15 🌐 Pindah Kantor




🌍🌍🌍

Swasmita telah sepenuhnya menghilang di bawah garis cakrawala sebelah barat. Warna kemerahan pada langit yang disebabkan oleh kombinasi hamburan rayleigh warna biru pun telah memudar dan berganti pekat malam.

Sudah hampir dua jam Achala berdiam diri di rooptop rumah mereka. Di sini, selain tempatnya menjemur pakaian, tempat ini juga sering Achala gunakan untuk menikmati matahari terbit dan tenggelam.

Netra Achala mengikuti kawanan burung layang-layang yang terbang melintas. Fokusnya bukan pada sekumpulan burung yang terbang di depan, melainkan pada dua ekor yang tertinggal di belakang.

Entah itu pasangan atau bukan. Hanya saja, rasa iri Achala sedikit mencuat pada dua ekor burung yang terbang bersama, saling menunggu dan menjaga.

Tarikan napas dalam Achala lakukan, kemudian mengembuskan perlahan. Ia beranjak dari kursi panjang yang menopang tubuhnya sejak tadi. Berjalan gontai masuk ke rumah melalui tangga penghubung.

Achala terlahir tunggal, tetapi tidak membuatnya sendiri. Ada sahabat seperti Affandra yang selalu ada di sampingnya. Keluarga yang menyayanginya.

Sejak menikah dengan Lintang, Achala harus terbiasa sendirian, ditinggal bersama sepi. Namun, entah kenapa kali ini ia merasa benar-benar kesepian dan sendiri.

Dua hari yang lalu, pria itu memberitahu akan tinggal di apartemen dan tidak tahu sampai kapan, bisa saja selamanya. Menunggu Lintang pulang kerja adalah kegiatan menyenangkan bagi Achala, meski tidak dihargai, tapi kali ini rasanya perihal menyenangkan tersebut tak dapat lagi ia lakukan. Suami—berengseknya—tidak akan pulang ke rumah ini, dengan alasan kepindahannya ke kantor yang baru dan lebih dekat dengan apartemennya.

Dering ponsel Achala terdengar nyaring, wanita itu bergegas menuju sumber suara gaduh dari benda canggih tersebut. Terselip harapan dari langkahnya yang tergopoh, semoga itu adalah kabar dari Lintang. Namun, harapan yang sudah melambung tinggi harus terhempas ke dasar bumi. Pesan itu bukan dari Lintang, melainkan pesan spam tak berguna.

Achala melirik jam digital di nakas samping tempat tidurnya, jarum jam menunjukkan di angka 06.45 wib.

"Aku pikir kabar dari kamu, Mas," ucap Achala melirih, atensinya terpaku pada lockscreen ponselnya. Ada foto pernikahan mereka di sana.

Baru saja berniat menyimpan benda pipih itu, ponselnya kembali berdering. Ada nama sepupunya di sana. Tanpa menunggu dering berhenti, Achala mengangkat panggilan itu.

"Halo, asalamualaikum Bunda Arika," sapa Achala saat panggilan telepon sudah ia hubungkan.

"Walaikumsalam, Bude Acha."

Achala berdecak samar saat namanya diberi embel-embel bude, tetapi ia tak dapat protes. Adik sepupunya itu bukan tanpa sebab menyebut dirinya bude. Itu dikarenakan ia mengajarkan Audrey—anaknya—memanggil Achala dengan sapaan demikian.

"Rika, nggak bisa diganti. Mungkin Audrey bisa panggil aku mama gitu. Aku cuma tua dua bulan ya dari kamu, panggilan bude terasa tua banget untukku." Achala mencebik, mencoba bernegosiasi agar Arika mengubah panggilan itu.

"Nggak bisa dong, tuturan tetaplah tuturan. Mau tua kamu cuma sehari juga, tetep aja kamu yang tua, Acha!"

"Ayolah, Rika. Biarin aku dipanggil mama sama Audrey."

Di seberang sana terdengar gelak tawa, mungkin adik sepupu Achala itu sedang menertawakan dirinya yang mengemis dipanggil mama.

"Boleh, tapi Audrey aja, ya. Anggap aja ini latihan buat kamu sebelum punya bayi beneran. Untuk adik-adik Audrey nanti tetap panggil Bude Acha. Makanya, Mama Acha dan Papa Lintang kapan kasih Audrey teman?"

Achala menelan saliva susah payah. Kalimat pertanyaan itu sontak membuat bibir dan lidahnya kehilangan fungsi. Sesuatu yang hampir mendekati mustahil untuknya.

Bagaimana bisa aku memberi Audrey teman, sementara Mas Lintang menatapku saja tak lebih sebagai peran pengganti, bukan sebagai istri.

"Jadi, nelepon cuma mau ngeledek aja, nih?" Achala berusaha agar suaranya tak bergetar akibat menahan gejolak ngilu dalam hatinya.

"Oh, iya. Kan sampe lupa tujuan nelepon apa. Gini, Cha. Kemarin ayahnya Audrey dari Singapura, bawa oleh-oleh buat kamu, papa dan mama juga. Kita sekarang ada di Hotel Raflesia, bisa ambil ke sini nggak, Mama Acha?"

"Besok aja, gimana?"

"Besok kita udah cekout, Cha. Harus malam ini. Lagian Hotel Raflesia lumayan deket rumah kalian, kan?"

"Lagian kalian ngapain sih pake acara nginep di hotel? Kayak nggak ada rumah."

