Tragedi-Kesembilan
Di atas tikar yang digelar dekat stand konsumsi, Panca menemani Yudha yang terbaring. Sementara Ahim yang di sebelah mereka lagi-lagi memandang dengan pandangan kosong.
***
"Di mana ini?" Yudha bertanya kepada dirinya sendiri.
Area perkemahan yang sepi, tanpa tenda maupun segala macam unsur pramuka. Suasana pagi hari yang berkabut, daun-daun mengembun, dan pandangan yang buram di kejauhan.
Yudha melihat sesuatu. "Apa itu?"
Teman-temannya-yang telah mati-membuat lingkaran. Mereka memakai pakaian seragam pramuka lengkap. Wajah dan kulit mereka terlihat pucat sekali. Ekspresi mereka seperti menunjukkan sesuatu yang sudah tak bernyawa. Ebe, Leli, Ghani, Bila, Tiara, Fennia, Nanda, Risma, Feniana, Mei, Herlina, Dilla, dan Fathur. Mereka bertigabelas membuat lingkaran. Lalu menunjuk ke arah teman sebelah kanannya dengan tangan kanan yang terentang. Terus ke kanan, hingga sampai ke Ebe, ia menunjuk ke suatu arah. Gerbang masuk. Di atasnya tertulis, "EXIT".
Yudha pun mencoba berlari ke arah gerbang, namun tiba-tiba pandangannya menjadi gelap.
***
" Yudh! Yudh! Yudha! Kau tidak apa-apa?" tanya Panca. Yudha membuka matanya.
"Syukurlah! Nah benar 'kan, dia berhasil bangun...," kata Panca. Ahim hanya mengangguk.
"Di mana aku?" Yudha masih terlihat kebingungan.
"Kau tadi habis terbentur batu, lalu kau dibawa ke sini," kata Panca.
Lalu, datang Fifi dan Denok. "Ah, syukurlah kalian datang! Ini Yudha sudah bangun!" seru Panca.
"Ah, yang benar!?" Fifi dan Denok pun berlari menghampiri Yudha.
"Yudh, kau tidak apa-apa?" tanya Fifi.
"Iya," jawab Yudha.
"Bagaimana tadi Yudha bangunnya? Kau apakan sehingga bisa bangun? Heh, Ca?" Fifi banyak tanya karena cemas dengan Yudha.
"Aku tidak apa-apa," kata Yudha.
"Berapa lama aku tertidur?" tanyanya.
"Umm ... sekitar setengah jam?" jawab Panca.
"Hah? Berarti jam 5 sudah lewat? Siapa yang mati?" tanya Yudha cemas dan panik.
Semuanya menunduk kecuali Ahim. "Nana," jawab Fifi pelan.
Lalu, Fifi menceritakan bagaimana kematian Nana. Panca pun ikut tercengang mendengarnya.
Yudha hanya menunduk. Ia berkabung dan berdoa untuk Nana, temannya.
"Yang terpenting, apa kau baik-baik saja?" tanya Fifi.
"Iya, aku tidak apa-apa," jawab Yudha
"Syukurlah," kata Fifi.
"Tapi tadi aku bermimpi.... Bermimpi bertemu dengan teman-teman kita yang telah mati. Mereka membentuk lingkaran, dan Ebe menunjuk ke arah gerbang masuk. Di atasnya tertulis exit, jalan keluar."
"Heh? Beneran?" seru Denok.
Ahim menggumam, "Gerbang masuk."
"Apa maksud dari gerbang masuk sebagai jalan keluar, Him? Apa kau tahu sesuatu?" tanya Yudha penasaran. Ahim hanya diam dan menunduk ke bawah.
Lalu, datanglah Uyut dan Qiqit. "Wah Yudha sudah bangun!" kata Qiqit.
"Alhamdulillah...," ucap Uyut.
"Shilka mana?" tanya Denok.
"Tadi Shilka kupaksa ke mari, tapi dia bersikeras untuk terus menggali, mungkin ia begitu karena ia menggali kuburan yang terakhir," jawab Qiqit.
"Lalu kenapa kau tinggal dia?" tanya Denok.
"Karena kami khawatir dengan Yudha," jawab Qiqit.
"Cepat susul Shilka!" perintah Denok.
"Haiyah, kan cuma di sana doang sih.... Emang ada apa sih?" Uyut merasa tak setuju untuk melaksanakan perintah Denok.
"Nggak apa-apa, sih...."
