Chapter 24

Walaupun hari ini hari Senin, dengan semangat Jani melangkahkan kakinya menelusuri lorong sekolah. Ia sangat bersyukur, hubungannya dengan Naren membaik. Namun, Jani masih memikirkan mengenai tawaran cowok itu saat di kafe. 

Cukup keras pundaknya beradu membuat Jani mengaduh, kaget dan nyeri bersatu. Cewek dengan rambut disanggul berantakan memandangnya dengan tatapan remeh, seakan-akan objek yang ditatap sampah. 

"Oh ini yang mencuri di ruang tata usaha?!" Terdengar seperti seruan bukan pertanyaan di telinga Jani agar murid-murid lainnya mendengar.

Raut Jani berubah bingung, apa yang dirinya lewatkan. "Maaf. Pencuri?"

Telunjuk kanan gadis yang menabraknya itu mendorong pundak Jani sembari berseru, "Enggak usah pura-pura. Lu itu pencuri!" 

Kaki Jani mundur beberapa langkah. Ia tak mengerti asal muasal permasalahan yang membuat dirinya dicap sebagai pencuri. "Jangan asal tuduh, punya bukti apa?!" tanya Jani, sedikit membentak.

Permasalahan apalagi kali ini? Ia baru saja menuntaskan permasalahannya dengan Naren. Sekarang sudah muncul lagi masalah baru.

"Lu enggak punya sosial media? Wajah lu sudah terpampang di mana-mana."

Dengan lihai jemarinya menari-nari, mencari sesuatu yang sedang dibicarakan warga SMA Nusa Pelita. Saat akhir pekan Jani jarang memegang ponselnya, ia ingin menikmati hari libur tanpa memikirkan hal lain yang membuat kepalanya pusing. 

Wajah Jani berubah gelebah. Ia mendapati dirinya dalam video yang baru diposting semalam. Ia harus meminta penjelasan kepada Daffa, karena video tersebut diposting di Instagram Jurnalistik. Sialan. 

Semula langkah kakinya menuju kelas XI IPA 5. Namun, dengan tergesa langkah kakinya berbalik arah menuju kelas XI IPA 1. 

"Daffa!" panggil Jani membuat keributan di kelas orang. 

Cowok yang dipanggil namanya itu menghampiri Jani. Ia memiliki kabar buruk. "Sebelum lu ngomong, gua harus menyampaikan sesuatu. Lu dipanggil ke ruang BK." 

Emosi Jani tak karuan. Ini masih pagi dan dirinya sudah dipanggil ke ruang BK. Sebuah kemajuan pesat bagi Jani, selama satu semester ia sudah berurusan dengan dua guru yang berbeda.

"Sekarang?"

Daffa mengangguk. "Sekarang. Penting banget."

***

Katanya berurusan dengan guru BK merupakan hal paling mengerikan selama di sekolah, tetapi Jani pernah lebih parah dari ini. Ia berurusan dengan wakil kesiswaan. Entah ia harus bersyukur atau menderita, karena kasus kali ini tidak cukup parah. Walaupun bukan ia pelakunya.

"Jani," panggil bu Raya, guru BK SMA Nusa Pelita. 

Gadis yang dipanggil namanya itu membungkam bibirnya rapat-rapat. 

"Tepat di mana kamu keluar dari ruang tata usaha, ada karyawan tata usaha yang melaporkan bahwa beliau kehilangan sebuah flashdisk. Kamu pasti melihat video yang sudah beredar si sosial media. Bisa jelaskan kejadian waktu itu? Karena sudah jelas di video tersebut menampilkan diri kamu yang keluar dari ruang tata usaha dan sudah ada saksi mata."

Jani mengeluarkan flashdisk miliknya yang waktu itu tertinggal di ruang siaran. "Ini flashdisk milik saya dan sudah saya pastikan sendiri dokumen yang ada di dalam flashdisk milik saya. Ibu bisa mengecek flashdisk ini, tapi saya mohon untuk tidak dihilangkan." Dengan terpaksa Jani menyerahkan flashdisk miliknya.

Bu Raya menerima flashdisk milik Jani sembari bertanya, "Apakah kamu menyangkal tuduhan serta bukti yang sudah ada?" 

Jani mengangguk. Ia bukan pencuri dan apa keuntungannya jika ia mencuri flashdisk milik karyawan tata usaha? Semiskin apa dirinya sampai flashdisk saja mencuri punya orang lain.

"Tetapi gerak-gerik kamu dalam video ini terlihat sangat mencurigakan. Bahkan dari sudut pandang saksi mata, kamu terlihat buru-buru dan khawatir seakan-akan kamu sedang menyembunyikan hal buruk yang telah kamu lakukan." 

"Kesaksian saya bisa Ibu pastikan dengan bertanya kepada Atika Tsabita, salah satu sahabat yang sekelas dengan saya. Saat itu saya kehilangan flashdisk dan meminta bantuannya untuk menemukan flashdisk saya, tetapi saya ingat bahwa saya tidak kehilangan flashdisk tersebut. Namun, flashdisk tersebut tertinggal di ruang siaran. Saya mengambil flashdisk tersebut karena video hasil wawancara Naren dan Aqila harus saya posting. Lalu mengapa saya terlihat buru-buru? Karena saat itu saya ada janji bertemu dengan seseorang." 

