NGIDAM
"Honey... bangun...," rengek Prilly tengah malam membangunkan Ali.
"Hmmm," gumam Ali yang masih menutup matanya, karena kantuk dan rasa lelah pada tubuhnya.
"Bangun dong," paksa Prilly sambil menarik-narik lengan Ali.
Ali yang merasa terusik tidurnya, perlahan membuka mata yang teramat kantuk karena baru saja dia tertidur.
"Apa...?" jawab Ali berusaha menekan emosinya agar tidak meledak.
"Aku laper," rengek Prilly manja, bergelayut di lengan Ali yang sudah duduk bersandar di kepala ranjang.
"Terus?" jawab Ali datar, membuat Prilly kaget, sikap Ali tidak seperti biasanya. Ali bersikap seperti itu pada Prilly, karena tubuhnya yang letih dan kantuk yang berat. Namun segera Prilly tepis pikiran itu.
"Aku pengen makan bubur ayam," ucap Prilly mendongakan kepalanya menatap Ali.
Ali menghela napas berat sejenak.
"Sayang, ditahan sampai besok pagi aja ya?" pinta Ali karena dia merasa kepalanya pening, beberapa hari belakang ini, dia kurang tidur dan juga kurang istirahat.
"Nggak bisa, Honey. Ini anak kamu yang minta. Bukan aku," jelas Prilly sambil mengusap-usap perut buncitnya.
"Terus, mau cari di mana? Kamu lihat ini jam 1 malam, Sayang," terdengar suara Ali yang kesal.
Prilly yang menyadari sikap Ali, langsung bengong menatap wajahnya lekat.
"Ya sudah, kalau kamu cape tidur saja. Aku bisa kok, cari sendiri." Prilly ingin beranjak turun dari ranjang, namun tangan Ali menahannya.
"Oke! Kamu tunggu di sini, aku carikan." Ali segera bangkit dan memakai celana pendek selututnya, mengambil kunci mobil di atas nakas. Ia segera keluar tanpa melihat Prilly yang sedari tadi menatapnya.
Hati Prilly merasa perih, melihat sikap Ali yang tidak seperti biasanya itu. Biasanya dia selalu memanjakannya dan menuruti ngidamnya. Tiba-tiba air bening menetesi pipi chubby-nya. Ia menangis, merasakan sakit di hatinya.
Ali keluar dari pintu utama rumah bernuansa putih itu. Saat dia ingin membuka pintu mobil, tiba-tiba Ali merasa ada tangan yang menepuk pundaknya. Dia kaget dan reflek berbalik mengepalkan tangan, siap untuk melayangkan bogeman mentah.
"Woyiiiissshhh... sabar bro," ucap orang itu menahan lengan Ali yang siap memberinya pukulan.
"Kenapa sih lo, kagetin gue?" tanya Ali kesal.
"Lo mau ke mana malam-malam begini, hah?!!"
"Prilly ngidam, kepengen makan bubur ayam. Di mana coba, mau cari malam-malam begini?" cerita Ali kesal sambil berkacak pinggang dan membasahi bibirnya yang terasa kering dengan lidahnya.
"Sabar bro, kita harus bisa hadepin singa betina yang lagi agresif dan sensitif itu," ucap Farauq menepuk bahu Ali.
"Lo ngapain, malam-malam keluar? Diusir lo, sama Kaiya?" tuduh Ali membuat mata Farauq melotot.
"Nggak! Dia lagi pengen makan mie bangka!" ujar Farauq lesu.
Ali melihat kakak iparnya itu dengan tertawa puas, karena merasa mereka senasib. Rumah Ali dan Farauq memang sengaja bersebelahan. Rumah minimalis di kawasan perumahan elit yang dipilih Ali dan Prilly saat mereka pulang dari Lombok, membuat Farauq dan Alya juga menginginkannya. Pada saat itu, mereka memilih rumah bersebelahan, tanpa ada sekat, hingga pelataran mereka menjadi satu.
"Puas lo, ketawain gue, hah?" ujar Farauq menghentikan tawa Ali.
"Oke, sorry, Bang. Kita senasib. Sekarang mending lo masuk ke mobil gue. Kita cari bareng-bareng, sebelum tuh singa betina ngamuk!" suruh Ali. Farauq pun masuk ke dalam mobil Ali.
Mereka pun berkeliling mencari pesanan istrinya.
"Kita sudah berkeliling, belum juga menemukan, Bang!" ujar Ali sudah terlihat sangat lelah, dan hampir putus asa.
"Balik aja yuk! Gue cape, Li, biarinlah, diamuk singa bunting. Biar sekalian remuk badan gue!" ajak Farauq putus asa.
"Oke!"