"Daripada bertengkar, aku punya cara untuk mendapat petunjuk baru," kata Yudha. Semua teman-temannya teralihkan perhatiannya.
"Apa itu?" tanya Panca penasaran.
"Ketika aku tertidur tadi 'kan aku mendapat petunjuk tentang gerbang masuk dan tulisan "EXIT" di atasnya, maka dari itu, aku meminta kalian untuk tertidur juga supaya bisa mendapat petunjuk baru."
"Heh-?" Fifi, Denok, dan Uyut terkejut.
"Mendapat petunjuk baru? Kalau begitu aku ikut," kata Qiqit.
"Aku juga," kata Ahim. Yang lain terkejut, lalu kembali bersikap seperti biasa.
"Yang lain?" tanya Yudha.
Mereka saling pandang. Lalu Uyut berkata, "Aku tidak ikut. Aku takut. Tapi aku akan menjaga dan menunggu kalian yang tidur."
"Ya sudah aku menemani Uyut," kata Denok.
"Aku ikut tidur saja lah," kata Fifi.
Panca melihat ke arah teman-temannya dan ingin mengatakan sesuatu, tetapi dipotong oleh Fifi.
"Kamu menemani yang lain saja, Ca, kasihan perempuan-perempuan doang." Panca pun mengiyakan saja.
"Jadi, bagaimana kita akan tidur?" tanya Qiqit.
Yudha menoleh ke arah bebatuan. "Mustahil.... Enggak mau aku!" seru Fifi ketakutan.
"Fi," kata Qiqit meyakinkan temannya, "tidak apa-apa."
Lantas Panca mengambil batu berukuran sedang, lalu mengarahkannya ke belakang kepala Yudha. "Yang perempuan jangan lihat!"
Panca mengayunkan batu sekuat tenaga. Daaakkkk-! Batu itu mengenai bagian belakang kepala Yudha. Yudha lalu merasa pusing sejenak dan tersungkur di atas tanah.
Buaaakkkk-! Batu mengenai belakang kepala Ahim. Ahim tersandar pada batang pohon.
"Tutup mata, Qit," kata Panca. Buuukkkk-! Panca mengayunkan batu dengan agak keras ke arah belakang kepala Qiqit, menyebabkan Qiqit tersimpuh di atas tanah.
Terakhir Fifi. "Jangan dendam ya, Fi," kata Panca. Fifi hanya menutup mata pasrah dan tubuhnya agak gemetaran. Buugggghh-! Fifi terbaring di atas tanah.
Mereka berempat pun berhasil dibuat pingsan. Lalu, mereka diletakkan saling bersebelahan dengan alas tikar dari tenda sangga terdekat. Panca, Uyut, dan Denok menunggui mereka dengan sabar dan penuh harap, meski tak tahu akan jadi apa nantinya.
***
"Sudah setengah jam nih," kata Denok.
"Mereka dapat mimpi apa ya?" tanya Panca.
"Mimpi apa sih?" Uyut bertanya karena belum mengerti apa yang dibicarakan.
Denok pun mulai menjelaskan.
"Itu, tadi Yudha pingsan, 'kan? Nah pas itu dia mimpi kalau dia ketemu teman-teman kita yang sudah mati. Nah, mereka seperti membuat lingkaran begitu. Lalu Ebe menunjuk ke arah gerbang masuk yang bertuliskan exit. Mungkin itu jalan keluar. Nggak tahu juga sih."
"Oooo...." Uyut berseru paham.
***
Jam 17.54
"Sial! Kita lupa dengan Shilka! Ca, jemput, Ca! Buruan!" perintah Denok. Panca pun berlari ke arah kuburan.
Beberapa menit berlalu...
"Kenapa Panca dan Shilka tidak datang-datang!" tanya Denok panik. Ia dan Uyut menunggu dengan dipenuhi rasa ketakutan dan kekhawatiran.
Hingga, jam telah menunjukkan pukul 18.00
Mereka berdua melihat ke arah keempat temannya yang tertidur. Semuanya sehat walafiat.
"Mustahil...," kata Denok.
"Tidak mungkin...," kata Uyut, "ini berarti...."
"Yut, ayo ke kuburan!" ajak Denok. Uyut dibantu Denok pun berjalan tergesa-gesa menuju ke kuburan.
Di tengah jalan, mereka bertemu Panca yang berlarian. "Panca! Kau tidak apa-apa? Ini berarti...." Wajah Denok berubah menjadi sedih.
