5
"Tenangkan dirimu Ryn. Ini aku."
Aku mendongak dan menatapnya kaget. Sedikit menahan malu karena sempat memikirnya hantu tadi. Apalagi sudah berteriak seperti itu padanya.
"kau? Jack?"
Tiba-tiba, Jack sudah menarik pergelangan tanganku dan membawaku ke depan asrama putri.
"Bajumu basah. Ayo ke ruang kesehatan."
"Tidak perlu. Aku baik-baik saja," jawabku cepat.
Jack tampak mengangkat alis,
"Jangan hujan hujanan. Cepat ganti baju. Kau bisa sakit. Hati-hati, cuaca dapat berubah setiap saat."
Setelah mengatakan itu, Jack berlalu pergi, meninggalkanku yang masih terbengong menatap kepergiannya.
Maunya apa sih anak itu? Tentu saja aku pasti akan melakukan itu semua tanpa ia mengatakannya terlebih dulu padaku.
Aku mengganti bajuku dan mengeringkan rambutku dengan hair dryer yang tersedia di dalam kamarku. Hujan badai di luar masih setia turun seakan akan memang ingin menghantuiku sepanjang malam ini.
Aku sendiri bingung bagaimana bisa aku takut dengan hujan. Apa mungkin dari kecelakaan yang pernah kualami?
***
Seorang gadis kecil dengan rambut hitam dan warna mata biru yang indah melompat-lompat riang.
Gadis berumur 6 tahun itu memang senang sekali dengan yang namanya liburan, apalagi liburan di musim salju yang selalu menjadi musim favoritnya.
"Ma ... kita mau pergi ke mana?" tanya gadis berumur enam tahun itu.
"Rahasia dong. Nanti Ryn bisa tahu sendiri," jawab seorang ibu berambut biru tua dengan warna mata yang sama dengan buah hatinya itu.
"Yah mama ... ya sudah deh. Ryn menunggu saja. Mama tidak bohong kan? Tempat yang kita kunjungi pasti seru kan?" tanyanya lagi.
Sang ibu tertawa lalu mengelus puncak kepala anaknya.
"Tentu saja ... Mama tidak akan berbohong padamu."
"Sudah siap untuk perjalanannya?" tanya papa memastikan.
"Sudah!" jawab gadis yang bernama Ryn itu bersemangat.
Sang ayah tersenyum lalu mulai mengendarai mobilnya ke tempat wisata yang dituju oleh keluarga kecilnya itu.
Gadis itu mewarisi rambut hitam ayahnya dan mata biru cerah milik ibunya. Mereka selalu tampak seperti keluarga kecil yang berbahagia.
Mereka berangkat dengan sebuah mobil berwarna silver sambil bersenda gurau riang.
Cuaca saat perjalanan kala itu tampak cerah walau pun salju tetap turun sedikit demi sedikit. Ryn memandang keluar jendela dan tak henti-hentinya berdecak kagum.
Semakin mereka menaiki gunung itu, hujan salju semakin lebat. Tapi itu tidak menjadi masalah, ini memang pertengahan musim salju jadi wajar bukan? kalau ada hujan salju?
Keluarga kecil itu masih asik bercengkerama sambil terus memerhatikan kendaraannya dan menyetir dengan kecepatan sedang.
"Sebentar lagi mau sampai lho Ryn. Tebak kita mau ke rumah siapa?"
"Benarkah?" tanyanya antusias sambil mengingat-ingat jalan yang dilaluinya.
"Kita mau ke runah Carol kan ma? Aku ingat jalan ini, rumahnya yang ada di puncak gunung itu kan?" seru Ryn penuh semangat.
Mereka semua tampak berbahagia. Liburan kali ini Ryn mengunjungi rumah sahabatnya dan juga sahabat mama dan papanya.
Tak beberapa lama kemudian, Badai pun datang secara tiba-tiba. Tanpa mereka ketahui, bencana besar sebentar lagi akan menghabisi nyawa mereka ...
"Ada truk di depan sana!" pekik mama tiba-tiba.
Namun tak sampai satu detik untuk menyadarinya, truk yang melaju dengan kecepatan tinggi itu sudah menubruk mobil keluarga Ryn hingga terjatuh masuk ke dasar jurang ...
