[prl · 03] - babak ketiga

[ preliminer - BABAK KETIGA ]
[ enggan untuk sementara ]

***

Nada sudah pulang satu jam yang lalu, tidak ingin menginap. Katanya besok ia harus masuk pagi dan ada kuis sebelum perkuliahan. Kalau menginap, Nada khawatir mereka malah akan memilih menamatkan seluruh episode lakorn-nya malam itu juga.

Selama girls time, Nada sama sekali tidak kelihatan kesal pada Putri. Bahkan, Nada juga sama sekali tidak membahas Rian meskipun ia baru saja membawa sahabatnya itu kabur dari sang sepupu. Putri juga tidak mau memancing kemarahan orang lain. Jadi, karena mereka baru saja berbaikan, Putri menikmatinya saja sembari menonton lakorn dengan aktor kesukaan mereka berdua.

"Nada kenapa nggak nginep?"

Suara seorang lelaki terdengar tepat setelah pintu kamarnya dibuka. Putri yang duduk di pinggir ranjang sembari memainkan ponselnya berdecak tak suka.

"Ketuk dulu, bisa kali." Gadis itu merotasikan bola matanya. "Besok ada kelas pagi katanya."

Novan sama sekali tidak membalas pernyataan pertama. Ia malah duduk di kursi belajar Putri secara terbalik, menghadap adiknya. "Biasanya juga sering nginap walaupun besoknya masuk pagi. Kalian, kan, bisa pergi bareng."

"Besok Putri nggak ada kelas, Kak." Sang adik membalas tanpa menatap kakaknya. Ia memilih untuk memainkan ponselnya kembali.

Novan mengangguk beberapa kali sembari bergumam panjang. "Kalau gitu, berarti perginya bareng Kakak."

Putri mengalihkan pandangan dari ponsel ke kakaknya dengan gerakan lambat. Dahinya berkerut dalam serempak dengan bibir yang mengerut pula. "Dih, modus banget. Kalau mau boncengin dia, datengin aja langsung rumahnya."

"Ide bagus!" Novan menjentikkan jarinya hingga membuat Putri sedikit tersentak. Lelaki yang setahun lebih tua darinya itu beranjak dari duduknya dengan tergesa hingga kursi belajar milik Putri terjatuh.

Sebelum Novan benar-benar menjauhi pintu kamarnya yang terbuka lebar, Putri memekik hingga urat-urat lehernya kelihatan. "Dulu aja dilemparin pake jambu, sekarang malah dikejer-kejer."

Putri tertawa geli sebentar sebelum memutuskan untuk mendengar dalam hening. Tidak ada suara grasak-grusuk selain pintu yang terbanting. Mungkin, kakaknya itu memang benar-benar akan hitting on her bestfriend. Tidak masalah sebenarnya, tetapi ia akan memastikan nanti kalau kakaknya benar-benar serius.

Weekend-nya datang terlalu cepat. Khusus malam ini, ia akan merayakan hari tanpa tugas dengan marathon lakorn sambil makan snack. Namun, ia baru saja ingat kalau kakaknya suka sekali menerobos masu k dan memakan hampir seluruh keripik, wafer, dan cokelat miliknya. Jadi, setelah memakai hoodie-nya, Putri lebih dulu menghampiri kamar kakaknya.

"Kak, minta duit," katanya begitu baru saja membuka pintu dan mendapati kakaknya malah sibuk tiduran sembari memainkan ponselnya dengan wajah semringah hingga sudut bibirnya hampir menyentuh telinga.

"Hah?" Novan yang terkejut langsung saja memperbaiki posisinya menjadi duduk di tengah ranjang.

Putri mengembuskan napas panjang. "Minta duit, mau jajan. Kemaren, kan, cokelat sama keripik di kamar Putri, Kakak yang ngabisin."

