PART 8
PART 8
"Aku udah sampai di rumah Mama. Kak Jati di mana?"
Jati masih dalam perjalanan menuju lokasi proyek ketika Yasmin menelepon.
"Masih di jalan."
"Masih lama sampainya?"
"Mm, nggak lama lagi. Mungkin sekitar 10 sampai 15 menit."
"Oh gitu. Mmm...would you call me back later, Kak?"
"Untuk?"
"Just call me. Aku cuma pengen ngobrol aja lagi. Rasanya beda kan kalo Kak Jati yang nelepon duluan? Seeing your name on my cell phone monitor screen, calling me...was always making me overjoyed. Deg-degan seperti diteleponin gebetan." Lalu terdengar tawa Yasmin. "Lebih dari itu sih, karena Kak Jati kan udah jadi suamiku. My lovely husband."
"Okay."
"Hmm. Suka banget sih irit ngomong."
"Kamu sering bikin saya kehilangan kata-kata, Yasmin."
"Really? Mmm, hopefully i make you speechless in good way." Yasmin berhenti sejenak. "I love you."
Jati meringis dalam hati.
She always knows how to make me speechless in good way. Damn.
"Tuh kan diem lagi. Nggak mau bales."
Bayangan wajah dan tingkah Yasmin yang manja serasa tergambar di depannya saat ini juga.
"I...," Jati menurunkan kecepatan mobil ketika telah memasuki kawasan pembangunan townhouse. "I'm already on site."
"I love you."
"It means so much that you told me this, and..."
"And?"
"See you later."
"Nyebelin!"
Yasmin langsung memutuskan sambungan tanpa mengucapkan salam.
Oh, crap!
***
Yasmin menatap layar ponsel dengan nanar sebelum memasukkan ke dalam Dior medium lady bag Blush di pangkuannya.
Kenapa sih sulit banget ngomong cinta?
Kali ini Yasmin bertanya kepada dirinya sendiri?
Apa Jati hanya ingin mempermainkan perasaannya?
"Yasmin? Kamu kok duduk aja di sini? Ayo masuk. Temenin Mama di dalam. Acaranya udah mulai dari tadi."
Yasmin belum menjawab karena dia masih berusaha menata perasaannya seusai memutuskan sambungan telepon.
Dia selalu merasa berkali-kali lipat lebih sensitif setiap mengobrol dengan Jati dibandingkan ketika dia melakukan hal lain di saat Jati tidak sedang berada di telinga dan terlihat di kedua matanya.
Kesal! Kesal! Kesal!
"Yas? Mama lagi ngomong sama kamu, Sayang. What's going on? Wajah kamu kusut banget deh."
"Nggak apa-apa, Ma. Lagi bad mood aja dikit. Dikiit doang sih."
"Perasaan, tadi sejak berangkat dari rumah sampai tiba di sini, kamu kelihatan baik-baik aja. kamu habis ngobrol sama siapa? Jati?"
"Lagi males bahas. Yuk masuk, Ma."
Yasmin menggandeng mama masuk ke dalam aula tempat para penghuni panti asuhan tengah berkumpul. Anak-anak duduk teratur di deretan kursi yang telah disiapkan, mendengarkan persembahan lagu dari seorang artis remaja yang turut menjadi pengisi acara hari itu. Bunyi gitar yang dipetiknya sendiri mengiringi lagu Jangan Menyerah yang dipopulerkan band D'Masiv. Beberapa masih terdengar malu-malu mengikuti instruksi untuk ikut bernyanyi, sementara sebagian besar lainnya mengiringi dengan bertepuk tangan.
Melihat wajah anak-anak tersebut, seringkali membuat perasaan Yasmin tersentuh. Mereka adalah anak-anak yang dititipkan oleh keluarga kurang mampu, beberapa di antaranya dititipkan saat masih bayi tanpa keterangan siapa keluarga mereka. Di yayasan itu mereka dirawat, dibesarkan hingga diberi kesempatan untuk bersekolah dan berwirausaha. Pembangunan yayasan secara mandiri tersebut dimulai dari nenek buyut dari pihak papa, selanjutnya diteruskan hingga sampai kepada mama. Yasmin diberi kesempatan untuk ikut mengelola yayasan meski namanya belum masuk ke dalam kepengurusan inti. Menurut mama, pilihan untuk mencantumkan nama dalam kepengurusan adalah sesuatu hal yang fleksibel. Baik Yasmin maupun anggota keluarga mereka yang lain bisa ikut membantu mengembangkan yayasan sekalipun tidak menjadi pengurus yayasan. Namun, mama tetap akan memasukkan nama Yasmin, mungkin sekitar setahun atau dua tahun lagi. Sampai Yasmin sudah benar-benar siap, dalam arti, sudah mampu membagi waktu dengan aktivitas yang lain.
