4. Keluarga

Alan mengetuk-ngetuk meja menggunakan bolpoin. "Rek, minta perhatiannya!"

Kelas mendadak hening. Semua mata tertuju ke depan. Jika sang ketua sudah menaikkan volume suara, pertanda ada hal penting.

Alan mengulum senyum simpul, terlihat pasrah. Teman-temannya masih saja sulit dikendalikan. "Barusan Pak Alva ngabarin, beliau nggak masuk karena lagi ke luar kota. Ada urusan keluarga."

Para lelaki bersorak, sedangkan sebagian perempuan mendesah protes.

"Diskusinya tetap jalan. Kita pakai penilaian teman sebaya. Jadi, yang bertugas silakan maju."

Walaupun diiringi seruan keberatan, mereka tetap melaksanakan titah Alan. Pasalnya, kalimat tersebut adalah pesan langsung dari seorang dosen.

Alan kembali ke bangkunya, kelompok penyaji bersiap, audience mengeluarkan form penilaian.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."

Presentasi dibuka. Tak setertib saat ada dosen, tetapi cukup lancar. Alan berusaha mengawal jalannya diskusi. Berat mengemban amanah sebagai ketua, apalagi kalau anak buahnya semacam makhluk-makhluk penghuni kelas A.

"Kurang jelas, ya? Saya bertanya apa, kalian menjawab apa!"

"Halo, Saudara yang terhormat. Apa jawaban kami tidak mampu Anda pahami?" sanggah kelompok penyaji. Jelas-jelas kalimat itu sebentuk pelampiasan.

Alan mengusap wajah. Frustrasi. Selalu saja ada yang naik darah bila diskusi tanpa pengawalan dosen.

"Begini, saya ulangi, apa penilaian formatif itu penting?"

"Jawaban kami jelas, iya, sangat penting."

"Nah, dengan kata lain, wajib hukumnya mengadakan penilaian formatif setiap pertemuan?"

"Tergantung keputusan guru."

"Lah, paham maksud saya? Kalau memang penilaian formatif sepenting yang sudah kalian jelaskan, seharusnya ada di setiap kegiatan belajar-mengajar, bukan?"

Hening. Anggota kelompok penyaji saling pandang. Mereka menyadari kesalahan, tetapi ego sudah telanjur menguasai.

"Ya, memang tergantung guru. Biar lagi penting, kalau guru malas bikin penilaian formatif, kamu mau apa?" celetuk salah seorang di antara mereka.

Audience bersorak. Jawaban yang sangat tidak ilmiah. Tak dapat diterima. Proses diskusi ini sudah melenceng dari standar operasional prosedur yang berlaku.

"Apa sumbernya? Kalian pakai referensi yang mana? Jangan asal jawab!"

Alan menggebrak meja. Menarik perhatian seluruh pasang mata. Pemuda itu berekspresi setenang mungkin. "Ayolah. Kita lagi diskusi, bukan debat kusir. Sampaikan pendapat dengan baik, gunakan referensi ilmiah. Kalau salah, akui. Bagi yang benar, juga jangan pongah. Mari ciptakan forum yang nyaman untuk semua orang, oke?"

"Hidup Alan!" Seseorang berseru, diiringi riuh tawa menggema.

Alan tersenyum lega. Suasana kembali kondusif. Umur mereka sudah dua puluh tahun lebih, tetapi tampaknya sifat kekanakkan masih mengakar kuat.

Moderator berdehem, "Maaf atas kekacauan barusan. Begini saja, dari audience, ada yang ingin membantu kelompok penyaji?"

Lengang. Mereka saling pandang. Tak ada yang tergerak membantu. Dugaan terkuat karena mereka pun boleh jadi tidak paham.

Alan menggeleng dramatis. Sebaiknya dia mengambil alih. Tepat ketika hendak mengangkat tangan, sudah ada yang lebih dahulu mengajukan diri.

Alan menoleh. Pandangan mereka bertemu sesaat. Bibir pemuda itu terkulum tipis.

"Baiklah. Adiba, silakan sampaikan pendapatmu."

Adiba menarik napas sejenak, lalu berkata, "Apa yang dikatakan penyaji dan penanya benar. Penilaian formatif sangat penting. Berdasarkan tuntutan kurikulum 2013, setiap pertemuan harus memuat penilaian, bahkan meski sekadar satu-dua soal." Gadis itu memberi penjelasan lebih jauh, dengan tetap menyebutkan buku dan jurnal yang menjadi pedomannya.

Tepuk tangan membahana. Apresiasi diberikan kepada Adiba yang sudah repot-repot menjawab. Persoalan selesai. Diskusi ditutup.

Setelah melewati serangkaian prosedur, mereka bubar. Bergegas menuju kelas selanjutnya.

"Makasih, loh, Diba. Berkat kamu, nggak jadi ada adegan adu tinju di kelas!"

Adiba mendongak sesaat, seorang kawan melambaikan tangan ke arahnya. Gadis itu tersenyum geli sambil terus membereskan alat tulis.

"Seperti biasa, kamu emang pintar. Rajin banget baca buku sama jurnal?" Milda berdiri di depan bangku Adiba, menyorot jenaka.