***
"Pa! Lihat itu ... Ada kecelakaan! Kita harus menolongnya," seru gadis berumur lima tahun pada papanya.
Cukup mengerikan juga kecelakaan yang terjadi di depan mata kepalanya sendiri bagi usianya yang baru menginjak usia lima tahun.
Kedua orang tua itu langsung sigap turun menuju mobil yang masuk ke jurang tersebut.
"Kezia tunggu di sini ya!" seru mamanya dan berlalu pergi untuk mengecek korban.
Dengan hati-hati mereka berdua berusaha membuka pintu mobil dan mengeluarkan korban dari mobil yang sudah rusak parah itu.
Raina buru-buru menelepon ambulans sambil berusaha mengeluarkan korban.
"Mama ... papa ..." isak seorang gadis kecil yang samar-samar terdengar oleh Raina.
"Astaga! Mereka membawa anak kecil," pekiknya.
Setelah berhasil, mereka berdua mencoba menenangkan gadis yang kira-kira berumur enam tahun itu sambil menghambat pendarahan luka di kepalanya yang cukup parah.
Gadis itu terus terusan menangis dan menjerit memanggil mama dan papanya yang telah tiada itu lalu kesadarannya pun menghilang di sela-sela tangisannya ...
***
Aku terbangun sambil berteriak dan menangis terisak.
"Mimpi buruk macam apa ini?!"
Aku menangis keras. Mimpi itu terlalu mengerikan untuk dibilang sebuah mimpi. Semuanya terasa nyata dan terasa begitu menyakitkan.
Sekeping ingatan tentang hujan badai yang mengungkap kejadian kecelakaanku dalam masa lalu itu berhasil membuatku ketakutan.
Aku mengingatnya! Pertanyaanku terjawab sudah. Papa, mama dan Kezia hanyalah keluarga yang menolongku. Mereka memang bukan orang tua kandungku. Kenyataan itu semakin membuatku terisak hebat dan menjerit keras.
"Ryn! Kau tidak apa-apa?" Samar- samar kudengar suara Irene di luar kamar.
Aku tidak menjawabnya. Aku tetap menangis keras sehingga dengan nekatnya Irene membuka pintu kamarku. Irene memekik kaget.
"Ryn ... kamarmu--" kata-kata Irene terputus karena ia memang tak sanggup lagi untuk melanjutkannya.
Aku mendongak dan ikut terkejut saat melihat keadaan kamarku saat ini.
kamarku sudah penuh dengan salju dan membeku. Kulihat Irene mematung di tempat dengan raut wajah kaget sambil terus melihat keadaan kamarku yang sangat kacau ini.
"Aku bisa memanggil miss Sheila sekarang."
"Tidak perlu."
"Tiffany ...," tambahku dengan nada lebih tenang meski cukup sulit untuk berbicara lebih jelas.
Irene mengangguk cepat lalu berlari keluar kamar. Aku masih berusaha untuk tidak memikirkan mimpi itu dan berusaha menenangkan diri.
"Astaga! Apa yang terjadi Ryn?"
"Tiffany," panggilku pelan.
"Aku ada di sini tenangkan dirimu Ryn," jawabnya setenang mungkin.
Aku tahu perkataannya itu tidak sesuai dengan kenyataannya karena aku sudah melihat jelas wajahnya yang pucat pasi.
"Kenapa kau bisa seperti ini?"
Aku kembali terisak.
"Mimpi itu," kataku berusaha menjawab.
"Mimpi apa?"
"Kejadian hari itu--"
Tiffany tampak gelagapan dan wajahnya pun semakin pucat.
"Kecelakaan," lanjutku lalu kesadaranku pun hilang total.
***
Aku berjalan menyusuri koridor asrama. Malam ini aku berniat untuk bersantai di taman. Setelah tersadar, aku memutuskan untuk tidak kembali ke kamar dan mengingat memori keramat itu.
Aku sedikit kecewa karena Tiffany dan Irene tidak bisa menemaniku malam ini untuk sekadar berbagi cerita. Tiffany harus bekerja di perpustakaan sedangkan Irene sedang sibuk dengan berita televisi dan merangkumnya demi memperoleh informasi mengenai kekuatan penyihir yang baru saja muncul sepertiku.