Ali segera memutar mobilnya untuk kembali ke rumah. Saat mereka fokus pada jalanan, tiba-tiba Ali mengingat sesuatu.
"Eh Bang, kenapa kita nggak ke restoran Paman Erwin saja," ujar Ali menatap Farauq sekilas dan kembali fokus pada jalanan.
Setelah beberapa menit perjalanan, akhirnya Ali memarkirkan mobilnya di depan Restoran Erwin Nusantara. Segera mereka turun dan memencet bel yang menempel di sebelah pintu kecil di samping pintu kaca yang lebar. Rumah Pamar Erwin, menjadi satu dengam Restorannya.
"Paman!" panggil mereka sedikit berteriak saling bergantian.
Sesaat setelah beberapa kali memanggil, orang yang mereka cari membukakan pintu, dengam wajah masih acak-acakan.
"Maaf Paman, malam-malam begini mengganggu. Mmm... kami mau minta tolong," ucap Ali ragu.
"Ayo masuk dulu!" ajak Paman Erwin membuka pintu tempat tinggalnya.
Ali dan Farauq mengikuti Paman Erwin masuk ke dalam rumah mininya.
"Duduklah dulu. Raut wajah kalian terlihat sangat letih. Apa kalian kurang istirahat?" tanya Paman Erwin dan mempersilakan duduk mereka di mini bar yang menghadap ke arah dapur bersih, tempat biasa Paman Erwin bereksperimen masakan baru di restorannya.
"Iya, Paman," jawab Farauq singkat.
"Ini diminum, biar bisa sedikit merelakskan tubuh kalian," ujar Paman Erwin menaruh dua cangkir di depan Ali dan farauq.
Aroma jahe dan kayumanis membuat Ali dan Farauq merasa relaks, dan setelah mereka meminumnya, wedang jahe itu dapat menghangatkan tubuh mereka. Mereka menyeruput wedang jahe yang masih mengepul, dengan sangat hati-hati karena masih panas.
"Paman, apa bisa membantu kami untuk membuatkan bubur ayam dan mie bangka?" pinta Ali berhati-hati meskipun dalam hatinya merasa sangat sungkan, sudah merepotkannya sedini itu.
"Istri kalian ... ngidam?" tanya Paman Erwin dengan senyum menggoda.
"Iya Paman, memang bukan pertama kalinya mereka meminta dicarikan makan malam-malam begini. Tapi kalau yang diminta, itu, mau cari di mana kami? Tadi kami sudah berkeliling. Belum menemukannya,"
jelas Ali.
"Ya sudah, Paman akan membuatkannya. Kalian tunggu saja di sini."
Paman Erwin pergi meninggalkan Ali dan Farauq untuk mengambil bahan yang diperlukannya, di gudang penyimpanan bahan di restorannya. Saat Paman Erwin kembali, membawa bahan-bahan, ia melihat Ali dan Farauq tertidur di meja mini bar. Ia hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
Setelah beberapa menit berkutat di atas kompor, akhirnya pesanan mereka pun jadi.
"Li, hey! Bangun!" Pamar Erwin mengguncang pelan tubuh Ali. Perlahan Ali membuka matanya.
"Maaf Paman, aku ketiduran," ucap Ali dengan mata memerah karena tidur yang kurang dan masih terasa sangat sepet.
"Ini sudah jadi. Pulanglah sebelum singamu itu ngamuk! Bangunkan abangmu," perintah Paman Erwin meletakkan dua plastik di depan Ali, lantas dia kembali membereskan bekas tadi ia bergulat.
"Iya, Paman. Terima kasih banyak."
Ali dengan perlahan membuka pintu kamar. Melihat Prilly tertidur pulas, ia tidak tega membangunkannya. Dia taruh pesanan Prilly di atas nakas. Karena Ali sangat mengantuk dan lelah, setelah membuka celana pendeknya, dan hanya mengenakan boxer saja, ia langsung berbaring di samping istrinya. Prilly merasa ada gerakan di sampingnya. Dia buka mata sembapnya, karena menangis sedari Ali keluar hingga ia tertidur kelelahan. Prilly menoleh ke samping, melihat Ali sudah tidur membelakanginya, dia langsung menangis lagi. Mungkin karena bawaan kehamilannya hingga mood-nya mudah berubah-ubah.
Prilly berjalan dan membuka plastik putih yang dibawa Ali tadi. Ia membawanya turun ke dapur untuk memakannya. Ia melihat jam di dinding dapur menunjukan 03.15.
Setelah selesai memakan bubur ayamnya, dia kembali ke kamar untuk kembali tidur. Prilly berbaring menatap punggung Ali yang sudah tertidur lelap. Air mata Prilly tertumpah lagi.
