B4b 1 - B4g14n 5 (Th3 G4mblr)

The Heaven Wrath Main Camp, North Midwest County, Olnymp State (26th July 2019)

Wajah-wajah tegang mewarnai rapat dadakan yang dipimpin oleh Robin. Ia telah berdiri sambil menunjuk cetak biru peta spesifik Kota Midwest County. Robin memaparkan strateginya, cara dia menjelaskan terdengar tegas diiringi suara helikopter dan para tentara yang tengah berjalan serentak dengan langkah berat mereka di luar sana.

"Daerah yang terkena ledakan bom telah dikonfirmasi berada tepat di pertahanan terdepan. Tak hanya kesatuan Kapten Hamilton dan Letnan Faurlin yang diserang, tetapi para pengecut itu juga membunuh warga sipil. Dari situasi seperti ini, aku memutuskan untuk menggagas taktik flankingkita akan menyerang dari dua arah, sementara pasukan yang berada di tengah mengalihkan perhatian para pemberontak," Robin menaruh kedua tangannya di atas meja sesekali melihat ke tempat Oda duduk memerhatikannya dengan saksama, "Begitu kita sampai di sana pada pukul 2200, aku akan memerintahkan grup yang terbagi menjadi tiga—Sersan Emily Hayes; kuperintahkan kau membawa 15 pasukan light infantry untuk ditempatkan pada sayap kiri dan berisap untuk penyergapan," perempuan berkulit hitam dengan seragam loreng biru gelap dan topi marinir itu berdiri lalu memberi hormat kepada Robin tanda ia siap melaksanakan tanggung jawab, "Sersan Michael Carr; kuperintahkan kau membawa 15 pasukan heavy infantry yang akan menjadi umpan musuh di titik tengah, pastikan untuk menghemat perbekalan dan peluru—aku menyarankanmu untuk membawa robot tempur kita." Sersan Michael Carr juga memberi hormat kemudian Robin berdehem, "20 pasukan sisanya akan kupimpin sendiri sebagai tatctical team, berfokus untuk menolong warga sipil yang masih terjebak di garis depan pertahanan. Setelah peperangan pecah, pastikan radius pertempuran tidak lebih dari 3 mil zona aman di mana warga sipil berada," Robin menunjuk sebuah tanda silang yang dimaksud dalam peta, "Jumlah kita mungkin sedikit, tetapi aku yakin Surga berada di pihak kita."

Seseorang mengangkat tangannya; tidak lain tidak bukan adalah Oda.

"Kau tahu berapa jumlah pemberontak yang tersebar di garis depan pertahanan kita?"

Kata-katanya lancang bagaikan peluru yang melesat tajam. Para sersan dan kopral yang tengah duduk di ruang briefing terlihat cemas, mereka berbisik ke rekan di sebelahnya kebanyakan sepakat berkata bahwa misi ini tak lebih daripada misi bunuh diri. Dan kejamnya lagi, orang yang membocorkan misi itu adalah Oda—tangan kanannya Robin. Namun, Robin terlihat tak terintimidasi sedikitpun malah dia terkekeh mendengar pertanyaan Oda.

"Pertanyaanmu terdengar seperti orang yang putus asa, Penasihat Oda. Tentu saja aku tahu; jumlah mereka ada dua ratus lebih; oh spesifiknya—250 prajurit pemberontak dengan persenjataan lengkap dan pasukan elit," tantang Robin seraya mengangkat salah satu alisnya.

"Begitu, ya. Kau yakin taktik flanking ini ampuh? Mengapa tidak mencoba untuk mengonsentrasikan kekuatan penuh prajurit kita di tengah? Dengan demikian, kalian bisa mengulur waktu musuh hingga bala bantuan tiba lalu merebut kembali pesisir kota. Apalagi, jumlah musuh tiga kali lipat lebih banyak?"

