KEBERUNTUNGAN

Ily Pov

Aku harus tetap tegar, tangguh, hati sekuat baja, dan sekukuh batu karang di tengah lautan yang tetap kuat walaupun diterjang ombak besar ia tetap berdiri kukuh menunjukan keindahannya. Aku menjalani hidup dalam buai belaka, menyerahkan kehidupanku tulus di dalam takdir-Nya.

Aku pasrahkan pada-Nya yang akan mengatur jalan hidupku dan suamiku, Al. Ini jalan yang aku dan Al ambil, itu berarti aku harus siap dengan segala rintangan yang menghadang kami di sepanjang perjalanan nanti. Biarlah mereka bicara tentang kami, yang penting kami menunjukkan bahwa tidak pernah melakukan dan tidak pernah melukai apalagi merugikan mereka.

"Yang, aku mau ke Singaraja. Kamu mau ikut, enggak?" tanya Al saat aku sedang memasak untuk sarapan.

Kapal sedang off, biasanya di akhir bulan, Al selalu ke Singaraja untuk menyerahkan uang setoran sekalian mengambil gaji untuk bawahannya dan pastinya untuk dia juga. Aku memaklumi, Al mengalah datang ke Singaraja karena Tante Mora sibuk, tidak hanya satu tempat usahanya. Aku salut pada tanteku itu, dia bisa bekerja sama dengan perusahaan kapal penyeberangan dan berbisnis kantin di dalamnya.

Saat ini Al di bawah pengawasan Tante Mora, dengan sabar dan telaten, Tante Mora mengajari Al berbisnis. Tante Mora berjanji, jika Al bisa cepat menguasai bisnis ini, dia akan meminjamkan modal dan menjembatani untuk mencari perusahaan baru agar Al dapat berbisnis seperti dirinya. Oh, tanteku itu walau cerewet, galak, kadang enggak inget umur kalau sedang kumpul sama anak muda, selalu energik, tetapi dia sebenarnya baik dan penyayang. Hanya saja dia orangnya cuek dan kalau orang belum mengenalnya, mereka berpikir pasti dia sombong dan angkuh. Ck! Kebiasaan orang, menilai dari luarnya dulu tanpa lebih jauh mengenal hatinya.

"Aku ikut, Honey, aku bosen di kos terus," jawabku menoleh pada Al yang sedang melipat pakaian.

Kadang aku melihatnya lucu, orang setampan suamiku membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Kadang dia mencuci pakaian dan menyapu. Aku tidak menyangka ada hikmahnya kami hidup sederhana begini. Kami bisa melakukan pekerjaan yang dulu tidak pernah dikerjakan sama sekali. Aku jadi bisa memasak walau kadang aku sendiri tidak tega menelan masakanku karena rasanya belum pas. Namun, aku melihat Al memakannya biasa saja dan dia telan tanpa mengeluh atau protes. Kadang dia sedikit memberi masukan agar bisa sesuai dengan lidahnya.

"Selesai masak, kamu mandi dulu, nanti biar aku mencuci peralatan yang kotor," ujar Al memelukku dari belakang. Al mencium pipiku singkat.

"Siap, Bos!"

Al mengelus perutku yang sudah sedikit buncit. "Hai, anak Ayah, di dalam sehat, ya, Nak. Jangan nakal, kasihan Bunda, kalau Ayah sedang bekerja."

"Dia enggak nakal dan enggak rewel kok, Honey. Dia anak yang pinter, tahu kondisi kita. Dia enggak pernah meminta yang aneh-aneh. Iya, kan, Nak?" Jelasku sambil mengelus perutku. "Ini sudah matang sopnya, kamu duduk dulu ya, aku siapain," perintahku pada Al lalu dia kembali duduk yang sebelumnya memasukan pakaian ke lemari.

Maklum, kami belum bisa membeli setrika dan alat elektronik lainnya. Televisi saja kami dapat kado dari Corin. Terkadang jika Corin sedang libur kuliah, dia main ke kosan membawakan bebagai cemilan untukku. Walau aku sudah menolaknya, tetapi dia selalu bilang, 'Gue beliin bukan untuk lo, tapi untuk keponakan gue yang masih di dalam perut lo.' Itulah jawaban andalan dia yang tidak dapat kutolak lagi.

"Kita sarapannya pakai sayur sup sama tempe goreng aja, Honey," ujarku meletakan semangkuk sayur yang baru saja matang dan sepiring tempe goreng. Aku mengambil dua piring nasi yang masih panas.

"Hmmm, makin jago masak, ya, istriku," puji Al membuat pipiku terasa panas karena merona.

"Ihhhh, kamu jangan begitu, aku jadi malu," ucapku sambil menunduk, membuat Al tertawa.

"Mari kita makan hasil masakan Chef Ilya," serunya bersemangat yang langsung menyendokan sayur ke piringnya.