"Maaf Honey, aku selalu merepotkanmu. Aku tahu kamu pasti lelah karena seharian bekerja, dan masih menuruti keinginanku yang berlebihan. Tapi ini bukan mauku. Ini juga maunya anakmu. Terima kasih sudah menjadi suami siaga untukku dan calon anak kita. Walau kamu lelah, dan kantuk, tapi kamu tetep berusaha menuruti dan mendapatkan kemauanku," ucap Prilly lirih dan memeluk Ali dari belakang untuk menyusul ke alam mimpi.
***
Pagi-pagi sekali Ali, sudah berangkat ke kantor. Beberapa hari belakangan ini, dia pergi ke kantor pagi, dan pulang larut malam. Prilly merasa tak dipedulikan, walau Ali berusaha menuruti ngidamnya. Namun Ali sekarang lebih sibuk dengan kertas dan laptopnya. Membuat Prilly geram dan bawaannya ingin selalu marah-marah. Alhasih, orang-orang di sekitarnyalah yang terkena imbasnya. Seperti pagi ini, Prilly yang tadi saat bangun tidur tidak mendapati Ali di kamarnya. Ali sengaja berangkat kerja tanpa membangunkannya.
"Bi...!!!" panggil Prilly melengking pada salah satu asisten rumah tangganya.
"Iya Non, ada apa?" sahutnya sambil berlari kecil dari arah dapur.
"Ali tadi berangkat jam berapa? Kenapa nggak bangunin aku dulu?" tanya Prilly terdengar ketus sambil mengerucutkan bibirnya.
"Jam 6 tadi. Saya juga tidak tahu Non, mungkin Den Ali tidak tega membangunkan Non Prilly," jawab Bi Inah menenangkan hati majikannya itu, yang sekarang mudah sekali marah.
"Ya sudah. Bi, aku mau mangga muda. Tolong kupasin ya, Bik?" pinta Prilly duduk di meja makan.
"Tapi sarapan dulu ya, Non? Saya takut, kalau nanti dimarahin, Den Ali. Kalau sampai perut Non Prilly keram seperti dulu waktu hamil muda," ujar Bi Inah mengingatkan Prilly.
Memang dulu waktu Prilly saat diawal kehamilannya, dia mengidam, ingin memakan mangga muda. Pagi-pagi Bi Inah diperintah Prilly agar pergi ke pasar membelinya. Sesampai di rumah, Bi Inah mengupaskannya. Dengan lahap, Prilly memakannya. Tidak puas menghabiskan satu biji, Prilly menyuruh Bi Inah mengupaskannya lagi, hingga 2 kg buah mangga habis seharian saja. Prilly memakannya tanpa kemasukan makanan lain dalam perutnya, seharian itu.
Hingga saat Ali pulang kerja, ia mendapati Prilly memegangi perutnya dan keringat dingin keluar dari tubuhnya. Semua yang ada di dalam rumah terkena amarah dan amukan dari Ali. Bi Inah, Bi Anik, Pak Joko dan Dimas yang kebetulan sedang berada di rumah Ali. Sejak kejadian itu, Ali mewanti-wanti seluruh orang yang ada di rumah itu, untuk menjaga Prilly. Apalagi Bi Inah, yang selalu memasakan mereka. Dia benar-bener diberi tugas Ali untuk memerhatikan setiap masakan yang akan dimakan Prilly.
"Haduuuhhh... nggak mau Bi... pokoknya aku pengen banget makan mangga!" rengek Prilly tak terbantahkan.
"Ya sudah, tapi Bibi izin Den Ali dulu ya, Non," goda Bi Inah sambil berpura-pura mengambil ponselnya di dalam saku.
"Ehhhh...ehhh...ehhh apaan sih, Bibi. Gini saja laporan!" cegah Prilly merasa takut dengan ancaman Bi Inah.
"Nah, sekarang sarapan dulu, dan habis sarapan nanti, Bi Inah kupasin mangganya ya?"
"Ya!" jawab Prilly singkat, dan Bi Inah pun segera menyiapkan sarapan untuknya.
Setelah selesai memakan sarapannya, Prilly segera beranjak pindah ke ruang tengah, untuk menunggu Bi Inah yang sedang mengupaskannya mangga. Saat dia sedang bersantai, Alya datang menghampirinya, dan duduk di sofa panjang, menaikan kedua kakinya.
"Lo kenapa sih Pril, cemberut begitu?" tegur Alya, sudah ikut duduk santai di sofa.
"Lagi BT, sama sikap Ali belakangan ini!" jawab Prilly sambil berpindah duduk di karpet berbulu halus dan tebal, yang ia sengaja letakkan di lantai ruang itu.
Alya mengukuti Prilly, duduk di bawah, bersandar di sofa.
"Memangnya Ali kanapa, Pril?"