Para prajurit yang duduk berbisik lagi dan mulai sepakat dengan pernyataan Oda. Di sisi lain, Robin berjalan ke arah Oda lalu membungkukkan badannya sehingga mereka berhadapan satu sama lain. Gelas yang ada di meja Robin bergetar ketika ada tiga buah robot dengan masing-masing memiliki tinggi 4 meter berjalan untuk ikut dalam barisan. Mereka adalah robot keluaran tahun 2009—jenis awal yang hanya memiliki 3 jari seperti capit boneka yang biasa dimainkan di pasar malam. Namun telah dilengkapi senjata machine gun dan peledak, sehingga robot itu cocok digunakan pada serangan di garis depan.

"Tugas kita adalah menyelamatkan sisa dari kesatuan Hamilton yang masih terjebak di sana, dengan prioritas mengevakuasi warga sipil dari serangan susulan pemberontak. Aku tidak berminat untuk mengambil alih kota—setidaknya untuk saat ini hingga warga sipil telah berada di tempat aman."

Oda menggelengkan kepala seraya melepas kacamatanya, "Lantas siapa yang akan meminta bala bantuan kepada Presiden sementara kau terjun langsung ke lapangan untuk berperang? Kita berada di situasi yang tidak menguntungkan, Robin."

Jari telunjuk Robin mengarah ke tempat Oda duduk, disusul para prajurit yang juga menengok ke arah Oda. Sementara Oda, keheranan kemudian tertawa kesal.

"Aku? Maksudnya apa?" tanya Oda dengan nada meninggi.

"Tentu kau yang akan membujuk Presiden untuk mengirim bala bantuan ke garis depan. Presiden berada di pihak kita dan kau, Takeshi Oda, memiliki kemampuan persuasif paling licik sedunia. Aku yakin kau bisa melakukan tugas ini."

Dia menggigit bagian dalam rahang lalu membuang tatapan kesalnya.

"Begini, Presiden menginginkanmu untuk menghadiri rapat darurat di Gedung Suci, keesokan harinya akan ada rapat lagi di Gedung Oval. Dia menunggu kehadiranmu sebagai perwakilan dari The Heaven Wrath bukan mengutus penasihatnya," ujar Oda seraya memainakn gestur tangannya, kemudian Robin memberikan tanda isyarat kepada Sersan Emily untuk mengambil Piagam Mandat Militer yang tersimpan di lemari, "Kau mengerti maksudku, 'kan?" sambungnya, Robin hanya mengangguk pelan.

Kehadiran Emily yang membawa Piagam Mandat Militer membuat Oda terbangun dari tempat duduk. Namun, Robin menyuruhnya untuk tetap tenang dan membiarkan penjelasannya mengalir. Piagam tersebut telah berada di tangan Robin dan siap berpindah tangan.

"Aku tidak hanya mengutusmu untuk meneruskan pesan dariku kepada Presiden dan anggota kongres. Kau bisa lihat Piagam ini, Penasihat Oda?" kata Robin yang berhasil mencuri perhatian penasihatnya itu, "Dengan berpindahnya Piagam Mandat Militer ke tanganmu. Takeshi Oda, kau diperbolehkan untuk memberi keputusan serta bertanggung jawab menjaga keutuhan The Heaven Wrath hingga aku kembali dari medan perang—semoga," sambungnya.

"Sepertinya aku tidak memiliki pilihan lain, bukan begitu?" tanya Oda.

"Kita bertarung demi memulihkan perdamaian dan menolong rakyat keluar dari kesengsaraaan. Tentunya, aku tidak bisa meninggalkan para prajurit ini sendirian di medan pertempuran. Sejak berumur 15 tahun aku bergabung dalam militer, hatiku telah menyatu dan menganggap para prajurit ini sebagai saudara sendiri dan markas ini sebagai rumahku," akunya seraya menaruh piagam itu di meja Oda, "Mereka membutuhkan sosok pemimpin di sana. Apalagi, belum ada kabar dari dua perwira kita—Hamilton dan Faurlin. Aku tidak bisa meninggalkan mereka, Oda."