"Nok, Yut, siapa yang mati?" tanya Panca dengan cemas.
"Hah?" Wajah Denok berubah menjadi kebingungan.
"Siapa yang mati!?" Panca mengulangi pertanyaannya.
"Bukan Shilka-?" Denok bertanya balik dengan wajah kebingungannya.
"Shilka baik-baik saja! Dia tidak mau diganggu tadi jadi aku menungguinya sampai jam 6. Lha kalian!? Yang tidur itu bagaimana?! Apakah sudah kalian periksa?!" tanya Panca panik.
"Santai dong! Sudah pastinya!" jawab Denok.
"Ah yang benar!?" Panca tak percaya.
"Nok ayo kita lihat lagi!" ajak Uyut.
Lalu mereka bertiga dengan tergesa-gesa menuju ke titik kumpul. Teman-temannya yang di sana baik-baik semua.
"Apa maksudnya ini?" Denok kebingungan. "Apa ini berarti...?"
"Kutukan telah berhenti...?" kata Uyut.
"Yeeeeayy ... alhamdulillah...." Denok dan Uyut saling berpelukan dan menangis terharu.
Panca yang turut bahagia lalu berlari menuju kuburan menemui Shilka dan menemukan bahwa Shilka baik-baik saja.
"Kutukan telah berhenti!" teriak Panca ke arah Shilka, lalu ia berlari menuju titik kumpul.
***
"Heh Nok, jemput Shilka yuk. Mungkin dia sudah selesai. Kasihan sendirian di sana," ajak Uyut.
"Oke," balas Denok, "Ca, tunggu di sini lho!"
Lalu, mereka berdua menuju ke kuburan. Dan, melihat....
"Wah kuburan terakhir sudah jadi!" seru Uyut.
"Wah iya ya," kata Denok.
Uyut melihat ke sekeliling. Ada delapan lubang kuburan. "Di mana Shilka?" tanya Uyut.
"Yut...." Denok memegangi tangan Uyut sambil bergetar hebat. "Shil-ka...." Wajah Denok berubah menjadi ketakutan.
Di tengah-tengah kuburan peserta XII MIPA 1, tepatnya di atas kuburan sang ketua kelas-Fathur, pada pohon yang agak besar, Shilka menggantung dirinya menggunakan tali pramuka. Matanya melotot dan lidahnya terjulur. Mukanya menunduk ke bawah.
"Padahal tadi pas batas waktu tidak terjadi apa-apa! Padahal tadi tidak ada yang mati!" Uyut memangis histeris.
"Yut, Shilka telah bunuh diri...," kata Denok.
"Tidak mungkin! Tidak mungkin! Huhuhu...." Uyut semakin histeris. "Bukankah kau sudah tahu kalau kutukan sudah berhenti-!" Uyut berteriak ke arah mayat Shilka.
Uyut dan Denok pun melihat lebih dekat. Terdapat secarik kertas menempel di kerudung Shilka. Denok mengambilnya. Kertas itu bertuliskan kata-kata dengan spidol merah.
"kutukan tak akan berhenti
kutukan akan terus berlanjut
hingga kita semua tak tersisa satu pun"
Uyut menjadi sangat marah dan kesal. "Apa maksudnya ini! Mengapa kau percaya dengan hal ini?! Apa hanya dengan hal ini saja kau rela mengakhiri hidupmu!" Aku tahu kau sangat menyayangi Fathur, tapi ... tapi ... teganya kau tinggalkan aku..., batin Uyut dalam hati.
"Ya sudah ayo kita menemui Panca!" ajak Denok yang juga menangis dan ketakutan.
Mereka berdua pun berjalan cepat menuju Panca. Mereka melihat Panca yang mengarahkan tangannya ke empat temannya. Ternyata keempat teman yang lainnya telah sadarkan diri. Tetapi, ekspresi Panca menunjukkan ketakutan yang sangat.
"Shilka ... Shilka telah mati gantung diri!!!" seru Uyut dengan wajah menakutkan.
Panca bertambah ketakutan dan bergidik ngeri mendengarnya. Sementara, teman-teman yang baru tersadar terlihat kebingungan.
Uyut dan Denok menunjukkan ekspresi horor ke arah empat temannya yang telah terbangun.
"Kenapa kalian?" tanya Uyut ketakutan.
Keempat temannya menunjukkan wajah dan perilaku seperti sehabis diracuni oleh seseorang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top