"Gue juga nggak tahu, Kak. Berangkat kerja pagi-pagi sebelum aku bangun. Pulang larut malam, aku sudah tidur. Waktu ketemu sekarang sedikit," cerita Prilly sembari mengerucutkan bibirnya kesal.
"Permisi, Non. Maaf mengganggu, ini mangganya sudah selesai dikupas," sela Bi Inah membawa sepiring buah mangga potong dan ditaruh di atas meja depan Prilly dan Alya yang sedang duduk bersantai.
"Makasih ya, Bi," ucap Prilly dan Alya bersamaan.
"Iya, Non. Sama-sama. Tapi jangan makan banyak-banyak ya, Non. Saya takut dimarahin Den Ali dan Den Farauq," pesan Bi Inah.
"Iyaaaa, Bi...!" jawab Alya dan Prilly bersamaan, setelahnya menyuapkan potongan mangga ke mulutnya.
Saat Bi Inah ingin pergi, Prilly mencegahnya.
"Bibi, di sini saja. Bi Anik di mana?" tanya Prilly sambil mencekal lengan Bi Inah.
"Lagi bantuin Pak joko di belakang, Non. Lagi nguras kolam renang," jelas Bi Inah.
"Oh," jawab Prilly singkat. "Eh iya Kak, apa Bang Farauq juga seperti itu sikapnya?" tanya Prilly memandangi Alya yang lahap memakan mangga.
Bi Inah ikut duduk, memerhatikan mereka yang sedang mengobrol seraya menikmati mangga yang dia kupas.
"Sama, Pril! Kami belakangan ini, juga sering uring-uringan," jelas Alya jujur, terus mengunyah mangganya.
Saat mereka sedang asyik mengobrol, tiba-tiba Ali masuk ke dalam rumah, lansung berlari ke lantai atas dengan terburu tanpa menoleh dan menyapa orang-orang yang berada di ruangan itu, yang jelas Ali melewatinya.
Prilly segera beranjak dari duduknya, dan menyusul Ali. Dilihatnya pintu ruang kerja Ali terbuka. Prilly menghampirinya, terlihat Ali yang sedang sibuk mencari sesuat di dalam laci dan di meja. Semua kertas-kertas di atas meja Ali menjadi berantakan.
"Honey, kamu cari apa?" tanya Prilly menghampiri Ali.
Ali hanya menoleh sebentar dan kembali sibuk mengobrak-abrik mejanya, menghiraukan pertanyaan Prilly. Prilly yang merasa tidak didengarkan, hanya terdiam menahan sakit di hatinya. Dadanya terasa sesak dan terlihat naik turun, menahan sesuatu. Setelah Ali mendapatkan sesuatu yang ia cari, dia segera bergegas keluar dari ruangan kerjanya itu, tanpa memandang dan melihat Prilly yang sedari tadi berdiri di depan mejanya.
Ali terlihat terburu-buru dan berlari keluar dari rumah. Saat melewati Alya dan Bi Inah yang sedang menonton televisi, dia juga tidak memandangnya. Alya mengerutkan dahinya, melihat sikap adiknya itu. Tak jauh berbeda dengan sikap Farauq.
Alya menatap ke lantai atas, ia teringat Prilly yang tadi menyusul Ali. Alya pun menyusul Prilly ke atas, dibuntuti Bi Inah dari belakangnya.
"Pril, lo nggak apa-apa kan?" tanya Alya tampak khawatir melihat Prilly yang sudah tersungkur duduk di lantai sambil menangis.
"Lo lihat sendirikan Kak, gimana Ali sekarang? Apa dia udah nggak peduli lagi sama gue? Gue tanya saja, dia nhgak jawan, Kak! Dia nggak anggap gue lagi, Kak!" emosi Prilly tidak lagi bisa ia bendung. Dia berteriak kepada Alya di sela tangisnya. Membuat Alya juga ikut menangis.
"Nggak cuma lo saja yang digituin, Pril. Farauq juga bersikap dingin dan cuek akhir-akhir ini ke gue. Gue juga nggak tahu kenapa bisa begitu," jawab Alya ikut duduk dan memeluk Prilly dari samping.
Mereka menangis bersama sambil berpelukan, saling memberi kekuatan.
Bi Inah yang melihat dua wanita dengan perut buncitnya menangis, tidak bisa berbuat apa-apa. Hatinya sakit saat melihat itu. Bi Inah pun ikut meneteskan air mata, merasakan apa yang sedang dialami dua wanita yang dihadapannya saat ini.
#########
Jangan berpikir yang aneh-aneh. Mungkin saja, mereka sedang sibuk dan benar-benar lagi ada something. Dasar cewek! Suka suudhon sebelum tahu kebenarannya. Hehehe
Terima kasih, untuk vote dan komentarnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top