Sambil duduk mendengarkan pengisi acara lain, yaitu seorang psikolog yang tengah berbagi pengalaman hidup dan advice tentang hidup sosial, Yasmin menyalakan ponsel yang sempat dinonaktifkan karena kesal tadi. Wajahnya masih dalam mode masam, menyentuh pop up Whatsapp Jati yang berada di urutan ketiga dari atas. Nama Ana berada di daftar paling atas, disusul Whatsapp dari Mbak Siska, editornya.
ILoveYou : I'm sorry
Yasmin mendengus.
He didn't even try to call me?
Yasyas : i'm still mad at you, Kak
ILoveYou : My bad.
IloveYou : Saya yang salah, Yasmin
ILoveYou : I'm coward and heartless
Bagus deh kalo nyadar.
Yasyas : I won't cry for you anymore
Yasyas : Kenapa Kak Jati selalu bikin aku bertanya-tanya
Yasyas : Bertanya tentang perasaan Kak Jati ke aku
Yasyas : Don't make me confuse about your feelings toward me, Kak.
Yasyas : Please. I'm begging you
IloveYou : You are my wife, Yas.
Yasyas : Yes i am. Thank you, btw
Helaan napas Yasmi terasa berat. Apa yang barusan diketiknya dan dia yakini saat itu sudah dibaca oleh Jati adalah satu dari beberapa pertanyaan yang selalu bercokol di benaknya selama dua bulan belakangan.
Does he love me?
Does he want me?
Will he love me back?
Will he want me back?
Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang terus berkembang.
Apakah ada yang lain?
Apakah perasaan ini akan bertahan lebih lama?
Atau
Sampai kapan aku akan bertahan dengan perasaan ini?
She just want to love and be loved.
Apakah hal itu terlalu sulit bagi Jati?
***
Setelah meninjau lokasi sekitar setengah jam, Jati melanjutkan perjalanan ke kantor pemasaran yang berjarak sekitar dua kilometer dari lokasi proyek. Kantor pemasaran berfungsi sebagai tempat persentasi penjualan unit-unit yang akan atau tengah dipasarkan, tempat berkumpul para calon penghuni, pusat informasi bagi yang akan segera melakukan akad. Di tempat tersebut, para calon pembeli juga bisa mendapatkan informasi terbaru dari developer mengenai perkembangan pembangunan unit townhouse.
Kantor tersebut memiliki fasilitas cukup memadai termasuk tempat parkir luas yang bisa menampung sekitar 8 mobil. Parkiran dalam keadaan lengang ketika Jati tiba di sana. Jati segera memarkirkan Pajero Sport-nya dan masuk ke dalam kantor yang telah buka.
Sesampainya di sana, para staf marketing menyambutnya ramah.
"Nanti site plan-nya bisa langsung ditunjukkan kepada calon pembeli, Pak. Jadi mereka bisa lebih yakin lagi setelah mengetahui lebih detail mengenai unit yang akan dibeli."
Kali ini, Jati tengah berbicara dengan Dania, agen pemasaran unit townhouse Sabitah Marga townhouse. Dalam dunia real estate, tahap pemasaran bisa dilakukan ketika bangunan belum jadi atau setelah jadi. Sejak awal rencana pembangunan townhouse, setidaknya sudah ada empat customer yang berminat untuk membeli unit rumah di Sabitah Marga. Reputasi PT Hartadi Group selama puluhan tahun di bidang real estate seolah menjadi jaminan meskipun bangunannya sendiri belum berwujud siap huni.
Site plan merupakan gambar dua dimensi yang memberikan rencana detail pembangunan, batas lahan, dan fasilitas atau sarana dan prasarana yang nantinya akan tersedia setelah pembangunan rampung. Site plan telah dibuat setelah pihak developer memiliki izin teknis seperti izin pemanfaatan ruang, izin lokasi, dan lainnya.
"Sebaiknya, sambil menunggu pembangunan sudah setengah jalan baru ditawarkan lagi." Jati mengucapkannya sembari mengubah posisi duduk menjadi lebih tegak ketika ponsel yang dikantungi bergetar.
"Pak John sama Bu Tania udah yakin mau ambil, Pak. Takut kehabisan karena jumlah unit yang sangat terbatas."