Novan menatap adiknya lama sekali, sebelum akhirnya ia menunjuk meja belajarnya yang berseberangan dengan pintu. "Itu, ambil sendiri sana. Abis itu jangan ganggu lagi." Kemudian, lelaki yang setahun lebih tua dari Putri itu beralih memainkan ponselnya kembali-seolah sedang saling berkirim pesan dengan seseorang-dengan senyum semringah yang malah membuat Putri geli.

Dari banyaknya gulungan uang yang berserakan di meja belajar kakaknya, Putri memilih mengambil selembar uang berwarna biru muda. Gadis itu tersenyum girang sembari melangkah keluar dari kamar kakaknya.

Sebelum menutup pintu, Putri berucap keras, "Makasih, Kak Novan, kakaknya Putri yang paling ganteng. Semoga cepet jadian sama Nada, ya."

Dengan suara yang sama keras, Novan menyahut, "Aamiin. Doain aja, ya, Dek."

Meskipun wajahnya menunjukkan kerut di sana-sini, Putri tak memilih mempertanyakan kebingungannya. Ia memilih langsung pergi saja menuju minimarket dekat rumahnya, sekitar lima menit kalau berjalan kaki.

Kukis cokelat, permen aneka rasa, wafer vanilla, keripik kentang, jus jeruk, jus jambu merah; Putri masih terus mengitari rak-rak makanan ringan sembari menenteng keranjang berwarna biru berisi jajanannya. Berpikir dengan bibir menekuk, kira-kira apa lagi yang harus ia masukkan ke keranjangnya. Sebenarnya, tidak masalah kalau ingin memasukkan seluruh isi rak minimarket ke keranjangnya, tetapi ia khawatir jika kantongnya akan langsung jebol.

"Ambil cokelat sachet-nya aja, Kak. Kita lagi ada promo beli dua gratis satu," kata seorang lelaki dari belakang Putri, terdengar seperti karyawan minimarket tersebut.

Gadis itu berpikir sebentar, lalu mengangguk beberapa kali setelahnya. "Boleh, deh," sahutnya lalu bergerak ke rak yang berisi bungkusan macam-macam minuman instant. Putri mengambil tiga sachet minuman cokelat di antaranya.

Putri melirik lagi keranjang di tangannya sembari menimbang-nimbang. Begitu dirasa sudah cukup, ia beranjak hendak menuju kasir. Namun, langkahnya terhenti karena orang lelaki dengan jaket biru tua berada di depannya, tengah tersenyum ramah seperti karyawan mini market.

Lelaki itu menatapnya keranjangnya sebentar sebelum akhirnya berkata, "Ada membernya, Kak?"

Putri berkedip beberapa kali sebelum akhirnya tertawa geli. Karena sungguhan, Rian sudah sangat cocok menjadi karyawan dari sebuah minimarket.

***

Kedua muda-mudi itu duduk di kursi besi berukiran rumit yang berada di minimarket tersebut. Jajanan yang baru saja dibeli Putri tergeletak terbungkus plastik putih di bawah kakinya dengan logo minimarket tempatnya duduk saat itu. Dua cangkir cokelat panas berada di atas meja bulat di depan keduanya. Dibeli di minimarket yang sama sebelum Putri memutuskan untuk membayar seluruh belanjaannya.

Rian dan Putri serempak menyetujui untuk duduk di sana setelah berbelanja. Namun, sejak duduk di sana, tidak ada ucap yang mengudari dari kedua muda-mudi itu. Mereka hanya asik menikmati cokelat panas seraya memandangi langit yang bintangnya hanya muncul satu dua. Barangkali sebab cahaya dari gedung tinggi dari berbagai arah membuat bintang-bintang tak ingin menampakkan diri.

"Kamu belanja sebanyak itu, emang berencana mau borong isi minimarket, ya?" Tawa geli dari Rian sedikit memecah hening di antara mereka.

Putri melihat lagi kantong plastik di bawah kakinya. Isinya mencuat-memberi bentuk baru pada plastik. Gadis itu ikut tertawa ringan. "Buat stok sebulan, tuh, kayaknya. Itu juga kalo nggak dimaling Kak Novan."