Adiba membenarkan letak ransel. "Aku penerima beasiswa. Bahaya kalau nggak belajar."

"Semangat, Adiba! Semoga kamu jadi peraih cumlaude."

"Amin. Makasih, Mil."

Milda mengacungkan jempol, lalu pamit keluar lebih dulu.

"Penjilat."

"Kenapa, Bel?" Adiba menoleh ke sisi kiri.

"Nggak ada. Ayo jalan," sahut Abelyn singkat.

Punya wajah datar secara alami, cuek, dan jarang berinteraksi memberi keuntungan tersendiri. Tidak salah Abelyn membangun image semacam itu selama beberapa tahun. Dia jadi mampu mengenali karakter orang lain. Boleh dikata, menjadi pengamat sejati adalah keahliannya.

Bandingkan dengan Adiba, gadis itu selalu dikelilingi banyak orang. Terbiasa berperan sebagai pusat perhatian. Dengan demikian, dia kehilangan mometum untuk mengamati dalam diam.

Mana tahu Adiba kalau ucapan Milda barusan hanyalah bualan belaka?

"Bel, sore ini main ke rumahku, yuk?"

Abelyn menoleh. Tak menyahut. Diamnya pertanda menunggu penjelasan lebih lanjut.

Adiba seakan memahami maksud sahabatnya. "Ibu tiba di Malang hari ini. Beliau berpesan buat ngajak kamu main ke rumah. Pengen kenalan, Bel."

"Jadi, Pak Alva ke luar kota buat jemput ibu kalian?"

"Ya, dia lagi ke Surabaya. Kalau nggak macet, harusnya siang ini mereka udah ada di rumah."

Abelyn diam. Berpikir sejenak. Bertemu calon mertua, bukan masalah. Namun, haruskah dia bertemu Alvarendra di luar kampus? Di rumah pemuda itu?

Terus terang, sejak memutuskan untuk menikah, tak banyak yang berubah dari hubungan mereka. Ketika berpapasan di kampus, keduanya tetap bersikap profesional. Layaknya dosen dan mahasiswa. Selain itu, jika ada sesuatu yang diperlukan terkait pernikahan, Alvarendra berkomunikasi dengan Pak Wendra. Abelyn menunggu informasi dari sang ayah.

"Kamu nggak nyaman kalau Mas Al ada di rumah?"

"Huh?"

Adiba tersenyum lembut, menenangkan. "Tenang, dia berencana ke rumahmu. Anggap aja kalian tukaran posisi sementara."

"Boleh. Setelah kelas terakhir, langsung berangkat?"

Adiba mengacungkan jempol. "Gitu dong."

Abelyn mengitarkan pandangan ke segala arah. Terlalu asyik mengobrol, mereka tidak sadar sudah berada di dalam ruangan. Sepasang sahabat itu mengambil posisi di bagian depan. Tak lama, dosen pun masuk. Pelajaran dimulai.

*

Alvarendra mengerang. Keributan di kamar sebelah mengusiknya. Telentang. Tangannya bergerak mencari-cari letak ponsel demi melihat jam. "Astagfirullah!" tukasnya.

Alvarendra bergegas bangkit. Buru-buru menuju ke kamar mandi. Hampir saja dia terjungkal karena kurang hati-hati.

Waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB. Dia belum melaksanakan salat Asar. Sepulang dari menjemput sang ibu, Alvarendra memilih istirahat. Terlalu lelah.

Cukup lama Alvarendra berkutat dengan aktivitasnya. Mandi, berganti pakaian, salat, lalu ditutup dengan zikir dan doa.

Alvarendra bangkit, hendak bergabung dengan keseruan ibu dan adiknya. Kalau sudah bertemu, niscaya dunia serasa milik mereka. Dia seringkali hanya jadi penumpang.

Pintu didorong. Alvarendra berseru, "Ibu, Dek, kenapa Al nggak dibangunkan?" tukasnya. Belum menyadari kehadiran orang lain di sana.

Hening. Seluruh pandangan tertuju ke arahnya. Bola matanya sedikit melebar, tetapi dengan cepat dia menguasai diri. Agak kagok menemukan keberadaan Abelyn.

Mereka membentuk lingkaran. Tampaknya sedang mengerumuni sesuatu. Apa pun itu, dia yakin berhubungan dengan kedatangan sang ibu.

"Loh, kamu di sini? Ibu pikir sudah berangkat ke rumah Abel?"

Bahaya. Bagaimana dia bisa melupakan hal itu?

Alvarendra mundur pelan-pelan. Tidak jadi bergabung. "Maaf mengganggu, Al permisi. Terima kasih sudah diingatkan!" tukasnya cepat.

Bunyi decak terdengar. Pemuda itu menunduk. Sadar telah mengganti celananya dengan yang lebih pendek. Abelyn sudah terlanjur melihat penampilannya. Semoga dia tidak berpikir ini konyol.

Samar-samar, dia mendengar suara gelak tawa. Alvarendra bergumam, "Aku penasaran, apa dia juga ikutan ketawa?"

-TBC-

Jika menurutmu cerita ini bagus, mohon dukungannya, ya, teman-teman! Rekomendasikan kepada kenalanmu 😁

Psst, perubahan jadwal update: 2 hari sekali.

Sankyu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top