapan Torri tak ubahnya sebilah pedang yang menusuk jantung Ratu Elsadora. Mungkin ucapannya terdengar jahat hingga wanita itu mundur dengan seluruh tubuh gemetar menahan amarah. Dengan kesabaran yang tinggal seujung kelingking, Ratu Elsadora berkata. "Sudah kuputuskan ... Laniakeia akan mengadakan pesta besar kerajaan. Seluruh putri dan gadis bangsawan akan diundang dan kau akan memilih seorang calon permaisuri di sana."
Ratu Elsadora senantiasa menganggapnya bocah kecil yang pantas diatur-atur. Tidak salah jika Torri membencinya setengah mati. Apa pun yang ia lakukan untuk mengancam wanita ini tidak pernah berhasil. Ratu Elsadora akan selalu kembali dengan rencana yang lebih besar dan sikap pongah di atas angin. Celakanya, keinginan Ratu Elsadora berarti adalah keputusan sang raja. Ia tidak mungkin membantah titah sang ayah. Ia hanya mampu memandangi punggung sang ratu yang buru-buru menghindar seakan ia adalah penyakit menular. Pada akhirnya, Torri tidak punya kesempatan untuk mengajukan pertanyaan itu.
Torri menghela napas putus asa. Lebih baik ia ke kamar dan membuktikan sendiri ucapan sang ratu. Mungkin, tatapan dingin dan kesenyapan Anne yang aneh mulai terasa nyaman hingga mampu mendinginkan gejolak dalam dirinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top