[4]

[4]

Hal Terakhir yang Terekam Benak

.
.

Sejak kemarin, saya akhirnya mencoba memberanikan diri. Menyusuri jalan yang amat panjang ini dengan setengah berlari dan setengah berjalan. Saya tidak merasa lelah, sama sekali tidak. Tetapi hari ini, saya persis orang pesakitan; jantung berdebar nyeri, napas sesak, dan pandangan berkunang. Tidak lupa, kepala yang makin lama semakin terasa berat.

Padahal saya kira, di sini, saya tidak bisa merasakan beberapa hal—kantuk, capek, dan hal-hal yang bisa disebabkan karena itu. Saya masih bisa merasakan sakit, tentu saja. Saya ingat bagaimana rasanya kepala saya sewaktu berusaha berdiri untuk kali pertama. Sakitnya sungguh luar biasa (saya cukup tahu kalau kalimat ini tidak efektif, namun penggambaran cuma dengan kata 'sungguh' agaknya terasa kurang), dan yang saya rasakan sekarang, jauh berkali lipat daripada itu.

Tidak punya pilihan, saya pun terpaksa berjalan pelan, selangkah demi selangkah. Terkadang, saya juga berhenti, mengistirahatkan badan yang tidak bisa diajak bekerjasama seperti kemarin. Sesuai dugaan, napas saya memberat seiring dengan degupan jantung yang menghentak-hentak. Saya mendecak dalam hati, merutuki betapa buruknya kinerja tubuh saya di saat-saat seperti ini.

Sejurus kemudian, saya kembali bergerak. Saya berdecak lagi, kali ini mengenai betapa panjangnya lintasan yang harus saya tempuh. Tidak ada habisnya. Saya jadi bertanya-tanya, dengan cara apa orang-orang yang saya temui kemarin-kemarin menyelesaikan jalannya? Tanpa bersusah payah, pula.

Ah ya, mereka punya sepeda. Dan saya tidak.

Jadi, kenapa mereka punya kendaraan untuk dinaiki?

Saya menggeleng, berusaha mengenyahkan bermacam tanya-tanya itu. Kepala saya tambah berat rasanya. Saya bahkan harus berpegangan pada pagar jalan, persis selayaknya kakek-kakek.

Dua puluh langkah ke depan, saya terbatuk. Awalnya hanya satu kali, tetapi kemudian, saya terus batuk di sepanjang tapak kaki yang semakin melambat. Badan saya nyaris ambruk ke permukaan jalan yang halus, tetapi, bagaimanapun juga, saya tidak mau menyerah.

Saya mengarahkan pandang ke depan, menatap jalan yang panjangnya tidak tampak berubah meski saya sudah menyusurinya seharian lebih. Melihat itu, rasanya, saya ingin menyerah saja. Labil sekali memang, saya tahu. Seharusnya seorang lelaki tidak gampang putus asa. Dan saya seorang laki-laki tulen.

Tiga langkah, pandangan saya memburam. Sesaat sebelum kunang-kunang mengerubungi penglihatan saya, mata saya menangkap objek-objek baru bermunculan. Mata saya mengerjap-ngerjap, berusaha menormalkan kemampuan melihat saya kembali.

Sebuah jalan putih keemasan tampak terbentuk tepat di sebelah kiri lajur hitam saya. Dua orang, seperti suami istri, perlahan muncul, menampakkan sosok-sosok yang ditimpa cahaya. Saya mencoba menambah fokus, memperhatikan wajah mereka lamat-lamat. Kelopak mata saya yang sayu memelotot lemah.

Itu orang tua saya. Ibu dan bapak yang sudah satu tahun meninggalkan dunia. Mereka ikut menatap saya yang menyedihkan, tanpa berkata-kata, membuat hati saya diserang malu teramat besar. Gumpalan bening menumpuk di pelupuk mata, sedikit demi sedikit. Kontan, saya berlari, melupakan semua rasa sakit, lemah, dan letih. Tenaga saya seolah terbarukan, walaupun tidak sebaik yang bisa saya harapkan.

Saya berlari, berlari, dan berlari. Tetapi di sana, dua orang yang paling saya cintai justru terlihat semakin jauh. Saya mempercepat laju, mengambil ancang-ancang. Sepuluh langkah, lima belas langkah. Jantung saya berdetak tidak nyaman, seperti akan dilucuti dari tempatnya. Kepala saya lebih berat dari sebelum-sebelumnya, seolah ditumpangi batu besar. Meski begitu, saya tidak peduli, tetap menambah kecepatan lari sekeras yang saya mampu.

Dan saya melompati pagar yang membatasi, menggapai ujung pembatas putih keemasan yang tampak begitu dekat itu.

Namun, saya gagal.

Alih-alih mendekat, lajur bersimbah cahaya itu menghilang. Tidak diragukan lagi, saya jatuh bebas, di antara ruang hampa yang terasa menyesakkan.

Air mata saya membuncah keluar, ikut jatuh bersama saya dalam bentuk tetes-tetes bening nan bulat sempurna.

Saya merasa bodoh, kosong, tidak berdaya. Tubuh saya mati rasa, tak mampu bergerak.

Sebelum mata saya sempurna menutup, bintang-bintang kelihatan meredup. Cahayanya kemudian menyelimuti setiap inci badan saya yang ringkih, dengan warna yang sama seperti jalan tempat orangtua saya tadi.

Samar-samar, saya mendengar kalimat-kalimat bernada tinggi yang tidak jelas apa maksudnya. Setelah itu, mata saya kehilangan fungsi.

Mungkin memang sudah waktunya. Sudah tiba saatnya bagi saya untuk pergi.

-●●●-

I know ini berantakan (banget banget banget). Saya edit kapan-kapan deh, ya. //Di tengah kefrustrasian dengan kisi-kisi US//

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top