Aku harap-harap cemas menunggu komentarnya. Aku melihat dia lahap menyantap sarapannya. Aku sendiri saja kurang yakin dengan rasanya.

"Bagaimana rasanya?" tanyaku melihat dia lekat.

"Apa pun rasanya, jika yang masak kamu, jadi enak apalagi ditemani kamu, rasa bahagia menutupi kekurangan dari rasa masakan kamu," jawabnya yang membuat hatiku menghangat.

Dia selalu bisa menaikan mood-ku dan membuatku selalu semangat untuk belajar memasak. Aku menyendokan sayur di nasiku dan mengambil satu potong tempe goreng. Lalu aku menyuapkan ke mulut. Rasanya asin dari tempe dan manis dari sayur sup karena tadi aku memasukan gula pasir ke sayurnya. Sudah semakin baiklah daripada masakanku yang sebelumnya. Dengan rasa kurang semangat, aku mengunyahnya dan aku lihat piring Al sudah habis.

"Yang, boleh aku nambah?" tanya dia menyodorkan piring yang sudah kosong kepadaku.

"Dengan senang hati, Honey," jawabku mengambil piring itu lalu berdiri menyendokan nasi.

"Ini cukup?" tanyaku menyerahkan piring kepada Al.

"Sudah cukup," jawabnya tersenyum manis padaku.

Aku sangat bahagia jika melihatnya makan selahap itu dan habis banyak. Ada rasa puas di dalam hatiku melihatnya menyantap lahap masakanku. Di tengah makan kami, tiba-tiba Corin datang dan masuk ke kamar.

"Sarapan, Rin," tawar Al ketika Corin sudah duduk di sebelahku.

"Makasih, Al. Tadi gue sudah makan sebelum ke sini," tolaknya lalu meletakan kantong plastik yang berisi berbagai macam makanan di sebelahnya.

"Apaan tuh, Rin?" tanyaku sambil melihat kantong plastik itu.

"Makanan untuk keponakan gue," jawabnya lalu memberikannya padaku.

"Lain kali tidak usah repot-repot, Rin. Lo datang saja, kami udah seneng," sahut Al yang mungkin merasa tidak enak hati karena takut merepotkan Corin.

"Gue enggak kerepotan kalau menyangkut keponakan gue," jawab Corin mengeluarkan ponselnya dari tas.

"Al, ponsel lo mana?" tanya Corin membuat aku dan Al saling memandang.

"Gue jual, Rin, terpaksa karena cuma itu benda berharga yang bisa gue jual cepat," jawab Al lesu dan aku menjadi merasa sedih.

Karena hanya dari ponselnya itu, dia bisa melihat wajah keluarganya, foto-foto yang tersimpan di galeri dan dari ponsel itu juga dia tahu perkembangan dan kabar keluarganya.

"Terus sekarang lo sama Ily enggak pegang HP?" tanya Corin menatapku dan Al bergantian.

"Pakai, Rin. Nih HP biasa, yang penting bisa buat komunikasi. Cuma bisa SMS sama telepon. Memang kenapa sih lo tanya-tanya begitu?" jelas Al meletakan piring yang sudah kosong di depannya.

"Tadi Dion telepon gue, dia sudah WA, Line, BBM lo, tapi enggak ada balasan. Lo juga ganti nomor enggak hubungi gue atau Dion," omel Corin pada Al.

"Maaf, Rin, gue lupa nyalin dulu semua nomor ke simcard, jadi hilang deh nomor lo sama Dion."

"Untung gue deket kalian, jadi bisa langsung ke sini. Ada kabar soal apartemen lo."

"Terus apa katanya?" tanya Al antusias.

"Dia akan datang ke sini minggu depan sama rombongan, teman-temannya, mau wisata ke Bali. Mungkin dia nanti mampir ke sini atau lo yang nemui dia ke sana. Belum ada penjelasan lagi darinya," jelas Corin menyomot tempe goreng di piring lalu memakannya. "Bleeeeh, gila, ni tempe goreng apa garam digoreng, Ly?" tanya Corin sambil menjulurkan lidahnya karena mungkin merasa keasinan.

Aku dan Al tertawa terbahak. Rasakan tuh tempe asin! Siapa suruh main comot aja. Kena batunya, kan, lo, Rin!

***

Author Pov

Selesai sarapan dan setelah Corin pulang, Al dan Ily menyeberang ke Bali menuju ke Singaraja. Mereka naik bus kota yang melewati Singaraja. Ily duduk di dekat kaca jendela agar Al dapat melindunginya dari desakan penumpang.

"Aku enggak pernah menyangka sebelumnya bakalan naik bus seperti ini. Ternyata asyik ya, Honey?" ujar Ily girang menatap pemandangan ke luar jendela.