"Hmm, ya. Saya sama Pak Yasa memang sepakat nggak mau bikin unit yang terlalu banyak. Pembangunan dua belas unit ditambah fasilitas penunjang lengkap, memerlukan biaya yang sangat besar. Biaya pembangunan per unit saja sudah sangat mahal."
"Harga 7 milyar saja mereka nggak mundur, Pak Jati." Dania tersenyum. "Bu Tania, begitu melihat site plan-nya nggak butuh mikir lama buat book. Katanya desain dan fasilitas yang tersedia sangat sepadan untuk berinvestasi."
"Saya senang mendengarnya. Jadi makin bersemangat."
"Semoga lancar ya, Pak. Proyeknya."
"Amiin."
Jati mengangguk, mengucapkan terima kasih. Secangkir kopi dan camilan sudah telanjur diantarkan ke mejanya, padahal dia sedang bersiap-siap kembali ke lokasi proyek.
"Gimana kabarnya Bu Yasmin?" tanya Dania yang masih duduk menemaninya mengobrol sementara staf lain kembali ke meja masing-masing.
"Baik-baik saja. Sekarang lagi sibuk sama penerbitan, juga mengurus yayasan." Jati meminta ijin dengan gestur meminum kopinya. "Nggak ikutan minum kopi?"
"Oh. Tadi sudah di rumah, Pak. Terima kasih." Dania nampak senang saat Jati menawarinya balik. "Bu Yasmin pinter bikin bukunya. Keponakan saya sampai koleksi semua bukunya."
"Oh, iya. Ilustrasinya bagus." Jati tidak tahu harus memberikan komentar apa lagi. Dia sempat membaca buku dongeng yang ditulis Yasmin. Tapi karena isinya berupa cerita anak bergambar yang sudah pasti tidak cocok lagi dibaca oleh orang dewasa seumurannya, jadi dia tidak bisa berkomentar banyak.
"Dulu, Bu Yasmin sering ikut meninjau lokasi proyek. Soalnya kan beliau sangat akrab dengan Pak Yasa. Dengar-dengar, Bu Yasmin arsitek juga ya, Pak?"
"Iya."
"Kak Jati tahu nggak kenapa aku milih jurusan Arsitektur?"
"Nggak tau."
"Karena Kak Jati."
"Masternya desain interior." Jati menambahkan.
"Sudah pernah kolaborasi dengan Bu Yasmin?"
"Belum. Saya ketemunya lagi juga baru beberapa bulan ini saja."
"Mungkin nanti ada peluang kerjasama? Tunggu sebentar ya, Pak." Dania berdiri, kemudian tidak lama dia kembali dengan membawa beberapa lembar foto. "Saya sukanya ngumpulin gambar-gambar desain kesukaan saya. Ya, sambil berkhayal nanti bisa punya rumah sendiri. Dan, ini beberapa gambar desainnya Bu Yasmin. Keren banget. Eh, tapi mungkin Pak Jati sudah pernah lihat ya?"
Jati memerhatikan lembaran foto yang berada di tangannya. Dari lima lembar foto, dia sudah pernah melihat dua di antaranya. Tetapi selebihnya belum.
Desain interior bergaya Skandinavian dan Shabby Chic. Konsep yang terakhir ini sangat mencerminkan Yasmin. Penggunaan warna pastel nan lembut seperti krem putih, dan pink soft.
Jati tanpa sadar tersenyum dan semakin serius memerhatikan detail yang tertuang dalam gambar di tangannya.
Yasmin selalu mampu membuatnya terkesan.
Lovable.
And she is my wife.
"Dibawa saja Pak, kalau masih belum puas dilihat." Dania terdengar meledeknya.
"Nggak. Ini kan punya Mbak? Lagian, desainernya juga kan setiap hari ketemu sama saya di rumah."
Dania tertawa pelan.
"Nanti, Bu Yasmin diajak ke sini dong, Pak. Saya udah lama nggak ketemu. Soalnya kalau ketemu sama saya, saya suka diajak ngobrol sekalian makan siang bareng. Saya udah lama kerja jadi marketing setiap proyek Hartadi Group, jadi udah kenal banget sama Bu Yasmin." Dania kali ini tersenyum. "Nggak kebayang gimana paras anaknya Pak Jati sama Bu Yasmin nanti. Soalnya sama-sama blasteran Indonesia-Surga gitu."
Indonesia-Surga?
Dania ada-ada saja.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top