"Biarkan aku yang terjun ke medan pertempuran dan kau menemui Presiden. Aku sungguh tidak bisa menerima mandat ini, Robin," ungkap Oda.

"Omong kosong! Kata-katamu barusan adalah hal paling tak masuk akal yang pernah kudengar dari orang paling jenius seantero galaksi. Aku harus berkata lancang sepertinya agar kau mengerti maksudku. Takeshi Oda! Kau tidak memiliki pengalaman bertempur di medan perang ataupun berlatih di barak. Pekerjaanmu hanyalah penasihat yang bekerja di balik meja. Dengan segala hormat, aku tidak akan mengoper tanggung jawab ini kepada orang lain," tegas Robin.

Para prajurit itu langsung menunduk ketika mendengar perkataan pemimpinnya. Hati Oda pun tergerak, walaupun dia memang tidak pernah terjun untuk berperang ataupun mendapat pelatihan militer dalam sebuah barak. Bagaimanapun, Oda tetaplah ahli strategi dalam konteks peperangan. Dia dapat merasakan apa yang dirasakan oleh pemimpinnya.

Piagam pun telah berada di genggamannya.

"Aku akan menerima ini dengan satu syarat."

Raut wajah para prajurit berubah menjadi sumringah dan tenang karena tahu pemimpin mereka akan ikut berperang. Begitupun Robin, mata hijaunya berbinar-binar setelah mendengar ucapan penasihatnya walaupun dia menginginkan satu persyaratan.

"Sebutkan," kata Robin singkat.

Oda mengeratkan tali suspender beltnya kemudian menghela napas panjang, "Aku suka berjudi—bukan secara harfiah berjudi untuk hal materiel, melainkan perjudian untuk membuktikan bahwa aku dan kau memiliki kapabilitas dalam memutuskan keputusan ini," suara rendah Oda cukup mengintimidasi Robin—ia menelan ludah seraya menunggu sambungan kalimatnya, "Jika aku berhasil mengirim pasukan bantuan ke medan pertempuran tetapi kau gagal mengevakuasi warga sipil dengan taktikmu itu," Oda melekatkan tatapan tajamnya yang menusuk pikiran Robin bagaikan belati, "Apakah kau bersedia menerima hukuman dengan memenggal kepalamu di hadapan pengadilan?"

Deg!

Para prajurit yang tentunya berada di pihak Robin langsung berdiri mengelilingi Oda. Sementara Sersan Emily dan Sersan Michael berdiri di samping Robin mencoba untuk mengintimidasi Oda yang dengan percaya diri menawarkan syarat tersebut.

"Kau lancang, Oda! Direktur, aku mohon jangan dengarkan perkataannya. Lebih baik kita fokus dengan taktik ini," bela Emily sekaligus mencoba untuk menghiraukan Oda. Hati prajurit itu tak bisa berbohong. Dia khawatir jika Robin akan menerima tawarannya.

"Jika kau ingin memenggal kepala Direktur Robin. Kau harus langkahi mayatku terlebih dahulu," ancam Sersan Michael yang bersiap mengeluarkan belatinya dari saku sepatu.

Robin meminta agar para prajurit pemberaninya tenang. Mereka sangat mematuhi perintah sang pemimpin lalu mengalihkan perhatian lagi ke topik pembahasan dengan Oda.

"Bagaimana Direktur Robin, kau sepa—"

"Ya, aku sepakat."

Para prajuritnya langsung menatap Robin dengan tatapan tak percaya. Apalagi Emily, dia tidak menyangka mematuhi persayaratan Oda dan menghiraukan aspirasi bawahannya. Namun Robin memiliki alasan tersendiri mengapa ia berani menerima tawaran tersebut. Robin memegangi bahu Emily lalu tersenyum tipis.