Lalu, soal kekuatanku ... aku tak dapat berkomentar banyak karena kekuatan yang kudapat sungguh mengerikan. Sebuah kekuatan yang kuat, merupakan campuran antara kekuatan angin dan air yang juga merupakan salah satu dari kelima kekuatan Guardians. Kekuatan yang mampu menciptakan badai besar, sesuatu yang sangat kutakuti hingga saat ini.
BRUK!
Untuk kedua kalinya aku jatuh terduduk karena menubruk seseorang. Reflek aku meringis dan berusaha untuk berdiri lagi.
"Sakit?" tanyanya dengan nada datar
Tunggu ... sepertinya aku mengenali suara ini ...
Aku pun mendongak dan terbelalak saat melihat seseorang di depanku.
"Kalau sudah tahu sakit, kenapa tanya?"
Tampak dia mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri yang langsung kutepis.
"Bagaimana keadaanmu sekarang?"
tanyanya masih dengan nada datar.
"Seperti yang kau lihat," jawabku tak kalah datar.
Tampak ia mengangguk lalu melanjutkan, "Lain kali hati-hati."
Lalu dia melaluiku tanpa berkata apa-apa lagi.
Aku mengerutkan kening.
"Anak itu maunya apa sih?" gerutuku kesal.
"Sedatar itukah penyihir dengan nama Jack?"
Tiba-tiba saja aku mendengar langkah kaki yang sepertinya sedang terburu buru mendekat. Aku yang sedang mendumal kesal langsung berlari tanpa aba aba.
"Astaga ... Aku tak pernah berharap untuk dikejar makhluk halus!"
Aku hampir memekik ketakutan sambil terus berlari menjauh.
"Hei! Namamu Catherine bukan?" teriak seseorang yang ternyata bukan makhluk halus. Aku menghela napas lega karena tahu bahwa suara berat itu bukanlah suara makhluk halus yang mengejarku. Ingin rasanya menghilang dari dunia ini karena untuk kedua kalinya aku telah salah menganggap orang sebagai hantu.
"Ada apa?" tanyaku berusaha tenang dan tak terlihat seperti orang yang ketakutan.
"Kau dipanggil miss Sheila."
"Maaf, sebelumnya perkenalkan. Namaku Carl dari tingkat 3. Salam kenal," tambah lelaki berambut hitam itu setelah melihat ekspresi bingungku.
"Dipanggil? Karena apa?"
"Mungkin ia ingin menanyakan tentang kondisimu dan ceritamu mengenai kekuatanmu yang tiba-tiba saja keluar saat sedang tertidur."
Aku mengangguk lalu berusaha tersenyum semanis mungkin.
"Terima kasih ya."
"Tidak masalah. Kalau perlu bantuan, kau bisa meminta bantuan dariku," balasnya ikut tersenyum.
Ia tidak sedingin Jack dan ia juga mudah tersenyum. Tidak terlalu tinggi dan memiliki warna mata yang cukup indah, menurutku.
"Baiklah, sampai jumpa di lain waktu Catherine."
***
"Kekuatanmu sudah muncul bukan?" tanya miss Sheila memastikan.
Mendengar perkataannya, aku hanya bisa mengangguk pelan.
"Kekuatanmu masih belum bisa dikontrol. Tidak usah panik, karena pada dasarnya kekuatan yang baru muncul akan keluar dengan sendirinya pada saat kau emosi, panik, takut dan mungkin juga kalau kau sedang sedih. Jadi mulai besok lusa kau sudah bisa masuk ke tingkat 2," jelasnya lagi.
Lagi-lagi aku hanya mengangguk sebagai balasannya.
"Baiklah, terima kasih miss. Saya permisi dulu," jawabku lalu meninggalkan ruangannya.
Aku memutuskan untuk kembali ke kamar karena aku sudah mulai mengantuk.
Aku tidak mungkin bisa menghindari untuk tidak tidur di kamar. Mau tidak mau, kenangan itu pasti akan selalu datang. Aku yakin itu.
************************************
Published : 13 oktober 2017
Revisioned : 6 Agustus 2018
Hai!!
gimana ceritanya?
Sesuai janji, update di hari jumat :)
(Kalo update diluar hari jumat berarti bonus)
Makasih bagi yang udah baca
Dan
buat yang udah baca, minta tolong dong, jarinya mencet gambar bintang di bawah :)
See you next week
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top