"Iya! Aku juga enggak pernah membayangkan sebelumnya," jawab Al melindungi Ily dari desakan penumpang yang berdiri.

"Aku senang kita hidup seperti ini. Banyak hal yang tidak kita tahu saat dulu masih hidup serba ada. Walau hidup sederhana, tapi membuat kita banyak pengalaman dan tahu makna hidup sesungguhnya." Ily menyandarkan kepalanya di bahu Al.

"Maaf ya, Sayang, kamu harus ikut hidup susah denganku," sesal Al mengelus rambut Ily lembut.

"Jangan menyesali yang sudah terjadi. Nasi sudah menjadi bubur, tinggal kita tambahin aja dengan kecap asin, suwiran ayam, kuah kari, kacang kedelai goreng, bawang goring, dan penyempurnanya emping, langsung deh bubur itu bisa kita nikmati. Maksud, kan, kamu, Honey dengan ucapanku?" tanya Ily mendongak menatap Al yang tersenyum manis padanya.

"Iya, aku tahu maksud kamu. Terima kasih, ya, sudah mau berjuang bersamaku? Sekarang kamu bisa lebih dewasa dan bijak menyikapi permasalahan ini," ujar Al lalu mengusap rambut Ily.

Keadaan yang membuat mereka dituntut untuk berpikir dewasa sebelum saatnya. Kesenangan remaja yang seharusnya masih dapat mereka nikmati terkubur dalam karena kesalahan yang membuat mereka harus menanggungnya.

Perjalanan empat jam membawa mereka ke Singaraja. Setelah sampai depan gang perumahan, mereka turun. Al dan Ily berjalan masuk ke komplek perumahan yang tergolong elit di daerah Singaraja itu. Raja siang memancarkan panas yang sangat menyengat hingga peluh Al dan Ily bercucuran. Sesampainya di depan gerbang yang menjulang tinggi, Al memencet bel dan seorang security membukakannya.

"Eh, Den Al, Non Ily, kok jalan? Enggak minta saya menjemput?" Security itu membuka pintu kecil, samping gerbang besar.

"Tidak apa-apa, Pak, takut merepotkan. Tante ada?" tanya Al.

"Ada, Den, baru saja pulang dari pasar tadi," jawab security itu lalu Al dan Ily masuk.

Di rumah yang cukup luas dan asri itu, Al dan Ily melihat Mora sedang duduk di meja makan, berbagai kantong belanjaan di depannya.

"Assalamualaikum," ucap Al dan Ily bersamaan saat sudah dekat dengan Mora.

"Waalaikumsalam," jawab Mora berdiri menyambut mereka.

"Ayo duduk, kalian mau minum apa?" tanya Mora bersiap membuatkan minum.

"Nanti biar Ily buat sendiri, Tante," jawab Ily menarik kursi dan duduk.

"Om di mana, Tan?" tanya Al sudah duduk di sebelah Ily.

"Flight ke Belanda," jawab Mora menurunkan plastik belanjaannya dari meja.

"Oh iya, ini Tan, laporan penjualan dan pembelanjaannya. Ini uang setoran bulan ini," kata Al sambil mengeluarkan kertas dan amplop dari tasnya.

"Kamu bantu Tante ya, Ly, menghitung penghasilan dan laba yang didapat bulan ini. Kamu juga harus belajar menyisakan uang modalnya dan gaji untuk pegawai. Tante ajari kamu nanti." Mora menerima kertas dan amplop dari Al tadi.

"Oke Tante, dengan senang hati," jawab Ily bersemangat.

"Kalau begitu kalian makan siang dulu, temani Tante, ya? Nidia belum pulang, dia masih nanti sore sekalian les. Tadi Tante masak ayam betutu, behhhhh, sambalnya menagihkan," ujar Mora sambil berjalan ke dapur.

"Ily bantu, Tan," ujar Ily menyusul Mora ke dapur.

Al berjalan ke arah kulkas yang ada di ruang makan itu dan mengambil minuman dingin. Bagi Al dan Ily, rumah itu sudah seperti rumah kedua mereka. Walau Al dan Ily jauh dari orang tua kandung, tetapi ternyata Tuhan mengirimkan orang tua pengganti yang rela membimbing mereka dengan sabar, tulus, dan ikhlas.

Terkadang kita merasa keluarga seperti orang asing sedangkan orang asing terasa keluarga. Padahal keluarga adalah sumber kebahagiaan yang sesungguhnya jika kita dapat dekat dan bersatu dengan mereka. Segala apa pun yang terjadi dengan kita, keluargalah yang akan merengkuh kita 'tuk pertama kali. Keluarga akan melindungi kita dan yang akan mengeluarkan kita dari lubangan hitam.

##########

Aku pernah kayak Ily, hidup di kos-kosan berdua sama suami. Pernah juga mengalami masa sulit.

Terima kasih vote dan komentarnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top