"Tenang saja, Oda berada di pihak kita. Tentunya, tawaran ini memiliki sebuah arti, bukan? Dalam pertempuran ini kita tidak memiliki opsi lain selain menang. Kalian harus memahami maksud dari Penasihat Oda, prajurit!"

Sungguh luar biasa pemikiranmu, Robin. Kau adalah pemimpin yang bijaksana, kagum Oda dalam hatinya.

Sersan Emily menitiskan air mata. Ia tidak siap melihat hal buruk menimpa Direktur Robin, mungkin mereka sering bertempur bersama dan menyaksikan nyawa Direktur Robin dalam bahaya. Namun untuk satu ini, Emily tidak rela jika Robin mati karena eksekusi, "Sersan Emily—Em?" panggil Robin, "Tangisanmu akan merusak moral tentara kita, kau harus segera menyekanya sebelum ada yang melihat."

Perempuan itu hanya mengangguk.

"Yah, jika aku boleh meminjam kata-katamu, Penasihat Oda. Bagaimana jika aku memberikanmu satu syarat juga."

"Sebutkan," kata Oda sambil tersenyum tipis.

"Jika kau gagal mengirim bala bantuan dan kami tewas di medan pertempuran. Dengan segala hormat, apakah kau bersedia untuk menerima hukuman untuk memenggal kepalamu di hadapan militer?"

Para prajurit langsung mendesak Oda untuk menerima tawaran Robin. Uniknya baik Oda ataupun Robin, mereka sama-sama tersenyum seolah permainan maut ini adalah hal lucu di mata keduanya.

"Sepertinya aku tidak punya pilihan lain. Ya, aku menyepakatinya!"

Sersan Michael langsung pergi dari ruang briefing untuk mengambil salinan berkas hukum militer. Dia sangat bersemangat hingga membuat Robin terkekeh.

"Well, sepertinya semua orang yang ada di ruangan ini sangat menginginkanku untuk mati, ya?" celetuk Oda dibalas dengan tatapan sinis para prajurit.

Sersan berbadan atletis mengenakan rompi anti peluru itu kembali sambil membanting pulpen beserta berkas di hadapan Oda, "Nah, sekarang kau tanda tangan berkas itu agar bisa diproses oleh kantor pusat militer," tegasnya.

Setelah proses singkat tersebut selesai, Robin meminta agar forum duduk tenang seperti semula. Di luar sana, para prajurit masih setia menunggu arahan. Dari tatapan mata mereka yang tajam dan cara berdiri yang tegak—sisa pasukan dari kesatuan The Heaven Wrath benar-benar kokoh seperti akar yang menopang pohon dari tiupan angin.

"Thus my command to deploy the army at once. Sergeant Emily and Michael, muster the infantry and wait for my signal to charge the enemy on the front line!"

"Yes, Director!" seru mereka serempak.

"Alright, now dismissed."

Pertempuran pun dimulai. Semuanya terasa lebih panas setelah disepakatinya perjanjian maut antara Oda dan Robin. Tersisa kedua orang itu yang ada di ruangan briefing, tak ada dendam ataupun benci terpancar dari sorot mata mereka.

"Aku berjanji akan mengirimkanmu bala bantuan, Robin," kata Oda lirih.

Keduanya melihat pasukan telah berbaris rapih. Langit malam yang pekat dengan bekas asap dari ledakan bom mewarani pertempuran ini. Nasib Midwest County ada di tangan Robin dan Oda.

"Tentu, aku bisa mengandalkanmu, Oda. Sampai bertemu selepas perang nanti," jawab Robin seraya mengedipkan salah satu matanya kemudian pergi untuk memberikan kalimat singkat kepada prajurit sebelum pergi bertempur.

***

Reruntuhan dinding dan besi menimbun kakinya yang mati rasa dalam keadaan gelap gulita di lapangan bisbol nan sunyi seperti pemakaman tua. Adrianne perlahan membuka mata yang menangkap setitik cahaya tetapi penglihatannya buram. Dahinya berdarah dan tenggorokannya terasa sangat kering—ia menelan ludah kemudian mengecap mulut yang terasa asin karena darah.