Suara terkekeh terdengar menyebalkan dari seberang sana. "Jemput Ayah Audrey di bandara, sekalian kan nikmati waktu berdua. Mumpung Audrey masih di rumah ibu."

Achala berdecak kencang dengan tingkah adik sepupunya itu. Bisa-bisanya memanfaatkan waktu di sela seperti ini.

"Ya udah, aku ambil. Nanti aku kabarin kalo udah di lobi."

Achala menutup teleponnya, mengganti bajunya, kemudian mengeluarkan mobilnya dari garasi. Dipikir-pikir, tidak ada salahnya ia keluar sebentar. Menikmati suasana malam demi membunuh rasa kesepiannya.

Perjalanan yang ditempuh Achala bisa ia tempuh dengan lima belas menit, tetapi wanita itu lebih memilih berjalan santai mengendarai mobilnya. Hingga tiga puluh menit barulah ia sampai di lobi hotel tersebut. Ia mengeluarkan ponselnya, menelepon Arika.

"Halo, Ka. Aku udah di lobi nih, mau aku yang naik atau kamu yang turun."

"Oh, aku aja yang turun, Cha. Sebentar ya."

Achala mendengkus saat panggilan itu dimatikan oleh Arika. Siapa yang menelepon, siapa yang mematikan. Benar-benar sepupunya itu.

Cukup lama Achala berdiri di dekat front desk receptionist, menunggu Arika dengan sabar. Sampai ... suara perempuan yang sedikit familiar menembus rungu Achala. Ia berbalik, memastikan suara itu benar atau tidaknya seperti yang ada di dalam kepalanya.

Senyum miring tercetak jelas di wajah cantik Achala, perempuan yang sedang merajai benaknya kini berada di depannya. Achala tidak buru-buru menyapa, memperhatikan wanita itu yang sedang bergelayut manja pada lengan kokoh kekasihnya. Jarak yang terbentang kurang dari dua meter, Achala cukup bisa mendengar jika mereka baru saja ingin melakukan cekout.

Langkah Achala bergerak mantap, maju menghampiri pasangan yang dimabuk asmara tersebut. Senyumnya ditarik tinggi saat mereka sudah berhadapan dan saling tatap.

"Achala!" seru si wanita, ia terkejut. Mungkin tidak menyangka akan bertemu Achala.

Achala tidak menggubris si wanita, atensinya penuh pada sosok si pria yang sedang memberikan titah, agar wanita itu meninggalkan dirinya dengan Achala. Si wanita telah meninggalkan tempat itu dengan hentakan heels di lantai keramik.

"Eh, kirain sendirian kamu, Cha. Ternyata sama Mas Lintang juga?" Suara Arika terdengar dari belakang Lintang, menginterupsi pria itu.

Lintang berbalik, wajahnya berubah menjadi aktor pemenang Oscar kembali. Berlakon jadi suami idaman di depan keluarga mereka. Pria itu bergeser ke samping Achala, lengan kokoh itu merangkul bahu rapuh Achala.

"Iya, nganterin Acha katanya ada perlu sama temennya," ujar Lintang asal.

"Loh? Kamu ada keperluan juga di sini, Cha?" Arika bertanya bingung. "Kiran cuma ambil ini aja, kebetulan banget, ya?"

"Nggak! Aku ke sini cuma mau ambil titipan kamu. Nggak ada temen yang mau aku temuin," tukas Achala mematahkan ucapan Lintang.

Pria itu hanya berekspresi masam, berdeham kencang mengusir rasa canggung. Untuk kali ini, bakat aktor yang Lintang punya tidak berguna sama sekali. Lakonnya bisa dikatakan gagal.

Arika tidak ingin menambah pertanyaan lainnya. Ia mengangsurkan dua paper bag berukuran sedang.

"Tas yang warna merah, ini untuk Mama Acha dan Papa Lintang," ucap Arika. "Dan yang warna biru buat mama dan papa ya, Cha. Sampein salam aku buat mereka. Maaf udah lama nggak main ke sana."

Achala meraih pemberian Arika, ia paham dengan amanat sepupunya itu. Mama dan papa yang dia sebut tanpa nama adalah kedua orang tua Achala. Sejak kecil, Arika terbiasa dengan panggilan demikian.

"Ya udah, deh. Aku naik lagi, ya." Arika tersenyum jahil pada pasangan di depannya. "Oh, iya. Kalian harus nyobain deh kamar VVIP buat honeymoon di sini. Recommended banget deh, atau cek in aja sekarang," lanjutnya dengan menggoda mereka.

"Iya, iya. Sudah, sana naik. Nggak usah ngawur. Hus ... hus ...," usir Achala.

Perempuan itu tertawa pelan, kemudian berbalik meninggalkan Achala dan Lintang. Achala menepis lengan Lintang yang masih merangkul bahunya saat keberadaan Arika sudah benar-benar hilang masuk lift.

Wanita itu membentang jarak, tatapannya datar pada Lintang. Entah dapat keberanian dari mana. Achala malam ini lebih berani dari biasanya.

"Kamu ngapain, di sini?" tanya Lintang tegas.

Achala mengangkat dua paper bag yang ada di genggamannya. "Seperti yang Mas Lintang lihat, aku cuma mau ambil ini ke Arika. Dan ... aku juga baru tahu, kantor Mas Lintang pindah ke hotel."

Tanjung Enim, 22 Oktober 2021
Republish, 15 Sept 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top