Rian tertawa lagi. "Harusnya besok kamu minta dibeliin minimarketnya aja langsung sama Kak Novan."

Gadis itu hanya tersenyum saja. Rian tahu hampir segalanya-tentang orangtuanya yang selalu bepergian ke luar kota, kakaknya yang suka jahil pada semua orang-kecuali sahabatnya. Rian sepertinya tidak tahu kalau sepupunya bersahabat dengan pacar atau sekarang mantannya, begitu pula dengan Putri.

Namun, apakah Putri merasakan bahwa memang ada sesuatu yang sedikit janggal?

"Kali ini kebetulan lagi, nggak, Rian?" Putri yang mulai percakapan lebih dulu. Namun, ia sama sekali tidak mengalihkan pandangan dari langit malam yang memiliki warna sedikit oranye dan merah muda karena biasan cahaya dari gedung.

"Hm?" Rian menoleh sebentar, lalu ber-oh panjang sekali. "Kali ini beneran kebetulan, kok. Yang tadi siang baru direncanain." Lelaki itu mendapati jika Putri telah beralih menatapnya, maka ia melanjutkan ceritanya seolah memang sudah tahu kalau pertanyaan seperti ini akan dipertanyakan. "Aku sengaja ke Fakultas Sosial buat nyari kamu, ngajak makan bareng. Like you were told me."

"Nagih janji ceritanya?"

Rian bergumam panjang, lalu mengangguk sekali.

Putri diam saja, memandang Rian dengan sorot menerawang. Ia tidak mengerti, apakah tidak bertemu beberapa tahun mempengaruhinya sedemikian rupa. Rian yang tiba-tiba muncul hampir di setiap langkahnya, atau Putri yang hampir tidak bisa menolak permintaan mantan kekasihnya itu.

Ini sekadar wisata masa lalu atau memang sedang menempuh sesuatu yang baru?

"Kamu juga belum jawab permintaanku waktu itu."

Gadis itu berpikir lagi, Rian sedang membicarakan permintaan yang mana.

"Can we just be friends?" Lelaki itu menatap dengan binar mata yang agak biru. Seolah, kedatangannya kembali adalah hanya untuk sebaris kalimat itu. Ia mengembuskan napas lemah sebelum melanjutkan. "I mean, we can forget about our past. Dan, bisa, nggak, kamu memandang aku sebagai teman? Like all the friends you have; classmates, neighbors, or maybe ... childhood friends?"

"Friends, ya?" Putri mengembuskan napas panjang. Malamnya terlalu terang, tetapi tidak ada bintangnya sama sekali tidak menampakkan diri. Putri tidak tahu letak kesalahannya ada pada gedung bertingkat yang memakai ribuan watt untuk penerangannya atau pada sepasang manusia yang duduk berhadapan hanya untuk memastikan dari mana seluruh kejanggalan ini berasal.

"I don't know, but I think ... it's too fast." Gadis itu beralih menatap Rian lamat-lamat dengan binar sedikit biru. "Isn't?"

Tidak ada kerut-kerut yang hadir saat Rian tertawa. Lelaki itu menunduk sembari mengulum bibirnya, lalu menyesap cokelatnya lagi yang barangkali tidak hangat lagi sejak pembicaraan dingin mereka dimulai.

"I'm sorry, Rian."

"No, I'm sorry." Lelaki itu memberi tawa lagi, tetapi hambar. "You're right tho. It's too fast." Ia tersenyum lembut, yang untungnya lebih tulus dari tawa yang Rian lontarkan lebih dulu. "But I'll waiting for that time, Putri."

Putri membalas senyum lembut itu, menyesap sisa cokelatnya sampai habis kemudian. "You'll know, if you stay."

***

[ BABAK KETIGAselesai ]
[ next » BABAK KEEMPAT ]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top