"Hei, lihat! Ada seseorang yang masih sadar," serunya berhasil memicingkan mata Adrianne karena silau.

Suara berat dan cahaya senter itu mencuri perhatian Adrianne.

"Ya ampun, bagaimana dia bisa selamat?" sahut temannya yang memiliki suara lebih tinggi.

Kedua orang itu mengenakan jaket kulit lengkap dengan sarung tangan hitam, dan masker gas anti racun sehingga wajah mereka tak nampak jelas.

"Aneh sekali, bagaimana dia bisa selamat dari radiasi bom ini, Bung?"

"Sudahlah, kita harus menyelamatkannya. Cepat angkat potongan beton ini," pungkas si suara berat lalu memapah Adrianne.

Lengannya terasa aneh dan tulang punggungnya seperti baru saja ditimpa dengan batu beton. Jangankan untuk berteriak—Adrianne pun tak mampu meringis untuk memberi kode kepada dua orang misterius tersebut. Dia hanya bisa menitiskan air mata untuk menahan sakit bahkan kakinya harus diseret karena tak dapat digerakkan. Saat diselamatkan dari lorong kematian nan gelap, Adrianne yang setengah sadar memanggil nama Max dalam hatinya. Sayang, ia tak bisa menemukan Max di mana-mana. Butiran air matanya semakin deras dan membuatnya makin menderita lagi—ia tak mampu berkata apa-apa.

Kegelapan itu menelan mereka, tetapi di bawah cahaya bulan, api, dan lampu senter nampak banjir darah serta potongan tubuh manusia yang tak menyatu berserakan seperti daun gugur. Usus terburai keluar, isi otak bercecer karena tertimpa benda berat, sesekali orang yang membawa Adrianne menginjak potongan tubuh hingga jeroan lembek itu. Bau menyengatnya dapat tercium jelas di hidung, apalagi beberapa mayat ada yang hangus terbakar akibat aliran listrik. Perut Adrianne terasa mual tetapi ia tak bisa muntah, terpaksa menelan kembali cairan empedu pahit yang sudah menyangkut di tenggorokan.

Kedua orang tadi berkumpul kembali dengan kelompoknya. Pakaian mereka pun sama—lengkap dengan sarung tangan, masker gas, dan senjata laras panjang. Namun kedua orang itu membawa Adrianne ke tempat seorang berbadan tegap tengah berdiri di sebelah tiang bendera Olnymp State yang patah. Ia menatap langit malam selanjutnya mengambil bendera Olnymp State yang bolong akibat terbakar ledakan.

"Ketua Aidan, lihatlah! Kami menyelamatkan seseorang dari timbunan di sana," kata orang yang baru saja menyelamatkan Adrianne sambil menunjuk objek yang dimaksud. Ternyata masker gas itu memengaruhi suara mereka sehingga terdengar aneh.

Seorang ketua bernama Aidan itu lalu berlutut untuk memeriksa kondisi Adrianne yang sangat berantakan. Wajahnya lebam dan penuh noda darah serta abu, tetapi dari balik masker gas tersebut Adrianne samar-samar melihat sorot mata laki-laki yang ada di hadapannya—sebuah sorot mata tajam dan tak kenal takut—seperti mata seekor harimau.

"Cepat, cari orang-orang yang masih selamat. Kita harus segera mengevakuasi mereka dari tempat ini!" serunya kemudian memapah Adrianne pergi dari tempat itu.

Namun, hati Adrianne semakin teriris karena tak bisa menemukan adiknya.

Di mana kau, Max? batin Adrianne seraya menahan rasa sakit yang menghujam tubuh kecilnya. Tentu, rasa sakit itu juga mewakili dukanya karena kehilangan Max.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top