"Siapa?" selidik bu Raya.

Bibirnya bungkam sejenak. Mana mungkin ia memberi tahu dirinya bertemu dengan Naren. Sudah hampir 2 tahun ia dengan lihai menyembunyikan hubungannya dengan Naren, tidak akan ada yang percaya siswi yang tahun ini sudah dua kali memiliki kasus buruk dan harus berurusan dengan guru memiliki hubungan dengan siswa berprestasi.

"Siapa yang kamu temui Narapati Dwi Renjani?!" Jani yang ditanya dengan nada tinggi masih menutup rapat-rapat bibirnya.

"Kamu tahu bahwa seharusnya orang tua kamu harus saya panggil, 'kan?" 

Jika disuruh memilih untuk membongkar hubungan Jani dan Naren atau rahasia ia mengikuti ekstrakurikuler Jurnalistik diketahui oleh ayah, Jani akan memilih membongkar hubungannya dengan Naren. Opsi kedua sangat berbahaya. Bisa-bisa ayah akan murka.

Dengan terpaksa Jani menyebutkan nama Naren. "Tolong jangan panggil orang tua saya, Bu. Waktu itu saya bertemu dengan Narendra Prakasa Bumi dari kelas XI IPA 1."

"Mohon maaf, tetapi orang tua kamu akan tetap dipanggil. Kasus pencurian dan tersangkanya murid SMA Nusa Pelita tidak mungkin jika tidak melibatkan orang tua. Kamu punya hubungan apa dengan Naren? Mana mungkin Naren bertemu dengan kamu di luar sekolah, Jani."

Terserah. Suaranya tak didengarkan, untuk apa ia mengeluarkan kesaksiannya? Jani sudah pasrah, Ia tak ingin lagi membela diri. Jani hanya bisa meminta agar ayah tak murka saat mengetahui kebohongan apa yang sudah ia sembunyikan.

***

Selama ada orang tua Jani di ruang BK, gadis yang menjadi tersangka kasus pencurian hanya bisa menundukkan kepalanya. Tak berani ia memandang sosok ayah. 

"Seberapa penting flashdisk itu sampai anak saya harus jadi tersangka dan kita sebagai orang tuanya dipanggil?" Walaupun kekecewaan dan amarahnya menjadi satu, tetapi ayah tetap membela Jani. Ia yakin, anaknya itu tak mungkin mencuri.

"Bukan harganya, tetapi isi flashdisk tersebut sangat berharga."

"Terlepas dari itu, Bu. Saya yakin Jani tidak akan mencuri, saya bisa memastikan dia pulang bersama Naren kemarin dan kesaksiannya perihal bertemu dengan Naren setelah mengambil flashdisk di ruang siaran benar adanya." Gantian. Kali ini ibu Jani yang angkat suara.

Bu Raya tampak kaget. Jadi benar bila gadis yang bersangkutan dengan wakil kesiswaan memiliki hubungan dengan siswa paling berprestasi di SMA Nusa Pelita. 

"Terima kasih atas waktu yang sudah Bapak dan Ibu luangkan, saya akan meminta kesaksian dari pihak Naren." 

"Tunggu." Wajah ayah semakin serius. Dengan nada tinggi ayah mengeluarkan apa yang berada di dalam otaknya. "Jadi Ibu belum meminta kesaksian dari Naren dan memanggil kami ke sekolah? Setau saya Jani sudah memberikan kesaksiannya, seharusnya Ibu membicarakan terlebih dahulu dengan Naren. Apakah benar kesaksian anak saya terbukti atau hanya bualan semata?!" 

"Saya minta maaf mengenai perihal tersebut, tetapi kasus Jani ini memang harus memerlukan pemantauan dari orang tua."

"Pemantauan orang tua? Memang anak saya sudah terbukti melakukan tuduhan tersebut? Anak saya bukan tersangka, bahkan tersangka sekali pun dalam sebuah pengadilan berhak untuk memberikan sudut pandang dan kesaksiannya bisa untuk dipercaya." 

Jani ingin menangis saat ini juga. Sosok ayah yang ia kecewakan, membelanya mati-matian. Ia malu, seharusnya ia mendengarkan saran ibu dan Naren, berkata jujur agar ayah berusaha mengerti sudut pandangnya.

"Jika anak saya terbukti tidak mencuri flashdisk tersebut, saya akan berurusan dengan Ibu," ancam ayah. 

Tatapan tajam ayah yang semula menatap bu Raya bergeser memandang Jani. "Jangan terlambat untuk pulang, Jani. Banyak yang harus kita obrolkan, mulai dari masalah ini sampai Jurnalistik."

Hanya satu kalimat, tetapi tubuh Jani membeku. Kalimat tersebut menjadi kalimat terakhir yang ayah ucapkan di ruang BK. 

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top